Share

Chapter 3 - Sosok seorang Nenek

Asih dan Shelly yang sedari tadi di dalam kamar, akhirnya ikut bergabung bersama kami di ruang tengah.

Kupikir Asih dan Shelly keluar dari kamar mereka karena ingin bergabung bersama kami untuk menenangkan Ina, tetapi ternyata ... dugaanku salah. Asih dan Shelly pun juga mendapat gangguan di kamar mereka!

"Ehh ... ehh ... rumah ini serem banget! Saya lagi sisiran di depan cermin, tiba-tiba ada bayangan lewat. Pas saya lihat ke belakang, kok tidak ada siapa-siapa. Begitu saya lihat lagi ke cermin, orangnya ada! Nyengir, terus ngetawain saya!" Shelly menjelaskan sambil mempraktikkan apa yang baru saja dia lihat di kamar mereka tadi. Sedangkan Asih, cuma planga-plongo mendengar cerita kami.

"Kamu ngapain ke sini juga, Sih?" tanyaku.

"Saya sedang rebahan di ranjang sambil memegang ponsel menghadap tembok. Pas melihat Mbak Shelly, dia sudah tidak ada di kamar. Ya sudah, saya ikut keluar juga. Saya takut ditinggalkan sendirian di kamar." Dengan polosnya, Asih menjelaskan kejadian barusan.

Ya, dari kami berlima, Asih paling polos orangnya dan penakut. Namun, sejak datang ke rumah ini, cuma Asih dan Rafli yang belum mendapat gangguan.

"Ini rumah, kenapa sih? Padahal masih siang, lho. Tengah hari saja belum, tapi kok banyak sekali gangguannya?" 

Sepertinya, Shelly juga sudah mulai merasakan ada sesuatu yang ganjil di rumah ini.

"Nanti malam, seusai maghrib, papa Mirna mau mampir ke sini lagi katanya," sahutku, mencoba menenangkan suasana yang tengah diliputi ketegangan karena teror beruntun tanpa jeda sejak pertama kali datang ke rumah ini.

"Sudah, begini saja. Saya mau bikin kopi, nih. Mending kita ngopi dulu supaya tenang sedikit. Ada yang mau dibikinin kopi sekalian, enggak?" Dengan santai, aku menawarkan mereka sambil beranjak ke dapur.

Mereka berempat dengan kompak menjawab, "Boleh, deh."

"Dre, buat Ina, tolong buatkan teh saja, ya," saran Rafli.

"Okelah kalau begitu," ucapku sambil berlalu ke dapur.

Sesampainya di dapur, kulihat peralatan memasak cukup lengkap, bahkan kompor masih berfungsi dengan baik. Semua gelas dan piring disusun rapi agar mudah untuk dijangkau.

Tadi dapur belum disapu, ya?

Aku memutuskan akan menyapu dapur terlebih dahulu dan memanggil Asih untuk mengantarkan sapu yang tadi sempat dibawa Rafli ke ruang depan.

"Siiih, tolong, dong, bawa sapu satu ke sini. Saya mau menyapu dapur dulu," pintaku dari dapur.

Tak lama, Asih datang dari depan dan menyerahkan sapu padaku. Namun ... tunggu!

Ada yang aneh dengan Asih. Kulihat, kulitnya lebih cerah dan putih. Padahal, yang aku tahu, Asih berkulit hitam. Gadis itu memang berasal dari Flores, Nusa Tenggara Timur sana. 

Lalu, mengapa kulitnya berbeda? Bahkan, wajahnya pucat!

Setelah menyerahkan sapu, dia berlalu meninggalkanku dan kembali ke ruangan depan. Aku hanya melongo, lalu tak lama kemudian, Asih yang asli segera menghampiri dan menyerahkan sapu kedua.

Aku terdiam dan tersadar ketika Asih menggerakkan tangan ke hadapan wajahku.

"Hei ... Mas Andre kenapa? Tadi katanya minta sapu, tapi malah melongo," ujar Asih. "Ini sapunya, Mas. Saya balik lagi ke ruangan depan, ya, mau duduk di depan bersama mereka," lanjutnya setelah menyerahkan sapu kedua padaku. Lalu, dia kembali ke ruangan depan.

