Share

2 | Girls Next Door

AKU semakin bersemangat saja masuk kampus. Kuberanikan diri melangkahkan kaki lebih dekat ke arah gerbang. Agak jauh di hadapan, terlihat sekelompok perempuan berbondong-bondong hendak masuk ke halaman fakultas. Mereka terbahak-bahak. Entah apa yang menjadi bahan kasak-kusuknya?

Baru saja sampai regol fakultas, aku melihat gerombolan pejantan liar berlarian menghambur. Kelompok betina pun mengalah memberi jalan. Di antara kawanan itu, salah satunya menebar hawa memikat. Feromon satu ini sudah aku kenali pemiliknya. Rupanya, para pejantan lainnya pun merasakan hal yang sama. Mereka dengan kompak memelototinya.

Cewek satu ini bodinya bak gitar Mojokerto. Kuat nan akurat. Skala buah dadanya lebih menantang daripada teman-teman sebayanya. Setiap ayunan langkahnya, membuat gunung kembar itu bergejolak seakan hendak meletus. Layaknya buah pepaya yang ranum, dia sudah siap dipetik.

Karena tidak ingin pemandangan ini cepat berlalu, aku pun merasa perlu menyetelnya dengan adegan lambat ala tempo adagio. Ah tidak, sekalian grave tempo. Busyet! Aku menegang. Cewek satu ini, bodinyo memang numero uno!

Rambutnya yang panjang berkilau dibiarkannya terurai. Mungkin doi habis mandi besar. Dia menggeleng-gelengkan kepala layaknya kerbau di-bully kawanan lalat. Rambutnya yang basah itu berkibar tak keruan. Dahinya lebar mengkilap bak putri priyayi keraton Jawa.

Doi memang sederhana layaknya warung nasi padang. Tak banyak kemewahan, tapi padat berisi. Dia melenggang kangkung, santai dan tanpa beban. Saat itu aku menyadari, dia bak bidadari yang turun dari truk pasir.

Doi sepertinya mengatakan sesuatu padaku. Tapi, aku tak bisa fokus ihwal apa yang dilafalkannya. Aku hanya fokus pada sesuatu yang lebih menarik minat lelaki. Sesudah itu aku lantas tersadar karena tak mendengarkan. Aku khilaf.

Tiba-tiba, doi menatap tajam ke arahku. Dahinya mengernyit. Sepertinya, dia tak suka aku mencangkungi dadanya. Apa salah hamba? Beta hanyalah laki-laki biasa yang tengah memuja keindahan dunia.

Semakin dekat, aku bisa melihat cewek itu mengenakan semacam earphone di telinganya. Ya, dia tunarungu sejak lahir. Saat berada di luar rumah, dia memakai alat bantu dengar. Namun, sejak dia masih kecil, dia terus berlatih berbicara dan bisa berbicara sedikit-sedikit.

Cewek ini hanya menggunakan bahasa isyarat ketika dia berbicara dengan sesama tunarungu, khususnya denganku. Ya, aku bisa bahasa isyarat. Aku tekun mempelajari semata demi bisa berkomunikasi dengannya.

"Arek gendeng!" semburnya. "Minggir!"

Rupanya, aku menghalangi jalannya. Aku pun manut sambil tetap setia menatap ke arah dadanya.

Memang, setiap jengkal tubuhnya adalah puisi. Sesuatu yang indah untuk dinikmati. Tapi bukan jenis sajak Mbah Sutarji yang deklamasinya kayak baca mantra itu. Tetapi lebih dekat dengan syair mendiang Eyang Sapardi yang aku ingin mencintaimu dengan sederhana.

Namanya Juleha Dwi Cahyani. Kita panggil saja dia Juleha.

Juleha adalah tetanggaku di Kertajaya. Rumahnya hanya berjarak lima rumah dari rumahku. Juleha sendiri sering datang ke toko ibuku untuk membeli perlengkapan mandi, pembalut wanita, deodoran, dan parfum isi ulang KW. Mungkin karena alasan kedekatan geografis, dia tidak keberatan jika aku mencangkungi payudaranya yang buntal.

Dari belakang, pantatnya mengayun tarian klasik India. Tidak apa-apalah, selama dia tidak menggoyangnya dengan gaya lap dance. Mendadak, aku merasakan pangkal pahaku geli. Rupanya, 'Upin' sedang menuntut kebebasan. Tapi, sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk unjuk rasa.

Tiba-tiba Juleha berbalik dan buru-buru berjalan kembali ke arahku.

