Rigel tersenyum puas setelah hampir tiga jam berkutat di ranjang bersama Sia. Dengan perasaan bangga bercampur lelah, Rigel mengecup bibir Sia, penuh kenikmatan.
Siapa yang menduga, meski ini kali pertama untuk seorang gadis yang terlihat lugu seperti Sia, justru dialah yang harus diberi kenikmatan. Berulang kali Rigel berhasil memuaskan Sia yang berhasrat tinggi dan Rigel yakin, tidak semua pria bisa menyamai dan mengimbangi Sia dalam urusan ranjang.
Sekarang keduanya lelah, dengan keringat membasahi hampir sekujur tubuh bersamaan napas yang baru mulai bisa teratur. Rigel bahkan baru saja memikirkan sebuah dugaan, bahwa kemungkinan besar, Yoan juga tidak akan mampu menyamai Sia.
Setidaknya, Sia akan diam meski dia tidak terpuaskan. Dan Sia juga memiliki hasrat berbeda di atas ranjang dengan kehidupan di luar itu. Perbedaan yang cukup jauh, membuat Rigel takjub.
Setelah menggeliat sesaat, dia menyelimuti tubuh Sia dengan selimut tebal dan kembali menghadi
Disi membuka mata dan melihat Austin Cadee—Asistennya—berdiri cemas di sisi ranjang. Dia membungkuk untuk menahan tubuh Disi yang berusaha beranjak dari pembaringan. “Sudah, hentikan, Disi.” Austin mencengkeram erat kedua pundak Disi, menatapnya tajam dengan unsur perasaan yang tak sampai. “Kau orang yang paling tahu perjuanganku untuk mendapatkan hati Rigel. Aku tidak bisa berhenti begitu saja!” Kedua telapak tangan Disi menutupi wajahnya yang mulai menangis. Hal itu yang justru dia lakukan saat pertama kali sadar dari pingsan. Dengan sigap, Austin membawa kepala Disi ke dalam dekapannya. “Aku tahu. Tapi kau juga memiliki batasan. Rigel sudah mengakhiri hubungan. Itu artinya—” “Rigel emosi sesaat padaku. Aku tahu dia sedang dipenuhi amarah saat mengatakan hal itu. Tapi aku tidak bisa terima ketika ada wanita lain yang coba masuk di antara kami,” amuk Disi. Dia benar-benar marah. Austin melepas dekapannya sesaat, menatap Disi. “Kau serius? Rig
Setelah berhasil melepaskan diri dari pelukan Rigel yang kuat meski pria itu sedang tertidur, Sia berjinjit meninggalkan ruangan untuk bertemu Yoan yang sudah menunggunya di taman Rumah Sakit.Bertepatan dengan itu, Austin juga baru saja menutup pintu kamar Disi. Sama-sama terlelap dengan keadaan batin yang berbeda.Disi tertidur karena lelah terus menangis, sedangkan Rigel menjadi sangat nyenyak akibat dari menggunakan kekuatan berlebih untuk mengimbangi Sia dan hasratnya.Tanpa sadar, Austin berjalan mengikuti Sia. Sedikit penasaran karena dia belum begitu jelas memperhatikan wajah Sia saat di depan pintu karena sedikit ada jarak antara mereka.Ketika perjalanan Sia justru sedikit membingungkan bagi Austin, dengan tidak sabar, dia meraih lengan Sia.Begitu cepat keterkejutan menguasai seluruh tubuh Sia. Dalam sekali sentuh, cahaya putih itu kembali membungkus penglihatan Sia, lalu terbuka sendiri secara perlahan-lahan.Tampak seorang pria
Austin merasa tersinggung dan Sia tahu itu. Mereka saling menatap tanpa sepatah katapun lagi setelah Sia berhasil membuat Austin kalah telak.Berbalik lebih dulu, Austin merasa Sia bukan pelayan rumah biasa. Atau setidaknya, dia memiliki nyali dan sangat keras kepala.“Jangan ikut campur urusan orang lain jika kau ingin baik-baik saja.” Sia memperingatkan hingga membuat Austin berhenti berjalan.Maksud Sia bukan tentang Disi, tapi mengenai penglihatannya. Sia memutuskan untuk memberitahu Austin, meski nantinya pria itu memilih untuk tidak percaya, atau malah mengatainya gila, setidaknya, Sia sudah melepas gelisah di hatinya.Austin berbalik kembali, menatap Sia dan melipat kedua tangan di depan dada, dia memang tidak berpikir untuk mendengarkan gadis aneh ini, tapi dia berniat bicara lebih banyak dengannya.Satu ketertarikan yang tampak jelas. Mereka bagai langit dan bumi, tapi terasa dekat. Austin merasakannya lebih dulu.&ldquo
Sia tidak tahu apakah Austin serius bertanya, hanya sekedar ingin tahu, atau bertujuan untuk mencibirnya. Tapi Sia mencoba berpikir dan berbaik sangka.“Kau—”“Sia, ayo pergi. Lima menitmu sudah berlalu. Dan kau sudah terlalu lama di luar.” Yoan menyela dengan bergerak cepat menuju tepat ke samping Sia.Kecemasan mulai meliputi diri Yoan. Rigel bisa marah besar jika mengetahui Sia berada di luar bersamanya. Apalagi kini ada Asisten Disi yang terlihat tertarik untuk berbincang hal tidak perlu bersama Sia.“Baiklah.” Sia mengangguk, lalu melirik kembali pada Austin. “Akan kuberitahu besok pagi. Datanglah kembali ke sini.”“Di sini, maksudmu di Rumah Sakit ini?” Austin menaikkan alis, menunjuk lantai dengan jari telunjuknya.Sia mengangguk, lalu bergerak menjauh bersama Yoan. Sesekali hati Sia terusik dengan ketenangan Austin yang mendengar peringatannya seolah itu bukan apa-apa.
