Share

Seperti Mawar

Terkejut mendengar suara yang barusan masuk ke telinga. Aku dan Awan tersentak, menoleh serempak ke arahnya. Mataku membelalak, tapi dengan cepat ku kendalikan menjadi lebih tenang.

"K-kamu! Kenapa bisa di sini?" tanyaku bingung.

Athan menatap datar padaku, sekilas bisa kulihat ia melirik dingin pada lenganku yang menempel ke lengan Awan. Membuatku mengerutkan kening.

"Apa kamu mendadak bisu?" ejekku karena tak juga kunjung mendapatkan jawaban atas pertanyaanku tadi.

Ia merotasikan mata jengah juga mendengus, "Kamu bertanya tidak berarti harus kujawab."

Aku tentunya semakin keheranan dengan sikapnya. Sudah datang ke kafeku tanpa pemberitahuan, kini menolak menjawab pertanyaan. Apa dia kira aku itu cenayang yang bisa membaca pikirannya. Bahkan kukira cenayang juga jarang ada yang memiliki kemampuan seperti itu. Paling mentok membaca kartu tarot untuk menerawang masa depan. Bagi yang percaya, dan untukku tidak.

Aku menggedikkan bahu sekilas sambil menggelengkan kepala tanpa memandang ke arahnya lagi, "Terserah padamu saja."

Aku menoleh dan menepuk pelan bahu Awan, "Hei sana kembali ke pos masing-masing. Jangan sampai nanti kamu mengomel karena kewalahan menghadapi pesanan."

Awan menatap kesal padaku karena masih belum menerima jawaban yang memuaskan atas pertanyaannya mengenai alasanku menikah dengan Athan. Belum lagi Awan beranjak, pria menyebalkan yang berdiri di depan meja konterku kembali melontarkan kalimat yang menyebalkan.

"Kelihatannya kamu yang pikun, San." Ucapannya yang berintonasi tenang namun sarat dengan kesinisan yang pekat di dalamnya.

Mataku berkedip-kedip karena bingung. Hei, aku masih muda dan cantik. Ehm, jadi mana mungkin pikiranku pikun. Dia hanya sedang membalikkan cemoohanku.

Kembali menatap padanya, "Apa ada yang salah?" Nada suaraku tak kalah datar dengan miliknya.

"Apa kamu lupa kalau hari ini kita akan pergi untuk melakukankan persiapan pernikahan bulan depan?" tanyanya skeptis.

Mataku membelalak lebar. Aku bisa merasakan bibirku sedang menganga, hanya sedikit. Kapan tepatnya aku menyetujui untuk menikah dengannya bulan depan? Astaga, ingin sekali aku meninju hidung mancungnya itu. 

Sadar dengan keberadaan Awan, dengan cepat aku mengubah raut wajah setenang mungkin, dan melirik pada pria yang masih berdiri di sampingku.

Wajah Awan terlihat cukup terkejut, bahkan dia kini langsung menoleh padaku. Wajah terkejutnya kini menuntut penjelasan, yang mana aku juga bingung bagaimana harus menjelaskannya.

Aku menghelakan nafas begitu panjang dan tersenyum pada Awan.

"Kita bisa berbincang nanti," kataku sambil kembali menepuk lengannya pelan.

Awan mengangguk kaku, "Aku mengerti."

Setelah mengucapkan dua kata tadi, dia langsung berjalan pergi ke ruangan yang ada di belakang konter. Menuju tempat ternyaman miliknya. 

"Apa tidak bisa nanti setelah jam makan siang?" tanyaku, ketika perhatianku sudah kembali pada pria tampan berwajah malaikat di hadapanku itu.

"Apa menurutmu aku memiliki waktu yang begitu luang sampai harus menunggu nanti hanya karena urusan tidak pentingmu?" tanyanya dengan nada rendah tapi sarkas.

Aku menatapnya tajam, rasanya ingin sekali melubangi wajahnya hanya dengan tatapan mataku. Sialan sekali manusia di depanku ini. Setelah mengancam agar aku setuju menikah dengannya, kini kapan waktu untuk menentukan pernikahanpun dia yang sudah memutuskan.

Egois dan berengsek, kata-kata itulah yang sedang berputar di benakku.

Aku tidak mau kalah tentunya. Kusilangkan kedua tangan di depan dadaku, dan memandangnya dengan tatapan mengintimidasi--ajaran dari keluargaku--, berharap dia akan berpikir ulang agar tidak memaksaku.

"Kalau tidak salah ingat kita belum membicarakan waktu pernikahan, dan juga kalaupun  hari ini pergi untuk persiapan pernikahan. Serena yang akan pergi denganku. Jadi kenapa malahan kamu yang datang?" balasku, aku menjaga suara serendah mungkin agar beberapa orang yang ada di dalam kafe tidak mendengar perbincangan kami.

Senyum miringnya sangat mengejek, "Dia adalah dokter cakap yang cukup sibuk mengurusi para pasiennya, tidak seperti seseorang yang santai mengurus pekerjaan remehnya."

