Setelah sekian lama terkungkung kejamnya dunia Zara Adhira bisa merasakan hembusan angin di kulit lusuhnya. Setelah Arlan medapatkan kunci pasungan dari Paman Radit, ia Iangsung menemui Zara.
"Nak Arlan, berhasil mendapatkan kuncinya?" tanya Pak Sholeh yang sedang mendaping Zara.
"Alhamdulilah pak, meskipun harus bersetegang sedikit dengan Orang itu," jawab Arlan kesal mengingat Paman Radit.
"Radit bukanlah orang biasa, Nak!" gumam Pak Sholeh mengingat bagaimana Radit dulu mengacam keluarga Pak Soleh ketika ia mencoba melindungi Zara, ditambah lagi Pak Sholeh mengetahui tentang kebenaran Zayn. Hidup keluarga Pak Sholeh selalu dihantui oleh lelaki picik itu.
"Saya bisa merasakan itu, Pak!" jawab Arlan.
"Berhati-hatilah dengannya!" tambah Pak Sholeh Lagi.
"Iya, Pak. Saya akan menjauhkan Zara dari srigala berbulu domba itu." Arlan Geram mengingat nama Paman Radit.
Setelah semua anggota keluarga Zara meninggal, Radit bisa menguasai semua aset keluarga. Dengan kondisi Zara seperti ini, sangat menguntungkan bagi Radit, ia menjadi satu-satunya Pewaris tanah-tanah Pak Adhi Ayahnya Zara yang merupakan tuan tanah paling kaya di desa.
"Itu lebih baik Nak Arlan, Nona Zara berhak bahagia." Pak Sholeh tersenyum lega.
Arlan mencoba melepaskan pasungan Zara perlahan. Ia mulai membuka rantai kaki Zara, dan mengakat pasungan kayu yang menghimpit kedua kaki Zara, saat itu tanpa disadari Arlan meneteskan air mata yang membasahi pipinya, melihat kondisi kaki Zara lebam, membiru dan membengkak.
"Ini pasti sangat sakit, tetapi aku lebih sakit melihatmu seperti ini Zara!" gumam Arlan mengusap air mata yang terus menetes.
Setelah pasungan di kaki Zara lepas. Arlan membantu Zara yang terdiam dengan tatapan kosong itu berdiri, tetapi ketika Arlan terus berusaha membuat tubuhnya tegak agar kedua kaki itu mampu menopang badan, ia langsung roboh ketanah dan Zara pun terpekik menahan sakit.
"Aaaaaaaaaaa!" pekik Zara berpegangan pada tubuh Arlan.
"Jangan paksakan Nak Arlan. Sudah enam setengah tahun Nona Zara di dalam pasungan, wajar saja ia tidak mampu berdiri, apalagi berjalan!" tegur Pak Sholeh melihat Zara kesakitan.
Mendengar Pak sholeh, Arlan pun langsung menggendong Zara tanpa pikir panjang seperti apa kondisi Zara yang ada di dalam pangkuannya. Rambut yang dulu tergerai indah, kini telah gimbal tak berbentuk diiringi bau busuk tidak keramas selama enam setengah tahun mengibas-ngibas di depan wajah Arlan. Arlan yang tanpa expresi terus berjalan melewati pematang sawah meninggalkan gubuk derita yang mengurung Zara, diikuti Pak sholeh mengiringi mereka dibelakang, membawa sekantong kresek sabun cair dan sampo yang dibeli Arlan.
"Hati-hati licin Nak Arlan!" seru Pak sholeh melihat kondisi tepian sawah.
"Iya terima kasih, Pak!"
"Pak maukah bapak menjadi wali nikah Zara?" Pinta Arlan sembari terus berjalan hati-hati.
"Tentu, Nona Zara sudah Bapak anggap sebagai Anak sendiri. Dari dulu bapak ingin melakukan hal ini, mengingat bagaimana jasa Pak Adhi terhadap bapak, tetapi bapak tidak memiliki daya dan upaya menentang masyarakat desa dan Radit," ucap Pak Sholeh, terdengar nada suara sesal dalam setiap kalimatnya.
"Terima kasih, Pak. Saya mengerti dengan hal itu!" Arlan menoleh ke arah Pak Sholeh dengan senyum tersungging dibibirnya.
