Bersama sejuta kegelisahannya, Cinta Andini memantapkan hati menemui Mami Chika membawa segepok uang untuk melunasi sisa utangnya.
Ketika sampai dan mengutarakan niatnya di depan Mami Chika, sudah dapat Cinta tebak jika sikap mucikari tua itu akan berubah menjadi kurang bersahabat dengannya, "Kamu beneran mau keluar dari sini, Cin? Mami pikir sudah betah karena utang seratus juta aja sampai lima tahun lebih dua bulan ini baru kamu lunasin efek kebanyakan main free sama pacarmu si anak ingusan itu. Siapa namanya, sih? De de... Dewa ya? Duh, teriakin nama pacarnya keras banget deh kemarin itu. Mami jadi pengen ngerasain juga batangnya dia seenak apa, sih, sampai bikin primadona di tempat Mami ini jadi kelojotan par—"
"—Ini sisa sepuluh jutanya, Mi. Masih suka duit nggak, sih, sebenarnya?!" Bahkan cenderung mengejek dengan membawa serta nama Dewa di sana, nyaris membuat Cinta melemparkan segepok uang yang ada di tangannya ke wajah Mami Chika.
"Hahaha... Jangan galak-galak, Cantik. Nanti mukanya cepat keriput kayak nenek-nenek terus ditinggal pacar burung gedenya baru tahu rasa kamu!" Memang seperti itulah seorang Fransiska Ully, pemilik rumah bordil yang kerap disapa Mami Chika oleh para pelacurnya. Sikap baiknya hanya untuk orang-orang yang baginya dapat menambah pundi-pundi rupiahnya, dan Cinta ada di pihak merugikan baginya saat ini.
Terlepas dari itu semua, Cinta tak mau peduli lagi, sehingga ia pun berusaha mencecar Mami Chika untuk bisa segera terbebas dari belunggu lumpur hitam yang sudah lima tahun merong-rong jiwanya, "Eits! Nggak segampang itu, Mami Chika! Cepat kasih surat perjanjiannya untuk aku tanda tangani baru sisa utang ini bisa Mami miliki!"
Kendati Mami Chika terus berusaha untuk bertingkah konyol bersama gurauan tidak jelas miliknya, "Heh, gayamu ini yang nanti bakalan bikin Mami Chika kangen, Cinta Andini. Yakin bisa hidup dari kerja yang halal di luar sana? Atau jangan-jangan sudah dapat tawaran ngangkang di tempat lain ya? Di mana, heh? Di Cimahi? Oh, atau yang tadi malam kelojotan itu efek habis dilamar ya? Wuidihhh...! Orang mana dia, Beb?"
Pendirian besar itu sudah terlalu bulat untuk dipecahkan oleh apapun juga, "Cinta nggak lagi bercanda, Mami! Tolong cepat kasih surat itu untuk Cinta tanda tangani biar Mami nggak kebanyakan ceramah kayak Mamah Dedeh di sini. Tuh, Om Kumisnya udah dateng pengen ngejilatin punya Mami. Udah ditungguin dari ta—"
"—Sopan sedikit kalau sama Mami ya, Cinta! Mami ini nggak sedang bercanda!" Lalu berhasil mengembalikan Mami Chika ke wujud aslinya yang gemar mendikte dan juga diktator.
"Aku juga bukan pelawak, Mami Chika! Tinggal kasih surat perjanjian itu dan semua urusan kita kelar ya kan?"
Kelopak mata yang kian melebar dengan jenis tatapan tajam, jujur saja selalu berhasil untuk mengintimidasi Cinta di sepanjang lima tahun ke belakang, "Dasar perempuan jalang! Utangmu aku tambahin jadi—"
"—Cinta punya foto jepretan asli surat bermaterai itu waktu Anda tanda tangani, Mami Chika yang terhormat! Isi di dalamnya sisa sepuluh juta rupiah aja. Jangan macam-macam!" Tetapi mungkin berbeda untuk sekarang, setelah dengan bangga kedua kaki jenjang Cinta hanya tinggal selangkah lagi meraih kebebasannya.
Kesal namun memang sudah tak mungkin lagi memaksa saat tahu ultimatum darinya akan sebegitu mudah dipenuhi oleh primadona di rumah bordil miliknya, pada akhir Mami Chika pun menyerah dan bergegas bangkit ke dalam kamarnya, mengambil berkas tentang Cinta Andini.
