Share

Nadira

Suasana hiruk pikuk di tempat pemotretan sengaja ia acuhkan. Nadira lebih memilih untuk menghabiskan waktunya menikmati sesi curhat via telepon bersama sahabat baiknya, Gisna. Gadis lugu yang sudah menjadi sahabat karibnya sejak jaman putih abu-abu itu kini tengah berbahagia dengan kondisinya yang sedang mengandung.

Cukup mengejutkan sebenarnya. Khususnya bagi Nadira. Sahabatnya yang pemalu tiba-tiba saja membuat keputusan impulsif untuk menjadi seorang ibu pengganti bagi sosok pria yang sama sekali tidak dikenalnya demi menyelamatkan ibunya. Dan hal itu juga menjadi penyesalan terbesar dalam hidup Nadira karena dirinya sebagai sosok sahabat tak bisa membantu Gisna kala wanita itu berada dalam posisi terpuruk. Semua ini karena kata ‘profesional’ sialan yang sering diagung-agungkan oleh asistennya si Fera bin Feri. Manusia setengah jadi. Sehingga ia bahkan tidak bisa menggunakan ponselnya sendiri.

Sejak saat itu, Nadira tidak lagi menuruti ucapan sang manager dan meminta hak nya sebagai seorang manusia untuk mengontrol hal pribadinya dengan caranya sendiri.  

"Ra, bentar lagi lo take.” Orang yang baru saja diumpatnya kini tengah berdiri menjulang di hadapannya dan memandangnya tajam. “Buang tuh permen. Kelakuan lo dah kayak anak lima tahun aja." Gerutunya sambil berlalu pergi. Nadira mencebik namun kemudian memilih bangkit.

“Udah dulu ya, Na. Aku mesti take lagi. Nanti kalo pulang aku mampir. Jaga ponakan aku baik-baik.” Pintanya sebelum menutup sambungan telepon.

Nadira meletakkan ponselnya kembali ke dalam tasnya sebelum kemudian memandang Feri yang kini ingin dipanggil Fera karena sifat kemayunya yang semakin menjadi. "Lo mau? Ngomong kalo mau. Gue ada banyak di tas." Ucapnya menjawab teguran Fera bin Feri sebelumnya.

Pria bertubuh tambun itu memutar bola mata. "Ya ampun, Dira. Gigi loe tuh lama-lama bisa ompong tahu gak sih." Pekik Fera lagi.

Bukannya menurut, Nadira malah nyengir dan menunjukkan gigi putihnya yang terawat. "Permen karet itu bagus buat kesehatan tau. Salah satu cara menghilangkan stres." Ucapnya dengan santai dan lalu memasukkan sisa permen karet kembali pada bungkus awalnya dan membuangnya ke tempat sampah. Dengan senyum manisnya, Nadira berjalan menuju depan kamera dan siap dengan posenya.

Pemotretan selesai pada pukul sepuluh malam. Tidak terlalu larut sebenarnya, karena seringkali Nadira menghabiskan waktu lebih daripada itu. Semua tergantung dari situasi dan kondisi pemotretan itu sendiri. Dan juga tema. Jangan lupakan itu.

Nadira dan kawan-kawannya yang tergabung dalam proyek ini sudah diberikan kunci untuk kamar tempat menginap mereka. Pemotretan yang diadakan di Bali ini adalah lokasi terakhir pemotretan mereka setelah sebelumnya mereka melakukan pemotretan di Makassar dan Lombok. Besok atau lusa, mereka baru akan kembali ke Jakarta. Ya Tuhan, Nadira sangat rindu pada apartemen mungilnya.

Ia melemparkan tubuhnya ke atas tempat tidur single sesaat setelah membuka pintu. "Cape gue." Desahnya.



Kamar yang ditempatinya ini bukanlah kamar presiden suite karena Nadira juga bukan model kelas atas dengan bayaran fantastis. Tapi dia juga bukan model pemula. Sehingga bayarannya tidak terlalu murah juga. Fasilitas seperti ini baginya sudah cukup.

“Mandi dulu, baru rebahan.” Perintah Fera bin Feri.

