Share

Bab 5 | Dengar Ini

Komentar panjang lebar di akun gosip tidak membuatmu tampak pintar, karena orang pintar tahu dimana dia harus berkomentar

Eva dan Saga SMA di sekolah yang sama. Eva selalu mengekori Saga ke mana-mana karena Saga remaja mudah marah saat digoda. Tetapi Saga tidak pernah benar-benar mau mengakui Eva sebagai temannya. Sampai ketika mereka duduk di kelas 12, Saga yang saat itu terpaksa satu kelompok dengan Eva, mengerjakan tugas di rumah Eva. Itulah kali pertama Saga bertemu dengan Erina.

Erina adalah gadis yang manis. Kulitnya putih bersih, sejak kecil rambutnya sudah terawat, tumbuh lurus, hitam dan berkilauan di bawah sinar matahari. Beda dengan Eva yang rambut aslinya cenderung bergelombang dan mengembang. Apalagi Erina murah senyum dan malu-malu lucu saat diajak bicara orang baru.

“Kak, disuruh Mama ajak temannya makan.” Erina membuka sedikit pintu kamar Eva, celahnya hanya cukup untuk menyembulkan kepalanya saja.

“Mama masak apa?” Tanya Eva. 

“Ada rendang ayam sama nggak tahu apa lagi.”

“Oke, kita turun sebentar lagi.” 

Sebelum pergi Erina sempat membalas tatapan Saga dan memberinya senyum manis. “Dia adik kamu?” 

“Iya.”

“Kok nggak mirip?” 

“Cantikan aku, ya?”

“Iya kalau dilihat sambil terjun payung.”

Eva menendang kaki Saga sebal. “Mau ikut makan, nggak?”

“Dia juga ikut?” Tanya Saga antusias. 

Eva memutar bola mata malas. “Ya iya lah. Dia baru pulang sekolah.” Dan setelahnya Saga langsung melompat bangun, tanpa sungkan ikut makan di meja makan keluarga Eva. 

Sejak saat itu Saga tidak pernah menjauhi Eva lagi, di beberapa kesempatan Saga akan bertanya tentang Erina. Pertemanan Eva dan Saga makin akrab, Saga sering menawarkan diri mengantarnya pulang. Tiap ada tugas kelompok, Saga pasti menyarankan mengerjakannya di rumah Eva, alasannya rumah Eva paling dekat dengan sekolah. Lama-lama sikap Saga membuat Eva berpikir, mungkinkah Saga diam-diam menyukainya. Eva pun menunggu dalam harap saat dimana Saga akan datang untuk menyatakan perasaannya. 

Suatu waktu Saga pernah mentraktir Eva burger dobel keju kesukaan Eva. Inikah saat-saat yang ditunggunya itu? Eva sangat gugup hingga tidak tahu apa yang harus dilakukan.

“Tumben,” komentar Eva, lebih karena tidak punya topik keren untuk mengalihkan rasa gugupnya. Ia menerima burger pemberian Saga dan melahapnya dengan satu gigitan besar.

Saga duduk di sebelahnya dengan santai, suasana hatinya tampaknya sedang sangat baik. “Itu sogokan.”

“Hah?” Eva bertanya-tanya dengan mulut penuh burger yang belum terkunyah halus. 

“Aku sepertinya suka sama adikmu. Bantu aku mendekati dia, ya?"

Sejak saat itu hingga detik ini Eva tidak pernah lagi makan buger, ia tiba-tiba begitu membenci makanan itu.

Eva tidak tahu bagaimana mulanya, tahu-tahu Saga dan Erina memiliki nomor masing-masing dan saling berkirim pesan singkat layaknya pasangan remaja sedang pendekatan.

Erina terlihat bahagia meski harus menyembunyikan kedekatan istimewanya dengan Saga dari orang tua. Saat itu Erina baru kelas 9. Eva tidak punya alasan menentang, perasaan sepihaknya sama sekali tidak penting dibandingkan kebahagiaan mereka berdua. Saga pemuda yang baik dan selalu menatap Erina dengan kagum, bahkan saat Erina tidak sedang melakukan apa-apa. Dan semenjak dekat dengan Saga, Erina jadi lebih bersemangat. Dia mulai aktif mengikuti kegiatan sekolah dan rajin belajar karena ingin terlihat baik di mata Saga.

*** 

Saat Prita bilang ingin mengusahakan mediasi, Eva tahu Prita tidak benar-benar akan melakukannya. Sama seperti Eva, Prita bukan orang yang akan mengakui kekalahan dengan mudah, dan membuat mereka terlihat seperti lawan yang lemah. 

Meski Eva masih menolak menemui media, sebagai perwakilan Eva, Prita merilis video CCTV yang terpasang di rumah tetangga Eva yang menyorot ke jalan. Video itu menampilkan Eva menyelipkan uang ke saku jaket si kurir lantaran kedua tangan kurir itu memegang keranjang bunga, sebelum Eva masuk dan menutup pagar. Saat kurir itu berbalik, uang yang memang tidak sepenuhnya masuk kantong jatuh dan berhamburan di aspal.

