Share

3 | Clofus yang Agung

HARI pertama kuliah di Cloverleaf University of Surabaya aka Clofus, seperti biasanya, tidak ada perkuliahan. Di setiap bagian depan ruang kelas, berkerumun mahasiswa dan mahasiswi. Bagi mahasiswa baru, mereka ribut dengan siapa mereka bakal menghabiskan waktu mereka di kelas.

Mereka tampak menatap deretan papan tulis yang tertempel berlembar-lembar kertas di tengah lobi. Jari-jari telunjuk terlihat menyisir tabel-tabel. Di sana, tertera nama-nama mata kuliah dan dosen pengampunya.

Di sini, di kampus Clofus, tersedia hampir semua jurusan, bahkan yang paling langka di Indonesia, seperti Teknik Nuklir dan Sastra Jawa, sekalipun. Sederet orang kesohor tercatat sebagai lulusan Clofus.

Sebut saja ada nama Managing Director Bank Dunia Ibu Sri Lakhsmi. Dia bahkan terpilih sebagai World Most Powerful Women ke-38 menurut majalah Forbes tahun lalu. Kemudian, ada nama Bapak Ali Purwacaraka sebagai duta besar Indonesia di PBB. Dan tentu saja idolaku sang rock superstar, Hendryx—pembetot bass Boumerank.

Aku sendiri berkuliah di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, bersama Aisyah, Juleha, Mr. P, dan Matt. Tiga nama terakhir menerima beasiswa untuk mahasiswa tidak mampu di sekitar kampus Clofus. Aisyah sendiri adalah putri seorang saudagar Islam yang kaya raya, sementara Amelia mengambil Jurusan Sastra Cina.

Selain itu, dari seluruh fakultas di Clofus, Fakultas Sastra adalah tempat cewek-cewek paling cantik belajar sekaligus menyebarkan feromon mereka.

Clofus sendiri merupakan perguruan tinggi yang didirikan oleh Yayasan Daun Semanggi Indonesia (YDSI). YDSI adalah yayasan yang diisi oleh orang-orang kaya nan dermawan dari seluruh penjuru Indonesia. Lantaran itu, Clofus menjadi universitas swasta paling moncer dan paling kesohor di seluruh pelosok negeri. Aku bahkan meyakini, se-Asia Tenggara juga.

Kampus Clofus nan megah ini terdiri dari dua area luas yang dibelah Sungai Kalimas. ‘Kali’ dalam bahasa Jawa artinya sungai, dan ‘mas’ artinya emas. Bagian tepi barat disebut The West Clofus, tempat belajar mata kuliah sosial. Dan bagian tepi timur disebut The East Clofus, tempat para mahasiswa belajar memahami bahasa hewan dan membuat bom dari obat batuk.

Di Clofus, Jurusan Sastra Inggris sendiri merupakan yang paling bergengsi. Mahasiswa yang tidak lolos ujian masuk perguruan tinggi negeri, beruntung mendapatkan beasiswa di jurusan ini.

Ngomong-ngomong, aku tidak tahu di jurusan apa cewek berdarah campuran yang dipanggil Kirana tadi berkuliah? Adik perempuanku juga terdaftar sebagai murid baru di Jurusan Sastra Jepang. Aku akan menginterogasinya nanti.

Setahuku, sebagian besar kampus di Surabaya menggunakan terminologi bernada heroisme, kebanggan, dan chauvinisme pada almamaternya.

Tengok saja kampusku Cloverleaf University of Surabaya atau Clofus. Daun semanggi merupakan bahan utama kuliner khas tradisional dari Surabaya, Semanggi Suroboyo. Kemudian ada Universitas Airlangga. Mereka menggunakan nama salah satu raja paling terkenal di Jawa sebagai identitas almamater mereka.

Ada juga Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS). Seperti yang sudah kalian tahu, tanggal 10 November adalah Hari Pahlawan. Hari itu adalah hari ketika ayah, kakek, dan kakek buyut kita berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari invasi Belanda di Surabaya pada tahun 1945. Perang itu sendiri oleh orang barat disebut The Battle of Surabaya. Karena itulah Surabaya juga dikenal sebagai Kota Pahlawan.

Tidak lupa, ada Universitas 17 Agustus. 17 Agustus 1945 adalah hari kemerdekaan Indonesia. Kebangetan kalau kalian tidak tahu. Itu, adalah hari ketika para pendiri negara kita memproklamasikan kedaulatan dari kolonialisme Belanda.

