Share

Keputusan Lentera

Seburuk apapun masalalu, bukan sebuah alasan untuk membuatmu jatuh.

-Raga dan Lentera-

***

"Bye, Mi" goda Ameta pada Arumi saat mereka berpisah di parkiran mobil yang disediakan oleh pihak sekolah.

Arumi mengabaikan Ameta yang sengaja menggodanya ditengah hari begini, ia langsung menuju mobil jemputannya tanpa menyapa Raga dan teman-temannya. Meski Raga adalah kakak kandung sahabatnya, Ameta. Ia tidak bisa ramah pada pemuda tampan itu kareana Raga adalah penyebab Lentera selalu merasa asing dikeluarga angkatnya.

"Cantik kok sombong toh neng" ucap Agil sedikit keras menyindir Arumi yang telah pergi tanpa membalas senyumnya yang sudah mengering, apalagi kulit bibirnya tampak pecah-pecah karena hari yang terik dan ia juga kurang minum air putih hari ini.

"Ayo bang" ajak Ameta lalu masuk kedalam mobil dan duduk dikursi sebelah kemudi.

"Gue duluan" pamit Raga kepada ketiga sahabatnya meski tatapannya hanya mengarah kepada Aksa, sambil berlalu masuk kedalam mobil bersamaan dengan Lentera yang melewati mereka tanpa menoleh apalagi menegur seperti biasa.

"Lah, Lentera juga kok sombong hari ini? Ada apa dengan ketiga bidadari ini?" monolog lebay Agil saat melihat Letera yang berlalu begitu saja tanpa menyapa mereka. Tyo dan Aksa menyetujui ucapan Agil kali ini dalam diam. Meski hubungan Raga dan Lentera tidak begitu baik, namun Lentera tetap ramah kepada mereka, dan Raga juga tidak masalah dengan itu.

Tyo yang tidak ingin ambil pusing langsung berlalu ke mobilnya, diikuti Agil yang selalu nebeng setiap saat. Alasannya, rumahnya sejalan dengan Tyo kenapa dia harus buang bensin kalau bisa mendapat tumpangan gratis. Berbeda dengan Aksa yang merasa bahwa ada hal besar yang terjadi pada kedua orang itu. Meski begitu, Aksa tidak ingin ikut campur apalagi bertanya pada Raga, ia masih tau batasan. Lalu setelahnya dengan santai aksa pun menuju mobilnya dan berlalu pulang.

*Arsi*

Sepanjang jalan Raga diam dan fokus menyetir seperti biasa. Namun kondisi mobil semakin sepi karena tidak ada celotehan Ameta yang akan ditanggapi dengan sabar oleh Lentera. Meski ia tidak pernah terlibat akan percakapan itu, tapi ia selalu mendengar apa saja yang dibahas adiknya ini dengan Lentera sikesayangan Ameta.

Sesekali ia melirik kearah adiknya yang sibuk dengan dunianya sendiri sambil mengotak-ngatik ponsel yang memiliki bunyi tombol yang begitu menganggu telinga Raga tapi tidak ditelinga Lentera. 

"Bang kenapa pelan begini jalannya? Cepetan dong Meta udah lapar ini" ucap Ameta, menyadari bahwa sang kakak tidak menyetir seperti biasa.

"Lagian juga Meta udah ngantuk, nggak ada teman ngobrol malah buat urat mata Meta jadi loyo" ucapnya sedikit kesal sambil memasukkan ponsel kedalam tas yang ada dipangkuannya.

Raga tidak menjawab apapun sebagai tanggapan atas apa yang diucapkan Ameta, tapi ia segera menambah kecepatan dengan pandangan fokus kedepan berharap jika ia akan berpapasan dengan seseorang yang sedari tadi ada difikirannya.

*Arsi*

"Meta pulang!!!" teriak meta begitu keluar dari mobil dan berlari masuk dengan tergesa menghampiri Laila yang sibuk menata makanan diatas meja makan.

"Meta. jangan teriak-teriak begitu sayang!" ucap Laila memperingatkan. Ameta menunjukkan cengiran khasnya, lalu duduk di meja makan menyomot bakwan jagung kesukaannya yang sudah tersaji di meja makan.

"Jorok!" tegur Laila, mendelik menatap anak gadisnya yang selalu saja bertingkah semaunya.

"Cepat ganti baju! Mama tunggu di meja makan" suruh Laila "Kamu juga, Bang" kini giliran Raga yang mendapat peringatan mamanya.

Raga hanya mengangguk, lalu dengan wajah datar pergi menuju kamarnya di lantai dua.

"Tungguin, Meta! Jangan ada yang sentuh bakwan jagung Meta sebelum Meta datang!" ucap Ameta lalu berlari kecil menuju kamar sambil menenteng tas sekolahnya. Laila hanya bisa geleng kepala melihat tingak Ameta yang seolah tenaganya tidak pernah habis.

*Arsi*

"Ara mana, Ma? Dia udah pulang?" tanya Ameta begitu sampai dimeja makan setelah selesai membersihkan diri.

"Ara tadi telepon Mama, dia izin pulang terlambat sayang. Ayo sekarang makan" jawab Laila tersenyum sembari memberikan sepiring nasi beserta lauk kepada Ameta.

