Share

I Can See You
I Can See You
Penulis: Dwi Sartika Juni

1. Kembali Hidup

Pria bersetelan jas serba hitam berkulit putih pucat, berdiri dalam jurang di kedalaman lima puluh meter. Kedua matanya menatap tajam pada seorang wanita paruh baya yang sedang berjuang antara hidup dan mati untuk mengucapkan sesuatu kepadanya.

“Tu-tuan ...” Dengan tersendat wanita itu berusaha menahan derita terjepit di dalam mobil yang terlempar ke jurang sepulang mereka dari berlibur, “aku mohon ... se-selamatkan nyawa Putriku,” isaknya pilu.

Pria berpakaian serba hitam itu hanya mematung dalam tatapannya yang tajam. Mulutnya terkatup rapat. Dia jelas melihat bahwa keluarga kecil ini memang sudah harus dijemput sekitar tujuh menit lalu.

Tapi wanita paruh baya ini menghambat tugasnya. Seorang Ibu yang memiliki kekuatan besar untuk hidup. Apa data yang sudah dibacanya salah? Kenapa wanita ini berhasil menghambat hanya dengan sebuah tekad kuat? 

Ada tiga nyawa yang seharusnya dia jemput di sini. Sebuah keluarga kecil yang mengalami kecelakaan tunggal akibat kendaraan yang hilang kendali di tikungan dan terjun bebas ke jurang sedalam lima puluh meter.

Tapi sekarang, si Ibu yang entah memiliki kekuatan apa, bisa melawan kehendak si pencabut nyawa yang tak bisa membawa satu pun nyawa dari mereka bertiga.

“Apa maumu?” Si pria bersetelan jas hitam itu akhirnya membuka suara.

“Selamatkan nyawa Putriku. Jika kau memberinya kesempatan hidup, maka aku akan mempermudah tugasmu untuk membawa nyawa kami berdua,” jelasnya sambil melihat ke arah sang suami yang sudah berlumur darah di balik kemudi dalam posisi mobil yang terbalik.

“Aku tidak bisa menyalahi aturan.”

“Berarti kau tidak akan pernah bisa membawa nyawa satu pun dari kami.”

Si pria bersetelan jas hitam terdiam. Ini adalah tugas terakhirnya sebelum dia mengundurkan diri. Seharusnya berhasil, agar dia dapat dengan mudah berhenti dari pekerjaan yang terasa menyiksa ini.

“Tetap saja hidupnya tidak akan lama. Dia ditakdirkan harus mati di kemudian hari.”

“Tidak masalah. Biarkan dia hidup sejenak, asal jangan mati hari ini,” jawab wanita itu sambil diiringi batuk berdarah, “lebih baik dua nyawa daripada tidak sama sekali, bukan?” 

Si pria bersetelan jas hitam kembali terdiam, tapi dia sudah memutuskan.

“Hanya ini permintaan terakhirmu?”

“Ya. Hanya itu. Kuharap, kau lah Malaikat yang kelak menjemput nyawa Putriku kembali. Tolong jaga dia ... terima kasih.”

Pria bersetelan jas  hitam itu, mencoret satu nama di dalam daftar miliknya. Membawa dua nyawa bersamanya, meninggalkan satu nyawa yang kembali hidup meski secara akal sehat, gadis itu tidak mungkin selamat dalam keadaan mengenaskan seperti itu.

*****

Delapan bulan kemudian.

“Sampai kapan Anak hilang ingatan itu akan tinggal di sini?” Brandy bertanya dengan dagu menunjuk ke arah gadis yang sedang duduk melamun di tepi jendela, ruang depan.

“Pelankan suaramu, Randy.” Josie memperingatkan.

“Kita baru saja menikah, dan kau sibuk mengurusi keponakanmu itu. Apa tidak ada yang bersedia menampungnya selain kau, sayang?”

“Tidak ada. Semua menolak. Karena harta kekayaan Meda diwariskan seluruhnya ke Panti Asuhan, kerabat yang lain tidak ingin merugi dengan mengeluarkan biaya tambahan untuk seorang gadis hilang ingatan seperti Sia.” Josie ingin sekali mengeluh, tapi dia ingat, bahwa berkat Kakaknya itu—Ibunya Sia, Andromeda—dia bisa menyelesaikan kuliah kedokteran dan menjadi Dokter spesialis seperti sekarang ini.

“Hhh ... aku lelah melihatnya, walau baru tiga hari dia ada di rumah ini.”

“Berhentilah mengeluh. Aku harus berangkat sekarang, karena hari ini shift pagi. Kau bagaimana?” Josie menggeser kursi makan, bersiap dengan mantel Dokternya.