Sesaat Nadira mendelik pada managernya itu, tapi kemudian mengiyakan saja dan bangkit menuju kamar mandi.

Nadira memandangi wajahnya di cermin. Menghapus sisa make up yang masih tersisa dengan pembersih wajah sebelum memulai mandi. Ia bersyukur, memiliki paras cantik yang diturunkan dari gen kedua orangtuanya. setidaknya itu salah satu andalannya hingga sukses di dunia modeling saat ini. Karena sejujurnya memilih dunia model memang bukan cita-citanya.



Awalnya Nadira begitu ingin menjadi seorang fashion designer. Minatnya pada dunia itu jauh lebih besar daripada keinginannya untuk berjalan di atas catwalk. Namun karena untuk kuliah di jurusan itu tidaklah murah, maka ketika ada orang yang memberinya kesempatan untuk menjadi model, ia menerimanya begitu saja. Anggaplah ini sebagai batu loncatan. Jika suatu saat nanti dia memiliki peluang untuk mencapai cita-citanya, setidaknya dia tidak perlu lagi memulai semuanya dari awal karena dia sudah membangun koneksi.

Selain wajahnya, ia juga beruntung karena dianugerahi bentuk tubuh yang ideal yang bisa menunjang karirnya. Ketika diluaran sana orang-orang bersusah payah untuk diet, Nadira tidak perlu melakukan hal tersebut karena tubuhnya entah kenapa begitu untuk sulit gemuk. Poin plusnya adalah dia bisa mengejek sahabatnya Meta yang begitu ingin menjadi model namun tidak kesampaian.

Tapi meskipun memiliki tubuh proporsional, bukan berarti Nadira tidak bekerja keras. Tahun awal ia memulai karirnya, Fera bin Feri mendidiknya dengan begitu keras. Olahraga, latihan catwalk, diet pola makan. Dan blah-blah-blah urusan lainnya. Belum lagi masalah pendidikan attittude. Benar-benar menyiksa Nadira pada awalnya. Karena ia merasa terkekang dan tak bisa menjadi dirinya sendiri.

Hanya di depan Meta, Gisna dan Fera bin Feri lah dia bisa menjadi dirinya sendiri.

"Cin, lo dapet paket lagi." Fera bin Feri mengedikkan kepalanya ke arah meja rias yang ada di depan tempat tidurnya. Carina yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk di atas kepalanya berjalan mendekat dan melihat buket bunga yang ada disana. "Dari orang yang sama." Lanjut saat Nadira mengambil kartu yang terselip diantaranya.

To. My Beautiful Nadira

Kamu tampak cantik sekali dengan gaun pemotretan hari ini. Lain kali, gunakan gaun itu saat berdua denganku.

From. Your Admirer. J.D

Nadira menggeram. Meremas kertas itu dan melemparkannya ke dalam tempat sampah. Seketika ia memandang Fera dengan matanya yang tajam. Buket bunga itu, beserta kartu ucapannya adalah hal yang Nadira takuti belakangan ini. Bukan karena bunganya yang tidak cantik. Atau ucapan di kartu yang tidak manis. Tapi sosok si pengirim yang tak diketahui lah yang membuat Nadira merasa takut. Bagaimana tidak, bunga beserta ucapan itu selalu saja dikirim dimanapun Nadira melakukan pemotretan.



“Loe masih belum tahu siapa yang ngirim ini semua?” tanyanya dengan marah. Kartu ucapan itu sudah diremasnya dan dilemparnya ke tempat sampah. Fera, yang ditanya hanya bisa menggelengkan kepala dengan mimik bersalah. “Gue udah bilang kalo gue gak suka sama ini semua. Ini nakutin tau gak sih loe? Minimal loe cari tahu dong. Jangan sampe gue ketar-ketir takut sendiri. Dia tuh kayaknya selalu ada dimana-mana. Lama-lama gue jadi takut kalo jalan sendirian trus tiba-tiba dia nyerang gue gitu."


"Lo kebanyakan nonton drama, Cin. Orang tuh suka kalo ada fans, ini malah takut."

