Aisya menatapi wajah Jerome yang terlihat begitu frustrasi berada dikediaman kakaknya itu, perempuan itu mendengus geli saat mengubah pandangannya ke arah dua manusia yang sedang bermesraan. Aisya tau bagaimana perasaan lelaki yang ada disebelahnya itu, sangat tau. Perempuan menepuk pelan pundak Jerome yang lagi termenung sendiri. "Apa loe tuh gak bisa move ke cewek lain gitu, Jer. Itu ipar loe sendiri lho, ..." dengus perempuan tersebut.
Helaan berat keluar begitu saja dari lelaki yang mengurus surat-surat perpindahan kerjanya. "Gue gak ngerti lagi, Ai. Semua udah gue coba. Pacaran sama Mia, menerima perjodohan nyokap, sampai tunangan sama Hilda juga. Tapi gue gak ngerti sama sekali, ... waktu kemarin kak Rosa pingsan dengan tanggap gue tinggalin semuanya. Loe bayangin ajh, gue yang lagi sibuk meninggalkan semuanya cuma buat dia doang, sedangkan Hilda yang selalu minta gue temani gak ada waktu sedikitpun." Jelas Jerome yang kembali menatap sendu keluarganya itu, Aisya mengembuskan nafas prihatin sampai Rosa datang membawa air untuk mereka berdua dan juga diikuti oleh sang suami dibelakangnya.
"Rose ayo nanti kamu telat," tarik Jaeran yang sedari tadi mengusik sang isteri, namun perempuan tak menanggapinya sama sekali.
"Bentar, Na. Lagi ada tamu juga, kamu manja banget sih." Tukas Rosa yang berjalan menaiki tangga. Jerome yang awalnya berbicara langsung mengatupkan bibirnya rapat, lelaki itu tau jika kakaknya sudah berada di sana dan terdapat hawa dingin yang menyelimuti mereka. Itu tanda ketidak sukaan Jaeran yang semakin kentara.
Suasana canggung datang tiba-tiba, Lami yang entah darimana masuk tanpa mengetuk pintu. Langkah gadis itu mengarah ke kamar kakaknya tersebut, Lami berniat meminta maaf pada Rosa karena telah membuat sang kakak jatuh sakit. "Kakak diataskan?" Tanya Lami pada Jaeran dan hanya dibalas anggukan tanpa menoleh sedikitpun.
Lami melangkah pelan lalu mengetuk pintu kamar kakaknya itu, "kak," ucapnya, memelan. Rosa membukakan pintunya lalu kembali berjalan ke meja rias.
"Bukannya kamu bilang ketemu di venue?" Ujar, Rosa yang memerhatikan sang adik dari cermin riasnya. Lami mengangguk lalu menunjukkan sesuatu yang membuat raut wajah perempuan yang duduk di depannya berubah. "Lami, kalo kamu ke sini cuma mau bahas Nanda lagi. Lebih baik kamu pergi," Lami terkejut dengan penuturan sang kakak.
"Bukan itu yang aku maksud, aku mau minta maaf pasal kemarin. Aku bener-bener nyesel udah ungkit itu ..." Rosa menatap manik adiknya yang mulai meneteskan air mata penyesalan. Perempuan itu merengkuh tubuh adiknya lalu mengusap pelan jejak air mata milik Lami. Sesaat semua seperti tentram dan terkendali, akan tetapi keadaan berubah ketika Lami mengatakan kabar selanjutnya. "K-kak," gugupnya yang meneguk salivah kasar.
"Kamu gak perlu gugup gitu, ngomong ajh. Ada apa?"
"Dia udah kembali," Rosa mengernyit heran kemudian melepaskan rengkuhannya. "K-kak Nanda datang membawa lamaran untuk kakak, ..." cicitnya memelan ketakutan, raut wajahnya berubah. Terkejut, emosi, marah dan kecewa semua berkecamuk jadi satu Lami yang melihat sang kakak memegangi kepalanya berdiri dan menutup mulutnya.
Gadis itu bingung harus melakukan apa, Lami mendekat ke arah kakaknya yang malah berdiri dari meraih gunting di atas meja. "Kamu tau kan dia hampir bunuh aku?" Lami mengangguk pelan lalu melangkahkan kaki perlahan.
"Dengerin dulu---" Lami di dorong hingga tubuh gadis itu terlempar pada kaca rias milik Rosa dan menimbulkan suara bising.
"DIA MAU BUNUH AKU!!!!" Jerit Rosa yang mampu terdengar hingga ke bawah, Jaeran menoleh dengan cepat begitu pula dengan orang-orang disekitarnya.
Lami mengakui ia melakukan kesalahan dengan memberitahu kabar itu, gadis itu mencari obat sang kakak yang biasanya ditaruh di dalam laci. "Mana obatnya, ..." lirihnya kesal. "Kak sebentar dengerin dulu!" Tukasnya menyela.