“Aku berangkat nanti, tiga puluh menit lagi. Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan dulu.”

“Baiklah, sampai nanti sayang.” Josie mengecup pipi kanan Brandy. Lalu bergegas ke depan, berencana mengajak bicara keponakannya sebentar.

“Hei, Sia. Apa kau ingin jalan-jalan keluar pagi ini?” Josie menyapa si gadis yang segera tersentak dari lamunannya.

“Tidak. Aku di sini saja.” Sia tersenyum kecil. Dia masih asing pada wanita di hadapannya ini.

“Kau boleh memanggilku Sisie seperti dulu kau biasa memanggilku dengan nama itu.”

“Apa dulu, aku tidak pernah memanggilmu dengan sebutan Bibi?” 

Josie tertawa pelan. “Tidak. Kau selalu menolak memanggilku dengan sebutan Bibi karena aku terlihat seperti teman bagimu.” 

Sia mengangguk, berusaha mengerti tapi tidak ingin menyakiti kepalanya yang tidak bisa mengingat, meski dia berusaha keras semenjak terbangun dari koma selama delapan bulan lamanya.

“Kalau begitu, aku berangkat dulu. Jangan sungkan menghubungiku jika ada yang kau butuhkan. Sampai nanti, Sia.” Josie melambai dan tersenyum.

“Sampai nanti, Sisie.” Sia membalas lambaiannya.

Sia menghembuskan napas ketika deru mesin mobil Josie bergerak menjauh. Sekitar lima menit kemudian, Brandy berteriak minta tolong dari kamarnya.

“Akh! Sia, bisa tolong aku?”

Suara setengah merintih itu membuat Sia bergerak cepat. Dia menuju kamar utama di dekat ruang tengah. Kamar Josie dan Brandy.

Sia ragu, dia mengetuk pintu. “Apa kau baik-baik saja?”

“Masuklah, tolong aku.” 

Sia membuka pintu perlahan. Dia tidak pernah mengenal siapa pria itu. Tapi tetap masuk karena khawatir suami Bibinya mengalami cedera.

Benar saja, pria itu tengah merintih sembari memegang kepalanya.

“Apa perlu kuambilkan obat?” Sia masih berdiri, menjaga jarak dari Brandy yang sedang duduk di tepi ranjang.

Brandy tidak menjawab, dia menunggu Sia mendekat padanya.

“Baiklah, akan kuhubungi Sisie sekarang. Dia pasti belum terlalu jauh.”

“Tunggu!” Brandy menarik dengan kuat pergelangan tangan Sia sehingga Sia terjatuh ke atas tubuh Brandy di atas ranjang. “Mau kemana kau?”

Sekelabat cahaya putih menyerang pandangan Sia.

Setelah cahaya menyerupai silau itu menghilang, dia melihat Brandy berlumuran darah, terkapar di lantai dengan kedua mata terbelalak.

Seketika Sia menjerit histeris. Adegan sesaat itu membuatnya ketakutan antara sadar dan tidak. 

Saat dia kembali mengerjapkan kedua matanya, Brandy yang terbujur kaku di lantai sudah tidak ada. 

“Hei, ada apa?” Brandy berbisik karena merasa senang melihat Sia yang  masih betah berada di atas tubuhnya.

“Ah, maaf.” Sia segera berdiri. Melepas tubuhnya dari Brandy yang mendadak mendamba tubuh Sia.

Sia berbalik, mengambil langkah cepat keluar kamar. Tapi Brandy lebih cepat, dia kembali menarik pergelangan tangan Sia.

“Jangan sentuh aku!” teriak Sia ketakutan. Cahaya silau itu kembali menerpa wajah Sia dan menampilkan hal yang sama, Brandy terkapar di lantai.

Sia mulai menangis. Dia berlari ke kamarnya meninggalkan Brandy yang terheran-heran dan bingung karena melihat Sia yang berteriak kencang seperti orang gila.

“Ah, sial!” umpat Brandy sambil membanting pintu.

Setibanya di kamar, Sia mengunci pintu. Menangis ketakutan seorang diri. Apa yang terlihat di depan matanya seolah nyata. 

Dia bingung, tapi dia merasa yakin bahwa kini setahap menuju pada dirinya yang sudah tak lagi memiliki kewarasan di dalam kepalanya.

Ini bukan kali pertama. Saat dia terbangun pertama kali dari komanya, Sia bisa melihat jelas beberapa hal buruk di sekitarnya.

Bersambung.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Dwi Sartika Juni
Dwisartikajuni
goodnovel comment avatar
firsty.luvi
Nice story! Do you have email/social media I can follow?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status