Share

Daftar

"Tuh cowok kece nya pake banget ya, Cin." Komentar Fera bin Feri seraya meletakkan makanannya di atas meja di hadapan Nadira. Wajahnya yang bulat tampak merona malu. "Beneran ya keluar Levent itu cowoknya pada cuco semua.” Lanjutnya lagi.

“Mestinya gue cepat-cepat operasi ganti kelamin kali ya supaya bisa dapat cowok ganteng kayak dia. Menurut loe, gimana?”

Nadira mengangkat sebelah alisnya dan memandang Fera bin Feri tajam. Lalu kemudian dia mendecih. "Loe pikir kalo semisal loe ganti kelamin dia bakalan suka sama loe?” tanyanya tak yakin. “Sejauh yang gue tahu, meskipun loe ganti kelamin jadi cewek, hormon loe tetep laki. Dan laki normal gak bakalan terpesona meskipun loe udah berubah bentuk jadi kayak Kim Kardashian juga.” Ucapnya apa adanya. “Lagian gue gak bisa ngebayangin kalo loe ganti kelamin.” Lanjutnya. Kembali memperhatikan tubuh Fera bin Feri dari atas kebawah. “Semisal loe punya dada…” Nadira menunjuk dada Fera bin Feri dan kemudian tertawa terbahak.

"Setan loe. Teman macam apa loe, tega amat ketawain temen sendiri." Fera bin Feri tampak cemberut. Nadira menghentikkan tawanya dan mencolek dagu pria kemayu itu dengan cara menggoda.

"Udah terima kenyataan aja. Tuhan itu ngelahirin loe jadi laki supaya loe jadi laki. Loe tuh mestinya bersyukur terlahir dengan fisik sempurna. Di luaran sana banyak orang yang lahir dengan cacat fisik. Kalo loe mau merubah diri loe jadi cewek itu namanya pelanggaran fitrah." Nadira kembali menyuapkan ayam di hadapannya.

Tanpa menjawab komentar Nadira. Fera membuka bingkisan yang dikirim oleh Erhan. Satu box berisikan kimbab, satu lagi berisikan ayam geprek, lalu ada box berisi cheesecake, dan dua box lagi berisi kue kering yang tampak menggiurkan.

"Wah, makanan bikin gagal diet semua nih." Komentar Fera. Dia melihat label toko yang ada dalam kemasan dan kemudian meraih ponselnya untuk melakukan pencarian di internet. Tak lama mata pria gemulai itu terbelalak. Ia menunjukkan layar di tangannya pada Nadira. "Anjaayyy tuh cowok kelewat tajir apa sombong?"

ucapnya terkesima karena harga semua makanan yang ada di hadapannya kini bernilai cukup fantastis. Dan kemudian melanjutkan makan kue di hadapannya. "Jangan ngambek kalo kue ini habis sama gue ya. Jarang-jarang dapet kue mahal, enak-enak lagi." Ucapnya dengan mulut penuh.

"Slow bae, gue nggak bakalan rebut." Ucap Nadira menepuk punggung Fera. Ia sendiri masih asyik menghabiskan nasi padang dengan rendang di hadapannya tanpa menoleh pada Fera.

“Apa dia juga setajir keluarganya yang lain?” Tanya Fera lagi. Tampak enggan mengalihkan topik pembicaraan dari Erhan.

“Mana gue tahu.” Jawab Nadira seraya mengedikkan bahu.

“Tapi kan, temen loe nikah sama salah satu Levent. Masa iya loe gak tahu?”

“Yang nikah sama keluarga Levent itu Gisna. Yang jadi keluarga cowok itu juga Gisna. Jadi ngapain gue mesti tahu silsilah keluarganya dia?” tanya Nadira tak suka. “Lagian kenapa loe kepo?”

Fera bin Feri mengedikkan bahu. “Cuma mau tahu aja, kenapa keluarga kaya macem dia milih tinggal di apartemen level menengah maca ini. Bukannya di apartemen mewah yang harganya gak bakal pernah masuk ke kantong gue?” tanya Fera lebih pada dirinya sendiri. Nadira mengedikkan bahu.

“Besok-besok, kalo loe ketemu sama dia. Loe tanya langsung sama dia.” Jawabnya seraya mengangkat piringnya dan berjalan menuju wastafel.