"DIA MAU BUNUH AKU!!?" lengkingan itu semakin menjadi hingga Rosa hampir melukai dirinya lagi, dengan cepat Lami menahannya dan terkena pinggul gadis itu. Sreett. Gadis menahan rasa sakit dipinggulnya kemudian memeganginya seraya menahan tangan sang kakak.
Jaeran masuk bersama Jeno dibelakangnya, pemuda itu langsung berlari ke arah Rosa yang terus histeris menyebut nama Nanda. Lami terduduk lemas memandangi kondisi sang kakak terlihat begitu menyedihkan, nafasnya terengah dan tanpa sadar air matanya kembali menetes. Setelah agak lebih tenang, Rosa menjatuhkan gunting itu lalu memeluk sang suami. "Aku, ... menyakiti Lami," Jaeran menggeleng lalu mengusap lembut surai perempuannya. Jerome menghela lega, kemudian melengang pergi meninggalkan keduanya di dalam kamar.
"Jangan bahas topik yang berkaitan dengan orang dimasa lalu kak Rosa," jelas, Jerome yang menimbulkan kerutan bingung dari Jaeran dan Lami.
"Lho, kenapa? Bagaimanapun kakak berhak tau," sergah Lami tak terima.
"Bukan seperti itu," Jeno memandang kedua bergiliran sedangkan Jaeran terpaku diam tak berkomentar, lelaki tersebut mengerti arah pembicaraan mereka saat ini. "Hal yang seperti bisa menimbulkan effek yang panjang, ... jadi jangan bahas itu berulang kali." Lami terdiam lalu menatap Jaeran tak percaya, sedangkan pemuda tersebut menatap kosong sang isteri.
"Maksud loe kakak gue gila?!" Pekiknya tertahan dan itu sontak saja membuat Jaeran menoleh memincingkan matanya tajam pada Jerome.
"Bukan gila Lam, mental break down, ... mas Nana pasti paham." Jerome melirik sang kakak yang lagi menatapnya sinis, Jaeran berdiri dan melangkahkan kakinya memasuki ke area dapur.
"Apa yang harus kita lakukan?" Ujar Jaeran dengan nada yang cukup datar. Jerome sebenarnya berat mengatakan hal ini, namun itu harus ia lakukan.
"Membiarkannya melakukan hal yang ia suka, ..." lelaki yang berada di dapur itu berdecih. Lalu menatap nyalang adiknya itu, Lami sendiri bingung apa yang sedang terjadi pada keduanya.
"Dengan membiarkan loe dekat-dekat sama isteri gue? Gak usah mimpi!" Jaeran melengang keluar rumah setelah meletakkan air buat Lami, gadis itu hanya termangu mendengar pertengkaran kakak beradik di depannya.
Jaeran mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, saat ini yang ia butuh hanya angin segar saja. Pemuda itu memasuki sebuah cafe dan tak sengaja menabrak seorang wanita anggun, ... Jaeran dengan gentlenya meminta maaf dan berlalu pergi dari hadapan si perempuan. Namun siapa sangka jika perempuan itu tertarik pada sosok dingin seorang Jaeran.
Rosa turun ke bawah tak menemui di manapun sang suami lantas ia sudah tak memiliki banyak waktu lagi sebelum pukul 10.30am. Jerome yang menyadari hadirnya sang kakak iparpun langsung mengatensikan penglihatannya pada perempuan anggun tersebut. "Ada yang liat suamiku?" Tanyanya dengan intonasi pelan. Jerome yang masih terkesima dan tak mengedipkan matanya tersentak tiba-tiba.
"Tadi keluar, ... kakak jangan banyak aktifitas dulu, kak Rosa masih butuh istirahat." Rosa tersenyum tipis lalu menggelengkan kepalanya menyangkal perkataan pria yang duduk di depannya.
"Aku sehat, udah gak ada waktu lagi. Kak Ayu terus hubungi kakak, Jer." Jerome mendegus kecil lalu berdiri dan meraih kunci mobilnya, lelaki bermata sipit itu tak mungkin membiarkan kakak ipar tersayangnya diantara menggunakan motor. "Kalo kamu sibuk aku rasa gak perlu antar. Aku takut ganggu waktu kamu, kasian temanmu." Rosa beralasan seperti itu bukan karena ingin menolak Jerome, namun yang dikatakannya benar. Jerome terlalu sibuk diusianya yang masih terbilang muda.
"Aku free kalo buat kakak," Aisya membeliak kaget lalu menyenggol lengan kekar pemuda itu.
"Loe serius!!" Bisiknya yang tak dibalas apa-apa sama Jerome. Sepanjang perjalanan Rosa terus menghubungi nomor suaminya yang tak pernah aktif, agak kecewa karena Jaeran tak ikut dan lebih memilih pergi. Namun ia harus bisa berpikir positif tentang sang suami.
