Pria bersetelan jas serba hitam berkulit putih pucat, berdiri dalam jurang di kedalaman lima puluh meter. Kedua matanya menatap tajam pada seorang wanita paruh baya yang sedang berjuang antara hidup dan mati untuk mengucapkan sesuatu kepadanya.
“Tu-tuan ...” Dengan tersendat wanita itu berusaha menahan derita terjepit di dalam mobil yang terlempar ke jurang sepulang mereka dari berlibur, “aku mohon ... se-selamatkan nyawa Putriku,” isaknya pilu.
Pria berpakaian serba hitam itu hanya mematung dalam tatapannya yang tajam. Mulutnya terkatup rapat. Dia jelas melihat bahwa keluarga kecil ini memang sudah harus dijemput sekitar tujuh menit lalu.
Tapi wanita paruh baya ini menghambat tugasnya. Seorang Ibu yang memiliki kekuatan besar untuk hidup. Apa data yang sudah dibacanya salah? Kenapa wanita ini berhasil menghambat hanya dengan sebuah tekad kuat?
Ada tiga nyawa yang seharusnya dia jemput di sini. Sebuah keluarga kecil yang mengalami kecelakaan tunggal akibat kendaraan yang hilang kendali di tikungan dan terjun bebas ke jurang sedalam lima puluh meter.
Tapi sekarang, si Ibu yang entah memiliki kekuatan apa, bisa melawan kehendak si pencabut nyawa yang tak bisa membawa satu pun nyawa dari mereka bertiga.
“Apa maumu?” Si pria bersetelan jas hitam itu akhirnya membuka suara.
“Selamatkan nyawa Putriku. Jika kau memberinya kesempatan hidup, maka aku akan mempermudah tugasmu untuk membawa nyawa kami berdua,” jelasnya sambil melihat ke arah sang suami yang sudah berlumur darah di balik kemudi dalam posisi mobil yang terbalik.
“Aku tidak bisa menyalahi aturan.”
“Berarti kau tidak akan pernah bisa membawa nyawa satu pun dari kami.”
Si pria bersetelan jas hitam terdiam. Ini adalah tugas terakhirnya sebelum dia mengundurkan diri. Seharusnya berhasil, agar dia dapat dengan mudah berhenti dari pekerjaan yang terasa menyiksa ini.
“Tetap saja hidupnya tidak akan lama. Dia ditakdirkan harus mati di kemudian hari.”
“Tidak masalah. Biarkan dia hidup sejenak, asal jangan mati hari ini,” jawab wanita itu sambil diiringi batuk berdarah, “lebih baik dua nyawa daripada tidak sama sekali, bukan?”
Si pria bersetelan jas hitam kembali terdiam, tapi dia sudah memutuskan.
“Hanya ini permintaan terakhirmu?”
“Ya. Hanya itu. Kuharap, kau lah Malaikat yang kelak menjemput nyawa Putriku kembali. Tolong jaga dia ... terima kasih.”
Pria bersetelan jas hitam itu, mencoret satu nama di dalam daftar miliknya. Membawa dua nyawa bersamanya, meninggalkan satu nyawa yang kembali hidup meski secara akal sehat, gadis itu tidak mungkin selamat dalam keadaan mengenaskan seperti itu.
*****
Delapan bulan kemudian.
“Sampai kapan Anak hilang ingatan itu akan tinggal di sini?” Brandy bertanya dengan dagu menunjuk ke arah gadis yang sedang duduk melamun di tepi jendela, ruang depan.
“Pelankan suaramu, Randy.” Josie memperingatkan.
“Kita baru saja menikah, dan kau sibuk mengurusi keponakanmu itu. Apa tidak ada yang bersedia menampungnya selain kau, sayang?”
“Tidak ada. Semua menolak. Karena harta kekayaan Meda diwariskan seluruhnya ke Panti Asuhan, kerabat yang lain tidak ingin merugi dengan mengeluarkan biaya tambahan untuk seorang gadis hilang ingatan seperti Sia.” Josie ingin sekali mengeluh, tapi dia ingat, bahwa berkat Kakaknya itu—Ibunya Sia, Andromeda—dia bisa menyelesaikan kuliah kedokteran dan menjadi Dokter spesialis seperti sekarang ini.
“Hhh ... aku lelah melihatnya, walau baru tiga hari dia ada di rumah ini.”
“Berhentilah mengeluh. Aku harus berangkat sekarang, karena hari ini shift pagi. Kau bagaimana?” Josie menggeser kursi makan, bersiap dengan mantel Dokternya.
“Aku berangkat nanti, tiga puluh menit lagi. Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan dulu.”