"Oh" jawab singkat Ameta lalu dengan lahap menyantap makan siang yang begitu menggugah seleranya, cacing yang ada diperutnya sudah sedari tadi meronta minta makan.

"Loh, Ga kok balik? Ayo sini nak makan dulu" tegur Laila saat melihat Raga yang tidak jadi menuju meja makan justru berbalik pergi.

"Gak lapar" jawabnya pelan lalu menuju kembali ke kamarnya.

Laila hanya menatap putra sulungnya itu dengan tatapan sedih. Raga semakin hari semakin sulit untuk di dekati. Putranya itu juga semakin tertutup. Laila takut jika seperti ini terus, Raga akan semakin jauh dan itu berdampak pada kehidupan sosial putranya.

"Abang gak usah dipikirin, Ma. Abang kan memang begitu. Bilangin Ara yang suka seenaknya tapi nggak bercermin sama diri sendiri." ucap Ameta sambil menggerutu dengan mulut yang terisi penuh makanan.

"Gak boleh ngomong gitu sayang." nasehat Laila pada Ameta sambil mengelus sayang kepala putri kesayangannya ini.

Hati Laila semakin sedih melihat sikap Raga yang semakin dingin. Apalagi ucapan Raga malam itu.

'Ya tuhan lindungi anak-anakku' batinnya berdo'a.

*Arsi*

Lentera memakirkan sepedanya dipemakaman umum perkomplekan tempat tinggal lamanya bersama kedua orangtua kandungnya delapan tahun silam. Dipemakaman inilah kedua orangtuanya dikuburkan.

"Ma, Pa, Ara datang" sapa Lentera begitu sampai dimakam yang bertuliskan dua nama dalam satu nisan. Kedua orangtuanya dikebumikan dalam satu liang.

"Mama dan papa apa kabar?" tanyanya ketika sudah duduk bersimpuh disamping makam sambil mengelus sayang nisan kedua orangtuanya.

"Kabar Ara baik, jadi kalian jangan khawatir, keluarga Pradana juga baik sama Ara. Mereka tidak pernah membedakan Ara dengan anak mereka, maaf jika hari ini Ara tidak datang bersama mereka, karena hari ini Ara ingin menghabiskan hari bersama kalian." ucapnya sambil mencabuti rumput-rumput liar kecil yang tumbuh disekitar makam.

Lentera gadis remaja berumur 16 tahun yang seharusnya selalu merasa bahagia karena melewati hari-hari sebagai remaja. Tapi garis kehidupan indah itu tidak berpihak padanya setelah apa yang menimpanya delapan tahun silam, menuntutnya menjadi remaja yang berpikir lebih dewasa dari anak seusianya.

'Ma, Pa, hari ini Ara mau bilang kalau Ara ingin bebas dari keluarga Pradana. Ara ingin berdiri dikaki Ara sendiri tanpa sandaran siapapun. Semua ini murni keinginan hati Ara. Selama ini Ara selalu naif dan berfikir semua orang menerima Ara seperti yang mama dan papa harapkan. Tapi pada kenyataannya ada seseorang yang selalu tersakiti karena kehadiran Ara. Ara tidak mau menjadi penyebab ketidakharmonisan keluarga bahagia Pradana, Ara tidak mau Mama dan Papa angkat Ara harus terus bergolak dengan batinnya untuk tetap mempertahankan Ara sementara disisi lain mereka memikikrkan perasaan putranya. Jadi Ara memilih mundur lebih dulu untuk menentramkan segalanya, Ara mohon kalian mengerti dan mendukung keputusan Ara dan restuilah langkah Ara.' ucapnya dalam hati dengan mata tertutup dan tetesan airmata yang jatuh keatas tanah gundukan makam orangtuanya.

Setelah merasa cukup dengan apa yang ingin ia katakan, Lentera berdo'a dengan khidmat selama sepuluh menit lalu membuka matanya kembali dan menabur bunga segar diatas makam dan juga menyiraminya dengan air mawar yang ia beli ketika menuju kemakam.

Lentera mengayuhkan sepedanya keluar pemakaman hingga ia masuk kejalan Blok. Mawar. Ia berhenti didepan rumah sederhana yang terlihat asri dengan gazebo dan pohon mangga yang ada di halaman rumah itu. Semua memori indah seketika terlintas tentang apa yang pernah ia lalui dirumah itu meski tidak semua mampu ia ingat.

Rumah yang berada tepat diujung Blok yang dulu tampak sepi tapi kini sudah ada rumah yang terbangun indah ditanah-tanah kosong sekitar rumah Lentera.

Rumah ini tampak terawat karena orangtua angkatnya yang menyuruh orang untuk selalu membersihkan rumah ini. Lentera kembali mengayuhkan sepedanya setelah puas melihat dari luar karena untuk saat ini ia belum punya keberanian untuk masuk bahkan jika hanya dihalaman rumahnya, kilasan kejadian malam itu masih terus menghantuinya bagai kaset rusak yang terus berputar.

*Arsi*

Raga dan Lentera

16 Februari 2021

Ardha Haryani dan Siska Friestiani

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status