Share

3. Kehampaan

"Jika Raina pergi, pasti dia akan membawa Zian pergi juga, ibu gak ingin itu terjadi. Sementara Dhaka, anak itu keberadaanya saja gak tahu di mana." April berkata sambil melanjutkan pekerjaan dapur yang sempat tertunda.

Devan terdiam.

"Ibu mohon sama kamu, supaya lebih memahami kondisi ini. Kamu tahu sendiri, hubungan Raina dan keluarga angkatnya kaya gimana, hanya Almarhumah Bu Fatma yang baik sama Raina. Jika Zian tinggal di sana, ibu gak bisa lihat perkembangan mental Zian seperti apa, terlebih Raina masih sangat labil jika dilihat dari usia dan kondisi keluarga angkatnya itu."

Devan ingin sekali berkata bodo amat untuk masalah Raina, tapi takut kualat sama ibunya. Akhirnya, dia memilih mengangguk-angguk saja. Formalitas, supaya April tak membahas itu lagi.

"Lagipula Raina wanita yang baik."

"Semua orang yang hidup menumpang, bisa mendadak jadi baik, Bu."

"Astaga Devan ...."

"Kalau beneran baik, gak mungkin juga cewek itu hamil duluan."

"Ibu memang gak tahu Raina dan Dhaka dulu kaya gimana. Tapi, Van, tolong perlakukan dia dengan baik setidaknya untuk saat ini, kita mencegah supaya dia tidak terkena baby blues. Ini semua kita lakukan demi Zian juga."

"Baby blues, apaan lagi itu?" tanya Devan semakin mumet. Belum pernah dia ML dengan wanita tapi harus tahu masalah seperti ini.

April menjelaskan sambil tangannya mengaduk sayur daun katuk untuk kesuburan ASI Raina. "Semacam syndrom pasca melahirkan, Seperti kecemasan dan kesedihan yang tiba-tiba, dia akan lebih sensitif. Tapi, jika berkelanjutan berarti sudah termasuk Postpartum depression, kalau itu__ "

"Udah, Bu jangan dijelaskan lagi, please!"

April menghela nafas panjang.

"Oke, dia memang gadis cantik dan baik versi Ibu. Tapi jangan lupakan juga dia itu milik Dhaka."

"Dhaka dan Raina sudah berakhir, kita semua gak tahu Dhaka ada di mana."

"Hubungan mereka boleh saja berakhir. Tapi perasaan Raina buat Dhaka belum tentu berakhir. Apa ibu udah mikirin sampe situ?"

April tidak menjawab, sejenak dia terlalut dalam lamunan akan hal itu. April menuangkan sayur katuk pada mangkuk yang barusan dia ambil. "Tolong berikan ini pada Raina, sekalian kalian pendekatan."

Devan merasa ibunya keras kepala karena selalu tidak peduli dengan pendapatnya. Sejenak dia terdiam. Namun akhirnya, dia mengalah juga. "Sini!"

"Jangan lupa perlakukan Raina dengan baik."

"Iya ... Iya."

Devan pun melangkah menemui Raina ke ruang keluarga. Walaupun tadi dia tidak mau mendengar lebih lanjut ibunya menjelaskan tentang Postpartum depression, tapi Devan khawatir juga hal itu terjadi.

Zian tidur pulas di kasur bayi saat Devan datang. Sementara Raina berada disamping bayinya sedang asik mengupas telur rebus.

Wanita itu tidak menyadari Devan sudah berada di depannya. Tahu-tahu sudah ada sayur hangat di meja. Sementara, mulutnya masih penuh oleh satu butir telur yang ia lahap.

Devan terperanjat, melihat cara makan Raina yang sekali hap seperti ular piton. Bahkan mata wanita itu kemerahan menahan seret di tenggorokan.

Devan duduk di samping Raina, tapi masih memberi jarak lumayan jauh pada posisi duduknya, Devan melihat ada 10 butir telur ayam di meja. "Rain, kamu sedang mukbang?"

Sindiran Devan membuat Raina tersedak, dia sudah malas memisahkan putih dan kuning telur, hingga memakannya bulat-bulat tanpa ragu. Segera dia minum supaya semua yang ada di mulutnya tertelan. "Aku hanya bosan makan telur, tadinya biar cepat habis. Tapi malahan seret di tenggorokan."