Keesokan paginya Nadira terkejut mendengar kabar bahwa sahabatnya Gisna menghilang. Meta yang menghubunginya terdengar begitu panik. Dan karena hal itu juga membuat Nadira turut panik. pasalnya, bertahun-tahun Nadira mengenal Gisna, ia merasa yakin bahwa sahabatnya itu tidak akan berbuat senekad itu jika tidak dalam keadaan terpaksa. Terlebih saat ini sahabatnya itu tengah mengandung.

Nadira kebingungan. Memikirkan kemungkinan dimana keberadaan Gisna saat ini. Gisna bukan orang yang mudah bergaul, jadi Nadira tahu bahwa ia tidak punya banyak teman. Terlebih sahabatnya itu adalah tipe anak penurut yang tentunya tidak suka membuat orang lain khawatir, apalagi ibunya.

Ya. Ibunya. Nadira harus memastikan dulu apa ibu sahabatnya ini tahu mengenai hal ini.

Dengan cepat Nadira pergi ke kamar mandi. Membersihkan diri dan mengganti pakaiannya dengan kemeja putih lengan panjang dan celana jeans. Saat hendak meraih kunci mobil, tiba-tiba saja bel apartemennya berbunyi. Nadira melirik dari lubang pintu dan melihat suami sahabatnya itu tampak berdiri dengan raut tak sabar.

"Ya?" Nadira membuka pintu apartemennya dengan wajah malas.

"Ra, apa Gisna kemari?" Tanya pria itu. ia hendak menerobos masuk ke dalam rumah namun Nadira menahannya. Nadira jelas melihat kantung mata di wajah pria itu. Tampak sekali pria itu begitu lelah dan kurang istirahat. Penampilannya terlihat begitu acak-acakan, tidak seperti biasanya dimana Lucas selalu tampil modis dan rapi. Tapi saat ini, Nadira menolak untuk merasa kasihan. Tidak akan ada akibat kalau tidak ada sebab, bukan?

"Kau suaminya, tapi kenapa kau bertanya padaku?" Nadira menjawab seolah dia tidak tahu apa-apa mengenai kepergian Gisna.

Nadira tahu apa yang saat ini terjadi pada sahabatnya dan suaminya. Semuanya bermula karena kehadiran rekan sesama profesinya yang Nadira pikir seorang wanita baik-baik. Rasa penyesalan kembali masuk ke hatinya. Ini semua karena dia yang termakan umpan. Dialah yang sudah mendekatkan Gisna dengan wanita sialan itu. tapi tahan, ini bukan saat yang tepat baginya untuk mengumpat.

Ia balik memandang Lucas dengan tatapan tajamnya. "Kupikir kau pria baik-baik.” Ucapnya dengan nada menghina. “Tapi ternyata, kau dan wanita itu sama saja." Ucap Nadira ketus. "Aku tidak tahu dia dimana. Kalau-kalau kau lupa, Gisna dan ibunya, keduanya yatim piatu. Jadi mereka tidak punya tempat yang hendak dituju. Kalau Bi Minah, aku tidak tahu darimana dia berasal. Kami tidak sedekat itu untuk saling mengobrol. Tapi kalaupun aku tahu dimana Gisna saat ini, aku tidak punya kewajiban untuk mengatakannya padamu." Jawab Nadira lagi. Nadira masih saja berdiri di depan pintu apartemennya dengan melipat kedua lengan di depan dada. Ia sama sekali tidak ingin mempersilahkan pria itu masuk.

"Kumohon, Ra. Bantu aku." Pria di hadapannya begitu memelas, memohon dan membujuk kepadanya. Nadira sebenarnya tidak tega, tapi memang faktanya dia juga tidak tahu keberadaan Gisna. Apa yang ada dipikirannya berbeda dengan apa yang dikatakannya.