Dia menatapku, melepas alat bantu dengar, dan kemudian mulai mengendus-endus di depan wajahku. Beraninya kamu, Juleha! Aku bisa mencium bibirmu kalau aku kehilangan kewarasan. Dengan sedekat itu, aku bisa mengendus harum deodoran, satu-satunya wewangiannya.

"Kamu bau alkohol," Juleha menuduhku dengan verbal.

Oke, Juleha selalu sibuk mengingatkanku tentang segala hal. Tapi, kenapa sih, dia selalu meributkan hal-hal sepele seperti itu. Aku tidak suka diperhatikan. Namun, Juleha selalu bisa menemukan hal yang janggal dariku, apa pun itu.

“Kopi. Kenapa, sih, kamu selalu sok ngatur-ngatur,” aku mengungkapkan kekesalan dengan bahasa isyarat, supaya tidak ada yang tahu.

“Dengar,” desak Juleha lantas memulai bahasa isyaratnya, “jika aku tidak terikat oleh sumpah keluargaku pada kakekmu, aku tidak peduli!” Juleha geram, memakai alat kembali alat bantu dengarnya, lalu pergi.

“Juleha! Maaf!” aku memohon padanya secara lisan, tapi tak dihiraukannya.

Jadi gini ...

Ibuku pernah bercerita. Saat perang merebut kemerdekaan, kakekku Bambang Surya Tanoto atau BS Tanoto, punya abdi Jawa yang setia. Pembantunya yang berbakti itu adalah Syamsul atau Cak Sam. Beliau adalah kakek Juleha. Cak Sam bersumpah untuk tetap mengabdi pada keluargaku sampai mimpi juragannya untuk membebaskan Indonesia dari oligarki, menjadi kenyataan. Mimpi yang gila, pikirku.

Sebelum Cak Sam wafat, dia mewajibkan sumpah setianya kepada putranya, Purwanto alias Cak Pur, ayah Juleha. Sebuah sumpah untuk tetap tawaduk kepada keluargaku sampai impian kakekku menjadi kenyataan. Cak Pur setuju.

Ketika aku masih SMA, Cak Pur jatuh sakit. Sebelum beliau wafat, Cak Pur mewajibkan sumpah ayahnya—Cak Sam—kepada istri dan anak-anaknya untuk tetap setia kepada keluarga Tanoto, hingga impian kakekku terwujud.

Aku berdiri di antara keluarga Cak Pur saat beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Aku ingat Juleha menangis di bahuku. Cak Pur adalah tipikal orang Jawa tulen yang rendah hati, sopan, dan setia. Baik Cak Sam maupun Cak Pur tetap memegang teguh sumpah mereka kepada keluarga Tanoto, sampai mereka wafat.

Baru saja aku hendak mengejar Juleha, ada suara berat memanggilku. Mengenali suara khas bariton itu, aku pun mengurungkan niat memburu Juleha. Nanti juga baikan sendiri.

“Lang!” suara bariton memanggilku lagi.

“Woi!” balasku cempreng.

Dari perawakannya yang berambut keriting serta pendek gempal, aku mengenalnya sebagai Mat Bagi. Nama panjangnya Akhmad Bagiyon. Dia seperti Hulk versi mini. Rambutnya yang keriting cepak membingkai wajahnya yang kotak. Rahangnya pun terlihat kokoh seperti rahang tyranosaurus rex.

Kami pun bersalaman. Telapak tangan ini rasanya diremas-remasnya. Ini baru salaman yang tak perlu tenaga. Entah bagaimana kalau Mat Bagi sedang ena-ena. Bisa modyar pasangannya!

Tiba-tiba, ada lengan melingkari leher lantas menyeretku melewati gerbang sekolah. Ada aroma ketek yang terpapar bebas di udara. Tak salah lagi, oknum kawan satu ini pasti si Pecok, dengan huruf ‘e’ dibaca seperti membaca ‘eek’ dan huruf ‘o’seperti membaca ‘ompol’. Nama aslinya Prasetyo.

Perawakan Pecok ini kurus, tapi tidak lebih tinggi dariku. Rambutnya lurus nan kaku membingkai wajahnya yang lonjong. Yang membuat si Pecok ini mudah dikenali adalah bibirnya yang monyong. Deretan giginya itu maju bak paruh burung rangkong. Bahkan, si Pecok ini kesulitan untuk menutup penuh mulutnya.

Dalam bahasa Jawa, Pecok sendiri artinya pacul kecil. Dari situlah Pecok mendapatkan nama panggilannya. Senjata tajam.