“Baiklah, sampai nanti sayang.” Josie mengecup pipi kanan Brandy. Lalu bergegas ke depan, berencana mengajak bicara keponakannya sebentar.
“Hei, Sia. Apa kau ingin jalan-jalan keluar pagi ini?” Josie menyapa si gadis yang segera tersentak dari lamunannya.
“Tidak. Aku di sini saja.” Sia tersenyum kecil. Dia masih asing pada wanita di hadapannya ini.
“Kau boleh memanggilku Sisie seperti dulu kau biasa memanggilku dengan nama itu.”
“Apa dulu, aku tidak pernah memanggilmu dengan sebutan Bibi?”
Josie tertawa pelan. “Tidak. Kau selalu menolak memanggilku dengan sebutan Bibi karena aku terlihat seperti teman bagimu.”
Sia mengangguk, berusaha mengerti tapi tidak ingin menyakiti kepalanya yang tidak bisa mengingat, meski dia berusaha keras semenjak terbangun dari koma selama delapan bulan lamanya.
“Kalau begitu, aku berangkat dulu. Jangan sungkan menghubungiku jika ada yang kau butuhkan. Sampai nanti, Sia.” Josie melambai dan tersenyum.
“Sampai nanti, Sisie.” Sia membalas lambaiannya.
Sia menghembuskan napas ketika deru mesin mobil Josie bergerak menjauh. Sekitar lima menit kemudian, Brandy berteriak minta tolong dari kamarnya.
“Akh! Sia, bisa tolong aku?”
Suara setengah merintih itu membuat Sia bergerak cepat. Dia menuju kamar utama di dekat ruang tengah. Kamar Josie dan Brandy.
Sia ragu, dia mengetuk pintu. “Apa kau baik-baik saja?”
“Masuklah, tolong aku.”
Sia membuka pintu perlahan. Dia tidak pernah mengenal siapa pria itu. Tapi tetap masuk karena khawatir suami Bibinya mengalami cedera.
Benar saja, pria itu tengah merintih sembari memegang kepalanya.
“Apa perlu kuambilkan obat?” Sia masih berdiri, menjaga jarak dari Brandy yang sedang duduk di tepi ranjang.
Brandy tidak menjawab, dia menunggu Sia mendekat padanya.
“Baiklah, akan kuhubungi Sisie sekarang. Dia pasti belum terlalu jauh.”
“Tunggu!” Brandy menarik dengan kuat pergelangan tangan Sia sehingga Sia terjatuh ke atas tubuh Brandy di atas ranjang. “Mau kemana kau?”
Sekelabat cahaya putih menyerang pandangan Sia.
Setelah cahaya menyerupai silau itu menghilang, dia melihat Brandy berlumuran darah, terkapar di lantai dengan kedua mata terbelalak.
Seketika Sia menjerit histeris. Adegan sesaat itu membuatnya ketakutan antara sadar dan tidak.
Saat dia kembali mengerjapkan kedua matanya, Brandy yang terbujur kaku di lantai sudah tidak ada.
“Hei, ada apa?” Brandy berbisik karena merasa senang melihat Sia yang masih betah berada di atas tubuhnya.
“Ah, maaf.” Sia segera berdiri. Melepas tubuhnya dari Brandy yang mendadak mendamba tubuh Sia.
Sia berbalik, mengambil langkah cepat keluar kamar. Tapi Brandy lebih cepat, dia kembali menarik pergelangan tangan Sia.
“Jangan sentuh aku!” teriak Sia ketakutan. Cahaya silau itu kembali menerpa wajah Sia dan menampilkan hal yang sama, Brandy terkapar di lantai.
Sia mulai menangis. Dia berlari ke kamarnya meninggalkan Brandy yang terheran-heran dan bingung karena melihat Sia yang berteriak kencang seperti orang gila.
“Ah, sial!” umpat Brandy sambil membanting pintu.
Setibanya di kamar, Sia mengunci pintu. Menangis ketakutan seorang diri. Apa yang terlihat di depan matanya seolah nyata.
Dia bingung, tapi dia merasa yakin bahwa kini setahap menuju pada dirinya yang sudah tak lagi memiliki kewarasan di dalam kepalanya.
Ini bukan kali pertama. Saat dia terbangun pertama kali dari komanya, Sia bisa melihat jelas beberapa hal buruk di sekitarnya.
Bersambung.