Devan tersenyum geli. "Kamu bisa kolesterol kalau kebanyakan makan kuning telur."

Raina mengabil wadah di meja mengupas lalu mesiahkan kuningnya, menyerahkan wadah itu pada Devan. "Abang mau kuningnya?"

"Kamu pikir, aku ke sini cuma mau minta kuning telur?" Devan semakin terkekeh.

"Enggak, sih. Mubazir aja kalau gak ada yang makan."

"Pisahkan aja dulu semua! Nanti aku, ibu, sama ayah gotong royong makan kuningnya."

Sekarang giliran Raina yang terkekeh mendengar ucapan Devan. Membayangkan mertuanya ikut andil mencegah terbuangnya kuning telur. Keluarga yang kompak.

Sebenarnya, dari kemarin Devan makan kuning telur yang dipisahkan Raina, hingga buang ainginnya pun berubah menjadi aroma telur. April bilang, jangan sampai kuning telur itu mubazir, alhasil dia lah yang jadi korban.

Dua kali Devan melihat Raina tersenyum. Sepertinya, wanita itu sudah tidak semuram saat pertama kali tinggal di rumah ini. Saat masih membawa bayi di dalam perut.

"Yang sabar aja, namanya juga proses penyembuhan luka. Jangan lupa ekstrak gabusnya juga diminum."

"Iya, Bang."

"Rain, tadi aku ngobrol sama ibu. Katanya, dia ingin kita benar-benar nikah. Kamu tahu sendiri kan, ijab qobul saat hamil itu gak sah. Semuanya hanya palsu."

Raina mulai menatap mata Devan, seolah menaruh minat akan perbincangan mereka. "Terus, menurut Abang gimana?"

"Tapi, tenang saja. Semua permintaan ibu gak akan terjadi. Sebelum Ibu dan Ayah mendesak lagi. Aku bakal nemuin Dhaka. Nanti selanjutnya, biar jadi urusan kalian."

Raina tidak menjawab, meski dalam isi kepalanya banyak yang ia ingin utarakan. Sejujurnya, setiap Devan mengucapkan nama Dhaka tubuh Raina gemetar ketakutan, cuma dia tahan-tahan.

"Bagaiman? kamu bakal balikan sama Dhaka 'kan, jika dia ada di sini?"

Dengan ragu Raina berkata iya. Raina sendiri tidak mengerti mengapa dia berkata iya. Mungkin, karena takut dengan ancaman Dhaka. Dia tidak berkata sejujurnya, bahwa dia bukanlah pacar Dhaka. Akan tetapi korban perundungan Dhaka saat kuliah, hingga berujung pelecehan. Hal itu yang membuat Raina tidak melanjutkan kuliah, padahal baru semester awal.

Devan melihat jam tangannya. Mengakhiri obrolannya dengan Raina. "Aku ke kamarku dulu, ya."

"Oke. Baiklah. Ngomong-omong, makasih sayurnya udah dianterin."

"Heem."

Pandangan Raina dengan alami mengikuti arah Devan melangkah pergi. Seolah, dia masih ingin Devan tetap ada di sini, sebentar lagi saja.

Raina pun tidak mengerti mengapa sifat Dhaka dan Devan berbeda jauh, padahal mereka saudara kandung.

***

Saat itu, jelas sekali Raina mendengar dari Devan langsung, bahwa tidak akan ada pernikahan yang sah antara mereka. Devan akan mencarikan Dhaka untuknya. Supaya Dhaka yang bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada Raina.

Tapi beberapa bulan kemudian, tepatnya saat Zian berusia enam bulan, dia ijab qobul kembali bersama Devan. Supaya tidak bertentangan dengan ajaran yang keluarga Petra yakini. Cukuplah kejadian di masa lalu bersama Dhaka menjadi pelajaran bagi keluarga Petra.

Dia tidak tahu hal apa yang membuat Devan berubah pikiran. Namun yang jelas, dia bisa melihat raut wajah Devan saat ini, bukan raut wajah bahagia. Bukan juga raut wajah tegang khas pengantin baru. Kantung mata yang hitam, serta kerutan di dahi pria itu mempertegas bahwa semua ini adalah paksaan.

Raina lalu memperhatikan pria yang berada disebelah Devan. Aura otoritas begitu terasa, pria satu-satunya yang tidak bisa dibantah keinginannya oleh Devan. Petra Andrean Lubis, Ayah Devan.