Sejatinya, Pecok adalah nama panggilannya saat SMA. Kini di perkuliahan, kami sepakat memanggilnya Mr. P karena inisial yang sama, Pecok Prasetyo. Mulai sekarang, aku akan menuliskan Pecok sebagai Mr. P. Setuju? Harus setuju!

“Sek urip ae?” ejek Mr. P padaku. (Masih hidup aja?)

“Bangke!” aku menyahut.

“Coplok’en sek ta helm-mu iku,” tambahnya. (Masih hidup rupanya. Lepas dululah helmu itu)

Wait! Aku masih pakai helm. Kampret! Pantas aja cewek-cewek tadi pada ketawa-ketiwi. Oke, aku lepas dulu helm-ku. Untung tak ada yang salto di udara kayak Aisyah dulu. Bisa kugigit telinga mereka satu per satu.

Kemudian, mataku kedutan. Gejala ada feromon tertangkap radar.

Rupanya, ada seorang cewek yang memeluk sejumlah buku berjalan ke arahku. Dia tertawa lirih. Pipinya merona merah. Kulitnya putih bak bintang iklan sabun mandi. Rambut panjangnya dikepang ke belakang. Iyalah, masak dikepang ke atas? Anak punk dong.

Aku mengenali wajah oriental dan kacamata minusnya. Namanya Amelia Limantoro. Dia salah satu mahasiswi paling pandai sekampus Clofus. Amelia merupakan tetanggaku dari Juwingan, kelurahan sebelah Kertajaya. Amelia ini baik di kampung maupun di kampus, akrab disapa Cece. Dia peranakan Tionghoa.

Kontras dengan Juleha, si Amelia ini rata. You know what I mean, kan?

“Pagi, Mel,” sapaku sopan-sopan genit.

“Pagi, Lang,” balasnya ramah, lalu berhenti di hadapanku.

Sepertinya, Amelia ingin mengobrol. Baiklah. Tapi, dua temanku ini kerjanya mengganggu saja. Ihi-ihi! Cieee! Awas tangane! dan lain sebagainya. Mereka berdua, khususnya Mr. P, tidak akan mengizinkanku tebar pesona dengan leluasa.

Namun begitu, aku dan Cece sudah terbiasa digoda. Secara, sejak kami berdua masih bermain ingus di taman kanak-kanak hingga sekarang, selalu satu sekolah.

Aku pun menyuruh Mat Bagi untuk mengembalikan helm ke motorku di parkiran. Sementara Mr. P aku suruh duluan ke kantin kampus. Akhirnya, Mat Bagi dan Mr P terpisah.

“Ada kelas apa, Mel?” tanyaku basa-basi padahal tidak ingin tahu.

Lalu aku mulai berjalan supaya Amelia mengikutiku.

“Contemporary Chinese Literature,” jawab Amelia malu-malu.

Aku mengangguk pura-pura tertarik.

Entah mengapa sang bayu selalu ganjen dengan cewek-cewek di hadapanku. Padahal, aku merasa tidak punya perasaan mutlak terhadap Amel. Akibat kegenitan alam itu, Amelia lantas menyibak rambutnya ke arah belakang telinga. Aku jadi membayangkan Amelia seperti putri kaisar Cina yang mengenakan gaun sutera klasik. Sungguh memesona.

“Kamu liburan ke mana aja, Mel?” aku mengalihkan perhatian.

“Gak ke mana-mana. Di rumah aja, bantu-bantu papa,” jawab Amel. “Kalau kamu pasti keliling Indonesia ya?”

“Nggak kok, Mel, cuma di Jawa aja. Semarang sama Jakarta,” jawabku.

“Enak ya liburan bisa jalan-jalan,” tambah Amel.

“Capek juga sih,” aku meratap.

Amel lantas bercerita kalau dia juga sama capeknya. Dia berkisah panjang lebar bagaimana suntuknya bekerja mencatat tagihan, menghitung omset hingga mengawasi buruh angkut di toko garmen papanya di Pasar Pucang.

Entah mengapa aku tak tertarik dengan cerita Amelia? Aku lebih memilih membayangkan lesung pipit Aisyah, montoknya Juleha dan judesnya si cewek blasteran tadi. Tapi, aku tidak boleh menunjukkan rasa bosanku terang-terangan. Jadi, aku manggut-manggut mengamini cerita Amel.

“Um,” Amelia tersipu, “Lang, besok Sabtu ada resepsi nikahan sepupuku.”