Tak ingin memperpanjang waktu ke arah yang mungkin saja sama seperti barusan terjadi, Cinta bergerak untuk menunggu di depan kamar Mami Chika sembari sibuk berbalas pesan dengan Dewa. Pria itu tak bosan-bosannya berkabar tentang situasi yang sedang ia lakukan, dan sesungguhnya inilah mara bahaya untuk diri Cinta pribadi.
Cinta membutuhkan kejelasan dan lelah pada tarik ulur waktu sepanjang lima tahun dengan hubungan tanpa ikatan itu, juga teramat sadar bahwa Dewa bukanlah tokoh utama pria yang harus memberinya kepastian tadi.
"Ini suratnya! Nggak perlu mengekor ke depan kamar juga Mami udah ogah nampung jalang kayak kamu yang mulai pilih-pilih tamu! Dikira nikah itu enak, heh? Kawin sama nikah itu beda, Cinta Andini! Harusnya kamu tuh ngambil hikmah dari anak-anak lain yang ditinggal lakinya di sini, juga dari pengalaman kaburnya ibumu sama suami orang! Eh, ini malah ngebet pengen nikah. Bukan cuma ngangkang doang nanti kerjaanmu, Cah ayu! Belum lagi kamu itu udah nggak punya orang tua. Bapakmu udah Almarhum. Terus nanti kalau mertuamu nggak acuh, memangnya kamu mau bersandar sama siapa, hm? Sama laki ingusanmu yang namanya Dewa itu? Haduh! Modelannya anak mama gitu kok kamu percaya, sih, sama dia? Nggak ngerti lagi Mami harus ngasih tahu kayak apa ke kamu, Cintaaa... Padahal selama ini kurang baik apa coba Mami ke kamu, heh?!" Dan tanpa tedeng aling-aling, indera pendengaran Cinta pun mendapat sebegitu panjang repetan dari sang mucikari.
Berharap mendapat ide untuk menjawab omelan tadi, nyatanya kali ini Cinta memilih untuk bungkam saja saat ini, namun telapak tangannya terulur ke depan mengambil surat perjanjian terakhir untuknya itu dan menandatanganinya.
Dari lirikan sinis yang Mami Chika berikan, jujur saja hitamnya arang tidak mungkin semudah itu memudar, walaupun dirinya nanti telah bebas melangkah ke mana saja sesuka hati. Semua kalimat yang wanita paruh baya itu katakan barusan, terlebih tentang definisi Dewa si anak mama kian mengganggu di pikiran Cinta, jadi kemungkinan untuk menikah adalah hal terakhir di daftar pilihan hidupnya ke depan.
Cinta berniat untuk tinggal di kos-kosan, mencari pekerjaan halal berbekal ijazah Sekolah Menengah Atas miliknya yang sudah usang di dalam lemari pakaian butut aset dari rumah bordil itu, mengumpulkan uang halal untuk menambah sisa tabungan tidak seberapa miliknya, lalu berusaha untuk mewujudkan mimpinya menjadi seorang mahasiswi di usia ke dua puluh empat tahun depan.
Akan tetapi lebih dari itu semua, tak ada kerelaan dari dalam diri Cinta Andini untuk terlepas dan menghilang dari radar kokoh milik Dewa Djatmiko, sebab saat ini si tampan tersebut adalah bagian daripada penyemangat hidupnya. Menurutnya, banyak cara yang bisa diambil untuk menamai hubungan keduanya nanti, entah itu sahabat atau teman tidur sekalipun.
Selesai membubuhkan tanda tangannya, segepok uang dengan nominal sepuluh juta rupiah itu pun berpindah ke tangan Mami Chika, "Ini uangnya, Mi. Maaf Cinta nggak bisa kasih lebih, karena setelah ini banyak hal yang harus diurus seperti yang Mami jelasin tadi."
"Iya! Terserah kamu deh. Jangan balik ke sini lagi kalau butuh duit ya? Kasih aja kesempatan untuk anak lain jadi kaya raya kayak kamu, juga biar mereka nggak ngikutin jejakmu yang bandel ini!" Membawa cahaya redup menjadi sedikit berbinar, tetapi sindiran kecil masih saja tak henti terlontar.
