Share

07. That's My Girl

 

***

 

Dua hari berlalu sejak konfrontasinya dengan Isa di ruang makan. Tidak ada interaksi berarti antara mereka selain tidak sengaja berpapasan. Keduanya bahkan menolak saling menyapa.

Marco sengaja menyibukkan diri berjam-jam di ruang rapat bersama Jett, Ash dan Talon. Berusaha menelusuri dalang dibalik penyerangan pengawal dan ancaman penculikan terhadap Isa.

Terdengar suara terbahak dari ruang makan. Marco yang sedang menuju ruang rapat menghentikan langkahnya di lorong. Sosoknya terlindungi pilar besar menuju area makan. Mengamati apa yang sedang terjadi disana.

 

***

"Ayolah, Z! Hentikan, cukup! Geli, haha!" suara Isa terdengar kegelian.

"Belum cukup, Putri. Ini tidak adil jika dibandingkan dengan apa yang sudah kau lakukan padaku."

"Dasar pendendam kau, Z!" Suara gelak tawa Isa semakin menjadi. Ini pertama kalinya Marco mendengar Isa tergelak keriangan. Entah apa yang sudah Zay lakukan terhadap gadis itu.

Marco memasuki dapur. Berdeham. Memecah keriuhan dapur dan disuguhi pemandangan Isa yang sedang duduk berhadapan di pangkuan Zayden. Meja makan dipenuhi berry, kismis dan cereal warna warni bertaburan.

Ia memandangi Zay lalu kembali ke Isa. Gadis itu mendadak membungkam keceriannya. Mengatupkan bibirnya dan menolak bersuara. Deretan derai tawa tadi menghilang entah bersembunyi dimana. Isa menolak memperlihatkan kegembiraannya pada Marco. Seringai puas tampak dimata gadisnya ketika menatapnya.

Apa? Gadisnya? Hah! Marco bisa merasakan darahnya naik ke ujung kepala dan rasanya ia ingin mencekik adiknya sendiri. Astaga!

Adiknya juga tidak kalah jahil. Mengulum senyum sembari masih memangku Isa. Jemarinya mendarat di paha mulus gadisnya. Mengelus perlahan keatas ke bawah, lalu kembali lagi ke atas seperti setrikaan. Kesengajaan yang seakan mengetes tingkat kesabarannya.

Oh Tuhan, siapa yang dia sebut, Gadisnya? Gadis manja itu? Bukankah ia sendiri yang menegaskan bahwa Isa off-limit?

"Zayden." Marco memecah suara dan mengirim sinar laser melalui pandangannya. Berharap adiknya akan terbelah menjadi tiga bagian secara otomatis.

"Marco."

"Kutunggu di ruang kerjaku, sekarang!" Marco mengatakan itu seraya mengalihkan pandang dari Isa.

Baiklah, ia akui Isa adalah gadisnya! Persetan dengan off-limit! Tidak ada yang boleh mendaratkan apa pun pada bagian tubuh gadis itu selain dirinya! Astaga, ia sudah terdengar dominan!

Seolah menolak kehadiran Marco, Isa menolak bangun ketika Zay mencoba membantunya berdiri.

"Ayolah, Isa! Aku harus menemui Marco." Zay merayunya.

Isa membisiki sesuatu pada Zay.

Hei, apa yang begitu rahasia hingga aku tidak boleh dengar? Marco berteriak dalam hati. Kemarahannya hanya tersalur dalam kepalan tangan dan urat di sekitar lehernya yang mulai menegang.

"Ayo, Zay. Waktuku tidak sebanyak dirimu!" Ia berkata tidak sabar.

"Please, Isa! Aku akan coba kabulkan permintaan terakhirmu tadi. Sekarang ijinkan aku menghilang sekejap. Dalam hitungan menit aku akan kembali di hadapanmu."

Marco berbalik dan berjalan menuju ruang kerjanya. Seolah tidak mendengar cicit Isa yang merajuk kehilangan teman bermainnya.

 

***

"Hei, apa yang kau lakukan tadi, Zayden?"

"Aku? Aku sedang sarapan. Menunggu panggilan rapat denganmu."

"Apa yang kalian berdua lakukan? Apakah dua belas kursi berderet itu tidak cukup hingga dia harus kau pangku?"

Zay menyeringai jahil. Tidak berniat menjawab pertanyaan kakaknya. Baru kali ini dalam hidupnya, ia melihat Marco kelabakan. Begitu emosi. Mendaratkan pertanyaan yang bukan dirinya. Hah, kena kau, Marco!

"Apa maksudmu? Isa? Dia juga kebetulan sedang sarapan. Kami tidak sengaja sarapan bersama. Kalau kau ingin ikut, silahkan bergabung dengan kami besok!" Zay mencoba menggoda kakaknya.

"Tempo hari sudah kukatakan dia off limit, Zay. Bagian mana dari kalimat itu yang tidak kau mengerti?" Marco menusuk dada Zay dengan telunjuknya. Mereka berdiri berhadapan. Marco membusung di depannya.

"Rileks, Marco. Kami tidak melakukan apa-apa," Zay melanjutkan, "atau ... tepatnya aku yang belum melakukan apa-apa. Isa manis sekali, Marco."

