Share

Lima Langkah

Semenjak kepulangannya dari rumah sakit, Erhan masih saja membayangkan wajah Nadira. Sosok gadis cantik yang memiliki tubuh indah dan ekspresi wajah jutek yang selalu terbayang di kepalanya. Ya Tuhan, hanya dengan membayangkan wajahnya saja membuat Erhan begitu ingin menyentuhnya. Sisi kelelakiannya terbangun begitu saja. Bahkan semalam, dia memimpikan hal yang indah bersama gadis cantik yang baru pertama kali dilihatnya itu.

Awalnya ia merasa tidak asing dengan wajah gadis itu. Sampai akhirnya dia sadar bahwa Nadira bekerja di bawah naungan agency yang selama ini dimiliki tantenya.

Sebuah senyum terkembang di wajahnya kala membayangkan bagaimana jika nanti gadis itu melihatnya dengan statusnya yang lain. Pastinya sangat menyenangkan.

Namun saat ini, Erhan kebingungan sendiri dengan langkah awal yang harus dia ambil. Dia sedang berjalan mondar-mandir di ruangannya kala ketukan pintu mengalihkan perhatiannya. “Anda sedang apa, Sir?” Ganjar, asisten pribadi sepupunya yang kini menjadi mentornya itu memandanginya dengan dahi berkerut.

“Coba katakan padaku.” Erhan balik mendekatinya dengan langkah cepat dan antusias. “Bagaimana caranya menggoda seorang wanita?” tanyanya dengan wajah menghadap Ganjar sepenuhnya. “Tidak.” Ralatnya cepat. “Bukan menggoda, tapi memikat.” Lanjutnya.

Ganjar, si pria hitam manis itu balik memandang Erhan dengan dahi yang berkerut semakin dalam. "Kenapa kau bertanya padaku?" Tanya Ganjar bingung. Ia memandangi rekannya yang malah balas menatapnya dengan wajah memelas.

Kepalanya sudah mau pecah karena pekerjaannya yang bertumpuk, dan kini Erhan memanggilnya hanya untuk meminta tips bagaimana caranya mengencani seorang wanita? Demi Tuhan. Dia sendiri kesulitan untuk menaklukan Meta, bagaimana bisa dia menasehati orang lain?

"Setidaknya kau telah menjatuhkan salah satu dari trio itu.” Jawab Erhan dengan lantang. “Melihat bagaimana dia menyebutmu kemarin malam, aku pastikan kalau kau juga mengenal baik Nadira. Jadi kumohon, berikan aku informasi tentangnya dan juga tips and trick untuk menaklukannya." Kedua tangan Erhan kini meremas lengan Ganjar. Dan lagi, masih menunjukkan wajah memelas seperti anak anjing yang minta diadopsi.

Ganjar menggelengkan kepala. "Sejujurnya, aku tidak terlalu mengenal Nadira, sama seperti aku tidak mengenal Gisna." Jawab Ganjar lirih. Ganjar dan Erhan memang sudah sepakat untuk menggunakan bahasa informal karena usia mereka yang tak terlalu jauh dan karena Erhan ingin mereka berteman. Lebih dari itu, kesan Erhan memang tak semenyeramkan Lucas saat mereka bekerja bersama. "Aku bahkan mengenal Gisna lebih dekat setelah sepupumu mengajaknya menikah." Lanjut Ganjar apa adanya. Karena kesibukannya dengan Lucas, ia memang jarang menghabiskan waktu bersama orang lain diluar jam kantor. Jangankan bergaul atau menghabiskan waktu dengan teman, Dengan kekasihnya pun, Ganjar memiliki waktu yang teramat sangat sedikit. Beruntung saja Meta masih kuat bertahan dengannya dan tidak memintanya untuk putus

“Kalau begitu, jadilah mak comblangku.” Erhan membuat solusi lain.

Ganjar mengerutkan dahi. “Maksudnya?” tanyanya tak mengerti.

