marianna school tempat justin bersekolah.
Justin anak yang susah di atur. Ia sering sekali membuat ayah nya marah dan menghukum dirinya. Justin juga seorang anak nakal yang selalu memakai obat terlarang dan beberapa kali tertangkap polisi. Beruntung ayahnya yang mengenali juga seorang yang berdampak di kota tersebut membuat Justin tidak di penjara.
Justin anak tunggal dalam keluarganya membuat dia sangat di sayang ibu nya. Justin mempunyai Geng yang ia nama sendiri dengan nama 'kapak berdarah' yang terdiri dari siswa anak sekolahan lain juga sekolahan nya sekarang.
Justin hampir tidak pernah mengikuti pelajaran dan hampir setiap hari juga ia membolos sekolah. Justin menjadi ketua geng yang harus mengontrol semua anak buahnya, menjadikannya seorang anak yang kuat. Justin sangat disegani para teman-temannya bahkan guru-gurunya juga tidak ingin berurusan dengan dirinya.
Justin tidak memandang siapa yang dia lawan kecuali ayah juga ibu nya.
Pada suatu hari Justin seperti biasa membolos sekolah dan pergi ke markas dekat dengan sekolah nya. Ayahnya akan mengunjungi Justin pada saat jam istirahat. Justin akan kembali nanti pada saat sebelum istirahat. Justin sudah meminta bawahannya untuk dapat berkomunikasi ketika ada ayah nya nanti.
Justin bermain dengan teman-teman nya di basecamp, lalu menggunakan obat terlarang. Justin yang sudah teler tidak bisa bergerak. Ia mendengar suara dari handphone nya namun tidak dapat di raih. Lalu semakin lama pandangan nya kabur membuat dia tidak sadarkan diri.
Saat Justin terbangun ia masih berada di tempat basecamp nya. Kepalanya terasa pusing tidak karuan. Lalu ia melihat handphonenya yang sudha menunjukkan pukul 5 sore. Suda sekitar 9 jam ia berada di tempat tersebut. Dan sudah banyak telfon masuk dari temannya itu. Justin yang masih pusing bangkit berdiri. Lalu ia menyadari bahwa teman-temannya telah mati di hadapannya. Semua tempat itu banyak darah juga tubuh dari pada temannya.
Justin terduduk dengan kaki gemetar. Wajahnya memucat bagai mayat. Tangan gemetar juga dengan mulutnya. Lalu ia melihat seekor hewan yang menyeramkan tepat di hadapan nya yang sedang menggigit satu temannya tersebut. Ia perlahan meraih tongkat lalu memukul nya dengan sangat keras.
Justin menjatuhkan tongkjat tersebut ketika hewan itu tidak bereaksi sama sekali dengan pukulannya. Kaki nya semakin gemetar juga lemas. Lalu temanya yang masih hidup meminta Justin untuk lari. Justin yang suda tidak bisa berlari terjatuh. Hewan itu berada di atas Justin. Ia mengelus wajah Justin juga menjulurkan lidahnya yang penjang. Lalu hewan itu melompat keluar dan menghilang ke hutan.
Justin membuka bajunya berusaha menahan darah yang keluar dari tubuh temannya tersebut.
"Tidak Justin, sudah terlambat. "
"Tidak ... Tidak ... Tidak!"
"Sampaikan pesanku pada orang tua ku, aku meminta maaf pada mereka. Juga sampaikan pesan pada mereka kalau aku tidak bisa membuat mereka bangga."
"Jangan berkata seperti itu Van! Akan aku bawa kamu ke dokter."
"Tidak Justin, biarkan aku menghembuskan nafas terkahir disini ... Di tempat kita berbagi kenangan sama yang lain, lu jangan jadi orang yang lemah ya Justin! Thank you for your memory."
Hembusan nafas terakhir telah d keluarkan teman Justin. Justin menggoncang tubuh temannya itu berteriak memanggil namanya. Justin yang tidak kuasa menahan airmata pun keluar. Ia menangis sejadi-jadinya. Kini di dada nya seperti ada tancapan besi yang tepat mengenai hati.
Justin membawa mayat dari temannya tersebut menuju rumah nya. Justin selama perjalanan memandangi wajah temannya dan tidak berhentinya menangis. Sekujur tubuhnya sudah di penuhi bercak darah.
Sesampai di rumah temannya, ia mengetuk pintu. Pintu di buka kan oleh ibu dari temannya.
"Eh Justin, kenapa? Si Van belum pulang ... Katanya tadi di sekolah Van juga gak masuk."Justin mengeluarkan airmata nya. "Eh Justin kok nangis?"
Justin membuka kain yang menutupi wajah temannya. Betapa terkejut ibunya melihat anak nya di penuhi dengan darah juga banyak luka. Ibu nya menangis lalu terjatuh pingsan kemudian. Tak lama datang ayah nya yang melihat istri tercinta nya telah tidak sadarkan diri. Ia menanyakan kepada Justin namun tak sengaja ia melihat anak nya yang sudah terbaring kaku. Justin membantu membangunkan ibu dari temannya.
