Share

Ken

"Makan siang sendiri?" Seorang pria berkacamata tebal datang menghampiri meja Senna saat ia menikmati makan siang. Cuaca di musim dingin kali ini cukup bersahabat sehingga dia tak perlu memesan cokelat panas seperti biasa.

"Boleh aku duduk?" Tanya pria itu.

"Apa kau perlu meminta izin? Menyebalkan."

Pria itu terkekeh pelan mendengar jawaban ketus dari mulut Senna yang tengah sibuk mengunyah potongan roti panggang.

"Terimakasih atas pujiannya, aku terharu."

Senna memutar bola matanya kemudian menyesap secangkir hangat cairan berwarna cokelat bening di depannya.

"Serius," pria itu sekali lagi mencoba menggoda Senna.

"Ya. Ya, kau memang pria yang serius, ayo cepat makan. Jam makan siang sebentar lagi usai," balas Senna.

"Aku dengar Sven sudah mulai masuk sekolah kembali, liburan musim semi tahun lalu dia tidak pergi berlibur bukan?" tanya pria berkacamata itu setelah memastikan posisi duduknya sudah nyaman.

"Kami harus berhemat, agar akhir tahun ini bisa pulang ke Indonesia. Sudah bertahun-tahun kami bersembunyi, Sven sudah besar dan kedua orangtuaku sudah tahu mengenai dirinya, jadi kami harus pulang," jawab Senna sembari menuntaskan roti panggang yang tinggal seperempat.

"Aku punya tabungan, kalau mau. Kau bisa meminjamnya dariku."

Tawaran yang bagus. Batin Sanne, tapi tidak untuk saat ini.

"Ah, tidak. Tidak perlu. Aku sudah mengumpulkan beberapa euro, aku rasa akhir tahun nanti kami bisa pulang tanpa berhutang," jawab Senna dengan suara lembut, tak ingin pria baik yang duduk di depannya ini salah paham.

Pria itu mengangkat bahu, menyerah dengan keputusan Senna.

"Ya, terserah kau saja." Terdengar cukup tak acuh, tetapi Senna tahu bahwa pria itu sedang menyembunyikan rasa kecewanya.

Senna berteman dengan pria ini sejak mereka bertemu dalam satu divisi. Mereka langsung akrab meskipun dirinya bukan tipe manusia yang mudah bergaul. Bahkan pria ini beberapa kali membantunya, selain dua sahabatnya tentu saja.

Ken, begitu pria ini dipanggil. Warga negara Indonesia yang juga bekerja di negeri lain. Selain karena pekerjaan, Ken juga menjadi seorang guru. Mengajar piano di sela waktu senggangnya.

"Ken, minggu ini Sven mulai bisa berlatih piano, apa kau bisa ke rumah?" Ken mendongak lalu tersenyum tulus, dan mengangguk memberi jawaban.

"Buatkan sesuatu yang istimewa untukku, dan kupastikan Sven mendapat pelatihan terbaik minggu ini."

Senna terkekeh, kemudian menyeruput teh camomilenya, bersikap tak acuh. Baiklah, ia memang bukan wanita standar seperti pada umumnya, cenderung cuek dan antipati pada setiap perhatian pria yang menginginkannya.

Senna tak suka diatur, pun dalam hal makanan. Dia memang sangat suka makanan berbentuk cairan sebagai kebutuhan pokok daripada makanan padat.

"Senna," Ken memanggilnya dengan suara lirih. "Senna, apa kau sedang dekat dengan seseorang?"

Senna mengernyitkan kening kemudian menggeleng pelan

"Tapi, pria itu sejak tadi memperhatikan kita, apa kau mengenalnya?"

Senna membalik badan dan menoleh ke belakang, kemudian dia mendengkus kesal.

"Cepat selesaikan makanmu," tegas Senna.

Ken terkekeh.

"Apa?" tanya Senna, ketus.

"Tidak, hanya saja selama kau yang kukenal belum pernah melihatmu sekesal ini kepada orang asing. Ah, dilihat dari tatapanmu, kalau kau mengenalnya. Cukup baik," simpul Ken sesuka hati.

Senna menghabiskan sisa teh dalam cangkir lalu dia mengambil mantel dan memakainya dengan cepat.

"Kata-katamu membuatku mual. Lupakan."

