Share

3. Berakhir di Pemukiman Kumuh

Sia menjadi bahan pergunjingan di lingkungan rumah Josie dan Brandy, sebagai gadis dengan pikiran terganggu. Atau yang lebih mudah dan biasa disebut, gila!

Awalnya Josie tidak mempermasalahkan hal itu, sampai suatu pagi yang dingin, hujan turun tidak berhenti, Josie melihat tubuh Brandy kaku dan berlumur darah dengan kedua mata terbelalak di lantai dapur.

Kepanikan yang menyelimuti Josie pertama kali, Sia pembawa keburukan dan penyebab kematian Brandy, dia pembawa sial!

Hal itu yang ingin dipercayai Josie setiap kali telinganya mulai mendengar kalimat-kalimat berisik Nyonya tua Wilda dari seberang rumah.

“Keponakanmu, gila! Jauhi dia atau buang dia, jika kau tidak ingin bernasib sama dengannya, Josie.” Kalimat saran dan desakan itu bergema riuh berulang di telinga Josie, dan kesabarannya hilang pagi itu.

“Pergi kau, pembawa sial!” desis Josie, tepat setelah pemakaman Brandy yang diiringi hujan deras.

Ketakutan penuh berada dalam satu tubuh Sia. Dia tidak dalam kondisi bisa menyangkal atau berdiskusi tentang situasi ini dengan kepala dingin bersama Josie.

“Keluar!” Josie melempar koper Sia ke tanah di luar rumah. Menahan pintu dengan tangannya agar Sia bisa segera keluar, dan meninggalkan perasaan tidak menentu di hati Josie.

Dengan tubuh bergetar, bingung, dan ketakutan, Sia berjalan menjauhi pekarangan rumah Josie dalam tatapan dingin dari Bibi yang merupakan Adik kandung mendiang Ibunya itu.

Kekecewaan terbesar Sia adalah, Josie yang tidak ingin mendengar penjelasan apapun darinya.

Perjalanan tidak tentu arah di bawah hujan, membawa Sia ke ujung kota. Daerah kumuh yang sangat jauh berbeda dari Private Island, perumahan nyaman di mana Sia menumpang—rumah Josie—sebelumnya.

Sia menyeret koper berukuran sedang itu tanpa sadar bahwa roda koper terbenam di dalam tanah basah yang hampir berlumpur, akibat hujan.

Dia tersandung beberapa kali dan hampir terjerembab di tanah berlumpur. Beberapa pasang mata bahkan kini menatapnya seolah Sia merupakan makhluk asing yang berkunjung tanpa diundang ke pemukiman mereka.

Satu di antara pemilik sepasang mata itu, berseru di balik teras rumahnya yang sempit dan kotor.

“Hei, sedang apa kau di sini? Limora sudah pergi ke kota,” katanya, setengah berteriak. “Sebaiknya kau pergi sebelum Buckley melihatmu.”

Di antara rasa terkejut dan bingungnya, Sia hanya menggeleng pelan, berusaha menegaskan bahwa dia tidak mencari siapapun di pemukiman ini.

“Maaf, Tuan, aku sedang tidak mencari siapapun. Aku hanya kebetulan lewat dan akan segera pergi,” jelas Sia, dia berbalik dan melihat seorang pria berdiri sejauh lima meter darinya, di bawah hujan, sama sepertinya.

Dia, pria itu, Buckley Winton. Penguasa pemukiman kumuh. Dia bergeming menatap Sia, seolah dia butuh waktu sepersekian detik untuk memahami keadaan.

“Siapa kau? Sedang apa di sini?” Buckley bertanya. Ada kewaspadaan yang dia perlihatkan. Buckley menjaga agar pemukiman kumuh ini selalu terjaga dari orang asing atau penggusur yang mengklaim tempat ini adalah milik mereka, tanah mereka.

“A-aku ... bukan siapa-siapa. Hanya kebetulan melewati tempat ini, dan aku akan pergi sekarang.” Sia berusaha menjelaskan, sementara pria di depan teras rumah yang tadi memperingati Sia segera masuk ke rumahnya.

Tidak ada yang ingin berurusan dengan Buckley, tidak ada.

Buckley tidak terbiasa percaya pada siapapun. Jadi dia berjalan mendekati Sia yang sudah basah kuyup karena hujan. Mereka sama-sama basah kuyup. Yang bedanya, Buckley kembali ke rumahnya, sedangkan Sia, tentu saja tidak, dia tidak memiliki tempat untuk berteduh apalagi untuk tidur malam ini.