Tanpa harus berpikir lama Raina sudah mampu menyimpulkan bahwa semua ini kehendak Pak Petra.

Raina juga tidak bisa menolak. Dirinya memiliki kesepakatan aneh dengan keluarga angkatnya. Karena setelah pernikahan dia tidak bisa kembali pada keluarga angkatnya tersebut. Setidaknya, dia tidak tahu harus pulang ke mana jika bukan bersama Devan. Itu sama saja mengusirnya secara halus, melalui jalan pernikahan. Wajar saja, Bu Fatma yang mengangkat Raina sudah wafat.

Hari ini, Devan dan Raina resmi menikah, dengan wali hakim sebagai walinya.

***

Devan membawa Raina pulang di rumah baru mereka. Rumah yang dibeli 4 tahun yang lalu oleh Devan. Namun, tidak jadi ditempati karena sesuatu hal. Kini rumah itu, dirapikan kembali, di isi oleh perabot dan furnitur yang baru, tidak lupa di cat ulang.

Meski rumah pribadi Devan, bukan Devan yang mengurus itu semua. Melainkan April dan Petra, mereka ingin cucu mereka Zian, mempunyai tempat tinggal yang baik. Devan sendiri masa bodo untuk mengurusnya, meski rumahnya sendiri nyaris menjadi rumah hantu karena sudah kosong selama 4 tahun. Ada kenangan buruk yang membuat Devan menjadi seperti itu.

"Masuk, Rain!" Ajak Devan di rumah baru mereka.

Raina mengedarkan pandangan. Dia suka dengan selera Devan yang memilih desain interior rumah dengan konsep dinamis. Tidak banyak aksen, namun tidak melupakan aspek estetika, dengan kombinasi warna hijau pastel gradasi army, dan juga putih.

Selanjutnya, mata Raina terpaku pada piano upright warna putih. Piano akustik tipe XA, dengan body yang slim, sehingga tidak makan banyak tempat.

"Itu hadiah dari ayah, tahun lalu." Devan menjelaskan karena Raina menatap lekat pada alat musik kesayangannya.

"Oh, aku baru lihat piano upright tapi desainya slim seperti piano elektrik, bahkan ini lebih cantik dari grand piano." Raina terbiasa melihat piano grand atau upright yang berukuran besar di konser.

"Itu tipe XA-35. Pertama keluar tahun 2019. Sebetulnya, tipe itu adalah desain asli dari Indonesia yang dilombakan di Eropa. Memang tujuannya bikin alat musik akustik yang minimalis."

"Oh, begitu." Mata Raina masih lekat menatap, ingin berkata ingin mencoba memainkannya, tapi tidak berani.

Devan langsung menjelaskan, karena tahu Raina akan paham. Selain pandai bernyanyi, Ayah angkat Raina seorang pemain musik, pasti sedikit banyak mereka pernah mengobrol.

Devan lalu duduk di sofa. Semangatnya hilang untuk merapikan barang. Meski dirinya sudah mulai akrab dengan Raina, bukan berarti Devan membuka hatinya begitu saja. Devan masih menganggap Raina adalah wanita milik Dhaka. Raina hanya menumpang di rumahnya untuk bertahan hidup.

"Abang, titip Zian dulu! Biar aku aja yang merapikan barang bawaan." Raina menaruh Zian pada stroller.

"Iya, silakan. Kamar kita ada di sebelah sana." Devan menunjuk satu ruangan yang berada di lantai dua.

Raina mengangguk sambil melihat ke ruangan yang Devan tunjuk. "Ya udah, aku ijin ke kamar itu, ya, Bang."

"Gak usah pakai ijin segala, itu juga 'kan kamar kamu."

Raina tersenyum kaku.

Setelah selesai merapikan barang bawaan, Raina berinisiatif membuatkan secangkir kopi untuk Devan, ditaruhnya kopi itu di meja yang ada di hadapan Devan. Tidak ada kalimat terimakasih, yang terucap. Hingga kopi itu mendingin dan utuh meski sudah satu jam berlalu.

Hanya handphone yang menjadi pusat perhatian Devan. Entah sedang menghubungi siapa atau melakukan apa. Raina hanya bisa melihatnya dalam jarak satu meter, tanpa berniat bertanya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status