Setidaknya video itu bisa membantah keterangan bahwa Eva melemparkan uang dan sikapnya masih cukup wajar. Si kurir juga ikut dalam konferensi pers itu, ia meminta maaf secara terbuka dan mengakui bahwa apa yang dia posting atas perintah orang lain. Berkat pesan terhapus yang berhasil dipulihkan oleh orang suruhan Prita, kurir itu bisa membuktikan ucapannya. Prita melanjutkan bahwa nomor pengirim pesan itu adalah nomor ponsel Mira. 

“Kami memaklumi keluguan Pak Syarif dan Evaria menganggap masalah itu sudah selesai. Evaria memaafkan Pak Syarif dengan sepenuh hati. Dan di sini saya akan tegaskan juga kalau yang menyerang dan memulai perkelahian itu bukan Evaria, pelapor lah yang lebih dulu menyerang Evaria. Jadi saya tegaskan, bahwa benar ada perkelahian, tapi sangat salah jika itu disebut penganiayaan.  Yang Eva lakukan semata-mata untuk membela diri. Perlu diketahui juga bahwa Evaria juga mengalami luka-luka, kami sudah menyerahkan semua bukti yang kami punya ke pihak kepolisian. 

"Perlu diketahui juga, di beberapa kesempatan pelapor yang kita tahu adalah jurnalis itu kerap melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya menggiring opini publik ke arah tidak benar. Mohon teman-teman media untuk objektif dalam melihat masalah ini, jika satu orang terlibat dalam beberapa isu berbeda, sudah jelas ini merupakan tindakan terencana untuk upaya merusak reputasi dan nama baik Evaria Dona.”

Eva sempat berdebat dengan Prita lantaran tak mau melaporkan balik Mira atau minimal melaporkan atas gugatan pencemaran nama baik. Sekarang keadaan jauh lebih baik karena warganet tidak lagi menyerang Eva dengan komentar-komentar jahat, kebanyakan marah karena berhasil dipermainkan oleh Mira yang dinilai hanya ingin panjat sosial, sementara sisanya mengasihani Eva.

Mereka bisa memaklumi pertengkaran itu terjadi lantaran siapa pun akan marah jika difitnah. Eva meminta Prita untuk memastikan fokus pemberitaan bukan hanya tentang Evaria difitnah, tetapi juga bagaimana Mira mempermalukan profesi jurnalis Indonesia.

Entah di mana pun Saga berada, Eva harap dia melihat ini. Eva bisa bangkit, meski tanpa menerima uluran tangan Erina.

“Mbak, semua sudah siap,” Lala memberitahu. 

Eva menghadap ke cermin lagi, memastikan penampilannya. “Sudah terlihat natural, kan?”

“Kalau dibanding make up Mbak Ev biasanya, ini sudah sangat natural.” Eva menyetujui jawaban Lala. Ia menyukai gaya riasan yang bisa memberi kesan tajam di matanya, dan ia biasanya cenderung memakai lipstik berwarna. Eva pernah muncul dengan riasan minim ala Korea, orang-orang mengatakan ia seperti bukan Evaria Dona. Sejenak Eva menanggalkan baju-baju glamornya dan hanya memakai kaos putih polos. 

Di  salah satu sudut rumahnya sudah ada tripod dengan kamera menyala dan Prita sedang mengatur latar belakang, sengaja menata bantal sofa berantakan agar lebih terasa nuansa rumahan.

“Ingat yang harus kamu katakan? Jangan perlihatkan kebencianmu, cobalah saat bicara nanti sambil tersenyum bersahaja. Katakan kalau selama ini hubungan kamu dengan adik tirimu baik-baik saja. Jangan buat ini jadi masalah keluarga, kamu bisa membunuh Erina nanti. Tapi sekarang habisi Mira dulu,” ujar Prita saat Eva duduk di kursi yang sudah disediakan. “La, tisu, La.” 

Lala mengambil kotak tisu di dekatnya dan menarik beberapa lembar untuk Prita. “Harusnya nggak usah pakai lipstik.” Prita menghapus lipstik warna paling natural yang Eva miliki sambil mendecakkan lidah, “sudah dibilang jangan make up sama sekali, mata panda kamu harusnya diperlihatkan."

“Aku nggak mau terlihat seperti orang sakit keras.” Eva mengelak saat tisu Prita akan diarahkan ke sekitar pipinya, hendak menghapus perona pipi yang Eva sapukan sangat tipis di pipinya.

“Kamu harus terlihat seperti orang banyak pikiran.”

“Tidak, aku harus memberi kesan optimis kalau sejak awal aku nggak salah.”

Ada benarnya juga, Prita pun mengalah. Ia menuju belakang kamera di mana Lala sudah bersiap di sana, Prita memastikan wajah Eva di layar sudah sesuai dengan yang diharapkan. 

“Akan sempurna kalau bibirnya kering, matanya merah, dan kantung matanya tebal,” komentar Lala.

“Iya, kan?” Mengingat Eva sangat keras kepala, Prita tidak bisa berbuat apa-apa. Kemudian Prita mulai menghitung mundur. 