Seriusan ini? Benar-benar tidak beres, sumpah! gerutuku kesal. Bagaimana tidak kesal? Sedari tadi, kami belum mendapatkan waktu untuk beristirahat. Padahal, masih sangat lelah. Namun, sepertinya penghuni rumah ini masih senang mengganggu kami.

Aku kembali menghampiri kompor dengan perasaan kesal, memasak air, dan menyiapkan kopi, serta teh dalam gelas masing-masing.

Karena memasak air membutuhkan waktu lumayan lama, sambil menunggu, aku berniat menyapu seluruh ruangan dapur ini agar lebih nyaman.

"Yang di dalam gudang, depan kamar mandi, dan barusan antarkan sapu, jangan ganggu dulu, ya! Aku tidak akan mengganggu kalian, lho! Aku cuma mau membersihkan tempat ini supaya lebih bersih. Pokoknya jangan ganggu dulu, ya."

Aku mengoceh sendiri di dapur, berusaha untuk berkomunikasi dengan para penghuni di bagian paling belakang rumah ini karena cuma di dapur dan gudang yang kurasakan paling besar hawa keberadaan makhluk tak kasatmata.

Disusul dengan bisikan yang menyahut, "Iya."

Aku pun tersenyum saat mendengar jawaban tersebut lalu mulai menyapu. Kupikir, sudah ada persetujuan dari mereka yang tak terlihat. Jadi, aku mulai menyapu sambil menunggu rebusan air mendidih.

Saat telah sampai di bagian teras samping, yang  terhubung langsung dengan dapur, kulihat halamannya cukup luas. Sejenak, aku merasa hati nyaman di area ini. Ada pohon mangga, mungkin itu yang tadi dimaksud oleh papa Mirna saat bercerita .

Saat sedang asyik menyapu sambil menikmati suasana sejuk, kulihat di seberang sana ada dua orang ibu-ibu sedang berjalan. Kuperhatikan barang bawaan mereka, sepertinya baru selesai berbelanja untuk kebutuhan dapur. 

Aku mencoba menyapa mereka dengan tersenyum ramah. Namun, justru balasan dari kedua ibu itu di luar dugaan. Mereka melihatku seperti keheranan, dahi mengerut lalu saling tatap satu sama lain. Yang satu bergidik, kemudian mereka segera mempercepat langkah.

Aku bingung dengan sikap kedua ibu tadi. Kenapa, ya?

Padahal, barusan aku mencoba seramah mungkin agar kehadiran kami di kampung ini bisa diterima dengan baik. Namun, justru tanggapan mereka seperti sedang melihat hantu!

Aku langsung memeriksa tubuh jikalau ada sesuatu yang aneh. Menengok  ke kanan dan kiri, lalu ke belakang. Akan tetapi, tak satu pun keanehan yang kudapati.

Di tengah kebingungan saat itu, tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang. Dari dapur. Aku langsung membalikkan badan, lalu melihat di dalam dapur ada seseorang yang terlihat asing.

Dia sedang berdiri di depan meja makan, kemudian duduk di kursi dan menyapaku dengan senyuman yang ramah. Sosok itu berambut putih, wajah keriput, tetapi senyumnya sanggup menenangkan hati siapa pun yang melihatnya.

Ya, sosok itu berwujud nenek-nenek!

Tidak ada habis-habisnya penghuni di rumah ini. Mereka seperti berlomba-lomba menampakkan diri. Mungkin mereka ingin berkenalan dengan kami, tapi untuk yang satu ini, sepertinya paling ramah dari sebelumnya.

"Sini, Nak, duduk dengan Nenek. Temani Nenek di sini," pinta nenek itu.

Meskipun awalnya sedikit ragu, tetapi bisa kupastikan nenek itu lebih bersahabat daripada tiga penghuni yang lain karena benar-benar usil. Dengan sedikit ragu, aku pun mengiyakan ajakannya. 

"I-iya, Nek."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status