Share

Bagian lima

Malam semakin larut.

            Azka dan Nicky sedang berada diruang santai apartemen. Ruangan yang cukup luas dengan satu sofa panjang, meja kecil, dan LED TV layar besar menempel disetengah dinding ruangan.

            Mereka duduk berdempetan. Tak peduli pada dinding yang bertelinga, mereka saling mengumbar kata-kata cinta. Menerbangkan puisi-puisi cinta penembus batas. Nicky menyandarkan kepalanya tepat di dada Azka yang bidang nan kokoh. Bersiap untuk melindunginya setiap saat. Sementara Azka melingkarkan tangannya kepundak Nicky.

            “Sampai kapan kita akan terus seperti ini?”

            “Sampai suatu saat kita bisa diterima”

            “bukankah sampai akhir dunia ini selalu saja ada yang setuju dan nggak setuju pada semua hal?”

            Azka berdecak pelan.

            Hatinya berdesir pelan. Ia sedang memikirkan hubungannya dan Nicky kedepannya. Mungkin saat ini mereka dapat menikmati tiap baris cinta diantara mereka. Tapi bagaimana dengan suatu saat nanti? Saat yang tidak pernah diketahui kapan kedatangannya?

            “Kita harus memberitahukan hal ini secepatnya. Sebelum terlambat lalu dunia mengubah semuanya”

            Azka diam.

            “Aku nggak ingin sampai orang lain merebutmu dariku. Aku nggak ingin berpisah denganmu. Aku mencintaimu”

            Azka tersenyum mendengarnya. Ia mencubit pelan pipi Nicky. Dengan penuh rasa cinta. Gemas akan kasih sayang.

            “Kita akan tetap bersama hingga takdir memisahkan kita. Percayalah, kita diciptakan untuk saling melengkapi. Aku dan kamu adalah kita. Tanpa siapapun.”Kata Azka.

            Kini giliran Nicky yang diam tak menyahut. Matanya fokus pada adegan romantisme sepasang kekasih dilayar TV. Hubungan mereka hampir mirip dengan kisah sepasang kekasih di TV itu. Saling mencintai namun menjalaninya secara sembunyi-sembunyi.

            Bedanya, di TV sepasang kekasih itu ialah laki-laki dan perempuan. Itu saja. Selebihnya sama persis. Cinta dan romantisme yang tiada beda. Berjanji satu sama lain untuk saling menjaga. Saling setia hingga takdir memisahkan. Azka dan Nicky tak peduli pada pendapat negatif dari orang-orang lain. Ingin rasanya mereka pergi, terbang jauh lalu hinggap di dahan yang dapat menerima mereka apapun keadaannya.

            “Bagaimana jika suatu saat nanti hubungan kita diketahui banyak orang? Apa yang akan kamu lakukan Az?”Nicky tiada henti bertanya. Otaknya masih menyimpan berjuta tanya tentang status hubungan mereka.

            “Aku akan membawamu pergi. Kita akan meninggalkan tempat ini. Tempat bagi mereka yang nggak bisa menerima kita. Tempat mereka yang nggak bisa menghargai keberadaan kita.”

            “Aku mencintaimu Azka.”

            “Aku juga mencintaimu Nick. Sangat mencintaimu”

            Prank…

            Hancur dan jatuh berantakan. Bunyinya menggema ke segala sudut apartemen. Sontak Azka dan Nicky mengalihkan pandangan. Mencari sumber keributan kecil. Bayangan seseorang tampak jelas dipintu dapur. Meski ruang santai itu gelap, Azka masih dapat mengenali sosok bayangan itu yang terbantu oleh sinar lampu dari dapur.

            Orang itu berdiri dengan tubuh bergetar dahsyat. Dalam hitungan detik, Dahlia melesat masuk kedalam kamarnya. Azka berusaha mengejarnya namun langsung dicegat oleh Nicky.

            “Kamu mau kemana?”

            “Dahlia. Dia mendengar semua pembicaraan kita. Dia tahu hubungan kita berdua”

            “Biarkan saja. Bukankah itu hal bagus? Kita nggak perlu lagi menyembunyikan hal ini terutama pada asisten pribadimu”

            Azka menepis pelan tangan Nicky lalu menyusul Dahlia. Azka mengetuk pelan pintu kamar Dahlia. Dari dalam, meski sayup Azka dapat mendengarkan isak tangis Dahlia. Gadis itu sedang menangis. Menangis kenapa itu yang tidak diketahui Azka.