Mendengar setiap kalimat yang meluncur dari mulutnya benar-benar sanggup membuatku otakku mendidih. Bukannya terintimidasi, tapi malah kena serangan balik. Di luar ekspektasiku. Baiklah, Athan Vasaya Ballazs adalah CEO termuda di ranah bisnis dan sudah go internasional. Tentu saja tidak akan mudah mengintimidasinya.  

Mulutku lelah kalau harus melanjutkan perdebatan dengannya. Dan juga ini tidak akan baik bagi citra kami, yang mana dalam beberapa waktu ke depan akan menjadi pasangan suami istri. 

"Ck, sudahlah. Aku lelah berdebat denganmu." Aku mengalah dan merotasikan mata, kemudian memandang sekeliling mencari seseorang.

Di salah satu sudut ruang kafe, aku menemukan sosoknya.

"Mark ..." panggilku dengan suara yang cukup kuat.

Pria yang berperawakan ramping bak idol itu langsung menghentikan kegiatannya mengelap meja dan menoleh padaku.

"Iya kak ..." balasnya dari seberang.

Aku menguraikan dekapan tanganku dan melambai padanya.

"Kemarilah ..."

Tanpa membantah ataupun bertanya, Mark dengan patuh datang padaku sambil menggenggam kain yang dipakainya untuk melap meja tadi.

"Aku akan pergi, jadi tolong kamu jaga bagian kasir," kataku setelah dia berdiri di depan meja konter, bersampingan dengan pria menjengkelkan itu.

"Siap kak." Dia mengulas cengiran yang menghasilkan cekungan pada sebelah pipinya, membuat tampilannya makin tampan.

Dan inilah yang kusuka dari Mark, dia tidak bawel untuk bertanya ke mana aku akan pergi dan kapan kembali. Dia hanya akan melakukan apa yang aku minta. Berbeda dengan Awan atau Lucas, mereka berdua cukup bawel. Dan masih satu lagi makhluk bawel lainnya di dalam kafeku. 

"Jadi, bisa kita pergi sekarang?" tanya Athan yang langsung menarik atensiku, kini sorot matanya seperti menunjukkan kemenangan.

Dan aku tidak menyukainya, dia terlalu mendominasi semua sikap dan keputusan. Aah, aku benci itu.

Aku mengangguk pasrah dan menoleh lagi pada Mark, "Aku titip kafe."

***

Dan kali ini aku sudah terdampar di sebuah ruangan yang dipenuhi dengan berlusin-lusin gaun putih dari model tertutup hingga terbuka. Membuat kudukku merinding hanya dengan melihat gaun-gaun itu.

Dengan didampingi Manajer butik, aku berkeliling di dalam ruangan yang disebutnya VVIP ini. Sedangkan pria menjengkelkan itu--Athan maksudku--, dia sedang menikmati membaca laporan dan grafik di Ipad miliknya sambil duduk menyilangkan kaki di sofa putih.

"Jadi anda menyukai model yang mana, Nona?" tanya Manajer di sampingku dengan ramah.

Aku tengah fokus memperhatikan gaun-gaun yang berjejer di sisi ruangan, tidak menoleh padanya. Hingga satu suara yang menyemburkan kalimat tak menyenangkan menyelinap ke gendang telingaku.

"Ah, jadi ini Cinderela yang beruntung itu?" Tidak ada kalimat yang kasar, bahkan si empu pemilik suara terkekeh pelan. Hanya saja perkataannya barusan tersirat hinaan, bagi yang paham dan peka.

Aku memalingkan mata dari gaun ke pemilik suara. Perasaan takjub sejenak menyelinap di hatiku, karena wanita muda yang dari perkiraan seumuranku itu terlihat begitu cantik dan semampai dalam balutan dress warna merah menyala yang membungkus ketat tubuhnya. Warna rambutnya yang kecokelatan, kulit putih dan bibir tak kalah menyala dari dressnya.

Aku hanya tersenyum dan mengangguk saja, tidak ingin berdebat tak penting dengan wanita yang terlihat ingin mencari perkara itu.

Dia berjalan pelan mendekatiku, dan ketika sudah berhenti di hadapanku. Wajah cantiknya tersenyum miring sinis.

"Cantik seperti bunga mawar," ucapnya dengan tatapan mata menilaiku dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Mawar liar yang merayap ke dinding kastil," lanjutnya.

Aku tidak kesal, hanya saja sedikit terganggu karena ketika aku melirik pada Athan. Pria itu bahkan tidak bergerak seincipun  dari tempat duduknya. Dia masih asyik berkutat dengan Ipadnya. Seolah ingin mencuci tangannya dan tidak ingin terlibat dengan perdebatan wanita.

Aku menarik nafasku panjang. Aku sebenarnya tidak ingin mencoreng gelar istri kedua yang akan segera kusandang, menjadi wanita bermulut tajam. Hanya saja aku tidak boleh terlihat kalau mudah ditindas bukan?

"Kelihatannya ada yang ingin melihat drama," gumamku pelan dengan memandangi sneakers putihku.

Ingin menyaksikan drama? Kalau begitu mari kita mulai saja. Aku menarik tatapan mataku dari bawah menuju mata wanita itu. Kutatap dia dengan wajah penuh senyuman.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status