Ya, ya, aku tahu, Zayden. Maka dari itu, aku harus melindungi Isa dari serigala macam kau, meski kau adalah adikku. Marco mencoba mencerna kalimat terakhirnya.

Marco memandangnya penuh curiga. Untuk urusan pekerjaan, ia berani mengandalkan Zayden tapi untuk urusan perempuan. Zayden adalah jelmaan serigala berbulu domba. Semua yang keluar dari mulut serigala kecil ini perlu diwaspadai.

"Bagaimana dengan Los Angeles? Sudah kau siapkan semuanya? Apa saja yang harus kulakukan disana?" Zay mencoba mengalihkan pembicaraan.

Marco yang pemarah bukan sisi Marco yang ingin kau dekati dalam ruangan yang sama. Bisa repot urusan jika membiarkan emosi Marco berlarut-larut. Zayden menguatkan dirinya.

"Sudah kusiapkan semuanya. Kau tinggal berangkat. Semua prosedur dan detail yang kau butuhkan sudah tersedia disana."

Zay mengangguk.

"Ingat, kau dikirim untuk mencari siapa yang menjadi tikus pengerat dalam perusahaan ini. Jangan menjajakan dirimu sepanjang waktu pada gadis-gadis berbikini di sepanjang pantai California. Kabari aku begitu kau mendapat informasi tentang pengkhianat itu."

"Aye-aye, Captain!" Zay memberi hormat pada kakaknya. Masih mengamati dengan tatapan jenaka seakan belum puas mengerjainya.

"Ada apa lagi, Zay? Ada yang ingin kau tanyakan?" Marco bersuara tidak sabar seakan ingin segera mengusir adiknya ke ujung dunia.

Hei, darimana rasa tidak aman ini. Situasi ini bukan mencerminkan seorang Marco Fox yang logis dan penuh perhitungan.

"Satu hal lagi, Marco. Isa lebih cocok untukmu. Tidak perlu salah paham atas kejadian tadi pagi." Zayden berkata serius. "Jangan terlalu keras pada diri sendiri, man!"

Marco mengernyitkan dahi. Bingung mau merespon seperti apa. Dia hanya melambaikan tangannya, mengucap selamat tinggal dan segera mengenyahkan Zayden dari pandangannya.

Ia kembali mengingat merdu tawa Isa yang terurai lepas dan sedikit menyesal tidak menyibukkan Zay selama dua hari terakhir. Bagaimana kalau Isa lebih memilih serigala yang kekanakan seperti Zayden dibandingkan serigala serius seperti dirinya. Marco mempertanyakan kemampuannya sendiri.

 

***

Isa masih menimbang apa ia perlu menghubungi Teresa dan mengadukan perilaku Marco tempo hari. Meski sebetulnya, ia yang menjadi tersangkanya. Bagaimana ia harus sepicik itu untuk menyingkirkan Marco dari pekerjaannya? Toh, lelaki itu hanya melakukan tugas sebagai pengawalnya.

Hei, mengapa kini ia malah justru berada di pihak Marco sih?

Tok! Tok! Pintu kamarnya diketuk pelan. "Masuk."

Zayden memasuki kamarnya dengan tenang. Isa yang sedang duduk diatas ranjang segera menepuk ruang kosong di sebelahnya. Zayden menggeleng.

"Aku harus berangkat mengejar penerbangan, Isa. Aku pamit ya."

"Kau apa?" Isa mengulang pertanyaannya.

"Aku harus mengunjungi kantor kami yang ada di LA."

"Kenapa bukan Marco yang pergi?"

"Karena dia Bos Besar. Haha." Zayden mencoba bergurau, "Sudah, jangan sedih begitu. Kau masih bisa bermain dengan Marco. Kakakku itu hanya butuh dilenturkan supaya tidak kaku. Mungkin kau jawabannya."

Isa mengerucutkan bibirnya dan merengek seperti anak kecil. Ia tidak rela kehilangan teman main yang unik seperti Zayden.

"Jaga dirimu, Isa. Selalu patuhi dua peraturan utama jika menyangkut Marco. Pertama, Marco selalu benar. Kedua, ingat peraturan pertama. Jangan buat hidupmu lebih rumit dari ini!"

"Sudah cukup aku dengar soal Marco." Isa mendengus. Ia lalu beranjak dari ranjangnya dan mendekati Zayden didekat pintu. "Sekarang diam dan beri aku pelukan selamat tinggal, serigala kecil!"

Mereka akhirnya berpelukan dan mengucap selamat tinggal.

Isa menekan telepon Teresa dan membulatkan tekad untuk menjalankan rencana jahatnya. Sambungan teleponnya masih belum diangkat. Sudah pasti, Teresa sedang sibuk. Pikirannya kembali pada sosok yang tadi pagi mendadak muncul di meja makan dan menghentikan candaannya dengan Zayden. Isa mengakui ada yang berbeda dari tatapan Marco terhadapnya tadi pagi.

Apakah dia marah? Apakah dia cemburu? Apa haknya untuk marah? Mengapa dia harus cemburu, sedangkan ketika berpapasan saja mereka hanya saling membuang muka? Mengapa juga ia harus peduli? Dasar kau, Tuan Serigala!***

 

 

Add this book to your library! Love and Vote!

IG: Tabicarra10

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status