Pak sholeh mengambil kursi plastik dan meletakannya di halaman rumah, kemudian Arlan mendudukan Zara yang masih terdiam dengan tatapan kosong di kursi itu. Setelah mendudukan Zara, Arlan mengambil selang panjang dari belakang dan menyambungkan ke kran air. setelah kran hidup, selang air diarahkan ke Zara. Ketika terkena air Zara berteriak-teriak hilang kendali, apalagi saat Arlan membersihkannya dengan sabun dan Shampo. Zara terus minta ampun seolah Arlan akan melakukan hal buruk padanya.
"Jangan mendekat!" teriak Zara dengan badan ditekuk, dan kedua tangan melindungi dirinya.
"Aku mohon ampuni aku!" raungan suara Zara memecahkan keheningan.
Melihat kondisi Zara meremukan hati Arlan, ia memeluk Zara yang basah hingga kemeja yang ia kenakan ikut basah pula.
"Jangan sentuh aku! Aku mohon, jangan sentuh aku!" ratap Zara yang memilukan hati Arlan.
Arlan mempererat pelukannya dan menenangkan Zara, "Aku akan melindungimu!"
"Apa kau sudah gila melepaskan pasunganya?" suara wanita paruh baya tiba-tiba datang dari arah belakang Arlan.
Arlan melihat ke arah belakang dan melihat seorang wanita paruh baya diikuti kerumunan warga desa yang mengagetkan Arlan. Berita pembebasan pasungan Zara di desa tersebar begitu cepat. Masyarakat desa berbondong-bondong ke rumah Pak Sholeh hingga memenuhi halaman rumah.
"Pasang lagi pasungannya, kami tidak ingin kampung kami tidak aman, karena orang gila berkeliaran!" Perintah wanita paruh baya.
Arlan melepaskan pelukan dari Zara, dan berbalik ke arah wanita paruh baya dan berkata, "Apa maksud anda?".
"Kami tidak ingin rumah kami dilempari batu dan kotoran oleh wanita gila itu kalau ia dilepas," seru wanita paru baya lagi.
"Ke mana Si Radit, kenapa ia lepaskan pasungan keponakan gilanya. Apa dia ingin dikejar-kejar dengan golok lagi," Tambah seseorang dari kerumunan warga.
"Sebaiknya pasungan Zara dipasang lagi, agar tidak terjadi kejadian yang tidak diinginkan," Saran seseorang yang mengaku kepala desa menghampiri Arlan.
"Bagaimana bisa bapak berkata begitu ketika Bapak sebagai kepala desa melihat seorang wanita diperlakukan tidak manusiawi!" seru Arlan kesal.
"Zara pernah mengganggu keamanan desa, berlari keliling desa membawa golok dan hampir membacok pamannya sendiri!" jawab kepala desa.
"Meskipun begitu, tak seharusnya ia diperlakukan lebih buruk dari pada binatang!" Arlan tersenyum sinis.
"Zara juga manusia, setelah apa yang dia alami, kalian semua seharusnya memberi dukungan moral, bukan memperburuk kondisi dengan memasungnya!" bentak Arlan penuh emosi.
Untuk pertama kalinya Arlan tidak bisa mengendalikan emosi. Terakhir Arlan emosinya meluap ketika Arlan berusia sembilan tahun. Saat itu bapak Arlan langsung menikah lagi ketika pusara Nani yang merupakan Ibu Arlan masih memerah.
"Kami tidak peduli, pasung lagi dia. Kami tidak ingin anggota keluarga kami terluka olehnya," tegas wanita paruh baya.
"Iya, kami tidak ingin orang gila berkeliaran di kampung kami!" ucap warga dari kerumunan.
"Jangan khawatir ia tidak akan berkeliaran di kampung ini!" seru Arlan.
"Dia adalah calon istri saya. Saya akan membawa dia keluar dari desa ini, setelah saya membersihkannya!" tegas Arlan membungkam warga desa.
"Apa pria tampan ini sudah gila, akan menikahi Zara yang ganguan jiwa itu!" bisik-bisik warga di dalam kerumunan.
"Dia itu 'kan Arlan, Anak burhan sujibto yang punya toko klontong di kampung hilir, yang kuliah diluar Negeri ituloh. Apa otaknya sudah bermasalah, karena lama di luar Negeri," gunjing warga yang mengenali Arlan.
"Wajah setampan itu mubazir untuk mengabdi pada Zara. Kalau aku setampan dia, sudah kukoleksi jajaran wanita cantik di hatiku. Dia gak kalah gilanya sama Zara!" gurau muda-mudi tertawa terbahak-bahak di antara kerumunan warga.
Semua warga desa menjadi penonton derita, dari wanita malang bernama Zara, bukanya bersimpatik, tetapi cemooh dan olok-olok yang mereka hadiahkan untuk seorang Arlan yang memegang teguh keyakinan cintanya pada Zara.
