POV Asih
Kubawa nampan berisi lima gelas, empat kopi dan satu teh. Sesampainya di ruang depan, kuhidangkan minuman itu di tengah-tengah kami. Lalu, bergabung dengan mereka.
"Wiiihhh ... mantap! Baru datang langsung disuguhi kopi. Asih ini memang calon istri yang pengertian!" gombal papa Mirna.Aku cuma memanyunkan bibir, tak mau menjawab apa pun."Jadi, bagaimana tadi, Pak?""Biasa, orang-orang di sini kalau panen cengkeh dan pala, dijualnya ke mana?" Rafli terlihat sangat serius, jika sedang berbicara soal bisnis."Nah, itu yang mau saya bilang tadi. Kami semua biasa panen dari mulai Oktober sampai Desember. Biasanya, tiga bulan itu pala dengan cengkeh banyak sekali dipanen. Bahkan, anak-anak kecil saja cuma memulung cengkeh di hutan, lalu mereka bawa ke rumah untuk dijemur. Sekalinya, bisa dapat sampai lima ratus ribu!" seru papa Mirna sangat bersemangat. "Biasa itu ada penampung yang datang ke sini untuk membeli langsung. Jadi, kami tak perlu repot-repot untuk pergi ke Bacan atau Ternate lagi," sambung papa Mirna.Aku yang paling sering menyimak daripada berbicara, hanya bisa mendengarkan obrolan mereka, sampai akhirnya Ina bertanya padaku. "Asih, Mas Andre ke mana? Kenapa tidak gabung ke sini?""Eh, itu ... Mas Andre bilang, katanya masih mau buat singkong rebus," jawabku singkat."Singkong rebus? Buat siapa?" Ina mengerutkan dahi. Terlihat Rafli dan papa Mirna yang sedari tadi asyik mengobrol pun langsung menghentikan obrolan mereka dan menatapku. Aku semakin gugup dan salah tingkah!Aku memang tak biasa jika menjadi pusat perhatian karena sangat pemalu. Itu sebabnya, aku tak tahu harus menjawab apa pada mereka. Hingga akhirnya, aku pun hanya bisa menundukkan kepala."Coba kamu panggil lagi Mas Andre ke sini. Suruh dia duduk sama-sama di sini," pinta Ina padaku.Aku pun beranjak dari tempat duduk dan berjalan menuju dapur kembali. Namun, saat melewati ruang tengah, pintu kamar Rafli dan Ina terbuka. Sekilas, ada bayangan di dalam situ. Aku hanya menebak, pasti Mas Andre ada di dalam.Akan tetapi, mengapa Mas Andre masuk ke kamar orang lain tanpa izin? Ah ... daripada berpikir yang tidak-tidak, lebih baik aku memanggilnya.Sayangnya, tak ada jawaban dari Mas Andre.Aku yang saat itu penasaran, langsung masuk ke kamar tersebut karena berpikir tak perlu lagi meminta izin. Toh, pintu kamar mereka sudah terbuka. Mas Andre pun juga ada di dalam. Aku melihat Mas Andre sedang mencari sesuatu di pojokan ranjang. Dia berjongkok seperti hendak mengambil sesuatu yang sulit dijangkau. Kuhampiri dan berdiri dengan sedikit membungkuk untuk melihat apa yang sebenarnya dia cari."Mas Andre cari apa?" tanyaku. Namun, dia tetap diam dan sibuk sendiri. Kemudian, aku ikut berjongkok di sebelahnya, memperhatikan apa yang dilakukan. Sesaat, hawa dalam kamar itu terasa sangat berbeda. Bulu kuduk tiba-tiba merinding.Aku melihat keadaan sekitar dan memastikan, apakah ada hantu di sekitar kami. Namun, tak ada hal apa pun yang mencurigakan. Aku sedikit tenang karena ada Mas Andre juga, meskipun dia tak menjawab pertanyaan yang kulontarkan tadi. Setidaknya, aku tetap merasa terlindungi karena kami berdua. Pikirku, berdua lebih baik daripada terjebak sendirian di rumah ini."Mas Andre cari apa sebenarnya? Bukannya tadi bilang, mau rebus singkong di dapur? Terus kenapa di sini?"Aku menghujani banyak pertanyaan sekaligus. Daripada diam, saat ketakutan, lebih baik berbicara. Lumayan bisa meredakan, meski sedikit."Saya lagi cari