"Oke," aku mengangguk lagi.

"Datang denganku, ya?" ajak Amelia sambi bahunya teranyun-ayun.

"Hah?" Aku mengangkat alis. “Bukannya resepsi itu cuma untuk orang Cina, ya? Sama orang-orang kaya? Kok aku, sih?”

"Lho, kamu kan juga orang Cina," desak Amelia.

Aku menghela nafas dengan berat.

Ya, orang tuaku dan tetangga juga mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan Amelia. Aku memiliki darah Cina dari kakekku. BS Tanoto, nama aslinya adalah Tan Hok Gie. Dulu, kakekku Bambang menikahi seorang perempuan Jawa tulen, Sumarsih, nenekku. Mbah Sumarsih kemudian melahirkan tiga anak. Ibuku yang tengah.

Ibuku pernah bercerita, almarhum kakekku Bambang, punya rekan seperjuangan--yang juga mendiang--Liem Koen Hian alias Gesang Limantoro. Beliau adalah kakek Amelia. Jadi, atas nama kakek, aku mempertimbangkan ajakan Amelia.

Bingung kan kalian, kok pake nama-nama alias? Baca terus agar tahu latar belakang kisahnya.

"Oke, tak pikirin dulu ya," aku menyerah pada ucapan manipulatifnya. "Siapa yang menikah?"

“Sepupuku,” jawab Amelia. “Ntar aku kirim surat undangannya.”

“Okelah kalau begitu, see you, Mel!” Aku melambai sambil berjalan gaya undur-undur.

Amelia tersenyum, lalu berbalik dan mulai berjalan. Tapi sial, Amelia tidak melihat selokan di belakangnya.

"Awas Mel!" aku spontan berlari ke arahnya.

Tapi terlambat, gravitasi menarik Amelia duluan. Dia jatuh, sementara benda-benda yang dibawanya berhamburan.

Aku membantu Amelia berdiri dan membantunya mengambil barang-barangnya yang berserakan. Di antara benda-benda yang terserak, aku melihat sapu tangan krem kusam tapi masih terawat. Aku memberikannya kembali kepada Amelia.

"Terima kasih," Amelia berterima kasih padaku sambil tersipu.

"Ini punyamu," dia menyerahkan sapu tangan itu padaku. “Kamu inget?”

Tentu saja aku ingat. Itu adalah saputangan yang kuberikan pada Amelia saat kami masih duduk di bangku SMP. Saat itu, Amelia tiba-tiba jatuh sakit di sekolah. Itulah mengapa saya memberinya sapu tangan krem itu. Karena Amelia adalah tetanggaku, guru BK menyuruhku untuk mengantar Amelia pulang ke rumahnya.

Aku lupa mengapa ada cowok SMP sampai bisa membawa sapu tangan ke sekolah. Kalau tidak salah ingat, ada kelas praktek menyablon. Aku tidak pernah menyangka Amelia masih menyimpannya. Aku tersentuh oleh inisiatif mulianya itu.

Tapi, aku tetap mengembalikan sapu tangan itu ke pemiliknya. Maksudku Amelia. Sejak itu, sapu tangan itu sudah jadi miliknya.

"Iya, kah?" Aku menatap mata Amelia sambil berpura-pura lupa.

Amelia mengangguk.

"Ah!" aku berpura-pura mengingat. “Simpan aja, Mel!”

Aku bisa melihat wajah Amelia yang tersipu. Tapi, dia tidak bisa menyembunyikan kebahagian di balik kacamata minusnya dariku. Aku merasa ada sesuatu tentang Amelia padaku. Atau mungkin sebaliknya. Aku tidak tahu.

“Ya udah, aku ke kantin dulu ya, Mel. Mumpung belum ada jam kuliah. See you again!” aku melambaikan tangan.

Amelia tersenyum, lalu berbalik dan mulai melangkahkan kaki-kaki jenjangnya.

Sebenarnya, aku merasa tidak enak meninggalkan Amelia. Namun, aku mengalihkan perhatian dengan berjalan menuju food court. Tentu saja, aku tidak melupakan agenda prioritas, yaitu melepas status jomblo. Tapi dengan siapa? Aisyah, Kirana, Juleha, atau Amelia. Namun, pedekatein mereka bukanlah perkara yang mudah.

Atau, aku akan cari yang lain saja? Lagipula, Clofus ini terlalu besar jika aku hanya fokus pada keempatnya. Well, hello Clofus-ku yang tercinta. Siapa lagi yang kamu punya untukku?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status