Cinta bukan tak tahu itu adalah kebiasaan buruk si pemilik rumah bordil sedari dulu dirinya tiba di sana, maka sekali lagi kata maaf muncul sebagai bentuk perdamaian darinya, "Maaf, Mi. Kalau emang Mami nggak mau aku main ke sini lagi, ya udah nurut aja deh bisanya."
"Dasar anak durhaka! Mau tinggal di mana kamu nanti, hm? Pulang ke Cimahi?" Dan tepat sasaran, karena setelah itu Mami Chika segera merengkuh tubuh lelah Cinta dan menyeka titik-titik air dari ujung matanya.
"Iya, Mi. Pulang aja ke sana deh." Mami Chika juga bertanya perencanaan apa yang akan Cinta lanjutkan setelah keluar dari sana, namun Cinta memilih untuk berdusta. Ia tak ingin Mami chika memperkeruh keadaan dengan ulah-ulahnya yang konyol seperti pengalaman para jalang jebolan rumah bordil terdahulu, dan menurutnya itu bukanlah bagian dari dosa yang besar.
Puas memeluk Cinta untuk yang kedua kalinya, Mami Chika pun melepaskan tubuh itu menjauh dari dirinya. Ia masuk dan memberikan sebuah buku yang baru saja dibelinya dari toko buku kemarin. Lembaran kertas berjilid itu berisi tentang pemahaman mendengar dan juga memahami, yang menurutnya Cinta perlu untuk membacanya agar dapat mengatur langkah.
Ucapan terima kasih ada untuk hal tidak terduga dari Mami Chika tersebut, dan kali ini bendungan air mata Cinta memang sudah tak bisa lagi dipertahankan. Ia tersedu akan hal itu, menjadi tontonan gratis para jalang cantik penghuni rumah bordil tetapi acuh karena memang selama ini tak ada junior maupun senior yang berani berlaku sinis secara terang-terangan di padanya.
Dua jam berlalu, keadaan pun akhirnya merubah semuanya untuk Cinta Andini. Ia benar-benar menghirup udara segar yang selama ini diimpikan, namun Dewa tetap tidak mengetahui akan hal tersebut. Cinta mematikan ponselnya, setelah mengabaikan panggilan telepon dari Dewa beberapa detik lalu.
Taksi online pesanannya pun dengan cepat membawanya menuju ke arah Jakarta Utara, tempat di mana Nona Marisa yang selama ini telah menjadi sahabatnya itu bertempat tinggal. Nona adalah jalang yang sama seperti dirinya di rumah bordil milik Mami Chika, namun itu hanyalah masa lalu ketika kini dirinya sudah bekerja sebagai seorang office girl di sebuah perusahaan besar.
Nona sendirilah yang menjanjikan bantuan untuk sementara waktu atas curahan hati Cinta ketika mendapatkan hari liburnya beberapa hari yang lalu dan dengan berbekal kesepakatan ala kadarnya, kini memang rencana itu menjadi terwujud.
Bisakah bahagia itu menjadi milik Cinta Andini seutuhnya? Demi Tuhan ia selalu saja mengharapkan hal tersebut di tengah kepasrahan yang selama ini dilakukannya.