sesuatu. Tadi pas bersih-bersih kamar, saya lihat ada benda antik di sini. Makanya, mau coba ambil, mumpung Rafli dan Ina masih di luar kamar," jelasnya seraya terus berusaha mencari sesuatu di pojokan ranjang."Benda antik?Apa itu Mas Andre?"Tak lama kemudian, sepertinya dia mendapatkan sesuatu yang dicari sedari tadi. "Nah ini, Sih, yang saya cari dari tadi," katanya seraya menyodorkan dua buah bola mata, lengkap dengan daging yang masih menempel di bagian ujung belakangnya. Keduanya masih penuh darah!Aku terperanjat. Setengah melompat ke belakang dan akhirnya terduduk lemas. Kulihat juga wajah Mas Andre dibanjiri darah dan tak ada satu pun bola mata di sana. Mulai sadar, orang yang semula kukira Mas Andre, ternyata penyebab aku merinding dan merasa ketakutan sedari tadi. Sosok itu kemudian melemparkan bola mata yang dia genggam padaku. Kemudian jatuh, tepat di perutku. Aku menangis sejadi-jadinya. Berharap teman-temanku di depan sana mendengar.Aku mencoba bangkit, tubuh ini terasa sangat berat. Berusaha sekuat tenaga merangkak ke pintu kamar, tetapi kedua kakiku dipegangi oleh sosok menyeramkan tanpa mata itu."Aaa! Mbak Shelly, Inaaa, tolong akuuu!” Aku meronta-ronta dan tetap berusaha melepaskan cengkeraman sosok tanpa mata. Namun, dia memegang kedua kakiku semakin kuat, hingga meringis kesakitan di pergelangan kaki.Aku tetap berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri, meskipun tubuh masih terasa sangat berat. Pergelangan kaki juga mulai terasa ngilu akibat cengkeraman dari sosok tanpa mata itu.Di tengah rasa takut yang kuat dan keinginan melepaskan diri, sejenak aku merasa heran.Mengapa tak ada yang menolongku? Bahkan, menghampiri kamar ini saja tidak!Aku jadi putus asa, merasa tak ada yang peduli. Di tengah-tengah rasa putus asa, ada bayangan seperti seseorang yang akan menghampiri kamar ini. Siapa pun itu, tolong aku!"Tolooong ... tolooong sayaaaa!" rengekku sembari tetap berusaha melepaskan diri.Saat bayangan itu semakin mendekat, kupikir aku akan segera diselamatkan, ternyata dugaanku salah besar!Sosok yang muncul dan berdiri tepat di pintu kamar bukanlah temanku. Meski pandangan terhalang air mata yang hendak jatuh, aku tetap berusaha melihat. Sosok itu adalah seorang wanita bertubuh sedang, memakai seragam hitam yang tak pernah kulihat sebelumnya.Sepertinya seragam yang dia kenakan terlihat kuno sekali. Namun, yang membuatku makin tambah takut adalah ... wanita itu membawa kepalanya sendiri. Lehernya putus dan kepala dipeluk di depan perut.Aku tak tahan dengan pemandangan itu, hingga akhirnya tak sadarkan diri.POV Ina"Eh, Asih kok, lama sekali ya di belakang?" Aku melontarkan pertanyaan pada Shelly."Tau, nih. Paling juga dia lagi ke toilet, kan, ada Andre juga di dapur. Sepertinya, Asih minta Andre jaga di pintu kamar mandi. Tahu sendiri, Asih kan paling penakut. Mau kencing saja masih minta ditemani," sahut Shelly cuek sembari menyeruput kopi."Atau coba kita berdua menyusul ke dapur saja, Mbak Shel. Kita bantu mereka di dapur. Dari siang kita juga belum makan apa-apa. Jadi sekalian masak saja mumpung ada Mas Andre dan Asih di dapur," ajakku.Aku pun akhirnya berdiri, disusul Shelly. Kami berjalan menuju dapur, meninggalkan Rafli dan papa Mirna yang masih asyik berbicara bisnis.Saat sampai di depan kamar, aku merasa ganjil melihat pintunya terbuka lebar. Lalu memilih berhenti sejenak dan berniat memeriksa. Sedangkan Shelly tetap cuek dan terus berjalan ke dapur.Aku terkejut saat melihat di dalam kamar, ternyata ada Asih. Dia berbaring tak sadarkan diri