Sia menyelinap ke kamar dan memastikan bahwa Rigel masih terlelap. Perlahan, Sia naik ke ranjang, lalu masuk ke balik selimut yang sama dengan Rigel.Dia harus tetap didekat Rigel sampai pria ini terbangun nanti. Akan semakin sulit bagi Sia jika dia memilih tidur di sofa dan menyebabkan kemarahan sang Tuan pemilik rumah.Jangan lagi ada ancaman untuk hubungannya dan Yoan. Sia terlalu takut karena semua yang telah terjadi. Dicampakkan dan terlupakan!Menghela napas lega karena masih dapat hidup dengan baik sampai saat ini, Sia berada dalam keadaan terjaga dengan pandangan menatap lekat ke langit-langit kamar.Kapan dia memiliki hidupnya sendiri? Bayangan akan ketidakberdayaan selalu menghantui pikiran Sia.Ketika dia ingin melangkah lurus mencari jalannya sendiri, Yoan dengan segala kebaikannya, menarik Sia ke sisi kanan dan Rigel membawanya ke sisi kiri, bersamaan dengan hasrat yang sulit
Sayangnya, itu tidak terjadi. Sia sama sekali tidak memohon lebih seperti yang diharapkan Yoan.Justru ketakutan merambat naik dengan cepat ke tubuh Sia. Berulang kali Sia tampak tidak menikmati pergerakan mereka. Tatapannya hanya tertuju ke ranjang di mana sekarang Rigel tampak berbalik arah.Sia refleks melepas diri dari dekapan Yoan. “Maaf, Kak. Tuan mungkin bisa terbangun lebih cepat.” Selesai mengucapkan itu, Sia dengan tergesa melangkah menuju ranjang.Memang di luar dugaan, Rigel terbangun sesaat tanpa membuka mata untuk mencari Sia dengan meraba-raba sosoknya yang tiba tepat waktu dibalik selimut Rigel.Menghela napas di antara ketakutannya, Sia menoleh untuk memastikan Rigel masih nyenyak dan tidak membuka mata.Yoan terpaku di tempat. Meski ada kekecewaan yang tergambar jelas di wajahnya, tapi dia berusaha memahami keadaan.Sia mengangkat sedikit kepa
Sia keluar ruangan Rigel dengan langkah yang sedikit sulit. Percintaan yang menggemparkan ranjang dan tubuh mereka berulang kali memanas tanpa mampu teredam. Rigel mengizinkan Sia menghirup udara segar di luar, karena Dokter datang untuk melakukan serangkaian pemeriksaan terakhir pada dirinya. Austin yang sudah menunggu di tempat janji mereka bertemu, tidak terlalu memperhatikan langkah Sia yang tampak menahan kesakitan. “Kau merasa yakin bisa bicara leluasa di sini?” tanya Austin, ragu karena ada banyak pasien, perawat, bahkan para penjenguk yang lalu lalang di sekitar mereka. Lagipula, ada beberapa orang yang hafal wajah Austin si Asisten Disi yang tampan. Sehingga Austin merasa tidak nyaman untuk beberapa tatapan yang dilayangkan padanya. “Kenapa tidak?” Sia menjawab, tapi dia tahu kegelisahan Austin, hanya berusaha bersikap wajar pada orang asing. “Bagaimana jika di taman Rumah Sakit saja?” Austin menawar, dan beruntung Sia mengang
Yoan melihat jejak tidak beraturan di leher Sia pada bagian atas, sedikit mendekati bawah dagu. Yoan berdeham agar Sia menyadari kesalahannya. Tapi percuma saja. Wanita itu sibuk menyiapkan makanan di atas meja.Tanpa melihat ke wajah Yoan, Sia mengingatkan Yoan untuk membersihkan diri terlebih dulu sebelum makan malam.“Kau mau ke mana?” Yoan menahan lengan Sia yang bersiap pergi.“Ri ... ah, Tuan Rigel perlu dibangunkan. Dia tidur sejak tadi.” Sia gugup ketika lupa menyebut ‘Tuan’ di depan nama Rigel, sementara saat ini Yoan sudah tampak memanas, pria ini berpura-pura tidak menyadari dan tidak memperlihatkannya. Seolah dia baik-baik saja karena hal itu.“Biar aku saja.” Tanpa menunggu, Yoan sudah pergi menuju kamar Rigel. Mengedarkan pandangannya ketika masuk, memicing untuk memastikan sesuatu.Menghela napas, meski dia tahu Rigel dan Sia mungkin melakukan sesuatu dibelakangnya, tapi Yoan tetap mera