"Sampai juga kamu akhirnya, Cin. Aku pikir nggak jadi tinggal bareng kita," ujar Nona, setelah pintu taksi terbuka dan menampakkan wajah cantik Cinta di sana.Selembar rupiah pecahan seratus ribu berwarna merah pun berpindah ke tangan sopir taksi, lalu memeluk dan bercanda Cinta lakukan atas sambutan yang Nona berikan padanya, "Terus aku bakalan tinggal di mana kalau nggak di sini, Beb? Kamu itu ada-ada aja mikirnya. Udah ah. Bantuin aku dong."Sedikit terseok akibat dua koper besar miliknya, Cinta meminta bantuan pada Nona untuk meringankan bebannya.Dengan senang hati Nona menyanggupi, namun kelakar masih mewarnai di awal pertemuan itu, "Aduh-aduhhh... Belum apa-apa aja udah manja gini yes, Cin? Kerjaan yang bisa aku tawarin ke kamu itu OG lho. Siap nggak nanti?""Ya ampun, Non. Becanda gue!" Membuat tawa lepas Cinta terjadi dan Nona pun demikian.Sifat humoris milik office girl yang sengaja hari ini sengaja tidak masuk k
Memutari ibu kota negara untuk mencari keberadaan Cinta ke beberapa tempat yang pernah mereka sambangi ketika hari minggu tiba, Dewa dipusingkan dengan itu semua. Hal tersebut tentu saja karena keduanya lebih banyak menghabiskan waktu untuk menyewa kamar hotel, bercinta bahkan makan pun dilakukan di dalamnya.Mengabaikan panggilan telepon yang sejak tadi berdering, sangat jelas Dewa telah lancang melanggar janjinya pada sang ayah mengenai rapat penting itu. Cinta berhasil mengacaukan segala sesuatu, membuatnya nyaris menelan seorang pengamen yang terus saja mengetuk kaca jendela mobil saat ia enggan membukanya.Di tengah rasa kesal yang menjalar menuju ke proses kegilaan tingkat nasional, tiba-tiba saja pikiran Dewa dilintasi kejadian saat mereka berdua berjumpa dengan sahabat Cinta, seorang wanita bernama Nona Marisa.Sayangnya Dewa tidak mengetahui nama lengkap wanita itu, tidak memiliki gambar wajahnya juga tak tahu di mana persisnya ia bertemp
Melewati banyak kendaraan hingga sampai di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir - Jakarta Selatan, Dewa menghentikan laju mobilnya untuk turun dari sana. Dewan menghampiri pedagang bunga yang lapaknya banyak berseliweran di dekat pintu masuk pekuburan, namun dari arah berlawanan kedua matanya tak sengaja melihat sosok itu. Cinta Andini sang pujaan hati. Niat pun buyar seketika, berganti dengan mengejar punggung berbalut kemeja kotak-kotak di depannya."Akhirnya, Sayang. Kamu muncul juga," gumam Dewa masih setia mengikuti dari belakang. Sejujurnya ia ingin berteriak dan membawanya langsung ke dalam dekapan hangat, namun satu kejutan mungkin saja lebih baik terjadi, sebelum mengutarakan apa yang sejak tadi menumpuk di hatinya.Pelan tapi ia melangkah mengikuti jejak kaki Cinta dan tujuan wanita itu memang adalah makam mendiang ayah kandungnya, tempat di mana Dewa yang memilih dan mengurus semuanya sesaat sebelum ia kembali ke New York untuk kedua kalinya.Ada pera
Berdua di kamar kos berukuran kecil milik Nona, hasrat seksual Dewa naik beberapa level akibat ciuman mesra yang sempat ia lakukan dengan Cinta. Aliran darah bergemuruh hingga membuat pangkal pahanya mengeras dan permintaan Dewa keluar tanpa bisa ditunda lagi, "Aku menginginkanmu, Cintaaa..."Dewa meremas gundukan daging di kedua dada Cinta ketika mengutarakan niatnya, menciptakan sensasi nikmat yang tak bisa lagi terbantahkan.Ya, itu memang benar adanya. Cinta bahkan semakin mengangkat kepala setinggi mungkin saat lidah basah Dewa sudah mendarat pasti di atas leher jenjangnya, "Ough, Dewa... Berhenti duluuu... Kita nggak mungkin melakukannya di sini, Wa.""Kenapa, Sayang?" Namun terhenti sejenak, ketika satu penolakan ternyata hadir di sana.Dewa mengerjap, memperjelas pandangan matanya yang sedikit kabur, dan di detik selanjutnya ia mendapatkan elusan telapak tangan Cinta di wajahnya, "Ini di kosannya Nona, Wa. Bukan ruangan kedap suara j