“Saat kau akan pergi dengan kekasihmu, ajak juga Nadira. Di waktu yang bersamaan aku bisa pergi denganmu. Tenang saja,” Erhan menyela seketika. “Aku tidak akan mengganggu kencanmu. Aku hanya ingin kau dan kekasihmu mengajaknya dan setelah itu aku yang akan membawanya pergi tanpa mengganggu kencan kalian berdua.” Tutur Erhan. “Ya ya ya..." Pintanya seperti anak kecil yang meminta permen pada ayahnya. Ganjar menatap tangan kekar pria itu yang kini memegang lengannya sambil menggoyang-goyangkannya.

Ganjar berpikir sejenak. "Bisa-bisa. Bisa diatur.” Jawabnya seraya melepas tangan Erhan di lengannya. “Nanti aku minta Meta supaya meminta waktu Nadira. Sebaliknya, kau harus siap sedia jika misalkan aku katakan kami siap pergi. Bagaimana?" Ganjar memberikan saran yang dengan atusiasnya diangguki oleh Erhan.

"Aku akan selalu siap. Kapanpun." Jawab Erhan dengan penuh semangat. "Akhirnya, aku bisa bertemu dengan jodohku juga." Gumamnya dengan mata berbinar.

Ganjar mengangkat sebelah alisnya memandang pria yang lebih muda darinya itu. jodoh? Tanyanya dalam hati. kapan pria itu akan benar-benar sadar dan berhenti mengucap kata suka dan jodoh pada sembarang wanita? Namun Ganjar tidak mengatakan itu dari mulutnya. Ia lebih memilih bungkam dan menggeser berkas yang tadi ia bawa ke hadapan Erhan.

"Lupakan Nadira untuk sejenak. Sekarang, waktunya bekerja." Tegur pria itu. “Periksa laporan itu baik-baik dan nanti akan kita rapatkan.” Ujarnya seraya bangkit dari duduknya.

Jika saat pertama kali kedatangan Erhan ke Coskun Ganjar memiliki posisi sebagai asisten COO (yang kala itu COO dipegang oleh Lucas), kini posisi Ganjar sudah berganti menjadi wakil COO. Satu tingkat di bawah Erhan secara langsung, namun tetap menjadi mentor pria itu sebelum nantinya ia pindah ke perusahaan yang dirintis oleh Lucas. "Bekerjalah dengan baik, Sir. Saya tidak mau Sir Adskhan memarahi saya karena lalai bertugas hanya karena Anda meminta nasihat berkencan." Ganjar menepuk bahu Erhan sebelum meninggalkan ruangan pria itu.

Erhan memandang pria itu seraya mengedipkan sebelah matanya dengan gaya genit. Ganjar tertawa melihatnya.

Berjam-jam kemudian. Setelah membaca semua dokumen yang menumpuk, akhirnya Erhan bisa membebaskan kepalanya dari pekerjaan yang memusingkannya. Ia sudah sampai di basement apartemen yang beberapa hari ini ia tinggali. Apartemen baru yang sengaja dia sewa supaya ia tidak lagi perlu tinggal di hotel atau di kediaman paman dan bibinya.

Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam dan dia telah melewatkan jam makan malamnya. Dalam perjalanan menuju lift, Erhan melihat selebaran makanan yang menerima delivery order. Erhan yang merupakan penghuni baru apartemen tersebut dengan sukacita mengambil satu persatu lembaran menu sebelum memasuki lift. Ia bahkan tidak menyadari kehadiran seseorang karena terlalu terfokus pada lembaran menu yang ada di tangannya.

Wangi bunga chamomile khas bayi menguar di udara. Wangi yang entah bagaimana begitu disukai Erhan. Matanya membelalak seketika ketika ia melihat pantulan seorang gadis dari dinding lift yang seluruhnya dilapisi cermin. Gadis yang berdiri tenang di sampingnya itu kini sedang asyik menunduk dan memandang ponselnya. Mengenakan kaos putih dengan hotpans jeans diatas lutut, sebagian besar tubuh langsing itu tertutupi oleh sebuah cardigan lengan panjang dengan panjang tubuh sampai ke bawah lututnya. Dan yang mengejutkannya lagi, wanita itu tidak menekan tombol lantai lain. Yang berarti mereka tinggal di lantai yang sama? Erhan terbelalak seketika dengan pertanyaan dalam kepalanya.