Petualanganku dari gerbang kampus hingga food court, akhirnya berakhir. Setelah menyapu pandangan, aku menemukan Mr. P dan Mat Bagi sedang duduk bersila di sudut antara foodcourt dan pagar besar kampus. Ya, posisi Fakultas Sastra berada di bagian paling belakang pojok tepi barat, bersebelahan dengan permukiman penduduk.

Rupanya, warung kopi langganan kami, Warkop Cak Eko, masih tutup. Makanya itu Mr. P dan Mat Bagi selonjoran di pojokan sana.

Asap rokok terlihat mengepul di belakang bilik dapur. Itu adalah kamuflase yang sempurna untuk menyamarkan asap rokok dengan asap gorengan di area bebas rokok ini. Beberapa teman juga melakukan kegiatan serupa. Karena kami telah menyandang status senior, sudut itu otomatis menjadi wilayah kekuasaan kami. Sebelumnya, para junior merokok di parkiran.

"Preian nang ndi ae, Bro?" tanya Mr. P sambil menghisap sebatang rokok. (Liburan ke mana saja?)

“Keliling dodolan panci,” jawabku sambil mengambil rokokku sendiri. (Berkeliling jualan panci).

Kami semua tertawa. Tentu mereka tahu apa yang kumaksud dengan berdagang panci.

Sebagai anggota band, aku bisa jalan-jalan gratis ke berbagai pelosok nusantara. Aku menggunakan setengah uang hasil manggung untuk membayar cicilan motor. Separuh lainnya, aku akan menghabiskannya untuk bersenang-senang.

"Hei!" tanyaku penasaran kepada Mr. P sambil menyodorinya selebaran dari Aisha. "Temen ta Ndeso Teram ate digusur?" (Benarkah Desa Teram akan digusur?)

Desa Teram, Kecamatan Padak ini sendiri terletak di bagian barat laut Surabaya, berbatasan langsung dengan Laut Jawa dan Gresik. Di kawasan Desa Teram, terdapat kompleks bordil Selamat Datang atau SD 2 yang terkenal.

"Yoi," jawab Mr. P. “Sesuk onok demo warga nolak penggusuran.” (Besok akan ada unjuk rasa dari warga desa menolak penggusuran).

"Koen lak mesti melok-melok," tebakku. (Kamu pasti ikut-ikutan).

Mr. P hanya mengangkat tangan kirinya ke udara sambil menebar tatapan yang mengintimidasi. Itu artinya, iya dia akan ikut demo. Kemudian, Mr. P membaca selebaran dari Aisyah itu. Mat Bagi mengintip di samping Mr. P. Mat Bagi mengangguk seolah memahami sesuatu.

"Halah!" ucap Mr. P sinis saat membaca artikel itu. “Opo maneh iki atek ngangkat derajat wong wedok? Ngangkat derajat’e dewe ae gak isok!” (Macam apa pula ini pakai mengangkat derajat wanita? Mengangkat derajatnya sendiri saja tidak bisa!)

Aku menggelengkan kepala lantas mengangkat bahuku.

"Tin," tiba-tiba Matt membuka mulutnya, lalu menghembuskan lingkaran asap dari bibirnya yang tebal.

"Hah?" aku terkejut. “Tin?”

“Onok uwit tin opo uwit ara sing tukul nang kene,” Mr. P menjawab pertanyaanku sambil menunjuk ke arah selebaran. "Biasane, wong Indonesua nyebut uwit beringin.” (Ada pohon tin atau pohon ara yang tumbuh di sini. Biasanya, orang Indonesia menyebutnya sebagai pohon beringin).

"Iyo, aku ngerti uwit tin" kataku, "maksudku, opo’o?" (Iya, aku tahu pohon tin, maksudku, kenapa?)

"Nang kene," kata Mr. P sambil menjentikkan selebaran, "uwit beringin iku sing terakhir, sing satu-satunya nang Suroboyo. Wes gak onok sing liyane." (Di sini, pohon beringin itu yang terakhir, yang satu-satunya di Surabaya. Tidak ada yang lainnya).

Sebelum aku menuntaskan rasa penasaran, dari kejauhan, aku sempat melihat ada cewek blasteran lagi jalan bareng kroni-kroninya. Kalau aku menarik garis lurus, sepertinya mereka akan ke foodcourt ini juga.