"Ya kali gue se terkenal Jovita sampe diburu fans." Sejenak amarah melingkupinya ketika mengingat nama wanita yang membuat sahabatnya menderita itu. "Gue kan masih model ecek-ecek Fer. Lagian kalo fans nya normal sih gue juga oke-oke aja. Tapi ini, gue bahkan gak tahu dia siapa, dia orang mana, umurnya berapa, tapi dia kok kayak tahu segalanya tentang gue. Dia bahkan selalu aja ngirim buket begituan dimanapun gue pemotretan. Kan nakutin Fer." Nadira bahkan bergidik setelahnya.

"Udah lah, Posthink aja. Siapa tahu dia emang tahu dia emang punya orang dalem jadi dia dapet info tentang loe."


"Ya tetep aja nyeremin Fer. Kalo suka berubah jadi obsesi, itu bukan lagi hal yang bisa dianggap wajar. Loe gak pernah nonton apa di film-film. Adanya penculikan, pembunuhan, pemerkosaan, itu semua karena obsesi Fer."


"Yaelah, film lagi, drama lagi. Loe kayak anak micin tahu. Lama-lama loe nyangkut-nyangkutin hidup loe macem novel. Ya udahlah, Cin. Kalo pun semuanya serba film, drama sama novel. Loe mimpinya hidup loe macem Cinderella gitu. Yang berakhir ketemu pangeran. Atau gak kayak si Belle yang akhirnya merubah monster jadi pangeran." Nadira menepuk dahi.


"Ya kali lo samain hidup gue sama dongeng buat anak-anak." Decihnya. “Udah, balik sana ke kamar loe. Gue mau tidur." Usir Nadira kasar. Fera bangkit dari duduknya dengan enggan. “Oh ya, sebelum pulang ke Jakarta, beliin Pai Susu sama Pia ya." Nadira berteriak di antara sela-sela pintu.


"Hmm... Berapa banyak?"



"Yang banyak aja. Buat bumil." Teriaknya lagi.


Keesokan harinya Nadira berjalan dengan cepat menuju pintu keluar bandara. Mengabaikan semua barang bawaannya kecuali kantong kertas berisi oleh-oleh di tangannya dan sling bagnya yang setia menggantung di bahunya. Selebihnya ia meminta Fera bin Feri untuk mengurus sisa barang bawaannya.



Ia dengan segera berjalan keluar menuju parkiran dan langsung memasuki taksi yang kosong yang pertama kali ditemuinya.



Panik, itulah yang dirasakannya saat mendengar sahabatnya, Gisna pingsan dan dirawat di rumah sakit.


Supir taksi dimintanya untuk mengantarkannya dengan cepat ke rumah sakit yang sahabatnya Meta sebutkan. Setelah tahu dimana kamar Gisna dari perawat, dia berjalan dengan cepat menuju ruangannya. Setelah tiba di depan pintu, ia berusaha menetralkan napasnya dan merapikan penampilannya. Nadira mengetuk pintu dan mengucap salam lalu masuk ke dalamnya. Ia menatap sekeliling dengan cepat. Di bagian kanan ruangan rawat Gisna terdapat dua sofa panjang yang tampak terisi penuh dengan keluarga sahabatnya itu yang didominasi para pria bertubuh tinggi besar yang Nadira tahu merupakan keturunan Turki. ia menyapa mereka dengan anggukan kepala sebelum berjalan mendekat ke arah tempat tidur sahabatnya.


"Nih, abisin. Jangan sampai ponakan aku nanti ileran." Nadira menyerahkan bingkisannya pada Gisna yang tersenyum menerimanya.


"Gue gak dikasih, Ra?" Meta memandangnya dengan wajah merajuk.



Nadira membuka sebuah kemasan dan memberikan satu potong pai susu itu pada Meta. "Nih, biar lo gak ileran. Makanya minta sama laki lo buat dibeliin. Gak malu apa punya laki kaya tapi kerjaan ngemis oleh-oleh mulu?" Sindir Nadira pada kekasih Meta, Ganjar. Ganjar yang juga ada di ruang itu memberengut namun yang lainnya malah tertawa.



"Ekhm.. gak dikenalin kita Na?" Nadira mendengar suara dehaman seorang pria yang membuatnya refleks berbalik. Disana, ada seorang pria yang malah mengedipkan matanya dengan genit.