Jaeran tengah duduk bersama seseorang yang baru ia tabrak tadi perkenalannya dengan wanita itu terjadi begitu cepat. Pemuda itu tak bisa menjadi humoris atau perhatian selain pada wanitanya, Rosa. Sikap dingin yang Jaeran tunjukkan semakin membuat si wanita tertarik padanya. Akan tetapi walau begitu pria itu tetap seorang pemuda yang baik dan kebaikannya selalu disalah artikan oleh kaum hawa.
Rosa tertidur di sofa ruang tengah ditemani Jerome yang sedang mengerjakan tugas akhirnya, Jaeran menatap sinis wajah sang adik yang menjadi pahanya bantalan sang isteri. Wajah damai Rosa membuat hati keduanya merasa tenang namun itu tak berselang lama ketika Jaeran hendak memindahkannya, lengan besar sang adik menghalanginya. Tak peduli apa yang dikatakan oleh sang adik, lelaki itu mengangkat tubuh sang isteri dengan kasar hingga membuat tidur Rosa terusik. Jerome menggeleng pelan melihat perangai sang kakak yang amat begitu tidak suka dengan kehadirannya dikehidupan mereka. "Loe gak bisa pelan?" Tegur Jerome yang membuat Jaeran menghentikan langkahnya tanpa menoleh. "Ke mana ajh loe? Gak tau isteri lagi butuh? Apa loe sebenarnya menikahi Rosa cuma berdasarkan rasa iba?" Jaeran menggeram lalu menatap wajah polos isterinya."Jaga itu mulut ya, ..." geram lelaki itu yang kembali melanjutkan langkahnya. Mendadak hatinya ngilu saat memandang raut cemas dalam damai Rosa
Jaeran terkejut dengan sikap isterinya yang tiba-tiba berubah saat berada ditempat temannya, ah, ya, ... temannya pasti akan sangat terkejut dengan apa yang telah mereka lihat pasalnya wanitanya itu tak pernah mau menghentikan pengobatan yang dijalaninya, Rosa tak sendirian di sana ada Jeno serta Herina yang turut menenangkannya, padahal wanita cantik itu hanya meminta izin mengambil sebuah minuman saja. Tetapi apa yang telah ia lewatkan sehingga isterinya berteriak marah pada semua orang, lelaki itu memegang tangan perempuan yang memandangnya entah dengan tatapan mata apa. Yang jelas ketika mereka saling menatap satu sama lain, terpancar rasa lelah yang menyelimuti hatinya, Rosa menggeleng kepalanya perlahan sambil memeluk tubuh besar di depannya itu. Jerome menghela kasar lalu melangkah pergi meninggalkan keduanya yang sama-sama tidak ingin diganggu oleh siapapun, Herina tentu mengerti bagaimana perasaan pemuda itu.Lami berlari-lari menuju k
Rosa sedang mencuci piring dan Jaeran baru saja mengirim laporan rekam medis terakhirnya, perempuan menggeleng saja ketika melihat sifat kekanakkan sang suami. Saat ponsel Jaeran berdering sesaat pemuda itu melirik sang isteri yang masih dengan urusan dapur, ... Jaeran berjalan ke arah depan lalu mengangkat teleponnya itu. Rosa yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya itu berhenti ketika sang suami tampak terlihat tertawa dengan riangnya. Pria itu mematikan sambungannya lalu berjalan begitu saja tanpa menyadari sosok isterinya, desir sesak menjalar direlung hati perempuan itu. Rasanya seperti ada yang beberda dari sang suami. Jaeran menghentikan langkahnya lalu mengecup sekilas pucuk kepala Rosa, “aku keluar dulu ya, ...” wanita itu meneguk ludah kasar. Ouh, ayolah, sudah berapa lama ia mengenal sang suami? Itu yang ada dipikirinnya.“Bukannya kamu udah janji bakal menemaniku seharian?”
