Share

5 - Making Love is not My Type

"Hah ...."

Sudah berulang kali Mr. Baldwin membuang napas. Sedari tadi dia tidak berhenti bergidik. Entah apa yang terjadi padanya saat ini. Pria itu tidak bisa menghentikan pikiran nakalnya yang benar-benar menginginkan Anna seutuhnya.

Pria itu terus menatap Anna yang terlalu santai memasukkan anggur merah ke dalam bibirnya sementara tangan kanannya sibuk menggoyangkan gelas koktail.

"What the fuck!" Mr. Baldwin mendesis. Dia memalingkan wajah.

Anna berada di teras luar. Pandangannya tertuju pada pemandangan Toronto. Angin yang berembus sedikit kencang membuat dress yang ia kenakan sedikit lari meninggalkan kulitnya dan itu akan menjadi pemandangan paling indah di mata Anderson Baldwin.

"Ehem!" Pria itu kembali berdehem. Entahlah. Berdehem sepertinya menjadi hobi barunya sejak bertemu Anna pagi ini. Dia berjalan mengitari tubuh Anna dari belakang sambil matanya tertuju pada bagian bawah tubuh gadis itu.

"Pemandangannya indah, bukan?" tanya Anna.

"Hem?" Mr. Baldwin mendadak bingung. Tentu baginya pemandangan barusan begitu indah. "Ya, tentu. Kau menyukainya?" tanya pria itu. Dia berdiri di samping Anna.

"Apa aku bisa memilikinya?" tanya Anna tanpa sedikit pun memindahkan tatapannya.

"Kau ingin memilikinya?" Baldwin kembali bertanya. Ia menoleh lalu kembali melanjutkan, "maka kau harus berjuang untuk bisa mendapatkannya."

Sudut bibir Anna naik. Ia memutar tubuhnya menghadap Mr. Baldwin. "Aku sedang mengusahakannya," ucap Anna.

Anderson Baldwin menelan salivanya lagi. Hampir-hampir dia lepas kontrol dan hendak meraih pinggul Anna lalu melumat gundukan daging yang dibalut lipstik merah itu. Sayang sekali, Anna langsung memutar tubuhnya.

'Sial!' batin Baldwin menggerutu.

Entah apa yang terjadi pada Anderson Baldwin. Dia sama sekali tidak bisa menyentuh gadis di depannya. Ini bukan ciri khas Baldwin. Biasanya para gadis tidak akan tahan hanya dengan mengendus parfum maskulinnya. Namun, apa yang terjadi pada Anna? Apakah Anna tidak mengerti kode-kode yang diberikan Baldwin? Haruskah dia menunggu lebih lama lagi?

"Anna ...," panggil Baldwin. Kali ini suaranya terdengar serak dan berat. Pria itu menelan ludah sekali lagi. Anderson benar-benar sudah tidak tahan. Anna melirik kecil pada Baldwin.

"Wanna making love with me?" Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut pria nomor satu di perusahaan ini. Baldwin sedikit ragu, tapi dia tidak bisa menahan bibirnya lagi. Lagi pula, apa yang terjadi pada Baldwin? seharunya dia mengatakan, 'I wanna fuck you, harder!' Kenapa kali ini dia begitu lembut bahkan perkataan itu terkesan seperti permohonan.

Beberapa detik terasa panjang bagi Anderson Baldwin sebab Anna tak kunjung menjawab permintaanya. Anna malah memalingkan wajahnya lagi. Dia bahkan terkekeh sekarang. Anna menggelengkan kepalanya sambil terus tertawa.

"Apanya yang lucu?" tanya Mr. Baldwin.

Anna menggeleng. "Aku tidak bercinta, Tuan Baldwin." Anna memutar tubuhnya menghadap Anderson. Dia menatap pria itu sekali lagi lalu kakinya mencuri satu langkah agar wajahnya bisa lebih dekat dengan miliuner yang akan menjadi sponsor terbesar perusahaannya.

Mulut Anna terbuka. Napas mintnya membuat Baldwin makin bergidik. "I have another type for making love. No." Anna menggeleng. "I'm not. I ...." Anna meraih dasi Baldwin lalu memandangnya dengan tatapan menggoda. "I fuck. HARDER!"