“Halo, semua. Gimana? Puas maki-maki aku?” 

“Cut! Cut!” teriak Prita menyilangkan tangan membentuk huruf X di depan dada. “Serius, dong, Va!”

Lampu yang berkedip menandakan rekaman masih berjalan. “Kalian ini gampang sekali terpengaruh ya, ada isu kecil, ramai-ramai kalian menggorengnya. Belum lama kalian puji-puji aku, eh besoknya caci maki. Terus sekarang jadi motivator dadakan yang menyuruh aku kuat."

Prita mengomel-omel menyuruh Eva berhenti sementara Lala tertawa-tawa, mendukung tingkah Eva.

“Mira, aku penasaran apa yang ingin kamu dapatkan dari ikut campur masalah orang lain?  Hal buruk apa saja yang Erina ceritakan tentang aku sampai kamu mau-maunya mempertaruhkan diri demi dia? Aku kira Lala adalah orang terbodoh di dunia, tapi ternyata kamu jauh lebih parah dari dia.”

“Kok aku dibawa-bawa?!”

“Heh, Evaria!”

“Dan buat malaikat Erina, kamu pasti senang punya orang-orang yang rela pasang badan untuk kamu. Kamu tahu, itulah kesalahan terbesarmu. Berhenti pura-pura lemah, kamu sangat mengerikan karena  bisa menghancurkan keluargaku."

Mengatur napas dalam diam beberapa menit, perlahan-lahan bara di mata Eva meredup. Akhirnya Eva berhasil mengendalikan dirinya. Eva menatap kamera lagi dan membuat video klarifikasi dengan benar kali ini.

Padahal hanya begitu saja, Eva merasakan sedikit ganjalan di dadanya terangkat.

***

"Semakin tinggi pohon bukan cuma semakin kencang angin yang menerpa,  tapi juga makin banyak orang yang ingin memanjat numpang tenar. Yang kuat ya, Evaria."

"Yang fitnah kurang profesional nih, masa cepat sekali ketahuannya."

"Hayooo yang sampai kemarin masih hujat Evaria, selamat menjilat ludah sendiri."

"Semangat, Eva, kami semua mendukungmu." 

Bagian paling mengesalkan adalah Eva harus mengakui ia membutuhkan dukungan warganet meski sebenarnya ia sangat muak dengan kemunafikan mereka. Berlagak mendukung isu kesehatan mental, tapi tetap merundung seseorang meski beritanya baru sebatas rumor yang belum terkonfirmasi. Hal sesepele pilihan gaya berpakaian, bentuk badan, dan bahkan jerawat di wajah yang sesungguhnya tidak dikehendaki pun mereka komentari.

Eva sering menemukan komentar, 'kalau mau jadi artis harus siap dikritik'. 

Artis bukan sasaran halal kritik, warganet bukan hakim yang bebas mengkritik. Artis juga manusia, keterlaluan jika ada yang menuntut dia untuk jadi sempurna tanpa cela. 

Tidak semua orang memiliki mental kuat, ada orang-orang yang bisa langsung jatuh mentalnya hanya dengan kalimat singkat, 'ah, begitu saja baper'. Dan ada juga yang entah mentalnya terbuat dari apa, justru bisa 'cari makan' dari sana.

Yang Eva heran, apa mereka tidak sadar keributan yang mereka ciptakan tidak memberi mereka manfaat apa-apa?  Keributan itu hanya akan membuat yang sengaja mencari sensasi tercapai tujuannya, dan yang mengharapkan damai dihantui kecemasan dalam bertindak karena merasa banyak mata yang mengawasi dan siap mencari-cari kesalahannya untuk dicaci. 

Menjadi seorang Evaria Dona, Eva harus bisa menempatkan dirinya di tengah-tengah. Ia tidak boleh terlalu 'bodo amat' yang akhirnya membuat warganet selalu memiliki stok bahan nyinyiran, tapi juga tidak boleh terlalu dibawa perasaan yang membuatnya menjadi tidak percaya diri. 

Rasa-rasanya itu formula yang bisa diterapkan setiap orang, mau dia tokoh publik atau bukan, agar jangan membiarkan hidup kita dikendalikan oleh komentar orang lain. Jika komentar itu dirasa benar dan masuk akal, perbaiki diri. Jika komentar itu tak berdasar, keluarkan lagi lewat telinga kiri. 

"Mira belum mengeluarkan pernyataan lagi, La?" tanya Eva pada Lala yang selalu memantau aktivitas jagad maya. 

"Dia nggak bisa bantah apa-apa soal Pak Syarif, tapi dia masih bersikeras kalau Mbak Ev memang menganiaya dia."

Eva berdecih. "Jadi dia masih belum akan menyerah?"

"Mungkin karena sudah terlanjur tercebur, jadi sekalian basahnya."

"Benar-benar gigih."  

Meski akan merepotkan berurusan dengan hukum, tidak masalah karena pada akhirnya Eva akan tetap menang di pengadilan. Bukankah Eva sudah bilang, Mira akan jatuh di lubang yang dibuatnya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status