Dalam keadaan masih terbaring, aku mencoba membuka mata. Melirik ke kanan dan kiri, berusaha mengingat-ingat apa yang baru saja terjadi."Ternyata aku masih di kamar," gumamku dan mencoba bangkit dari tempat tidur, memosisikan tubuh dalam keadaan duduk. Menenangkan diri.Masih jelas dalam ingatan, saat kedua makhluk menyeramkan itu membuatku terdiam mematung di dapur. Ada sedikit rasa sesal dalam hati, mengapa aku tak mampu melakukan perlawanan sedikit pun saat kedua makhluk itu mempermainkanku?Aku merasa diri ini masih terlalu lemah. Untuk menggerakkan tubuh saja, aku tak mampu. Di tengah kacaunya pikiran, tiba tiba terdengar suara yang tak asing lagi. Ya, aku mengenali suara ini."Jangan terlalu memaksakan diri, Nak." Suara itu terdengar tepat di sebelah kanan tempatku duduk diam di kamar itu.Aku langsung menoleh dan benar saja, itu suara Nenek. "Saya belum mengucapkan terima kasih. Nenek datang di saat yang paling tepat, kalau bukan karena Nenek yang menolong, sa
"Ayo, ikut bersama Nenek sekarang," ajak Nenek.Aku pun langsung bergegas mengikutinya. Batinku berkecamuk, kekhawatiran mulai menyeruak menguasai pikiran.Tak lama, kami sampai di tempat seperti gua tempat persembunyian, Gua itu sangat gelap dan lembap, meskipun samar-samar masih bisa kulihat karena pencahayaanya temaram."Ini tempatnya, Nak. Tapi dari batas ini, Nenek tak bisa lagi mengantarmu sampai ke ujung sana, Nenek akan menunggu di sini. Jikalau kamu sudah berhasil menyelamatkan temanmu. Gunakan kemampuan yang kamu miliki saat ini, untuk bisa menyelamatkan temanmu. Nenek yakin, dengan kemampuan saat ini, kamu pasti mudah untuk menyelamatkannya,” jelas Nenek.Aku mengangguk dan meminta izin segera masuk ke dalam gua itu. Saat menuju tempat yang ada di penghujung gua ini, banyak sekali mayat bergeletakan. Bahkan, ada beberapa mayat yang tubuhnya sudah tidak utuh. Potongan tubuh yang terpisah di sana-sini serta bau bangkai yang sangat menyengat, membuat mempercepat
Di tengah kebingungan dan ketakutan, aku benar-benar pasrah. Situasi saat ini benar-benar terjepit. Namun, saat kami mulai dikerumuni oleh sekumpulan mayat mengerikan, tiba-tiba terdengar seperti suara orang yang memanggil."Sebelah sini, cepat kemari!" seru suara tersebut.Aku berusaha untuk mencari sumber dari suara itu dan saat melihat ke depan sana, seorang laki-laki berdiri. Tak lama, disusul oleh beberapa teman yang tiba-tiba muncul entah dari mana.Kulihat, sebagian dari mereka langsung menghajar sekumpulan mayat yang sedari tadi mengerumuni kami, sedangkan sisanya membantu kami keluar dari kerumuman itu.Aku sangat bersyukur, di tengah rasa keputusasaan, akhirnya ada yang datang untuk menolong dan menyelamatkan kami.Kami pun terus berjalan menjauhi kerumunan mayat yang tengah diusir oleh beberapa orang yang menolong tadi, bahkan ada satu orang wanita dari kelompok penyelamat tersebut yang saat itu menawarkan bantuannya untuk memapah Asih berjalan.Aku menc