Baldwin menahan napasnya. Dia tidak mengira perkataan itu akan keluar dan meluncur bebas di bibir manis Anna.

Anna berbalik dengan cepat. Kaki jenjangnya berjalan masuk ke dalam ruangan.

"Geez ...." Baldwin menggidikkan bahu. "I'm so fucking crazy!" Baldwin menampar besi penyanggah teras luarnya dengan sangat kuat. Jantungnya masih berdegup kencang dan sekarang dia mulai frustasi. Pria itu bergegas menyusul Anna ke dalam.

Dilihatnya, Anna tengah asik menatap lukisan di ruangan tamu. Sebelah tangannya terlipat di depan dada sementara tangannya yang lain masih sibuk memutar seloki. Baldwin pun heran sebab Anna tidak kunjung mabuk. Well, dia tiada henti menuangkan liquor ke dalam selokinya. Seharusnya alkohol dalam minuman itu sudah bisa memberikannya reaksi.

"Anna ...," panggil Baldwin. Dia kembali menghampiri Anna. Pria itu tidak tahan lagi dan langsung meraih tubuh Anna. Baldwin memeluk tubuh wanita itu dari belakang dan bibirnya langsung mendarat pada leher jenjang Anna.

Baldwin bertahan seperti itu selama beberapa detik sebab Anna sepertinya tidak keberatan. Anna bahkan membiarkan tangan Baldwin membungkus pinggul mungilnya.

"Mr. Baldwin," panggil Anna.

"Biarkan seperti ini, Anna. Sebentar saja. Aku benar-benar tidak dapat menahannya lagi."

Anna menarik napas lalu membuangnya dengan cepat. Dia melepaskan tangan Baldwin lalu berbalik. Anna menatap Baldwin yang tengah menatapnya sayu.

"Kita bisa melakukannya kapan pun," ucap Anna. Ia kembali meneguk minuman terakhirnya lalu menaruh seloki kosong pada nakas yang terletak di bawah lukisan. Anna berbalik dan langsung menggantungkan kedua tangannya di atas pundak Baldwin. "Hanya saja aku punya cara sendiri untuk melakukannya," kata Anna.

"Tidak bisakah kita langsung melakukannya sekarang?" tanya Anderson. Jantungnya mulai membeku tatkala matanya terus terpaku pada bibir merah Anna yang berada dua inci di depannya.

"Aku tidak melakukannya di tempat lain selain rumahku, Mr. Baldwin."

"Apakah tempat ini tidak cukup nyaman bagimu?" Baldwin meraih dagu lancip Anna lalu mengecupnya kilat. Bulu kuduk pria itu kembali berdiri saat hidungnya menangkap wangi tubuh Anna yang benar-benar khas.

Entah parfum seperti apa yang Anna gunakan. Baldwin telah bertemu banyak wanita kalangan kelas atas, tapi ia tak pernah mencium aroma parfum seindah dan semenggoda ini.

"Seperti yang aku katakan, Mr. Baldwin, aku hanya melakukannya di rumahku dan itu artinya aku sangat nyaman di sana."

"Hah ...." Anderson mendesah kecewa. Untuk pertama kalinya dalam hidup sang miliuner, dia merasa tidak berdaya dan itu hanya karena seorang wanita bernama Anna Smith. "Kalau begitu, ayo kita ke sana. Demi Tuhan, Anna ... kau membuatku gila."

"Bagaimana bisa? Ini masih siang dan kau masih bekerja. Lagi pula tujuanku kemari adalah melakukan kesepakatan bisnis denganmu. Kita harus profesional, Mr. Baldwin."

Anderson Baldwin mendongak. Dia menatap sepasang mata hazel yang tengah menantang dan menggodanya.

"Lupakan soal bisnis itu. The Ace sudah pasti akan menjadi kolega perusahaanmu. Sekarang, ayo kita pergi."

Anna menggeleng. "Jika seperti itu, terkesan sekali jika aku menukar tubuhku demi mendapatkan investasi darimu. Jika begitu, maka lebih baik kita batalkan saja bisnis ini," ujar Anna.