"Untuk apa? Apa untungnya untukku? Bukankah aku sudah mengatakan padamu sebelumnya, memintamu untuk membahagiakan dia. Aku sudah mengatakan padamu kalau Gisna bukanlah orang yang sabar dan tegar. Tapi kau terus menerus menguji kesabarannya. Aku saja yang hanya menjadi pendengar sudah tidak kuat menahan marah. Apalagi dia. Kau pikir dia orang suci? Kau pikir dia itu biksu? Dia manusia biasa. Kau hanya tinggal berdoa saja semoga dia berubah pikiran dan memilih kembali kepadamu." Dengan cepat Nadira kembali masuk ke apartemennya dan dengan sengaja menutup pintu begitu keras di hadapan Lucas.

Ia meraih ponselnya dan mencoba menghubungi minta. "Ya?" Tanya sebuah suara di seberang sana.

"Ta, loe beneran nggak tahu di mana Gisna?" Tanyanya ingin tahu. Ia tahu semuanya ini sebenarnya sia-sia. Meta tak mungkin menyembunyikan hal itu darinya jika memang dia tahu. Tapi tidak salah kan jika Nadira berharap Gisna menghubungi sahabatnya itu.

"Gue beneran gak tau, Ra. Gue juga udah nanya sama si Ganjar kali aja dia tahu. Tapi cowok gue juga bilang kalo dia nggak tahu apa-apa. Sir Lucas juga malahan baru aja datang ke kantor. Gue denger dia nanya sama Sir Adskhan, sama Sir Erhan juga. Tapi Ganjar bilang keduanya bilang nggak tahu." Nadira meremas rambutnya dengan kasar dan bahkan menggigit bibir bawahnya dengan khawatir.

Tangannya beralih turun dan mengetuk-ngetuk meja bar dengan gerakan cepat. "Lakinya barusan datangin gue. Dia pikir gue tahu dimana Gisna. Gue jadi panik sendiri." jawabnya jujur.

"Gue yakin Gisna baik-baik aja." Jawab Meta optimis.

"Tapi kemana dia pergi?” tanyanya lebih pada diri sendiri. “Ya udah kalo ada kabar apa-apa dari Gisna, cepet kabarin gue." Perintahnya lagi.

"Iya..." Jawab Meta dengan datar. Tapi walau bagaimanapun, Nadira tidak bisa tenang begitu saja.

Sesaat setelah mematikan panggilan, ia mendengar suara ketukan di pintu. Dengan langkah cepat dia berjalan ke pintu dan membukanya kasar. “Apa lagi!” bentaknya, menduga bahwa di depannya itu masih ada Lucas.

“Loe gila?” bentak Fera bin Feri. Pria kemayu itu mengusap daun telinga dengan tangannya yang bebas.

“Sorry. Gue pikir loe orang lain. Lagian kenapa pake ketuk pintu segala sih?” jawabnya seraya berjalan masuk kembali.

“Gue udah buka kunci, tapi loe malah ngunci diri di dalem.” Jawab Fera bin Feri dengan nada kesal. Nadira terdiam, mungkin tadi saat ia menutup pintu, tanpa sadar dia mengunci pintu dari dalam juga.

“Sorry, gue lagi bingung.”

“Bingung kenapa?” tanya Fera bin Feri khawatir. Tapi Nadira memilih tidak menjawab dan tampaknya Fera bin Feri mengerti hal itu. “Loe udah siap ternyata. Kalo gitu kita berangkat.”

“Berangkat? Berangkat kemana?” tanyanya bingung.

“Loe lupa? Hari ini kita Ada pemotretan di Levent Property. Loe Masih ingatkah kontrak yang ditandatangani bulan lalu?" Nadira mengerutkan dahi. "Itu loh kontrak tentang loe yang jadi model perabot rumah tangga yang dibuat sama Coskun Company."

Lagi-lagi Nadira melupakan sesuatu. "Oh.. iya. Gue inget. Emang jadwalnya sekarang?" Tanya Nadira. Fera mengangguk. “Itu?” tunjuknya pada bungkusan yang dipegang Fera bin Feri di tangannya.

"Ini pakaian yang mesti loe pakai." Fera menunjukkan sebuah gaun yang terbungkus rapi di tangannya. “Gue kesini pake taksi, makanya repot.” Ucapnya kesal. "Loe mau make-up an disini apa disana?"

"Disana aja lah." Jawab Nadira dengan santai. Sejenak Nadira melupakan pencariannya terhadap Gisna.