Saat sudah bangun, ibu nya memeluk anak nya dengan isak tangis.
"Van ... Kenapa kamu duluan yang pergi, Justin ... Ivan kenapa Justin? Ivan masih ada kan? Iya kan?"
Suami nya merangkul istrinya lalu meminta Justin untuk pergi dari rumahnya. Sebelum pergi, Justin diberi tahu ayah temanny itu kalau ia akan melaporkannya ke polisi.
Justin berjalan dengan firkian yang kosong. Ia mengetuk pintu rumah nya disambut dengan ibu nya yang membuka pintu. Ibu Justin memeluk denga erat. Ia melihat bahwa baju Justin telah penuh dengan darah. Lalu keluar ayah Justin yang dengan cepat menampar Justin.
"Kau! Kau hanya bisa mempermalukan keluarga! Kenapa ... Kenapa kamu membunuh teman mu itu? Ayah sudah tahu semua, ayah Ivan menelfon dan mengabarkan semuanya. Dia akan menelfon polisi lalu, KAU! Di pastikan masuk penjara." Ayah Justin memegang pipi Justin lalu menarik rambut Justin. Justin hanya terdiam melihat ayahnya, "berulang kali sudah ku bilang jangan berbuat hal yang mempermalukan keluarga! Sekarang ... Sekarang kau lihat, tidak ada yang bisa ku lakukan. AKU AKAN KEHILANGAN DIRIMU JUSTIN! Kau anak yang bodoh." Sekali lagi dengan cepat ayah Justin menampar nya.
Ibu Justin meredakan ayah nya. Ayah Justin duduk dan menangis. Justin mekuaht airmata keluar dari ayahnya. Baru pertama kali ia melihat ayah nya keluar airmata karena dirinya. Justin berlutut perlahan. Ia menempelkan kepalanya ke lantai, lalu meminta maaf.
"Sudah terlambat Justin, sudah terlambat."
Ibu Justin meredakan ayah nya. Ayah Justin duduk dan menangis. Justin mekuaht airmata keluar dari ayahnya. Baru pertama kali ia melihat ayah nya keluar airmata karena dirinya. Justin berlutut perlahan. Ia menempelkan kepalanya ke lantai, lalu meminta maaf. "Sudah terlambat Justin, sudah terlambat." Lalu ayah nya bangkit berdiri kemudian meminta Justin ikut berdiri. Yang kemudian tak lama suara sirine mobil polisi terdengar. Ibu Justin khawatir anaknya akan di tangkap. Ibu Justin membujuk ayah nya untuk dapat melakukan sesuatu. Namun ayahnya menggeleng kan kepala nya pelan. "Sudah tidak ada jalan keluar sayang, kamu tenang dan biarkan aku yang mengurus." Laku terdengar suara teriakan polisi yang meminta Justin untuk segera keluar. Justin melihat ke arah pintu. Ayahnya mengetahui bahwa Justin gemetar, ayah Justin memegang tangan Justin kuat dan menatap anaknya.
"Who am i? Pasti kau tau bukan? Dan sebenarnya ini dimana? Dan apa yang kau maksud tadi?" "Uwaahhh ... seperti wartawan yang sedang bertanya pada artis saja. Baiklah aku akan bercerita." Justin tetap menatap tajam, "Jadi gini." Flashback Zaman dahulu terdapat seorang manusia yang sangat suka berfoya-foya. Uang orang tua nya telah habis karena ulahnya. Sekarang ia di usir oleh kakak-kakaknya dan berjanji akan membalas dendam akan perlakuan dari saudaranya. Sampai suatu ketika, ia menemukan sebuah gua yang besar juga terdapat banyak kelelawar. Ia sangat takut melihat kelelawar tersebut. Karena tidak ada pilihan lain lagi, ia tinggal di gua tersebut. Yang kemudian terdengar suara teriakan minta tolong. Bergegas bangun lalu pergi mengecek nya. Setelah di luar, tidak terdapat apapun disana hanya ada pohon yang bergoyang di tiup angin. Lalu
Mereka pergi dengan luka. Ketiga saudara itu sekarang menjadi musuh bagi Julian. Kakak pertama dan kedua sekarang telah berubah menjadi serigala yang bertekad menghabisi Julian. Kakak ketiga dari Julian di juluki alpha pertama dan awal mula peperangan terjadi. "Tapi aku bertanya tentang siapa diriku bukannya ingin mendengar omong kosongmu." "Sekarang gini, siapa nama ayah mu?" "Robert." "Nama kakek mu?" "Rolphy." "Kakek buyut mu?" "Apa sih kenapa jadi menanyakan hal seperti ini?" Justin marah karena tidak pada intinya. Namun wanita tersebut tersenyum rammah terhadap Justin. Ia membawa Justin pergi menuju lorong sekolah dekat dengan pintu masuk sekolah yang besar. Justin menuruti kemana ia akan membawanya lalu Justin melihat kepala sekolah yan