"What the..." Nadira terbelalak sebelum kembali menoleh ke arah Gisna yang balas sedang tersenyum ke arahnya.



"Dia sahabat aku, Nadira." Ucap Gisna dengan suaranya yang lemah lembut seperti biasa. Sementara pria yang tadi mengedipkan sebelah mata padanya kini berjalan mendekat.



Sebenarnya pria itu tidak bisa dikatakan jelek. Dia tampan, dan sebenarnya merupakan pria tipe Nadira. Namun sikap genitnya itu sudah membuat Nadira memberikan nilai minus di pertemuan pertama mereka ini.



Pria itu mengulurkan tangan dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya. Dengan tinggi tubuhnya yang mencapai 170cm, Nadira masih harus mendongak saat pria itu berada di depannya. Tinggi juga pria itu ternyata.



"Erhan. Sepupu Lucas." Salam pria itu. Lucas sendiri adalah suami sahabatnya Gisna. Pria berdarah Indonesia-Turki yang sudah dengan kurang ajarnya meminta Gisna menjadi ibu pengganti dengan imbalan uang untuk membantu biaya operasi ibu Gisna. 



Memang tidak baik jika kita menyamaratakan orang hanya karena dengan siapa dia bergaul. Tapi mau tak mau, Nadira pada akhirnya menyamakan Erhan dengan Lucas. Dan karena dia tidak terlalu suka pada suami sahabatnya, jadi dia memilih untuk tidak menyukai sepupunya juga.



"Nadira." Balasnya dengan senyum yang dipaksakan.


"Emm.. aku jomblo." Ucap Erhan salah tingkah. "Kamu single juga kan, ya?"


Bukannya menjawab, Nadira malah balik memandang Gisna. "Na, sepupu ipar kamu masih sehat?" sindirnya, sengaja dengan nada yang ia ucap lantang.



"Aku sehat kok. Lahir batin. Kalo perlu kita bisa cek di lab sekarang. Kamu mau tes apa? Paru-paru? Jantung? Otak? Atau mau teh vitalitas? Aku sih oke!" Erhan menjawab dengan bangga.



Meta terkikik geli. Begitu juga dengan Gisna. Namun Nadira malah memutar bola matanya jengkel.



"Sepupu, jangan mengemis seperti itu. Nadira bisa kabur nanti." Adskhan—pria yang Nadira tahu merupakan sepupu tertua Lucas—memperingatkan. Dialah satu-satunya pria di keluarga Levent yang Nadira anggap normal saat ini. Karena meskipun tidak mengenal baik, setidaknya pria itu tidak pernah memberikan kesan buruk pada Nadira.



"Kamu bisa ngomong begitu karena kamu udah laku, Sepupu." Jawab Erhan lagi. Erhan menatap Meta dengan tajam. "Jangan tertawa. Aku ini sekarang atasan kamu, loh. Kamu mau saya cut?" Ancamnya yang membuat Meta seketika terdiam dan menutup mulutnya. Pandangan Erhan kembali ke tertuju pada Nadira. "Gimana? Kamu mau jadi cewek aku? Aku muda, tampan, dan aku juga kaya. Setidaknya di negara asalku, aku itu kaya." Ucapnya lagi dengan penuh kebanggan.



Nadira mengangkat sudut mulutnya dengan sengaja memberikan ekspresi mengejek. "Maaf, aku gak minat." Jawabnya datar. Suara tawa dari Adskhan terdengar membahana di ruangan yang tak seberapa besar itu.


Pria bernama Erhan itu kembali berbalik dan mendelik pada sepupunya. "Kamu itu terlalu banyak ngumbar kata 'suka', Sepupu." Tegur Adskhan. "Gak bisa lihat yang cantik, maunya main sosor aja. Jangan mau Nadira, dia itu bujang lapuk. Garansinya belum terjamin." Ucap Adskhan lagi yang malah mendapat pukulan dari istrinya.


"Mas, Ih." Desis Caliana.