"Wait wait." Anderson menggeleng. Ia menunduk sejenak. Setelah itu, ia mengangkat kepala. Anderson meraih tangan Anna lalu menatap wanita itu lekat-lekat. "Aku sudah tertarik dengan perusahaanmu sejak pertama kali membaca proposal yang diberikan sekretarisku. Aku hanya tidak menyangka jika CEO The Diamond memiliki daya tarik luar biasa yang sanggup membuatku gila," ujar pria itu.

Anna menarik napas sambil mengulum bibirnya. Ia mengangguk pelan-pelan.

"Kalau begitu selesaikan urusan formalitasnya," ucap Anna.

"Urusan formal?"

Anna mengangguk. "Hemm. Selesaikan urusan formal kita dan mari pergi bersenang-senang," ucap Anna.

Baldwin tersenyum. Sedetik kemudian ponselnya berbunyi. Tertera nama Rose di layar ponsel itu. Rose adalah asisten pribadi Baldwin. Dia melirik Anna sebentar lalu Anna mengisyaratkan agar dia segera mengangkat teleponnya, tapi Baldwin terlalu tidak bisa menahan birahinya.

Anderson melempar tubuhnya ke sofa sambil menarik tangan Anna. Mereka berdua mendarat di atas sofa dengan posisi Baldwin memangku Anna di atas pahanya. Anna tertawa geli, dia mencubit hidung Baldwin dengan gemas.

"Halo," ucap Baldwin. Dia tidak bisa melepaskan tatapannya pada Anna.

Wanita itu pun tak mau tinggal diam. Ia semakin lihai menggoda Baldwin dengan menaikkan kedua kaki lalu memangkunya di atas paha Baldwin. Jemarinya yang nakal berjalan mengelilingi wajah Baldwin membuat pria itu mengeluarkan desisan pelan sambil menutup matanya.

"Mr. Baldwin, sekretaris nona Anna sudah menunggu di bawah haruskah aku menyuruhnya masuk?" tanya suara di seberang sambungan telepon.

"Ah, Rose tolong urus berkasnya. Berikan tanda tangan dan capku di sana," ucap Baldwin.

"Ba- eh?" Ucapan Rose terpotong. Sepertinya dia agak heran dengan perkataan bosnya barusan. "Anda yakin, Tuan? Bukankah Anda harus memeriksa berkasnya terlebih dahulu?"

"Apa aku membayarmu untuk menentang keputusanku?!" bentak Baldwin. Dia masih menutup mata. Sentuhan Anna terlampau nyaman hingga dia tak sanggup mengangkat kelopak matanya.

"Maafkan atas kelancangan saya, Tuan. Saya akan mengurus berkas-"

"Bullshit!" Baldwin melempar ponselnya ke sembarangan arah. Dia tidak perlu menunggu sekretarisnya menyelesaikan perkataannya untuk bisa mematikan sambungan telepon. "Pekerjaan formal telah beres. Sekarang, mari kita menyelesaikan pekerjaan informalnya," ucap Baldwin.

Anna tertawa. Perlahan tawanya semakin kuat membuat Baldwin kehilangan akal. Pria itu mengangkat tubuh Anna lalu membantingnya di atas sofa. Baldwin sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Anna terlanjur memercikan api dan membakar darahnya.

"Anna ...," panggil Baldwin lagi. Tubuhnya berada tepat di atas Anna. Wajahnya begitu dekat dan bibirnya tepat berada di depan bibir seksi Anna.

"Mr. Baldwin tolong lakukan dengan keras," ucap Anna.

"Aku akan memberimu angka satu sampai sepuluh. Dari semua angka itu, seberapa keras aku harus menamparmu di sana?" tanya Baldwin. Ancaman itu terdengar begitu manis di telinga Anna.

"Sebelas," jawab Anna. Ia menggigit bibir bawahnya. Baldwin tersenyum. Dia semakin berdenyut dan terlalu siap untuk Anna. "Tapi, kau juga harus terima saat aku melakukannya dua kali lipat lebih keras padamu." Lanjut Anna.