Demi apa? Erhan ingin bersorak dengan gembira karenanya. Namun alih-alih memekik kegirangan, ia malah mengepalkan tangannya dan menutupi mulutnya dengan itu. Erhan kembali pura-pura membaca menu di hadapannya, meskipun matanya sesekali menatap cermin berharap gadis itu mendongak dan menyadari keberadaanya. Bahkan Tuhan sudah memberikannya jalan. Ia hanya perlu merancang cara untuk mendekati gadis itu.

Pintu lift terbuka di lantai mereka. Erhan dengan sengaja memilih membuka ponselnya sebelum keluar dari lift. Dia tidak ingin gadis itu merasa diikuti. Jadi dia memunggungi gadis itu dan kembali menghadap pintu lift seraya berpura-pura menelepon.

Erhan kembali terbelalak ketika melihat gadis itu membuka pintu unit tepat di depan pintu unitnya. Waaaw,, jodoh memang tidak lari kemana. Erhan kembali berjalan menuju unitnya sembari menyanyikan sebuah lagu dangdut yang ada di kepalanya.

"Pacarku memang dekat, tiga langkah dari depan.. 

Tak perlu kirim surat, sms juga gak usah...

Duh aduh memang asyik.. punya pacar tetangga.. 

Biaya apel pun irit. Gak usah, buang duit."

Terus saja Erhan bersiul seraya memasuki unitnya dan bahkan sampai ia masuk ke kamar mandi dan melupakan makan malamnya yang tadinya akan ia pesan.

Erhan berbaring di atas tempat tidurnya, kembali mengatur rencana untuk mendekati tetangga seberang unitnya.

'Apa aku harus minta gula?' ia bermonolog. Lalu kemudian menggelengkan kepala. 'Nanti dipikirnya aku miskin sampai gula pun tidak punya'. Erhan menggelengkan kepala. 'Minta pinjam alat?'. Erhan lagi-lagi menggeleng. Mana mungkin seorang gadis memiliki alat pertukangan.

"Arrggghhh...!!" Erhan mengacak rambutnya dengan gemas. Perutnya kembali berbunyi. Dia benar-benar lapar sekarang. Erhan kembali ke meja bar dan melirik menu yang ada di meja. Lalu kemudian sebuah ide terbersit di kepalanya. Erhan memencet beberapa tombol dan memesan beberapa jenis makanan di tempat yang berbeda. 'baiklah, kita tunggu makanannya. Bertindak seolah tidak tahu apa-apa dan say hai pada tetangga baru'.

Setengah jam menunggu, bagian delivery datang hampir secara bersamaan. Lima kotak makanan untuk masing-masing menu sudah mengisi meja barnya. Ada empat unit yang harus ia datangi. Erhan memasukkan setiap jenis makanan untuk dikirim pada satu unit dalam satu bungkus besar. Ia akan menjadikan unit depannya sebagai tempat terakhir untuk dikunjungi.

Erhan menekan bel dengan tak sabar. Kakinya mengetuk kakinya berkali-kali. Mulutnya komat kamit menggumamkan setiap sapaan yang akan dia keluarkan jika gadis itu muncul.

Suara pintu diputar memenuhi indra pendengaran Erhan. Erhan menegakkan punggungnya, sebuah senyum terukir di wajahnya. Ia siap menyapa namun cukup terkejut saat melihat seorang lelaki dengan tubuh tambun membuka pintu dan mendongak ke arahnya dan matanya tampak berbinar. "Siapa ya?" Tanya pria itu dengan gemulai. Setidaknya Erhan merasa lega karena pria di depannya setidaknya bukan benar-benar

"Saya penghuni unit baru." Erhan menunjuk pintu unit di belakangnya dengan ibu jarinya. "Sebagai perkenalan sesama tetangga." Erhan menyodorkan kantong berisi makan malam itu pada si pria tambun. "Saya sudah bertemu dengan dua pemilik unit lainnya, dan unit ini unit terakhir yang saya datangi. Saya Errhan." Erhan mengulurkan tangannya.