“Karena kau sudah menginjakkan kakimu di sini, itu artinya, kau berniat untuk melakukan sesuatu pada tempat ini atau orang-orang yang tinggal di sini,” kata Buckley, bersikeras.

Sia menggeleng, merasakan perih di kedua matanya. “Sungguh, aku bersumpah, aku tidak memiliki niat apapun, aku tersesat hingga sampai ke sini.”

“Lalu, kau pikir aku percaya begitu saja? Tidak, Nona!” Buckley sudah meraih pergelangan tangan Sia untuk dia cengkeram agar Sia tidak pergi kemanapun.

Sia pucat pasi, dia ketakutan ketika Buckley menyentuhnya. Dan dalam sekejap sinar putih menyilaukan itu kembali menghalau pandangan Sia.

Gambaran dari sentuhan Buckley adalah tentang bagaimana pria itu mendapatkan kecelakaan kecil berupa luka-luka ringan akibat terserempet sebuah mobil.

“Hei, tolong lepaskan!” Sia mencoba menghentak, meronta menahan getaran ketakutan akan penampakan itu lagi dan lagi, sebanyak sisa kekuatannya. “Aku tidak berbohong, sungguh ... aku tidak bermaksud apapun pada orang-orang yang tinggal di sini!” teriak Sia, melambaikan satu tangannya yang bebas agar Buckley mau memahaminya.

“Diamlah! Kau hanya perlu kupaksa bicara jujur, nanti. Jadi ayo ikut!” Buckley menyeret paksa Sia yang bertubuh mungil dan mampu dibawa cepat oleh Buckley tanpa beban sama sekali.

Roda koper Sia tetap terbenam di lumpur, bahkan terpaksa dibiarkan oleh Sia tanpa lagi berusaha untuk dia angkat dari sana.

“Hei, Tuan, bisakah kau membantu melepaskan koperku dari lumpur? Hanya itu yang kumiliki saat ini, kumohon.” Sia berjalan mengikuti Buckley. Dia sudah membawanya ke sebuah pondok kecil yang bocor di sana-sini.

“Duduk di sini dan tenanglah!” bentak Buckley. Pria akhir dua puluhan ini sudah terbiasa menikmati sandiwara dari para wanita yang mencari celah untuk menyerang.

Buckley menyamaratakan semua wanita. Terutama yang terlihat lemah seperti Sia. Jadi cerita sedih dan tragis tidak akan mempengaruhinya, tidak akan pernah.

Ragu-ragu Sia duduk di sebuah kursi kayu panjang tanpa sandaran. Memperhatikan Buckley menerobos hujan yang kembali deras. Beruntung sekali ketika Buckley menyentuh Sia, hal yang terlihat di masa depannya tidak begitu buruk.

Sia berlega hati untuk itu. Dia melihat Buckley mendekatinya lagi sambil menyeret koper pakaian yang roda-rodanya sudah penuh tanah basah.

“Ini kopermu!” Buckley meletakkan koper Sia dengan kasar ke dekat kakinya. “Sekarang kau harus tetap di sini sampai Mora kembali.”

Sia berpikir, mungkin seseorang yang mereka sebut-sebut ini bisa membantu, setidaknya memberi Sia izin untuk menginap malam ini, di sini. Lagipula, tidak ada tempat tujuan lain untuk dia tuju.

“Kau ... berhati-hatilah dengan jalan raya,” kata Sia, pelan. Dia tahu reaksi semua orang akan sama. Mereka akan menganggap Sia gila dan pembawa sial, tapi setidaknya Sia berusaha untuk memberitahu. Jika tidak ada yang dapat mencegah hal buruk di masa depan terjadi, setidaknya, mereka perlu dan bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi peristiwa buruk itu.

“Apapun yang kau katakan, tidak akan pernah membuatku percaya. Jadi percuma saja.”Buckley mengibaskan tangannya tidak peduli. Dia sibuk membersihkan rambutnya yang basah.

Sia menghela napas, dia memejamkan kedua matanya. “Aku sudah memperingatinya. Aku sudah berusaha,” kata Sia dalam hati.

Menggigil sekitar dua puluh lima menit, ditemani Buckley yang sudah berganti pakaian, Sia menatap arah telunjuk Buckley yang mengarah pada seorang wanita berpakaian rapi dari kejauhan.

Dia mengenakan payung besar berwarna ungu tua dengan wedges menginjak tanah basah tanpa ragu, menuju ke arah Sia dan Buckley.

“Wah, wah ... kita kedatangan tamu.”

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status