"Sopo iku?" aku bertanya. "Maksudku, cewek blasteran iku?"

"Oh!" Mr. P menjawab dengan tenang, "iku Kirana, arek Graha Family."

Aku tidak heran kalau Mr. P tahu siapa cewek hasil kawin silang itu. Lalu, dia memberitahuku bahwa mahasiswa senior yang lain juga membicarakan cewek berdarah campuran itu. Aku tidak pernah meragukan pekerjaan intelijen Mr P. Dia bisa diandalkan. 

Kirana, sebut Mr P, diprediksi bakal menyabet gelar The Next College Idol Award tahun ini. Penghargaan itu sendiri diberikan kepada cewek yang paling sukses membuat para cowok tergila-gila sepanjang tahun. Kriterianya cuma cantik dan seksi.

Gelar itu merupakan penghargaan yang tertinggi dari kami—para kaum laki-laki—kepada kaum perempuan di seluruh Clofus. Juleha adalah juara bertahan selama empat tahun terakhir. Aku setuju Kirana bakal menjadi penantang serius bagi Juleha. Kami (baca: cowok) bertindak sebagai host sekaligus juri.

“Ate lapo? Gak level awakdewe,” sindir Mr. P. (Mau apa? Gak level kita)

Aku hanya menyeringai.

"Aku ngerti maksud raimu," tukas Mr P. (Aku tahu maksud dari raut wajahmu).

Graha Family sendiri adalah salah satu hunian premium selain Citraland - The Singapore of Surabaya. Graha Family ini terletak di bagian barat Surabaya. Di sana, tempat para bos besar umumnya tinggal.

Misalnya saja, anggota dewan, direksi perusahaan pelayaran, taipan konstruksi nasional, hingga komisaris badan usaha milik negara (BUMN). Semua miliki rumah di sana. Aku tahu karena salah satu temanku tinggal di sana. Bapaknya adalah seorang ekspatriat. Aku baru ingat bahwa temanku itu juga berkuliah di Clofus.

Lalu, aku bertanya kepada Mr. P dan Mat Bagi, pada ke mana mahasiswa senior lainnya? Mereka bergantian menyebut nama-nama berandalan macam Roni, Muchlis, dan Gepeng, yang belalai mereka masih belum nongol. Tapi, kata Mr. P dan Mat Bagi, Geng LGBT sudah hadir. Mereka antara lain Lolita, Gatot, Bella, dan Tari.

Aku hanya mengangguk lantas melihat arloji digital. Rupanya sudah hampir jam delapan. Saatnya pergi ke kelas, mungkin ada pengumuman atau semacamnya. Setelah mematikan rokok, aku, Mr. P, dan Mat Bagi semburat menuju gedung perkuliahan di lantai tiga.

Di dalam ruang kelas besar, sudah banyak mahasiswa yang membuka buku seolah akan ada perkuliahan. Aku menghela nafas sebelum masuk. Bismillah!

Belum sempat melangkah masuk, radar feromonku menangkap aroma penuh nafsu yang terekspos di udara. Datang entah dari mana, Lita meletakkan jari telunjuknya di bibirku, Gatot memberiku cium jauh, Bianca mendesah, dan Tari menampar pantatku. Mereka berlalu seolah tidak terjadi apa-apa.

"Oh! Hei ladies, ayolah!" maksudku hanya para ladies. "Rewind, please! Aku belum siap!" Bukan kau, Tot.

Sial! Juleha melihatku. Aisyah juga.

Lalu, aku berlari-lari kecil ke barisan belakang dan duduk di salah satu kursi. Rupanya, Roni, Muchlis, dan Gepeng sudah bergentayangan dalam kelas.

Di tengah keributan dalam kelas, seorang STW memasuki ruang kelas. Tiba-tiba, suasana yang ceria mendadak jadi muram durjana. Kami semua mengenalinya. STW satu ini terkenal sebagai dosen killer se-Fakultas Sastra. Kami bisa merasakan mode membunuhnya sedang aktif. Bahkan mahasiswa berandalan pun tidak berani menantang tatapannya.

Namanya Ibu Pandam. Aku tidak tahu apakah beliau sudah menikah atau belum? Aku tidak peduli. Aku hanya fokus pada apa yang menarik kebanyakan pria normal.