*_*_*

            Baginya, malam ini adalah malam terburuk. Pupus sudah harapan yang Ia pendam selama ini. Cinta yang dipendam, disimpan rapat-rapat agar tak diketahui oleh siapapun, untuk suatu saat diberikan pada pujaan hatinya kini terbang melayang entah kemana. Hilang direnggut oleh sebuah kenyataan pahit, pujaan hatinya sudah memiliki kekasih.

            Sebenarnya itu hanyalah alasan klasik untuk sakit hati dan sedikitnya mendramatisir keadaan. Jika kekasih dari pujaan hatinya seorang gadis, sebut saja gadis tak beridentitas, Dahlia pasti masih bisa bersaing. Saling merebut perhatian pujaan hatinya lewat perhatian lebih. Apalagi Dahlia punya kesempatan besar karena Ia adalah assisten pribadi.

            Tapi ini beda. Kekasih itu, kekasih dari pujaan hatinya adalah seorang laki-laki. Tak ada yang mengherankan sebenarnya jika pujaan hatinya itu seorang perempuan. Namun kenyataan tak pernah seindah harapan bahkan tak seperti yang dibayangkan selama ini. Pujaan hatinya mencintai seseorang. Mencintai kekasihnya yang sejenis. Mencintai sesama lelaki.

            Hatinya bukan hanya hancur tapi berantakan. Berserakan dimana-mana. Pecah berkeping-keping. Tanpa sisa sama sekali. Ini kenyataan pahit bagi Dahlia. Jelas berat baginya untuk menerima kenyataan ini. Tidak ada kesempatan kedua, untuk menjadi yang kedua, untuk menjadi selingkuhan. Semua sirna.

            Azka telah memiliki kekasih. Tampan dan keren. Azka memiliki kekasih seorang laki-laki bernama Nicky. Keduanya tampan dan saling mencintai. Dahlia tidak salah dengar, mereka barusan saling puja. Saling mengutarakan rasa cinta.

*_*_*

            Entah mengapa pagi itu terasa beku. Kehangatan yang biasanya menyelimuti apartemen seperti hilang ditelan bumi. Dahlia dan Azka duduk berhadapan dimeja makan. Diam. Masing-masing sibuk dengan urusan pribadi.

            Azka memainkan jemarinya diatas meja. Mengetuk pelan hingga membentuk irama musik salah satu lagunya. Ia merasa ada yang aneh pada dahlia. Semua terjadi begitu cepat. Kejadian semalam merubah pagi mereka.

            “Dahlia”Setelah beberapa menit dibungkus diam, Azka memberanikan diri untuk menyapa.

            “Kenapa kak?”Suara Dahlia nyaris tidak terdengar. Ia terus menatap meja. Menunduk.

            “Kamu kenapa? Apa kamu sakit?”

            “Nggak”

            Ya, aku sakit kak. Hatiku sakit…

            “Kamu nggak bohong kan?”

            “Iya”

            Azka berdehem pelan lalu berkata, “soal yang semalam, aku berharap kamu bisa menjaganya. Aku mohon, hanya kamu yang tahu tentang semua ini. Tentang hubunganku dengan Nicky.”

            Dahlia tidak menyahut. Sesungguhnya, dilubuk hati yang paling dalam, rasa perih itu masih sangat terasa. Pahit. Seandainya Azka tidak ada dihadapannya Ia pasti sudah menangis. Meraung melepaskan rasa sesak didadanya.

            “Aku nggak ingin karirku hancur. Karirku baru dimulai, aku nggak ingin semua hilang percuma. Aku nggak mau hal itu terjadi, jadi aku mohon padamu. Jaga rahasia ini”

            Dengan wajah memelas Azka meraih tangan Dahlia. Menggenggamnya penuh harap. Sorot matanya penuh kejujuran. Tidak ingin karirnya hancur hanya karena masalah ini. Ia belum siap. Ini belum saatnya.

            Dahlia pasrah dengan genggaman itu. Hatinya berdesir pelan. Ia sangat mencintai Azka. Ia tidak berani menatap pemuda dihadapannya. Ia tidak sanggup. Sakit.

            “Aku mohon!”

            Dahlia menghela nafas panjang lalu mengangkat wajahnya.

            Kelopak matanya menghangat. Matanya berkaca-kaca. Pikirannya kacau tak menentu. Ingin rasanya ia berteriak, memarahi Azka, mengatakan bahwa ini semua salah. Cinta itu telah salah dijatuhkan. Tapi, siapa yang menjamin kebenaran akan suatu perasaan cinta? Cinta itu rahasia. Tidak ada yang tahu kapan dan pada siapa cinta itu akan dijatuhkan.