Jena tak mengerti apa dengan mengapa anak bungsu masih tetap bertahan pada perasaan yang bahkan, orang itu tau jika akan terlalu mengambil resiko tinggi jika melawan kakaknya sendiri. Jerome menatap wajah sang mama yang tampak mengerutkan keningnya ingin bertanya, namun lelaki itu memilih diam dan tak mengatakan apapun, ah, ya, itu akan menjadi rasa yang ingin ia pendam sendiri. “Mau sampai kapan?” Tegur sang mama yang membuat pemilik eyes smile itu menoleh.“Maksudnya?” Lelaki itu bertanya balik, mama mendengus dingin lalu menggeleng sambil menunggu perkejaan anaknya itu selesai. Ah, apa mamanya akan membahas hal yang sama, ... Perasaan haram itu? Katakan tidak jika itu benar. “ Mama gak ada maksud buat bahas tentang alasan itu lagi kan?” Tegas pemuda itu yang mendadak menjatuhkan rahangnya.“Jer!” Tegur sang mama yang tampa
Perempuan itu membanting pintu rumah lalu berlari ke kamarnya, ia mengunci pintu kamarnya ditatapnya dirinya dalam cermin seketika pikirannya menguasai hati yang sedang kalut. “Loe bahkan gak pantas buat diperjuang sama siapapun!” Isaknya kecil lalu meraba benda tumpul yang ada di dalam laci, ... Jaeran terus berlari hingga masuk ke dalam rumah. Suasana hatinya benar-benar kacau dan tak tenang bayangan sang isteri dimasa kelamnya terus saja menghantui benak pemuda sukses itu.“Rose, ... buka ini aku,” tak ada sahutan dari dalam sana, Rosa terduduk dengan sayatan yang masih terbuka matanya menatap kosong sisi kiri ranjang tempat tidur. Mendadak sosok Jaeran terlintas dalam tatapan kosong itu, ... Rosa tersenyum getir.“Na, ... kamu tau?” Kini posisi mereka saling duduk berbelakangan. Hanya sebuah dehaman yang menjadi respon diantara mereka.“Hm,”
Rosa menutup pintu kamarnya dan menyimpan seluruh obatnya di selipan pakaian, perempuan itu menghela nafasnya pelan. Ia tak yakin jika hidupnya kembali normal seperti sebelumnya, namun Rosa sangat yakin jika dirinya bugar maka Jaeran tak akan melihat wanita lain selain dirinya. Setelah menyegarkan tubuhnya perempuan itu berjalan menuruni tangga, ... Rosa menatap sekeliling yang tampak sepi tak ada orang. Wanita itu melangkahkan kakinya ke dalam dapur untuk membuat smoothie dan salad buah, tak tau kenapa rasanya sedang menginginkan hal itu. “Na,” panggilnya agak teriak. Alis menukik heran lalu menolehkan kepalanya ke arah belakang, perempuan menaruh apron begitu saja. Langkahnya kian berat semakin ia berjalan, tiba-tiba saja sebuah kabut putih menyelimutinya dan suara riuh tawa mengelilinginya. Rosa berjalan pelan ke arah ruang tamu, matanya membola saat menemukan sang suami sedang bersama perempuan lain dan memiliki anak. “JAERAN!!!!” Teriaknya, yang dibanjiri keringat dingin dan de
Rosa kembali ke rumah sakit untuk menemui Herina namun sayangnya langkahnya itu telah diketahui oleh sang suami yang lagi berjalan mengarah pulang. Langkah terburu-buru perempuan sangat menimbulkan rasa curiga bagi Jaeran yang tak sengaja melihatnya. Jaeran berdiri di dekat pilar ruangan Herina ketika Rosa masuk ke dalam sana, ... sekiranya aman lelaki itu kembali mengikutinya. “Ayo lakukan operasi itu!” Herina terkejut begitupula dengan Jaeran yang tak mengerti.“Operasi?” Bisiknya pelan. Rosa tak punya banyak waktu lagi sebelum penerbitan buku barunya.“Kamu gila? Itu sangat fatal! Aku gak mau!” Rosa mengerling kesal pada wanita yang duduk di depannya saat. Perempuan itu menggebrak meja kemudian menatap tajam Herina yang tak mengerti dengan keinginan pasiennya itu.“AKU GAK MAU MANDUL!! ALAT BAJINGAN ITU BISA MEMBUATKU GAK MEMILIKI ANAK?!!” pekik Rosa m
Jena menatap lurus putra bungsunya, ... pemuda yang lagi bercocok tanam itu terus saja memutar bola matanya jengah saat dipandangi seperti itu oleh sang mama tercinta. Jerome meletakkan cangkulnya kesal lalu berjalan kehadapan sang mama, putranya tak mau sang mama mengganggu waktu berkebunnya disaat luangnya telah hadir. Jena terkekeh dengan sikap putra bungsunya lalu mengusap surai putranya tersebut. “Kamu buruan nikah, ... biar mama gak nungguin kakak kamu terus buat ngasih anak,” Jerome menghela pelan daritadi mamanya memerhatikan hanya untuk membahas itu?“Bukan mau mas Nana juga, ma kaya gitu, ...” pelan sang putra yang mencoba nemberi pengertian pada sang mama.“Iya, mama lupa yang mandul Rosa, ...” Jerome mengepalkan tangan kuat lalu berdecih kecil, seperti ini cara mamanya bersikap dibelakang Rosa? Apa mamanya tak pernah merasa kosong setelah menikah. Pemuda itu melengang pergi meninggal