"Hey, mau ke mana?" Seru Ken lantas tertawa sementara pria yang Ken maksud tadi sudah ikut berdiri. Ken tahu dengan melihatnya sekilas saja kalau mereka memang ada hubungan.

Senna berjalan ke arah halte saat hari sudah malam. Baiklah, dia memang sering pulang di atas jam sembilan. Dia harus mengejar bus yang akan mengantarnya pulang sebelum terlambat.

Ah, tapi nahas kala melirik angka digital pada pergelangan. Ia sudah terlambat lima menit dari jadwal pemberangkatan.

Naik taksi memang lebih mudah dan cepat sampai, tetapi akan kehilangan beberapa lembar uang berharganya dan harus lebih menghemat lagi untuk biaya pengeluaran sebelum tiba saatnya pulang ke tanah air.

Senna duduk sembari memikirkan jalan pulang tanpa harus membuat kantongnya menipis.

Ah, Ken!

Terlintas dalam benak untuk menelepon saja pria itu, tetapi kemudian urung dilakukan saat menyadari bahwa Ken mungkin saja sedang asyik berkencan saat ini.

"Apa yang harus kulakukan."

Sebuah mobil tiba-tiba saja berhenti tak jauh dari halte. Kemudian seseorang keluar dari dalam kendaraan mewah tersebut, dengan langkah tegas seperti irama ketukan malaikat maut membuat Senna mendadak takut.

Jantungnya berdebar sangat kuat ketika melihat sosok di balik kemeja hitam yang membungkus tubuh tinggi tersebut.

"Hanggara," cicitnya dengan langkah mundur.

***

Senna kabur begitu saja setelah Ken pergi dan memastikan kalau yang dilihatnya tadi memang benar-benar Hanggara. Hantu yang selama ini menjadi momok menakutkan dalam setiap tidurnya.

Ya Tuhan, Senna seakan sedang dikejar oleh deptcollectore seperti saat dulu ketika dirinya tidak mampu membayar lunas rumah yang disewanya dan beruntung Marco memberikan pinjaman dan perasaan ini kembali datang begitu sosok mengerikan itu berjalan kian mendekat. Tidak. Jangan sampai lelaki itu kembali menyeretnya. Senna tidak mau terkungkung di tempat yang sama dengan Hanggara dan bersumpah akan menendang bagian bawah perut lelaki itu bila tetap saja berniat melecehkannya.

Oh, tunggu dulu!

Ini adalah lorong di mana para pemabuk sedang bersenang-senang dengan para gadis yang dibawa dari tempat antah berantah dan mengapa laju kakinya justru membawa langkahnya ke tempat ini?

Senna merasai dentam jantungnya berdegup kuat. Sampai-sampai membuat telinganya berdenging, menolah ke kanan dan kiri, dia menghela napas panjang karena tidak menemukan para pemuda yang suka sekali mabuk dan menjadikan lorong sebagai tempat bermesraan karena mereka biasanya tidak memiliki uang untuk menyewa kamar hotel. Senna mengelus dada dan saat berbalik badan untuk melanjutkan pelarian, kedua pemuda dengan wajah semerah tomat busuk bersiap menghadangnya.

Mereka jelas-jelas tengah mabuk dan berjumlah dua yang artinya dari segi banyaknya, dialah yang kalah. Senna tidak tahu harus bagaimana selain bersikap berpura-pura tidak peduli maka dengan nyali setinggi menara kincir angin di Den Haag, Senna mencoba untuk menerobos barikadr dua pemuda mabuk tersebut.

"Kau tidak melihat kami? Padahal kami ada di sini sejak tadi dan kau tidak menyadari atau pura-pura tidak menyadari, hm?"

Senna tidak berkata apa-apa saat jaketnya ditarik paksa dan beruntung saja sebelum tubuhnya terempas ke dada pemuda mabuk itu, seseorang menarik bahunya begitu kuat sehingga membentur di dadanya yang keras.

"Kau bisa menceritakan tentang Ken setelah acara ini selesai dan kuharap kau takkan kabur lagi." Suara Hanggara dalam tekanan rendah yang artinya pria ini sedang menahan amarahnya. Senna ditarik ke belakang punggung Hanggara yang lebar, dan tanpa mengatakan sepatah kata pun, kaki panjang lelaki itu telah mendarat sempurna di wajah kedua pelaku yang sudah berani-beraninya menyentuh miliknya.

***

Love,

Mahar

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status