Share

Part 9

Tak terasa tiga minggu berlalu setelah kejadian di mana Rigel mengecup Binar kembali. Dalam tiga minggu ini, bagai seekor bunglon sikap Binar berubah kembali 180 derajat. Wanita itu lebih banyak diam dan akan berbicara jika Rigel yang pertama bertanya. Bahkan, selepas di mana Binar tidak jadi mandi, wanita itu tak berbicara dengan mulutnya, melainkan dengan jemari lentik tangan kanannya yang menggores indah setiap untaian kata setiap kali Rigel mengajak berbicara. Pada awalnya Rigel berpikir kalau istrinya mendadak sakit gigi. Tapi di hari ketiga setelah itu, ia mendapat kenyataan kalau ternyata semua itu salah, karena nyatanya istrinya bisa dengan leluasa berbicara dengan Mbok Jum dengan mulutnya. Pantas saja wanita itu selalu tidak mau jika diajak ke dokter.

Rigel merebut pulpen dan buku kecil yang biasa Binar pakai untuk berkomunikasi dengannya. "Berhenti melakukan hal bodoh ini. Kau tidak sakit gigi, apalagi bisu. Sekarang, aku ingin mendengar suaramu." Ada tatapan kesal saat ia mengucapkannya dan kekesalan itu semakin bertambah saat Binar menggeleng, berbalik meraih ponsel di atas nakas, mengetikkan sesuatu, kemudian diperlihatkan isinya kepadanya.

Aku tidak mau mengambil risiko. Itulah isi dari pesan yang diketik Binar.

"Risiko apa, Binar?!" Suara Rigel bergetar menahan amarah.

Binar kembali mengetikkan sesuatu dan Rigel membiarkannya. Kembali, Binar memperlihatkan isinya. Kakak bilang aku harus berhenti bicara, kalau tidak Kakak akan menciumku kembali, bahkan melakukan hal lebih dari itu. Aku tidak mau.

Rigel mengusap wajah kasar, lalu menyugar rambutnya. Ia merasa greget sendiri atas kelakuan istrinya. Binar adalah salah satu lulusan terbaik di Oxford University, tapi mengapa wanita itu malah salah tangkap maksudnya? Tak hanya enggan berbicara dengannya, istrinya itu juga seakan menjaga jarak dengannya. Ini seperti kebalikkan saat sebulan pertama mereka menikah. Dulu, ia yang menjaga jarak bahkan terkesan menjauhi Binar, tapi sekarang wanita itu yang balik menjaga jarak dan menjauhinya. Apa karena wanita itu takut ia mencuri kecupan atau melakukan hal lebih? Bukannya Binar adalah wanita yang halal untuknya? Kenapa wanita itu tidak mau memberikan haknya sebagai suami? Ah, ia lupa. Kata bukan suami-istri sungguhanlah yang menjadi pemicunya.

Keterdiaman Binar semakin bertambah saat pemeriksaan dua minggu yang lalu di mana dokter mengatakan hasil rontgen tidak menunjukkan perubahan signifikan pada perkembangan kaki Binar. Wanita itu memang bisa bernapas lega, karena mati rasa yang dialaminya hanya terjadi beberapa hari setelah ia siuman. Perlahan mati rasa itu berubah menjadi rasa sakit yang wajar dirasakan pada kakinya. Itu berarti, tak ada cedera neovaskular atau kerusakan pada arteri dan sarafnya yang bisa menyebabkan mati rasa bahkan lumpuh. Namun, kakinya diduga mengalami Delayed Union atau penyambungan tertunda. Gips yang terpasang di kakinya pun baru kemarin bisa dilepas.

Dokter tetap menyemangati Binar dan berharap proses pembentukan kalus di kedua ujung tulang yang patah sebagai cikal bakal yang menjembatani penyambungan tulang, baik dari kalus halus ke kalus kasar yang terjadi hingga bulan keempat setelah cedera yang di dalamnya terdapat sel yang disebut osteoblast berjalan baik. Osteoblast sendiri yaitu sel yang berperan dalam membentuk tulang dengan mengisi rongga-rongga yang masih kosong dan mengambil mineral untuk dimasukkan ke dalam jaringan tubuh agar tulang akan semakin padat dan kuat. Pada tahap ini, Binar tidak boleh melakukan banyak gerakan aktif, karena bisa merusak pertumbuhan kalus.

"Binar," panggil Rigel lirih. Ia duduk di ayunan panjang sebelah Binar. Dilihatnya wanita itu sedang membaca sebuah novel ditemani semilir angin di sore hari. Itulah kebiasaan wanita itu akhir-akhir ini. Soal mandi, pada akhirnya ia memerintahkan Mbok Jum untuk menemani istrinya mandi. Lagi pula, berada di dekat Binar tidak baik untuk adik kecilnya dan juga hatinya, karena wanita itu seperti memiliki aliran listrik yang menggetarkan hatinya dan melumpuhkan logikanya.

Binar menyeka jejak basah di matanya, lalu berdeham tanpa melihat Rigel, pandangannya fokus pada novel yang ia baca. Sebuah kisah Siti Khadijah yang membuatnya menangis berkali-kali akan perjuangan wanita itu bersama Rasulullah.

Diriwayatkan, ketika Khadijah sakit menjelang ajal, beliau berkata kepada Rasululllah SAW, "Aku memohon maaf kepadamu, Ya Rasulullah, kalau aku sebagai istrimu belum berbakti kepadamu."

"Jauh dari itu, Ya Khadijah. Engkau telah mendukung dakwah Islam sepenuhnya,” jawab Rasulullah."