***
Terimakasih telah membaca kisah cinta Arlan dan Zara. Mari saling mendukung sesama reader ataupun author, Like, vote, love and follow writer in box š„°š„°š„°šŖšŖšŖ
love you see ya...
@writer in box
@gadis pecinta mendung
youtube kumpulan puisi writer in box
"Apa ada tontonan yang sangat bagus di sini!" Senyum sinis Arlan melihat warga masih berkerumun di halaman Rumah Pak Sholeh."Iya, ini tontonan yang sangat bagus. Kisah cinta wanita gila yang malang," cemooh dari wanita separuh baya."Bisanya anda sebagai sesama wanita menghina Zara seperti itu," ucap Arlan."Itu bukan sebuah hinaan, tetapi pujian. Dia sungguh luar biasa membuatmu seperti ini Anak muda!" gumam wanita separuh baya, membuat Arlan geram."Hal yang terjadi pada Zara bisa terjadi pada siapa pun, jadi jangan menjadikanya sebagai objek kalian. Anda sendiri perempuan dan apa anda tidak memiliki anak perempuan di rumah. Apakah anda akan selalu bisa mengawasi Anak perempuan anda. Janganlah tertawa di atas duka Zara, belum tentu duka akan selalu untuk Zara. Dia juga berhak bahagia," jawab Arlan panjang lebar."Apa maksudmu, kurang ajar!" sungut wanita separuh baya meninggalkan Arlan.
Arlan bersiap-siap untuk pernikahan yang telah ditunggu sedari lama, dengan gugupnya ia memasang dasi kupu-kupu dan baju setelan yang membuatnya terlihat semakin tampan, sembari kedua bola mata Arlan melirik Zara yang terlihat begitu cantik mengenakan gaun putih dengan ornamen abu-abu."Kamu cantik!" Arlan mendekati Zara yang menatap mata Arlan dengan tatapan kosong."Insyallah aku bakalan jadi suami yang baik untukmu, Zara!" Arlan berlutut memegang tangan Zara yang duduk di sebuah kursi.Tanpa expresi Zara menarik tanganya dari Arlan."Setelah aku menggengam tangan ini, aku tidak akan pernah melepaskannya hingga hayat memisahkan!" Arlan meraih tangan Zara kembali.Zara yang tadinya membuang muka menoleh ke arah Arlan dan menatap Arlan dalam-dalam, tangan yang tadi ia lepaskan sekarng ia genggam erat-erat."Terimakasih!" Arlan tersenyum.Akad nikah Arlan dan Z
Setelah ruang tengah hancur oleh amukan Zara yang kambuh, Arlan terus berusaha menenangkanya. Beberapa lama histeris hilang kendali karena delusi yang ia alami. Akhirnya Zara tertidur begitu saja dipelukan Arlan kemudian Arlan membaringkan Zara diranjang miliknya. Ketika ia menyadari Zara telah tertidur, nanar mata Arlan menatap mata Zara yang sembab, ia mengelusnya lalu menciumi kedua mata itu."Papa, Mama, Oma, Kakak!" Zara menceracau tentang semua anggota keluarganya.Arlan yang duduk di tepian ranjang lalu meraih tangan Zara ketika mendengar igauan Zara."Iya sayang tidak apa-apa, aku di sini," bisik Arlan, mendekatkan mulutnya ke telinga Zara, sembari menggenggam tangan Zara dengan kedua tanganya."Tolang!" rintih Zara dalam tidurnya.Arlan mendekatkan wajahnya pada wajah Zara yang gelisah di dalam tidurnya, terlihat kening Zara berkerut, meneteskan keringat. Arlan mecium kerutan ke
Setelah mengepel lantai, kemudian menyiapkan pakaiannya dan Zara. Arlan melangkah untuk menghampiri Zara untuk memandikannya."Zara, bangun!" ucap Arlan duduk di tepian ranjang."Mmmmm," Zara menepis tangan Arlan yang mencoba membangunkanya."Zara, aku harus pergi kerja!" bisik Arlan.Zara masih saja menutup matanya dan membelakangi Arlan."Zara, ayo mandi dulu!" seru Arlan.Zara langsung bangun dan menjauh dari Arlan sembari tangannya melempar tangan Arlan yang berada di bahunya."Pergi!" teriak Zara menepi ke ujung ranjang."Huuuuft!" Arlan menarik napas dalam-dalam.Arlan mendekati Zara berusaha memberi pengertian terhadap istrinya yang tampak gelisah itu."Kamu bisa mandi sendiri 'kan sayang!" seru Arlan.Lalu Arlan menggendong Zara ke kamar mandi dan mendudukanya di closet."Ma