"Wa, aku takut," ujar Cinta masih menarik lengan kemeja Dewa dan pria itu semakin mengeratkan tautan di tangannya, mencoba menenangkan dengan bahasa tubuhnya.Deg deg degSaat ini jantung Dewa pun sejujurnya sedang berdebar kencang, akibat keputusannya membawa Cinta di hadapan kedua orang tuanya. Dewa bahkan harus mengajak Cinta untuk berbohong, "Cin, nanti kalau aku bilang kamu sudah hamil anak—""—Apa?! Nggak mau ah!""Ssttt...! Ini demi kebaikan kita berdua juga, Sayang. Biar Papa sama Mama cepat kasih izin." Membuat Cinta tersentak, menolak mentah-mentah pendapat itu dan Dewa harus kembali merayunya.Dewa mengatakan tujuannya, namun Cinta merasa hal tersebut terlalu berlebihan, "Tapi nggak kayak gitu juga kali, Wa. Aku kan malu!"Usaha pun terus saja Dewa lakukan tanpa kenal lelah, "Nggak usah malu, Yang. Papa sama Mama baik kok. Nanti kalau ditanya berapa bulan, kamu bilang aja udah tiga minggu terus kalau di tany
"Gimana tadi? Bener kan yang aku bilang, Sayang? Papa dan Mama itu memang aslinya baik kok. Bukan karena aku ini anak kandungnya, tapi ya memang mereka dari dulu begitu. Baik sama semua orang, bahkan yang baru dikenal sekalipun," ujar Dewa mengeratkan pelukannya di tubuh Cinta yang memunggunginya. Surai hitam legam yang panjang itu pun menjadi sasaran Dewa, menikmati aroma Stroberi dari sana.Cinta belum menjawabnya hingga beberapa detik, namun setelah tangan Dewa semakin naik hingga ke atas perutnya, sejumlah kalimat yang sejak tadi ada di kepalanya pun menguap juga, "Kita berbohong dan mungkin aja kebaikan itu karena mereka pikir aku beneran hamil, Wa. Aku harus bagaimana sekarang?"Tentu saja rencana untuk memancing birahi Cinta, gagal Dewa lakukan seiring dengan gerakan tangannya yang terhenti. Ia lantas memaksa kekasihnya untuk berbalik dan saling berhadapan, lalu tanpa jawaban bibir merekah itu kembali dilumat habis olehnya.Tak ada perlawanan yan
"Saya terima nikah dan kawinnya Cinta Andini binti Muhammad Akbar dengan mas kawinnya yang tersebut tunai!""Bagaimana, Pak?""Sah?""SAHHH...!""Alhamdulillah..."Sah. Satu kata itu dengan cepat merasuk di dalam relung jiwa Cinta, juga merusak dandanan tukang rias pengantin akibat lelehan air matanya, namun tidak menjadi persoalan untuk Kemuning yang berada tepat di sebelahnya. Sangat lumrah hal itu di mata tuanya, sebab ia pun melakukannya saat Raja mengucapkan ijab qobul atas pernikahan mereka berdua.Kemuning sendiri juga sempat menitikkan air mata, tetapi tidak berlama-lama seperti yang dilakukan oleh menantunya. Ya, Cinta Andini sudah resmi menjadi bagian dari keluarga Djatmiko saat ini dan dia adalah menantu satu-satunya, karena memang Dewa adalah anak tunggal.Kebahagiaan terpancar jelas dari wajah Kemuning, dan untuk Raja sendiri, ia tetap saja sama seperti yang sudah-sudah, menyimpan kegembiraan itu da
"Yah, gimana ini? Mama barusan telepon, katanya mau bikin acara pengajian empat bulanan kandungan Bunda gitu, Yah. Gimana ini?" ujar Cinta di ujung telepon, saat suara Dewa sudah terdengar menyapa istrinya itu.Suara Cinta terdengar menggebu, bahkan cenderung mengkhawatirkan di telinga Dewa.Alhasil setelah menarik napas sedalam mungkin, Dewa mencoba menangkan Cinta dengan berniat untuk menceritakan segalanya pada kedua orang tuanya, "Tenang dulu ya, Bunda. Nanti biar Ayah aja yang ngomong soal kebohongan kita selama ini."Sayangnya bahasa yang Dewa gunakan begitu sensitif di telinga Cinta, menyebabkan wanita itu bersuara tegas, "Enak aja kebohongan kita! Aku nggak pernah setuju sama ide ini kan waktu itu?"Dewa yang kikuk, tak urung sedikit menjauh ponsel genggamnya sembari menukar karbon dioksida dari dalam paru-paru. Dewa secepat kilat berpikir di sana, dan menenangkan adalah cara yang ia pilih, "Bunda sayang, sabar ya? Jangan marah-marah dulu