            “Kakak nggak usah khawatir. Aku janji, ini rahasia aku, kak Azka dan…”

            “Nicky”

*_*_*

            “Jadi kamu bertemu dengannya? Lalu bagaimana reaksimu? Dia bagaimana?”pertanyaan Nuril bertubi-tubi menyerbunya.

            Melita bahkan tidak bisa membedakan mana yang harus dijawab lebih dulu dan mana yang belakangan. Mana yang penting dan mana yang tidak penting. Nuril selalu saja begitu.

            “Ya jelas saja aku terkejut. Tapi belum sempat ngapa-ngapain”

            “Loh kenapa?”

            “Tuh”Melita menggunakan gerakan kepala menunjuk kearah seorang lelaki berjaket biru muda yang berjalan menghampiri mereka.

            “Brian?”

            “Ya, siapa lagi kalau bukan dia. Dia yang sudah merusak kesempatan pertama dan satu-satunya mungkin dalam hidupku untuk berbincang-bincang dengan artis favoritku”

            “Hai, kalian sudah lama menunggu?”Sapa Brian sumringah.

            Siapa yang menunggu? Melita tertawa pelan. Brian memang terlalu percaya diri. Tidak tahu efek buruk dari terlalu percaya diri itu apa.

            “Dengar ya Brian. Aku dan Nuril dari tadi disini itu nggak nungguin siapa-siapa termasuk kamu. Itu nggak ada di kamusku. Kalaupun sempat bermimpi nungguin kamu, pasti aku langsung buru-buru bangun”

            “Kok kamu bicara seperti itu?”Brian menarik kursi dari meja sebelah kemudian duduk disamping Melita.

            “aku bicara fakta”

            “fakta apa?”

            “Fakta kalau memang aku itu nggak nungguin kamu. Mengerti?”

            Brian mendecak.

            “Nggak usah bohong. Aku bukan tipe laki-laki yang mudah dibohongi”

            “Oh ya?”

            “iya. Kamu boleh percaya”

            “Kalau aku nggak mau percaya? Percuma juga aku percaya kata-katamu. Cukup sekali saja aku percaya apa yang kamu katakan, selebihnya NO. Aku nggak mau tertipu untuk kedua kalinya”

            “Kamu masih marah soal kemarin? Aku kan sudah minta maaf? Kok masih diungkit-ungkit?”

            “Iya. Kamu membuatku menunggu lama. Bodohnya aku percaya kata-katamu, sepuluh menit perjalanan. Apa? Hampir setengah jam, tahu?”

            “Tapi aku kan tetap jemput kamu”

            “dan satu lagi. Kamu juga sudah merebut kesempatan langka dalam hidupku untuk bertemu langsung, berdua saja dengan artis favoritku. Kamu merusak semuanya”

            “Coba deh kamu bayangkan lagi. Bagaimana kalau saat itu aku datang tepat waktu atau bahkan lebih cepat dari janjiku diawal? Apakah kamu akan bertemu dengan artis idolamu itu?”

            Melita tertegun. Benar kata Brian. Kalau saja saat itu Brian datang tepat waktu, Ia pasti tidak akan bertemu dengan Azka. Ia tidak mungkin bertabrakan langsung dengan sang artis idola. Ia juga tidak akan mendapatkan pelukan gratis dari Azka tanpa harus berdesak-desakan diantara ribuan fans lainnya.

            Namun percuma saja. Pertemuan itu hanya berlalu begitu saja. Tidak ada yang berkesan lebih. Berbincang saja mereka tidak sempat. Itu semua gara-gara Brian yang tanpa pamit langsung menarik tangannya menuju mobil.

            “Ah, sama saja. Toh aku nggak sempat ngobrol dengan dia”

            “tapi bukannya bagi fans bertemu dan bertatapan langsung dengan artis idola itu kejadian langka dan akan selalu terkenang”

            “Tapi sayangnya aku nggak termasuk fans kategori itu”

            “Sudah-sudah. Kalian berdua kok malah berdebat sih? Dan kamu Brian, ngapain sih kemari? Mau makan? Kamu kan bisa cari meja lain. Mengganggu saja”Nuril yang dari tadi hanya diam menyimak akhirnya berkomentar. Cukup pedas. Mengusir Brian dengan halus.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status