"Lawan dia! kau boleh menggunakan apa saja di dalam ruangan ini, kecuali benda tajam." Semua berteriak, meneriaki mereka. Justin melihat mata yang begitu menyeramkan menatap dirinya. Justin berusaha menghindar namun sesekali ia terkena cakaran serta bantingan dari temannya itu. Jusin yang sudah babak belur di buat temannya itu semakin melemah. Hingga Justin membentur meja yang membuatnya pusing. Ia melihat kesekitar dengan berbayang. Pandangannya kabur juga terdengar suara yang semakin memekik telinganya. Guru Justin melihat bahwa Justin tidak bisa melanjutkan. "Stop!" Berjalan mendekati Justin membantunya berdiri, "cukup pelajaran hari ini." Guru Justin membawa Justin ke pusat kesehatan sekolah. Di baringkan nya Justin di atas kasur lalu datang lelaki yang bersama dengan orang tua Justin. "Ada apa dengannya, kenapa Justin bisa seperti ini?" Ia melihat k
"Justin ...." "Susst bentar ah, lagi laper ini." "Justin ...." "Aduh apaan sih!" Justin melihat ke belakang, "eh Bu guru ... Mau makan Bu?" Justin yang tertangkap basah telah membolos di hukum oleh gurunya untuk berlari selama 30 menit mengelilingi lapangan. Tepat 10 menit, bel berbunyi. Semua siswa beristirahat yang dimana semua keluar dari kelas masing-masing. Justin menjadi perhatian bagi banyak siswa, dan juga menjadi perhatian Kasih juga teman-teman nya. Wajah kasih tampak tidak senang dengan Justin yang melanggar aturan. Selesai berlari Justin pergi ke kantin karena ingin beristirahat. Waktu istirahat tinggal beberapa menit saja. Justin memanfaatkan nya dengan tidur di pojok kantin tepat di atas bangku. Saat memejamkan mata, Justin menaruh buku untuk dapat menutupi wajahnya tersebut. Tak berselang lama, buku terse
"Duh bikin kaget aja." Justin jongkok dan berniat ingin mengelusnya, "kalau ini mah kecil." Namun tiba-tiba ... Seketika mahkluk kecil itu menunjukkan deretan gigi yang tajam dengan mempunyai sayap yang tajam. Justin melemparnya karena ketakutan ia berlari ke arah pintu berusaha membuka nya namun ia tidak dapat membuka. Justin berlindung di samping kotak yang berada di depannya. Ia meraih tongkat sebagai jaga-jaga. "Justin? Dimana kamu Justin?" Terdengar suara ibu dari Justin. Namun Justin tidak gegabah, ia perlahan mengintip dari celah melihat keberadaan dari mahkluk tersebut. Alangkah terkejutnya dia saat tersadar bahwa yang memanggilnya ialah mahkluk tersebut. "Holy shit ...." Justin berbicara hingga terdengar oleh mahkluk itu. Mahkluk tersebut menyerang Justin. Dengan sekali lemparan membuat Justin
"Temani aku berbicara disini ... Aku kesepian." Kasih diam memikirkan nya sejenak, "ku mohon Kasih." Kasih kembali terduduk lalu Justin tersneyum lebar. "Ingat, hanya sampai jam pelajaran di mulai kembali." "Siap komandan." Sudah lewat dari jam pelajaran namun bel tidak kunjung berbunyi. Kasih curiga terjadi hal yang tidak diinginkan. Ia pergi dari ruang kesehatan menuju ruang para guru. Justin berada di ruangan tersebut dengan tersenyum. Ia merasakan degup jantung nya yang sangat bersemangat. Ia terus memikirkan tentang Kasih juga senyumannya. Lalu tak lama datang sekelompok siswa yang masuk ke ruang kesehatan. Mereka menatap Justin. Lalu menutup pintu kemudian berjalan menuju Justin. Justin merubah posisinya menjadi duduk. Mereka mendekat dengannya. Salah satu dari antara mereka menanyakan nama dari Justin. Justin menjawa
Justin yang bingung pun berdiri dan bertanya. Kepala sekolah hanya meminta Justin untuk kembali duduk dan jangan berisik. "Aku hanya meminta satu hal pada mu Justin. Tapi aku ingin kau diam dan tutup mulut mu dari yang lain." "Aku bukan tipe manusia yang menyebar berita." "Kau bocah dalam ramalan, dan kau harus melakukan pelatihan ... Untuk dirimu sendiri!" Justin tersentak mendengarnya. Ia lalu mendekati kepala sekolah kemudian melihat matanya. Justin tersenyum miring. Justin menolak pelatihan yang dimaksud dengan kepala sekolah. Justin pun berbalik lalu berbaring di tempat tidur kemudian membaca buku komik kesukaannya. Justin meminta kepala sekolah untuk segera pergi jika tidak ada keperluan yang lain. Kepala sekolah yang tidak patah semangat, terus memohon kepada Justin hingga berlutut di hadapannya. Justin yang tetap keras dengan pilihannya, ia han