Pagi itu, aku terbangun lebih awal. Kulihat waktu sudah menunjukkan pukul 05:00 waktu setempat. Setelah beres menunaikan salat Subuh, aku berencana membuat sarapan. Seketika, aku baru teringat bahwa dari kemarin belum makan.Perut yang berbunyi membuatku ingin segera kembali ke dapur sambil membuat sarapan untuk kami berlima. Saat pintu terbuka, ternyata ada Asih dan Shelly tengah sibuk memasak sarapan. Sepertinya, mereka juga lapar, karena mengingat kemarin kami berlima di teror terus-menerus tanpa jeda oleh para makhluk penghuni rumah ini. Sampai kami lupa mengisi perut dengan makanan.Aku langsung menghampiri mereka berdua. Obrolan kami sangat santai pagi itu."Rafli sama Ina masih tidur ya, Mak?" tanyaku pada Shelly."Iya, masih capek, kayaknya. Soalnya mereka yang paling akhir tidur semalam," jawab Shelly.Kulihat, kondisi Asih baik-baik saja. Jadi, kusempatkan untuk berbicara sambil berbisik agar tidak perlu menceritakan apa yang kami alami kemarin pad
Aktivitas kami jalankan seperti biasa, berjualan dari rumah ke rumah. Masyarakat di sini sangat ramah dan mau menerima kedatangan kami. Hari kedua kami berada di pulau ini, bisa sukses menjual banyak barang dagangan .Meskipun tahu pasti barang dagangan kami masih sangat banyak, setidaknya penjualan hari ini betul-betul membuat kami bisa melupakan rasa takut selama menginap di rumah saudaranya papa Mirna.Sampai pada saat jam makan siang, kami berkumpul di salah satu warung dekat pelabuhan. Warung itu menyediakan makanan yang cukup lengkap, bahkan khas Maluku Utara, seperti popeda (bagi masyarakat Sulawesi, makanan ini biasa disebut kapurung) pun disajikan di etalase warung itu.Kami memesan makanan, lalu duduk di meja yang sama. Masing-masing dari kami memesan makanan berbeda kala itu, dan ketika sang empu warung menyuguhkan makanan, beliau bertanya karena tidak mengenali wajah kami."Kalian dari mana? Sepertinya, kalian pendatang ya, di sini?" tanya Ibu warung de
Setelah selesai makan siang bersama, kami bertekad untuk menghabiskan semua barang dagangan. Bila perlu, kami tetap berjualan hingga sore hari, untuk mengetahui hasil akhir dari total penjualan hari itu.Hingga hari sudah sore dan merasa lelah, akhirnya kami memutuskan untuk pulang ke rumah meskipun sebenarnya sudah tak ingin kembali lagi ke sana.Setidaknya, hasil akhir dari penjualan hari ini sangat lumayan, hingga menghabiskan setengah dari total barang dagangan yang kami bawa ke pulau ini.Di tengah perjalanan, tiba-tiba Shelly berkata, "Eh, gimana kalau malam ini, kita menginap di rumah kepala desa saja? Untuk sementara, sampai barang jualan kita habis. Kan, kita udah punya uang, nih. Jadi, bisalah patungan buat bayar ke kepala desa," usulnya."Waaah ... boleh tuh, Mak. Tidak apa-apalah uang yang kemarin sudah dibayarkan sama papa Mirna, anggap saja sedekah untuk memancing rezeki kita hari ini. Buktinya nih, alhamdulillah kita dapet rezeki banyak!" sahutku ber
Sesampainya di rumah, Rafli tengah menunggu di depan, sementara Shelly dan Asih menjaga Ina di kamar.Kami masuk dan bidan muda itu dengan sigap memeriksa Ina. Rafli dan Asih masih tetap mendampingi Ina di kamar, sedangkan aku kembali ke teras depan, duduk di sana sembari mengatur napas dan tak lupa pula mengatur sikapku agar jangan sampai nanti teman-temanku tahu bahwa aku sedang grogi karena bidan muda itu.Namun, tak lama Shelly pun ikut bergabung dan duduk berdua denganku. Sepertinya, Shelly sangat tahu saat melihat kondisiku kala itu."Pantesan lama di jalan, ternyata bidannya cantik," celetuk Shelly mencoba mengejekku."Apaan sih, Mak?" jawabku sedikit kesal."Ciee, cieee, cieee ... Andre lagi jatuh cinta sama bidan cantik, cieee ...." Kali ini, Shelly benar-benar mengejekku dengan ekspresinya yang sangat menjengkelkan."Sssttt ... udah sih, Mak, jangan ribut. Tidak enak kalau ketahuan sama Bu Bidan!" sanggahku."Halaaah! Kamu tuh, Dre. Kita berdua sudah b