Namun Erhan tampaknya tak patah arah. Ia merogoh dompetnya dan mengeluarkan selembar kertas berbentuk persegi dan menyerahkannya dengan paksa pada tangan kanan Nadira. "Ini kartu nama aku. Kalau kamu berubah pikiran, just call me maybe." Ucapnya diakhiri dengan senandung lagu.



Nadira hanya menjawabnya dengan gidikan pelan. ‘Dasar pria aneh.’ Gumamnya dalam hati. Sementara kartu nama di tangannya ia remas begitu saja. Untuk apa juga dia menyimpannya.



Mereka menghabiskan waktu di rumah sakit sampai akhirnya waktu menunjukkan pukul delapan malam dan semua keluarga Gisna memilih bubar.


Nadira dan Meta memilih tinggal di sana untuk menemani Gisna dan memberi alasan pada keluarga Gisna kalau mereka ingin bernostalgia. Namun baik Meta dan juga Nadira tahu, bukan itu alasan sebenarnya mereka ada disana.


"Kamu baik-baik aja kan, Na?" Dengan lembut Meta memandang sahabatnya yang tengah duduk dengan wajah pucat dan tampak tak bertenanga.


Gisna balik memandang Meta dan menunjukkan senyumnya. Senyum yang bahkan tak sampai ke matanya. "InsyaAllah. Kalo kamu nanya aku baik-baik aja, jawaban aku enggak, Ta. Aku gak baik-baik aja. Tapi kalo kamu nanya apa aku kuat, aku bakalan jawab, iya. Aku kuat." Jawabnya. Nadira melihat mata sahabatnya itu mulai berkaca-kaca.


"Na.." ucapnya bersamaan dengan Meta. Nadira menaiki sisi tempat tidur sahabatnya yang terbebas dari selang infusan, sementara Meta memilih untuk duduk di bagian kakinya.


Gisna menggelengkan kepalanya pelan. "Kalian gak usah merasa kasihan. Sejak awal aku memang sudah memprediksi semua ini akan terjadi. Salahku karena jatuh cinta pada orang yang tidak tepat." Ucapnya lirih. Nadira masih saja memandang sahabatnya.


"Gak ada yang salah, Na. Semua orang berhak jatuh cinta. Dan patah hati adalah salah satu resiko yang mesti ditanggung." Jawab Meta bijak, Gisna mengangguk.


"Tidak semua kisah cinta berakhir bahagia. Meskipun aku selalu berdoa supaya kita berakhir dengan kisah bahagia." Doa Nadira. Lagi-lagi Gisna mengangguk.


Meskipun mengatakan hal seperti itu, Nadira sendiri sebenarnya bukan orang yang percaya pada kisah cinta. Ia adalah orang yang menghindari perasaan semacam itu. Kisah cinta yang berakhir bahagia itu memang ada, tapi ia rasa kemewahan itu bukan untuknya. Tidak ia semakin tidak percaya pada kisah cinta abadi atau bahagia setelah ia melihat bukti nyata dari kisah Gisna dan juga apa yang terjadi pada ibunya.


Melihat penderitaan yang dirasakan keduanya, Nadira merasa enggan untuk menjatuhkan hatinya pada siapapun. Semua makhluk berjenis kelamin pria adalah hal yang seharusnya hindari. Ya, kecuali mereka yang memiliki kelainan seksual atau memiliki kesalahan dalam pola pikir, seperti Fera bin Feri.


"Mungkin belum saatnya saja baginya. Dan ini memang belum berakhir. Kamu masih bisa berjuang, Na." Ucapan Meta mengalihkan Nadira dari lamunannya. Nadira mengangguk. Meta tidak salah dengan harapannya, Gisna juga tidak salah dengan cintanya. Tidak ada yang salah diantara mereka. Semuanya karena pilihan masing-masing.


Nadira melihat Gisna tersenyum. "Aku belum mengaku kalah, Ra, Ta." Ada binar keoptimisan di wajahnya. "Tidak sebelum bayi-bayi ini lahir. Bukankah aku sudah mengatakannya pada kalian, dan pada wanita itu?"


Nadira tahu siapa yang Gisna maksud dengan 'wanita itu'.