Dikisahkan pula dalam Sirah Nabawiyah, suatu hari ketika Rasulullah pulang dari berdakwah, beliau masuk ke dalam rumah. Khadijah menyambut dan hendak berdiri di depan pintu. Ketika Khadijah hendak berdiri, Rasulullah meminta Khadijah agar tetap di tempatnya.

Saat itu Khadijah sedang menyusui Fatimah yang masih bayi. Saat itu seluruh kekayaan mereka telah habis. Seringkali makanan pun tak punya. Sehingga ketika Fatimah menyusu, bukan air susu yang keluar akan tetapi darah. Darahlah yang masuk dalam mulut Fathimah RA.

Kemudian Rasulullah mengambil Fathimah dari gendongan istrinya, lalu diletakkan di tempat tidur. Rasulullah yang lelah seusai pulang berdakwah dan menghadapi segala caci maki dan fitnah manusia itu lalu berbaring di pangkuan Khadijah.

Rasulullah SAW tertidur. Ketika itulah Khadijah membelai kepala Nabi SAW dengan penuh kelembutan dan rasa sayang. Tak terasa air mata Khadijah menetes di pipi Rasulullah. Beliau pun terjaga.

"Wahai Khadijah, mengapa engkau menangis? Adakah engkau menyesal bersuamikan aku, Muhammad?" tanya Rasulullah dengan lembut. "Dahulu engkau wanita bangsawan, engkau mulia, engkau hartawan. Namun hari ini engkau telah dihina orang. Semua orang telah menjauhi dirimu. Seluruh kekayaanmu habis. Adakah engkau menyesal wahai Khadijah bersuamikan aku, Muhammad?" lanjutnya tak kuasa melihat istrinya menangis.

"Wahai suamiku, wahai Nabi Allah, bukan itu yang kutangiskan," jawab Khadijah. Wanita itu berkata lagi, "Dahulu aku memiliki kemuliaan. Kemuliaan itu telah aku serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya. Dahulu aku adalah bangsawan. Kebangsawanan itu juga aku serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya. Dahulu aku memiliki harta kekayaan. Seluruh kekayaan itupun telah aku serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya, Wahai Rasulullah.

"Sekarang aku tak punya apa-apa lagi. Tetapi engkau masih terus memperjuangkan agama ini. Wahai Rasulullah, sekiranya nanti aku mati sedangkan perjuanganmu ini belum selesai, sekiranya engkau hendak menyeberangi sebuah lautan, sekiranya engkau hendak menyeberangi sungai, namun engkau tidak memperoleh rakit pun atau pun jembatan.

"Maka galilah lubang kuburku, ambilah tulang belulangku. Jadikanlah sebagai jembatan untuk engkau menyebrangi sungai itu supaya engkau bisa berjumpa dengan manusia dan melanjutkan dakwahmu. Ingatkan mereka tentang kebesaran Allah. Ingatkan mereka kepada yang hak. Ajak mereka kepada Islam wahai Rasulullah."

Mendengar ucapan Khadijah tersebut, Rasulullah pun semakin terpukul dan wafatnya Khadijah begitu menusuk hati Rasulullah.

Binar tak habis pikir mengapa Khadijah RA berkata bahwa ia belum menjadi istri berkakti, padahal semasa hidupnya wanita mulia itu menyerahkan seluruh harta, jiwa, dan raganya untuk membantu suaminya berdakwah dalam Islam, bahkan wanita mulia itu rela menawarkan tulang belulangnya untuk menjadi jembatan bagi suaminya berdakwah. Lalu, bagaimana dengan dirinya? Ia sadar jauh dari kata berbakti. Sampai detik ini ia pun belum menyerahkan hak suaminya. Tapi, ini bukan kemauannya. Rigel-lah yang membuat pernikahan mereka menjadi sebuah permainan yang berbatas waktu. Seandainya saja pria itu mau membuka hati untuknya, tentulah ia dengan senang hati menyerahkan hak pria itu.

"Besok aku akan ke Italia. Emm ... kau tidak apa-apa 'kan aku tinggal?" tanya Rigel dengan perasaan sedikit tidak enak. Bohong jika ia tidak khawatir akan keadaan istrinya.

Binar mengangguk kecil. Mendengar kata Italia, ia paham betul apa yang dikatakan suaminya. Apa lagi kalau bukan menemui Naresha? Rigel sebelumnya sudah bercerita padanya kalau suaminya itu menyetujui perjanjian di mana takkan berhubungan dengan Naresha atau wanita mana pun sampai perceraian dengannya. Tapi, kemarahan dan kepergian Naresha ke Italia cukup mengusik pikiran Rigel. Tadinya, setelah pemeriksaan pada kakinya selesai, Rigel akan terbang untuk meredam amarah Naresha, tapi berhubung gipsnya baru dilepas kemarin, suaminya itu mengundurkan niatnya dan rupanya baru bisa terlaksana besok.

Binar mendesah, ingin sekali ia melarang Rigel. Bohong jika ia tidak memendam rasa pada suaminya. Sejak dulu atau bisa dikatakan sejak kecil hatinya sudah berlabuh pada suaminya. Tapi, percuma saja jika ia harus mengungkapkan rasa itu pada suaminya. Sakit hatinya saat dulu suaminya datang ke Inggris bukan untuk melepas rindu, tapi meminta saran untuk menjalin hubungan dengan Naresha. Suaminya teramat mencintai wanita itu dan membunuh cintanya adalah jalan yang terbaik agar rasa sakit di hatinya tidak semakin melebar. Tidak ada yang bisa menyelamatkan hatinya selain dirinya. Sekarang, bagaimana ia bisa seberbakti Khadijah RA, sedangkan Rigel bukanlah suami yang patut ia perjuangkan?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Khair
hmm....Binar
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status