Rania tenggelam dalam lipatan kalimat dalam novelnya, ia membiarkan hatinya yang terjerembab berkelana menuju ruangan yang tak ia kenal. Rania merasa dirinya saat ii seperti layang-layang, terbang menukik, menari-nari saat di pandang hingga ia tak tahu dimana ia akan jatuh nanti.
Jatuh untuk mengakhiri petualangannya, jatuh untuk diam bersama keluarga dan orang-orang yang mencintainya.
Rania ingin itu meski mungkin jalan menuju itu masih terasa amat jauh.
Hari ini Rania masih enggan berangkat kemana pun sejak peristiwa pagi tadi menerpanya. Rania masih duduk di meja kerjanya dan terus menulis. Ada tugas untuk menuntaskan ceritanya. Rania adalah sutradara bagi setiap novel yang ia tulis namun ia tak akan mampu menjadi sutradara dalam novel dan cerita hidupnya.
"Rani, sedang dimana ?"
Pesan masuk di Line nya. Ia melihat pak Yudha sedang menulis kalimat untuknya. Rania berhenti sejenak untuk membalas tulisan pak Yudha.
"Sedang di rumah, pak."
"Aku di kampus, Ran."
:Iya, pak."
"Kemarilah kita berbincang-bincang."
Pak Yudha lelaki baik hati dengan perawakan yang menggoda, pak Yudha dengan tatapan teduhnya, pak Yudha yang gagah. Pak Yudha yang selalu bisa menjadi 'abah', menjadi 'kakak', menjadi 'kekasih' bahkan.
Pak Yudha yang selalu mengatasi masalah yang Rania kisahkan dengan arif dan bijaksana. Pak Yudha yang tidak bisa ia lukiskan kebaikannya. Begitu panjang Rania berhasil mendiskripsikan tentang pak Yudha sepanjang perasaannya yang pernah terpasung dengan kalimat perjanjian mereka 'dilarang jatuh cinta' dulu, lima tahun yang lalu. Hingga Rani menutup pintu hatinya untuk tidak lancang mencintai pak Yudha.
"Rani, " ups, hampir lupa pak TYudha menunggu jawaban atas permintaan yang baru saja beliau tuliskan.
"Bagaimana, bisa ke kampus ?" Rania sebenarnya enggan berangkat ke kampus namun demi pak Yudha ia memberanikan diri bertarung melawan enggan.
Rania bangkit sambil menuliskan kalimat.
"Otewe pak."
'Kemudian pak Yudha mengirimkan emoticon menari-nari. Rani tersenyum melihat itu.
Rania bersiap menuju kampus, gamis coklat muda di padu dengan jilbab pasmina lebar berwarna senada sekaligus tas Celvin Klein dengan warna coklat yang sama plus sepatu hak tinggi masih dengan warna yang sama juga. Rania nampak berbeda dari biasanya.
Ia melenggang menuju 'brio' hitam metaliknya. Membelah jalanan Banjarmasin Rania yang mendung. Rnia hampir sampai di kampus. Memarkirkan mobilnya di halaman depan. Menuju ruangan pak Yudha. Melihat Rania muncul pak Yudha tersenyum manis, terlebih melihat penampilannya. Mereka terbahak-bahak bersama. Rania tahu pak Yudha pasti akan menggodanya saat melihat penampilannya.
"duduk, Ran." Rania langsung duduk, menghempaskan ekor punggungnya dengan kasar.
"Bagaimana perkembangan di Banjarmasin " Pak Yudha tersenyum lagi.
"Perkembangan yang mana yang di tanyakan ? perkembangan kuliah, perkembangan karier atau perkembangan isi hati ?" Rania menjawab lugas sekali lagi pak Yudha tersenyum. Rania yang selalu menggemaskan.
"Semuanya,"
"Kalau semuanya bagaimana Rania harus mulai bercerita ?"
"Kamu sekarang punya usaha apa hingga bisa sesukses ini ?
"Hanya menulis. "
"Oh iya ?"
"Iya,"
"Berapa buku sudah yang di tulis?"