Enam puluh menit berlalu, menandakan pagi sudah hampir menjelang siang.Sia keluar kamar, memastikan semua keadaan sudah aman setelah dia menuruni tangga untuk memeriksa bahwa Brandy sudah tak ada, pergi.Sia berlega hati untuk itu. Dia berpikir, sedikit udara segar di hari ini, mungkin bisa membantunya dari beberapa hal yang membuat gelisah dalam waktu bersamaan.Ketika dia baru saja menutup pintu, seorang wanita tua sedikit mengejutkan Sia dengan muncul tiba-tiba di sampingnya.“Kau ... Pandora, bukan?”Kening Sia mengernyit, dia bahkan lupa siapa nama lengkapnya selain dari Josie dan para perawat yang memanggilnya, Sia.“Yang Nenek maksud itu, aku?” Dengan hati-hati Sia bertanya.Wajah sedih seorang wanita tua mulai tergambar di sana. Si Nenek begitu khawatir dan seakan lupa, bahwa Sia sedang tidak mengingat apa pun tentang dirinya, masa lalunya.Tangan keriput si wanita tua mulai mengarah dan terjulur gemetar ke
Sia menjadi bahan pergunjingan di lingkungan rumah Josie dan Brandy, sebagai gadis dengan pikiran terganggu. Atau yang lebih mudah dan biasa disebut, gila!Awalnya Josie tidak mempermasalahkan hal itu, sampai suatu pagi yang dingin, hujan turun tidak berhenti, Josie melihat tubuh Brandy kaku dan berlumur darah dengan kedua mata terbelalak di lantai dapur.Kepanikan yang menyelimuti Josie pertama kali, Sia pembawa keburukan dan penyebab kematian Brandy, dia pembawa sial!Hal itu yang ingin dipercayai Josie setiap kali telinganya mulai mendengar kalimat-kalimat berisik Nyonya tua Wilda dari seberang rumah.“Keponakanmu, gila! Jauhi dia atau buang dia, jika kau tidak ingin bernasib sama dengannya, Josie.” Kalimat saran dan desakan itu bergema riuh berulang di telinga Josie, dan kesabarannya hilang pagi itu.“Pergi kau, pembawa sial!” desis Josie, tepat setelah pemakaman Brandy yang diiringi hujan deras.Ketakutan penuh berada dalam satu tubuh S
Limora Catty. Siapa yang tidak mengenalnya di pemukiman kumuh ini. Pemukiman Lauht. Limora menamai tempat ini tanpa pikir panjang, dan menandai Lauht sebagai tempat untuk dia dan Buckley berkuasa.“Tamu istimewa yang mendatangi kita ini, siapa Buck?” Keramahan singkat dari Limora, dia tersenyum.“Entahlah. Aku melihat dia berjalan ke sana kemari seperti wanita gila. Kupikir, dia pasti suruhan para penggusur atau apalah itu, untuk menyusup ke sini. Dia akan mengacau seperti Irene. Tidak akan kubiarkan itu terjadi lagi,” cerca Buckley. Ada guratan kemarahan di raut wajahnya.Limora tertawa pelan, dia berusaha menahan dirinya untuk tidak menampar Buckley yang bodoh. Limora sadar, dia mendapatkan berlian dengan cuma-cuma.“Bisakah kau singkirkan prasangka tidak bergunamu itu, Buck?” Limora melirik Buckley, tajam dalam pandangan menekan. Suaranya saat bicara terdengar manis, tapi mengandung racun.Buckley membungkam mulutnya sendiri. Dia tahu tidak akan
Sia terbangun karena nama lengkapnya dipanggil dengan lembut oleh Limora Catty. “Bisakah kita bicara? Aku punya berita baik untukmu.” Limora tersenyum. Keramahan yang tampak memiliki maksud dan tujuan tertentu. Sia mengangguk. Menarik tubuhnya untuk duduk bersandar di kepala ranjang. “Kau pasti ingin hidup dengan kedua kakimu sendiri, bukan?” “Ya, tentu saja.” Limora tersenyum senang, karena dia menang. “Seseorang membutuhkan tenagamu untuk membantu mereka membersihkan rumah dan memasak. Apa kau bersedia?” Sia tertegun sesaat, dia harus memikirkan semua kemungkinan terburuk yang akan terjadi di masa depan. Tapi di saat seperti ini apa dia membutuhkan sebuah pertimbangan? Tidak, dia tidak butuh harga diri yang terlalu tinggi untuk bisa menerima pekerjaan itu. Sia tidak ingat siapa dia yang dulu. Di mana dia bekerja, tinggal, siapa teman-temannya, bahkan nama lengkapnya pun dia baru berhasil mengingat itu saat Limora Catty menany