TakTakTakSuara langkah Arlan terdengar begitu kencang dengan sepatu formal oxford shoes yang desainya timeless. Ikatan tali sepatu tertutup (closed lacing), dan tidak begitu lentur mengikuti tinggi tubuh Arlan yang ideal. Kemeja putih, dan Celana dasar hitam yang ia kenakan menambah pesona penampilan hari itu, membuat nanar mata para mahasiswi tak lekat padanya. Arlan dengan santainya terus melewati lorong koridor, memasuki kelas untuk pertama kalinya sembari tersenyum kepada semua mata yang menatapnya."Ya, Allah gantengnya!" seru gadis berkaca mata bulat kepada teman di sebelahnya."Apaan yang ganteng, Idah?" Tanya Renata, gadis berambut cat pirang kemerahan yang mengenakan kaos oblong berwarna pink soft, jeans gantung di bawah lutut, dan sneaker putih.Idah menggoyangkan kaca mata berulang kali. Membuka dan menutupnya memastikan apa yang dilihatnya."Lihat!" perintah Idah mel
Arlan melirik jam tangannya menunjukan pukul Pukul 12.00."Waktunya makan siang," Seru Arlan.Ia langsung menyusun semua buku, dan berkas di meja kerjanya, kemudian bergegas untuk makan siang di rumah bersama Zara."Di mana, ya!" Arlan lupa di mana menaruh kunci mobilnya.Arlan memeriksa berkali-kali saku celananya, tetapi ia tidak menemukannya."Apa ketinggalan di kelas, ya!" gumam Arlan pada dirinya sendiri.Sekarang ia beralih memeriksa tas punggungnya yang penuh dengan buku. Kening Arlan mulai berkerut karena ia sama sekali tidak ingat di mana menaruh kunci mobilnya."Bapak cari ini?" Renata datang dengan memegang kunci mobil Arlan."Kamu?" Arlan yang grasak -grusuk mencari kunci, berbalik badan mendengar suara Renata."Kenapa bisa ada padamu?" tanyaArlan meraih kunci mobilnya yang ada pada tangan Renata.
ā¤Kau bukanlah objek ataupun benda apapun di dunia ini. Kau adalah bagian dari hidupku itu sendiriā¤AZEDā¤Setelah mandi Zara tidur lagi di sofa, sedangkan Arlan sibuk di dapur menyiapkan sarapan pagi.Arlan melangkah menjijit dengan jari kakinya ke arah Zara dengan masih mengenakan celemek di tubuh dan sendok di tangan, kemudian ia membungkukan tubuhnya ke arah Zara."Kamu sungguh tidur di pagi hari, Zara!" seru Arlan.Arlan mendekatkan mulutnya pada telinga zara dan berbisik, "Zara!"Zara menggaruk telinganya dengan mata masih tertutup.HukHukHukArlan pura-pura batuk mencoba membangunkan Zara dengan caranya, tetapi Zara tidak menggubrisnya. Arlan berdiri tegap di depan Zara dan meletakan sendok yang dia pegang di atas meja."Bangun tidak!" ancam Arlan sembari menggelitik Zara.Zara tetap dengan posisinya, tidak bergerak sedikit pun. Jari-je
Prilaku kekerasan salah satu gejala positif dari skizofrenia, merupakan masalah utama yang membuat penderitanya di bawa ke RSJ untuk penanganan medis, baik pada onset pertama maupun pada kondisi awitan akibat kekambuhan. Gejala ini berpotensi untuk melukai diri sendiri, lingkuangan, keluarga terdekat, dan orang lain. Individu skizofrenia biasanya mempunyai masalah emosi yang mengakibatkan penderitanya melakukan kekerasan, karena ada ganguan pada saraf yang terdapat di otak. Oleh karena, penderita Skizofrenia akan sulit hidup normal seperti yang lainya. Kekerasan inilah yang dialami Bik Dartih, pembantu baru Arlan. Belum cukup sebulan Bik Dartih berkerja, ia langsung mengundurkan diri karena mengalami kekekrasan dari Zara.Zara yang sudah bisa berjalan menghampiri Bik Dartih yang sedang membuatkan teh di dapur."Bik, ini apa?" tanya Zara memainkan gula di sebuah botol."Gula atuh, Non! Masak garem," seru Bik Dartih."Kalau ini,