"Yang sudah lahir dan cetak ada 15 buku, yang online ada tujuh judul."
"Semuanya novel ?"
"Iya, pak."
Pak Yudha menganggukkan kepalanya mantap.
"Ikut online di media mana saja, Ran ?"
"Di banyak tempat sih pak, tapi yang kayaknya menghasilkan baru 'dreame' sih."
"Hmmmm "
"Lalu dengan yang itu bagaimana ?"
Rania memilin-milin ujung jilbabnya, "Entah pak."
"Kok entah ? sekarang kan sudah berada di satu kota mestinya bisa di rajut lagi lah asmaranya."
"Bapak serius atau hanya menggoda ?"
Pak Yudha tertawa lagi sambil merapikan letak kacamatanya.
"Lho, kalau Rani mau melanjutkan ya ga pa pa, kalau Rani mau sih." Pak Yudha selalu mampu mengaduk-aduk perasaan yang di miliki Rania.
"Sepertinya tidak." Rania menjawab lugas.
"Sepertinya tidak serius melupakan, begitukah ?"
"Entahhhhh " Rania berteriak setengah keras hingga beberapa dosen yang ada di sana melirik ke arah Rania dan pak Yudha.
"Hush " Suara pak Yudha lirih sambil menutupkan telunjuk nya ke bibirnya sendiri, memberi isyarat agar Rania tidak terlalu keras berbicara.
Rania manyun sekali lagi.
"Ran, sudah makan ?"
"Belum,"
"Kita makan nasi goreng di depan Gramedia yang dulu itu yuk."
"yang waktu kita ketemu itu ?"
"Iya, "
"Males,"
"Kenapa ?"
"Kurang mewah, nanti baju ku kotor." Pak Yudha memandang Rania heran namun saat beliau melihat wajah itu pak yudha tahu Rania hanya menggodanya. Mereka tersenyum bersama lagi.
Rania berdiri keluar ruangan, pak yudha mengunci pintu ruangan yang tadi mereka gunakan untuk berbincang. Lengan kekar pak Yudha menggantung di leher Rania seolah tidak perduli pada tatap mata yang melihat mereka.
Pak Yudha dan Rania menuruni tiap anak tangga dengan canda tawa hingga menuju mobil pak Yudha yang terparkir di samping gedung pasca sarjana.
Rania memasuki mobil dan duduk tepat di samping pak yudha, mereka seolah tidak perduli pada orang yang memandang sambil berisik membicarakan mereka.
Rania tetap saja duduk di depan.
Hingga ketika ekor matanya menangkap sebuah tatapan yang nampak di balik tirai, seorang berkacamata sedang melihat kemesraan mereka, sedang mengintai apa yang sudah mereka lakukan dari tempatnya.
Seseorang itu menahan perih di hatinya melihat Rania dan pak Yudha sedang akrab begitu rupa, seolah ia ingin menghalangi kedekatan mereka namun tidak berdaya. Ia ingin turun dan menarik lengan Rania agar duduk di mobilnya saja dan tidak duduk di mobil pak Yudha. namun ia tak mungkin melakukan itu, kesalahan telah membelenggunya hingga ia tidak punya keberanian bertindak meski berhak. Hingga ia hanya bisa menatap dari tempatnya.
Lelaki itu pak Leo.
dosen yang juga suami Rania.