"Pagi," sapanya singkat.

"Pagi, terserah, bla bla bla!" kami pun bergumam malas membalasnya.

Aku yakin dalam hati, kami semua yang selama ini berada di bawah bimbingannya cekikikan. Nama Pandam-nya itu hampir sama pengucapannya dengan Jean Claude Van Damme, salah satu aktor film laga Hollywood yang terkenal. Sebab itulah kami memanggilnya Madam Van Damme.

Terlepas dari semua itu, bagiku pribadi, Madam Van Damme adalah seorang dosen Cross-Cultural Understanding yang ekselen. Maksudku yang terbaik di bidangnya.

"Saya sekarang menjabat sebagai ketua Jurusan Sastra Inggris," Madam Van Damme memulai ceramahnya.

Oh, my goat! Ini artinya kami akan lebih sering berinteraksi. Kemudian, Madam Van Damme menjelaskan apa yang bakal terjadi di Jurusan Sastra Inggirs, setahun ke depan. Aku sendiri tidak tertarik untuk mengikuti penjelasannya.

Aku lebih suka melamun tentang Aisyah, Kirana, dan Juleha. Amelia juga sempat menyelinap. Bagaimana Tuhan telah menciptakan perempuan-perempuan yang unggul. Menjadi kekasih hati salah satu dari mereka saja, adalah sebuah kehormatan bagiku. Kemudian, Geng LGBT tiba-tiba muncul dalam lamunanku. Aku tidak keberatan, kecuali Gatot.

Setelah beberapa lama, aku melihat teman-teman dari kelas lain berbondong-bondong menuju tangga. Itu adalah gejala tidak ada perkuliahan. Selain tanggal merah, tidak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang mahasiswa, dari tidak ada kelas.

"Jelas?" kata Madam Van Damme.

Apanya yang jelas? Tak perlu berpikir dua kali, para mahasiswa langsung berdiri, siap meninggalkan kelas. Baru saja hendak melewati pintu keluar, aku dipanggil oleh Madam Van Damme.

"Galang!" dia memanggilku.

Aduh! Ada perlu apa aku dipanggil oleh aktor film laga ini? Semoga saja, aku tidak diajaknya menjadi sparring partner berlatih ilmu bela diri campuran.

“Besok ada seminar penyuluhan narkoba dari BNN (Badan Narkotika Nasional) di Hotel Grand Wahid,” jelas Ibu Van Damme. "Kamu yang pergi!"

"Siap Bu!" aku menjawab, "tapi mengapa saya?"

"Kamu kan anak band?" Madam Van Damme lantas berlalu pergi begitu saja. Dia tidak menerima penolakan.

Tapi, apa hubungan antara pemain band dan penyuluhan narkoba? Okelah, banyak personel band ternama yang terlibat barang haram itu. Tapi, bukankah biasanya undangan semacam seminar itu ditujukan untuk mahasiswa yang terkenal pintar, Amelia misalnya?

Ya sutra-lah. Aku pun langsung ngacir. Mr. P dan Mat Bagi membuntutiku hingga parkiran. Aku mengatakan pada mereka, kalau aku gak ikut ngopi. Soalnya, aku ada jadwal latihan band. Tidak ada aktivitas yang lebih menyenangkan daripada bermain alat musik. Selain Juleha, bermain alat musik itu membantuku melepas energi yang tak tersalurkan. Oh, yeah!

“Disik’o, aku absen sek,” aku memberitahu mereka.

“Oke,” sahut Mr P. “Nyilih duwite mang ewu, gawe kopi en rokok.” (Pinjam uangnya lima ribu, buat kopi dan rokok)

Meminjami uang bagi teman kuliah itu sama dengan bersedekah. Ikhlaskan saja, karena kemungkinan besar tidak akan dikembalikan. Tapi, aku tak punya pikiran untuk meminjami maupun bersedekah. Uangku adalah uang mereka juga.

“Nyoh,” aku memberi selembar uang Rp10 ribu. “Bagien ambek Mat.”

Siang itu, aku tidak bertemu Aisyah, Kirana, Amelia, begitu pula Juleha. Mungkin mereka sudah pulang duluan. Jadi, aku langsung menunggangi motor matik kesayanganku, dan langsung meluncur ke studio musik.

Yeah! Let's make some fuck'n noise! Inferno, here I come!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status