"Oh, Saya Feri tapi lebih suka dipanggil Fera." Ucapnya dengan gemulai.

"Siapa Fer?" Sebuah suara di belakang pintu menyahut.

"Tetangga baru, Cin." Jawab Feri yang suka dipanggil Fera itu.

Terdengar suara sandal mendekat. Erhan melihat gadis itu masih mengenakan pakaian dan cardigan yang sama. Matanya membelalak seketika ketika melihat Erhan. "Loe?!" Tanyanya.

"Oh, Hai!" Erhan berusaha tampak terkejut. "Waah, kita ketemu lagi disini ternyata. Jodoh emang gak kemana ya." Ucapnya dengan senyum semanis mungkin.

Nadira tampak mengerutkan dahi ketika Erhan mengatakan kata 'jodoh'. "Kalian saling kenal?" Feri yang suka dipanggil Fera itu memandang Nadira dan Erhan bersamaan.

"Dia sepupu iparnya Gisna." Jawab Nadira lugas.

"Ohhh,, masih keluarga Levent ternyata. Pantas aja sedikit beda." Ucap Feri yang suka dipanggil Fera itu dengan tawa centilnya. "Mas nya mau masuk? Yuk, sekalian kita juga baru mau makan." Ajak Feri yang suka dipanggil Fera itu seraya membuka pintu lebih lebar dan memberikannya jalan.

"Kenapa loe ajak orang seenaknya ke apartemen gue?" Nadira melotot pada si Feri yang suka dipanggil Fera itu.

"Jangan jutek gitu dong, Ra. Sesama tetangga itu harus ramah, biar ke depannya kalo ada apa-apa bisa saling bantu.

"Gue milih tinggal di apretemen itu biar gak usah SKSD sama tetangga Fer..." Gerutu Nadira seraya kembali memilih masuk ke dalam apartemennya.

"Gak usah ditanggepin, Mas. Dia mah emang gitu orangnya." Ajak Feri yang suka dipanggil Fera itu. Namun tak ingin membuat wanita incarannya ilfeel, akhirnya Erhan memilih undur diri saja.

"Lain kali aja ya." Tolak Erhan. "Kebetulan saya sudah menyiapkan makanan saya sendiri di unit. Tapi kalau kurang, masi ada satu set lagi di unit saya, bagaimana?" Tawarnya dengan harap-harap cemas.

"Ah gak usah, ini juga udah cukup kok." Tolak Feri yang suka dipanggil Fera itu dengan cara yang tak kalah halusnya. "Oh iya, ini nomor ponsel saya." Pria setengah matang itu menyerahkan kartu namanya. "Kalau ada perlu apa-apa Mas bisa hubungi saya. Atau kalau Mas punya niat jadi model, saya bisa bantu. Mas nya cocok kok masuk di agency kita. Kebetulan saya ini kerja jadi manager artis. Kali aja Mas nya minat."

Erhan ingin bersorak gembira, namun sebisa mungkin dia tahan. Satu orang dekat dengan Nadira bisa ia dekati. Maka ia selangkah lebih dekat untuk memiliki gadis itu. Erhan menerimanya dan setelahnya pamit. Ia melirik ke dalam apartemen, gadis pujaannya itu sedang duduk bersila di depan meja dengan mata menatap layar datar di hadapannya.

Kembali mendendangkan lagu pacar lima langkah, Erhan sesekali menciumi kartu nama yang diberikan si Feri yang suka dipanggil Fera itu. "Nadira ohhh Nadira..." Erhan sudah kembali ke unitnya dan bersiap menghabiskan makan malamnya.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Maulita Desi
agak membosankan membaca kata kata yg berulang contohnya kalimat "feri yang suka di panggil fera"
goodnovel comment avatar
Tia
ya Alooooh Erhan kocak amaaat sich, konyol, genit juga hahaha. selalu syukaaa sama karya2nya mba Thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status