Hari ke tiga puluh tujuh setelah pertemuannya dengan Leo untuk pertama kalinya, Leo masih belum memberikan signal hendak berbicara serius dengan Rania dan Rania sendiri pun seolah enggan membuka waktu untuk Leo berbincang. Dua kutub yang sama-sama tidak bisa di pertemukan.Rania duduk di gazebo kegemarannya. Acara tatap muka di kampus memang belum dilangsungkan namun kesediaan Rania untuk menjadi driver online gadungan untuk Septia membuat dirinya sering berada di kampus ini sambil membawa laptop dan tumpukan kertas. Menikmati semilir angin kemudian menulis. Betapa suasana sunyi mampu mengalirkan energi baginya, energi hebat yang mampu memberikan lembar demi lembar kisah indah.Septia menemui Arif kekasihnya dan rania mengumpulkan episode untuk novelnya, sebuah simbiosis yang saling menguntungkan memang.Rania terus menulis hingga ia tidak menyadari beberapa orang datang dan sudah duduk di depannya. Septia dan kawan-kawan Arif."Hy, ada apa ?""Kak, kit
Pantai Batakan,Kaki kaki mereka penuh pasir, berlarian dalam bahagia, berfoto bersama, ada banyak pose mereka cipta.Seperti sebuah lagu dengan lirik-lirik yang indah, seperti itu perjalanan mereka saat ini.Aroma kepedihan itu seolah hilang, mereka semua hanyut dalam oase keindahan."Ayo bawa ke tengah.""Iya, kita bawa ke tengah.""Ayo cepetan " Septia ditarik oleh kawan kawan nya ketengah pantai yang sedang bergelombang."Hati-hati dia tidak bisa berenang" Rania berteriak-teriak agar yang lain membatalkan membawa Septia ke tengah.Namun apa yang diucapkan Rania diikuti dengan gelak tawa oleh yang lain.Mereka bergulung-gulung dengan ceria.Di ujung sana Budiman mengabadikan setiap momentum perjalanan mereka.Diantara aktifitasnya Budiman sering mengarahkan video nya pada Rania. Rania yang mengusik ki
"Hai..ada matahari terbit..." teriak Septia dari dalam mobil sambil menunjuk lingkaran besar dengan kemilau oranye yang menyembul dari ujung pantai. Indah nian kuasa Tuhan membuat takjub semua yang memandang.Sebagai teman lelaki sudah menggelar alas untuk sholat subuh berjamaah ditepi pantai. Momen yang tidak akan terlupakan. Ketika rangkaian ayat Allah dibacakan diantara debur ombak pantai.Keindahan yang demikian menggoda, maka nikmat tuhan yang mana lagi yang engkau dustakan?Kami semua turun bersiap untuk menikmati sarapan pagi sudah kami pesan diwarung yang berada ditepian pantai. Ikan bakar dan daun singkong, juga daun pepaya rebus ditambah sambal, makannya ditepi pantai.Uhuu, eksotik sekali. Saat semua duduk melingkar, tiba tiba pak Budiman bangkit dan memilih duduk disamping Rania. Rania sontak terkejut."Mau duduk dekat pacar baru," ucapnya."Apa?" semua yang mendengar memekik histeris"Sejak kapan?" Tanya Arifin
Kejadian kemarin demikian menyakiti hati Rania, air mata yang sempat mengalir membuat matanya bengkak. Rania masih ingat bagaimana Leo bicara seperti malaikat semalam. Rania masih ingat satu kalimat."Bunda masih istri ayah sampai hari ini."Rania sulit membuka lebar matanya akibat gumpalan yang menggantung di kelopak mata.Dua pembantunya sudah berkomentar agar Rania tidak perlu membuka pintu bila dosen yang semalam datang lagi.Rania hanya diam tanpa menjelaskan apapun.Rania masih enggan bercerita. Terlebih cerita tentang Leo.Di Kampus pagi ini."Bisa tolong temui saya di ruangan ?" pesan masuk dari pak Leo di whatsApp pak Budiman.Pak Budiman membacanya sekilas namun tak segera menjawab.Ini baru permulaan pak Leo, bisik pak Budiman cepat.Akan ada episode-episode cantik setelah ini. Ini baru bunga rampai belum masuk pada pendahuluan apalagi isi dan kesimpulan. Gumam pak Budiman dari dalam hatinya