"Kalau begitu, ayo kita lakukan." Baldwin bersiap menangkupkan pakaian Anna, akan tetapi Anna menahan tangannya.

"Kubilang aku tidak melakukannya di tempat lain selain rumahku," ucap Anna.

"Ck!" Baldwin berdecak kesal. Anna lalu mendorong pelan tubuh Baldwin. Keadaan berbalik. Baldwin terduduk. Lalu Anna membuka kedua kakinya dan duduk di atas Baldwin. Pria itu kembali menarik napas.

Anderson makin tak tahan. Tangannya bergerak menjambak rambut Anna saat dirasanya perbuatan Anna sudah terlalu menyiksanya. Anna mendesah ketika rambutnya ditarik dengan kuat. Mulut Anna terbuka. Ia tertawa keras. Kemudian wanita itu kembali menatap Baldwin.

"Kamu punya dada yang bidang, Anderson," ucap Anna. Baldwin menangkupkan wajahnya menikmati sentuhan jari Anna yang menari-nari di sekitar bibirnya.

"Anna, bisakah kau membunuhku saja?" tanya Baldwin. Dia menahan pergerakan tangan Anna. Sambil menutup mata dia mulai menghitung jari Anna. Sedetik kemudian Baldwin memasukkan jari telunjuk Anna ke dalam mulutnya.

"Anderson," panggil Anna. Suaranya begitu sensual di telinga Baldwin.

"Lakukan, Anna. Lakukan apa pun yang kau inginkan. Aku tidak peduli lagi."

"Seberapa besar keinginanmu untuk menggauli aku?" tanya Anna. Baldwin mengeluarkan jari Anna dari mulutnya lalu beralih mengecup punggung tangan Anna.

"Aku tidak tahu, Anna. Aku tidak bisa berpikir apa pun sekarang."

Anna menggerakkan kakinya membuat dia menyentuh sesuatu yang terlalu keras di antara kedua pangkal paha milik Baldwin. Pria itu tersentak. Ia memekik. Perbuatan Anna semakin menyiksanya.

"Apa kau bersedia melakukan apa pun untukku?"

"Ya, Anna. Apa kau mau uang? katakan berapa banyak yang kau inginkan."

Anna tersenyum kecut. "Sepertinya kau terlalu rendah menilai diriku, Anderson. Aku tidak butuh uangmu. Kau bahkan bisa membatalkan proyek ini. Aku sudah mengatakannya."

Baldwin sontak membulatkan matanya. Dia terbangun dari fantasi liarnya. Terkejut dan menarik dirinya. Pria itu menahan punggung Anna ketika dia sendiri menarik punggunya dari sandaran sofa.

"Bukan itu maksudku, Anna." Baldwin menatap Anna dengan was-was. Lalu pria itu meraih rambut Anna dan memainkannya.

Anna menatap Baldwin. Jarinya beralih membelai dagu Baldwin. Gadis itu tergelitik oleh janggut halus yang tumbuh di dagu Anderson.

"Kau punya istri, Anderson. Jelas kau hanya menganggapku hiburanmu."

"Tidak, Anna-"

"Aku tidak keberatan, Anderson," sergah Anna. Anderson terdiam. "Aku sadar sepenuhnya dan aku mengerti. Aku juga tidak memintamu meninggalkan istrimu, tidak. Bagiku seks adalah sebuah kebutuhan. Kesenangan. Kita orang Barat dan kita bebas melakukannya. Hanya saja aku tidak sembarang melakukannya. Seperti kataku, aku tidak bercinta. Aku punya cara sendiri dan ... mungkin kau akan terkejut."

"Aku tidak peduli dengan semua itu, Anna. Demi apa pun kau bahkan bisa merasakan seberapa keras diriku sekarang," ucap pria itu dengan wajah frustasi.

Sudut atas bibir Anna terangkat membentuk seringaian. "Seperti pertanyaanku sebelumnya, maukah kau melakukan sesuatu untukku?"

"Katakan," sahutnya cepat. "Katakan apa yang harus kulakukan. Demi Tuhan, Anna. Aku tidak tahan untuk merobek pakaianmu."