“Nona Sia, benar?” Yoan langsung bertanya ketika nada tunggu diseberang menghilang.“Ya, benar. Maaf ... dengan siapa aku bicara?” Sia baru saja melepas mantel hijau tua kumal pemberian Limora—lagi—dari tubuhnya. Berdiri terpaku di sudut ruangan. Khawatir akan sesuatu yang tidak perlu dikhawatirkan.“Aku Yoan Bailey, pelayan Tuan Rigel,” jawab Yoan.“Apa? Siapa itu? Lalu ... maksudku, ada hubungan apa—”“Ah, Limora Catty tidak memberitahumu apapun?” sela Yoan. Dia mengusap tengkuk sekilas, merasa sedikit berdebar karena suara halus bergetar dan lembut dari seberang.“Tidak, tidak ada,” jawab Sia cepat. Dia masih berdiri, menatap keluar jendela. Memperhatikan daun-daun berguguran dari pohon samping rumah, sambil berpikir dengan baik, apa ada kesalahan yang telah dia perbuat yang melibatkan Limora, atau tidak.“Akan kujelaskan, singkatnya, kau bekerja di rumah Tuanku yang bernama Rigel Auberon. Mulai hari ini, segala perintah atau hal yang dii
Sia terperanjat saat berpapasan dengan Rigel di halaman samping. Nyaris tersandung gulungan selang air, Rigel mencegah itu terjadi dengan menangkap lengan kanan Sia.Sadar akan kesulitan yang akan didapatkannya, Sia segera menarik kembali tangannya dari cengkeraman Rigel.Mundur dua langkah, Sia gugup karena yakin bahwa pria dihadapannya ini adalah si pemilik rumah. Meski begitu, Sia bersyukur karena dia tidak melihat sesuatu yang buruk tentang majikannya. Masa depan penuh darah atau kecelakaan yang bisa mengancam nyawa.Rigel memandangi telapak tangannya yang baru saja dia gunakan untuk memegang lengan Sia. Baru kali ini Rigel memegang seseorang lebih dari beberapa detik, jika itu menyangkut hal yang mendesak atau mendadak.Di luar itu, dia berusaha untuk tidak menyentuh, apalagi memegang seseorang. Rigel membenci hal itu. Sentuh menyentuh membuatnya muak.“Maaf, Tuan ...” Sia bergetar, menghindari kesalahan, tapi baru saja dirinya justru be
“Kau harus tetap hidup.” Ucapan Yoan membuat Sia membuka kedua matanya. Seakan bagai nyata, dia melihat tubuh Yoan melindunginya dari sesuatu.Kedua mata Sia memicing, keadaan sekeliling memperlihatkan reruntuhan bangunan dari atas satu persatu jatuh ke bawah. Sia berbaring dengan tubuh Yoan di atasnya, melindungi Sia dari reruntuhan.Yakin ini hanya sebuah mimpi, pemberitahuan dari penglihatannya, Sia mengusap darah yang mengalir turun ke pelipis Yoan. “Ya. Aku akan terus hidup bersamamu. Jangan khawatir, mulai sekarang, aku hidup untuk melindungimu.”Sementara di dunia nyata, Yoan sudah membaringkan tubuh Sia di ranjangnya. Dia bahkan tidak meminta Rigel untuk bersedia memberikan kamar tamu agar Sia bisa istirahat di sana.Rigel mengantar Dokter Fredy ke depan pintu dan bicara singkat mengenai tubuh Sia yang kuat, serta dia yang ternyata memiliki riwayat tubuh dalam masa pemulihan, dan memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.Berenc
Berjalan beriringan, Rigel memutuskan untuk mematikan mesin mobil saat Sia memberitahu bahwa tempat tinggalnya, berjarak dekat dari rumah mewah Rigel.“Sejak kapan kau tinggal di rumahmu itu?” Pertanyaan Rigel lebih mirip curiga. Dia memang tidak menyukai segala bentuk pengintaian orang asing terhadap dirinya.“Sehari setelah aku bekerja di rumah Anda.”“Kau sengaja mencari yang dekat dengan rumahku?”“Mungkin, ah, maksudku, bukan aku yang mencarinya, tapi Catty yang menyediakannya untukku.”“Catty? Siapa itu?” Rigel mengernyit. Dia tidak tahu apapun dan memang tidak ingin tahu mengenai kehidupan para pekerja di rumahnya, seharusnya begitu, karena Rigel selalu seperti itu sejak dulu, sudah berlangsung dalam waktu yang lama.Tak perlu peduli, mereka tidak setara. Jika Rigel membuka jalan hingga terbuka, para pekerja itu akan masuk dan merusak dinding penghalang antara keinginan tidak tersentuhnya dengan ketamakan mereka yang menginginkan lebi