PERGUNJINGANLangit masih mendung seperti hari kemarin, suasana damai dan cuaca yang sejuk mendayu membuat banyak orang lebih memilih melanjutkan mimpi dari pada mewujudkan mimpi.Pagi sekali Pak Budiman sudah rapi, ia memilih berangkat ke kampus sepagi mungkin agar nanti bisa secepatnya menuju rumah Rania, masih bersama Arifin dan Septia. Pak Budiman akan menunggu Pak Leo datang bersama istrinya hari ini sesuai permintaan Rania. Pasti seru bila hal itu benar terjadi. Pak Budiman tersenyum membayangkan wajah Pak Leo yang begitu serius.Saat ini beliau terjebak oleh pikiran nya sendiri. Keinginan dan ekspetasi yang tinggi membuat ia jadi lupa segalanya. Beruntung hari ini tidak ada kuliah online di mata kuliah Pak Budiman hingga Pak Budiman tidak terlalu terbebani dengan pikiran tentang tugas yang mesti diemban. Ia akan murni jadi pemirsa dalam pertunjukan nanti.Sesampainya di kampus, beberapa teman dosen sedang duduk di ruang
Sehari setelah kejadian itu, Pak Leo mengunjungi Rania lagi dengan membawa kue kesukaan Rania, martabak telor spesial. Pak Leo senantiasa berharap Rania akan kembali seperti dulu dan mereka akan bersisihan menikmati cinta mereka.Pak Leo masih yakin bahwa Rania akan bisa kembali mencintainya, menikmati indahnya Siring Laut diantara terpaan angin, menikmati indahnya makan soto Banjar di perahu apung, menikmati Pantai Sarang Tiung ataupun bergandengan tangan melintasi tiap senti lantai Duta Mall.Pak Leo sangat ingin kembali merajut kasih bersama Rania, itu sebabnya dia akan melakukan apapun agar cinta dan masa depannya kembali.Bagi Pak Leo, Rania adalah bagian dari ambisi kelelakiannya. Ia telah menempuh banyak jalur pendidikan namun belum ada satu wanita pun yang berhasil meluluh lantakkan isi hatinya, seperti Rania.Perumahan megah dengan icon air mancur mewah di gerbang selamat datang, di sanalah Rania tinggal. Kini Pak Leo
Rania merasa lelah terus menerus berada di dalam kamarnya. Hanya demi menghindari kedatangan Pak Leo. Ia telah berjanji pada dirinya sendiri bahwa mulai hari ini ia tidak perlu takut terhadap apapun. Ia punya Tuhan, Punya banyak teman yang mengerti hukum dan juga punya uang. Rania akan melawan setiap intimidasi yang diarahkan padanya.Tadi malam ia telah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan melakukan apapun untuk kemenangannya.Rania mematut dirinya di depan pintu almari yang terbuka. Baju panjang dengan aksen bagian bawah lebar dan kecil di pinggang adalah mode yang paling di sukai Rania. Di Samping agar tubuhnya yang kecil tidak terlalu nampak kecil juga karena baju dengan model itu memang sering kali membuat Rania merasa nyaman.Ia memilih warna ungu tua untuk ia kenakan hari ini. Tas ungu muda dan jilbab dengan warna senada. Sepatu hak tinggi berwarna hitam dengan belahan depan membuat jemari kakinya yang putih bersih itu terpampang indah.
Minggu pagi yang sepi,Rania masih berada di dalam bed covernya. Enggan rasanya beranjak pergi dalam suasana mendung begini. Laptopnya masih menyala, ia ingin menuntaskan novel yang sudah ia tulis dan telah terikat dengan 'Goodnovel'. Harusnya ia segera menyelesaikan tapi berhari-hari ini kepalanya terasa pening. Ia seolah tidak punya inspirasi untuk melanjutkan ceritanya. Pusing sekali rasanya.Rania tidak menemukan cara untuk membuka kalimat dalam novel-novelnya.Hari ini Rania akan berkunjung ke rumah Pak Leo bersama Pak Budiman. Ia sengaja bilang besok saat Pak Leo menelphon agar Pak Leo tidak perlu menjemputnya.Ponselnya bergetar,Pak Budiman menghubunginya."Sudah mandi, Ran ?""Assalamualaikummm" Rania menggoda dengan mengucapkan salam. Mungkin Pak Budiman lupa dengan salam itu."Oh iya, waalaikumsalam"Pak Budiman tertawa renyah."Sudah siap ?""Lho, jam berapa sekarang ?"