Anna menjatuhkan tubuhnya. Ia meraih wajah Baldwin dengan satu tangannya. Bibir gadis itu tepat berada di depan bibir Baldwin dan pandangan matanya berubah sayu. Baldwin lagi-lagi bergidik. 

"Maukah kau ...."

Anna menatap Baldwin lekat-lekat. Tatapan Baldwin semakin sayu memandang Anna. Jantungnya berdebar meningkat sambil menantikan lanjutan kalimat dari gadis di depannya.

"Maukah kau berlutut di depan kakiku?"

Baldwin mengerutkan dahi. Dia berharap telah salah dengar, akan tetapi telinga dan otaknya merekam dengan jelas perkataan Anna barusan.

Apa maksudnya? dia menyuruh Anderson Baldwin berlutut? Serius? Apa dia tidak tahu siapa pria di depannya? Dia Anderson Baldwin, pengusaha terkaya dan terkenal di Kanada. Siapa Anna Smith yang berani-beraninya menyuruh Baldwin berlutut.

"Apa katamu?!" pekik Baldwin.

 Anna mengangguk dengan ekspresi datar.

"Cih!" Anderson membuang muka dengan kasar.

"Jadi, kau tidak mau?" tanya Anna.

"Jelas tidak. Kau pikir kau siapa, hah? Berani-beraninya jalang sepertimu menyuruhku berlutut," ucap Baldwin. Tatapannya mulai berubah pada Anna. Keinginannya yang mendamba tubuh Anna perlahan memudar.

"Benarkah? Ck ... ck ... ck." Anna mengangkat kedua kakinya dari atas pangkuan Anderson. Dia merapikan dressnya kemudian meraih tas di atas meja dan merogoh ponselnya di sana.

"Halo, Mijung?" Anna menoleh ke belakang. Baldwin masih tampak gelisah di tempat duduknya. "Ya, bagaimana berkasnya?"

"Dia sudah tanda tangan," ucap Mijung. Anna tidak berkata apa pun lagi dan langsung mematikan sambungan telepon.

Wanita muda itu berbalik dan kembali menghampiri Anderson. Dia duduk di samping Anderson. Ia menaruh siku tangan di atas sandaran kepala untuk menopang wajahnya. Anderson membuang muka saat melihat wajah Anna berada tepat di depannya.

"Aku hanya bercanda," ucap Anna.

Baldwin sontak memalingkan wajahnya. Dia mendengkus. "Kau pikir itu candaan?"

"Maafkan aku, Tuan Baldwin," ucap Anna.

"Kau membuatku kehilangan selera untuk bercinta," keluh Baldwin. Dia meremas hidungnya sambil menundukan kepalanya.

"Aku akan menunggumu di rumahku, nanti malam," ucap Anna. Dia berdiri lalu meraih tasnya. Wanita itu bersiap untuk pergi, akan tetapi ia kembali berbalik menatap Baldwin sebentar lalu berkata, "itu pun jika kau masih menginginkan aku."

Anna memutar lututnya. Dia berjalan pelan meninggalkan ruangan mewah milik miliuner itu tanpa rasa ragu, bersalah atau perasaan apa pun yang bisa membebaninya.

"Anna adalah milik Anna," gumam Anna. Dia meraih kaca mata hitamnya. Berjalan penuh percaya diri menuju lift.

Sementara di dalam ruangan, Anderson Baldwin sangat kacau. Dia menjambak rambutnya dengan kasar. Otaknya tidak mau berhenti memikirkan Anna. Padahal, Anna sudah cukup menghinanya. Jika menurut Anna itu candaan, dia sudah cukup menguji kesabaran Baldwin sejak pertama dia mengetuk pintu ruangannya.

"Anna Smith, aku akan menandaimu."

_______________________

VOTE PLEASE :)

Dreamer Queen

Ayoo~ tekan VOTE-nya ;) Oh ya, sekedar info, NOVEL ini bernuansa Romansa Dewasa, jadi beberapa bagian akan menyuguhkan adegan dewasa. Hal-hal yang berhubungan dengan konten kekerasan, rokok, alkohol dan seksualitas (explicit) pastikan kamu sudah 18+ ya Dear ;)

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status