Empat puluh lima menit kemudian mereka sudah sampai di sebuah gudang besar yang memiliki logo CC di bagian depannya. Tempat yang merupakan pabrik pembuatan properti rumah tangga terbesar yang Nadira tahu saat ini. Tempat milik keluarga imigran Turki yang salah satu anggota keluarganya tadi pagi sudah menggedor pintu apartemennya. Dan anggota keluarganya yang lain kini menjadi tetangganya yang semalam tengah menjamu nya dengan makan malam mahalnya.

Nadira dan Fera bin Feri mengikuti seorang sekuriti yang menggiring mereka ke area di mana tempat pemotretan berada. Sebuah ruangan luas sudah dihias dengan dekorasi yang indah yang hanya bisa kita lihat di acara home shopping di televisi. Dan di sisi lain ruang itu, terdapat sebuah ruang ganti yang Nadira tahu akan dipergunakannya nanti. Namun sebelum itu, ia harus berbasa-basi dan berkenalan dulu dengan para kru supaya nanti pemotretannya lebih berjalan lancar.

Di ruang make-up, bahkan dalam keadaan tertutup pun Nadira masih bisa mendengar suara bising dari alat-alat seperti gergaji mesin ataupun suara paku yang dipukul dan lain-lain yang berhubungan dengan kegiatan pembuatan benda keras.

“Gila, sebenernya keluarga Levent itu sekaya apa?” Fera akhirnya mengeluarkan komentarnya saat mereka sudah terkurung di ruang make-up. “Bayangin aja, pabrik di depan, studionya berada di bagian belakang pabrik. Belum lagi area parkiran luas. ditambah ruang administrasi. Gue yakin ini tanah gak cukup Cuma satu-dua hektar aja.” Ucapnya dengan nada kagum.

Studio yang dikatakan Fera tadi memang tidak bisa tidak Nadira akui tampak indah. Desainnya bahkan lebih seperti rumah sendiri daripada sekedar tempat pemotretan saja. Meskipun hanya sekilas, ia tahu bahwa motif dinding berlapis ukiran kayu dengan dasar warna putih, peach dan gold, itu tidaklah murah harganya. Dan kursi-kursi bergaya vintage yang di dominasi dengan warna soft serta perabotan lain yang nantinya akan masuk dalam katalog produk tentu akan dibandrol dengan harga yang fantastis. Ya. Fera bin Feri benar. Seberapa kaya sebenarnya keluarga Levent itu? betapa beruntungnya Gisna dan juga Caliana karena berhasil menaklukan hati pada pria berwajah bengis itu.

Betapa beruntungnya mereka karena mendapatkan pria yang jelas tampak begitu memuja mereka. Mungkinkah Nadira bisa merasakan hal yang sama? Tidak. ia menggelengkan kepala pelan yang membuat penata riasnya mengerutkan dahi bingung.

Tidak. kemewahan seperti itu bukan sesuatu yang ada dalam daftar hidupnya. Ia suka dengan cerita romantis. Entah itu cerita yang berakhir tragis ataupun bahagia. Namun ia tahu, bahwa ia tidak akan pernah menjadi tokoh utama dalam cerita seperti itu. dia bukan orang yang percaya pada cinta. Apalagi pernikahan.

Ia melirik Fera yang kini mengeluarkan gaun yang sejak tadi berada dalam bungkusan. Gaun sederhana. Sebuah gaun berwarna hitam tanpa lengan dengan bentuk leher V yang hampir menyentuh belahan dadanya. Panjang gaun itu mencapai lututnya. Dan bahannya. Jika Nadira sentuh, ia tahu bahwa bahan pakaian itu berkualitas tinggi dan tentunya tidak murah. Inilah yang menjadi mimpinya. Inilah yang ada dalam daftar keinginannya. Menjadi seorang perancang busana. Bukan pernikahan. Bukan menjadi ratu dalam sebuah istana. Tapi menjadi seorang fashion designer.

Ia kembali melihat pantulannya di cermin. Puas dengan dengan make up natural yang diusapkan ke wajahnya. Tatanan rambutnya yang juga dibuat Casual membuat Nadira merasa menjadi dirinya sendiri. ia tersenyum, dan setelah Nadira akhirnya keluar dari ruangan itu menuju tempat pemotretan akan dilaksanakan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status