‘Wanita itu’ adalah sosok wanita cantik berhati iblis. Dan disini dia merasa bersalah karena  dialah yang mengenalkan mereka berdua. Dia lah yang menjadi jembatan atas penderitaan yang dialami sahabatnya ini. Seandainya saja dia tahu bahwa wanita itu mendekatinya karena sebuah rencana. Ia tidak akan mau membanggakan wanita itu sebagai temannya. Cukup ia menjadi fans nya saja tanpa harus tahu seperti apa pribadi wanita itu yang sebenarnya.


"Aku mencintainya.” Ucapan Gisna membuat Nadira kembali pada dunia nyata. “Aku jatuh hati padanya. Dan saat ini aku memang merelakannya menemani wanita itu. Tapi aku belum menyerah. Masih ada waktu sampai bayi-bayi ini lahir. Aku masih meminta kepada si pemilik hati untuk membalikkan hati suamiku padaku. Namun jika sampai waktunya bayi-bayi ini lahir dan dia masih tidak menjatuhkan pilihannya. Saat itulah aku akan menyerah."


Mendengar ke optimisan dalam suaranya, Nadira tersenyum. Ia senang melihat sisi lain sahabatnya kembali muncul. Meskipun kemudian wanita itu tergugu dalam tangisannya, Nadira bahagia karena sahabatnya itu belum mengaku kalah. (Cerita ini merupakan cuplikan dari Bukan Ibu Pengganti, bagi yang belum baca silahkan mampir).


*****

Pagi datang begitu saja. Tidurnya di rumah sakit tidaklah nyenyak dan jusru membuat tubuhnya berteriak tak nyaman. Ia dan Meta pada akhirnya berpamitan saat keluarga Gisna datang dan membawakan sarapan.


Nadira benar-benar lelah, sangat lelah. Dia belum benar-benar mendapatkan istirahat yang cukup karena kemarin dia langsung melakukan penerbangan ke Jakarta berselang satu jam setelah pemotretan selesai. Dan itu pun dia langsung menuju ke rumah sakit karena khawatir.


Nadira bukan Meta, yang bisa tidur dengan nyaman kapanpun dimanapun selama ia menemukan bantal. Tidak. Nadira adalah tipe pecinta bantal dan tempat tidurnya sendiri. Dan dia adalah orang yang suka tidur dalam keheningan. Meskipun ia sering melakukan aktivitas diluar rumah dan terkadang terpaksa harus tidur bersama orang lain dan seringkali begadang, dia tidak merasa masalah.


Karena setelah semua aktivitasnya selesai, ia akan mengurung diri di kamar. Mengisolasi dirinya sendiri di atas tempat tidur dan benar-benar tidur tanpa gangguan. Tidak peduli jika itu menghabiskan waktu berjam-jam dan bahkan sampai belasan jam. Nadira akan menyebutnya sebagai penebusan dosa.


Nadira melirik pergerakan bayangan pergerakan kaki dari pintu seberang unitnya. Setahunya, unit itu kosong dan hendak disewakan saat ia akan pergi, dan sekarang sepertinya selama kepergiannya unit itu telah terisi.


Baiklah, ramah tamah kepada tetangga akan ia lakukan nanti setelah ia puas beristirahat. Nadira masuk ke dalam unitnya bertepatan dengan suara pintu seberang unitnya terbuka. Ia meletakkan tas dan kunci mobilnya di atas meja bar dan langsung menuju kamar. Melepas pakaiannya dan melemparnya ke dalam keranjang cucian. Mandi cepat dengan air hangat adalah pilihannya. Dan tak sampai lima menit kemudian Nadira sudah memakai tangtop berwana hitam tanpa dalaman dan celana dalam katun. Memasukkan tubuhknya ke dalam selimut tebal dan bergelung sambil memeluk guling yang sudah lama ditinggalkannya.


Hibernasi, I'm coming....

________________________________________________

Jangan lupa review dan komennya ya... Mimin tunggu 

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Faried Fadillah
la...diawal cerita ktnya msh jomlo ............
goodnovel comment avatar
Maea Adan
erhan tukang gombal sejati mmg, yg sudah baca novel mimin sebelumnya pasti jg mikir kl erhan cm gombal 😂
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status