Kulihat nanar seorang lelaki dari balik layar kaca yang ada di depanku. Senyuman pria itu begitu menawan dan mampu menggetarkan hatiku. Senyuman yang selama ini tak pernah terlupakan olehku, saat ini seolah tengah mendaratkan senyuman itu untukku. Di sana, laki-laki itu berdiri dengan gagahnya. Beberapa orang membicarakan betapa hebatnya ia saat ini. Namun, seberapa besar rasaku untuknya, takkan pernah ia mau mengerti akan hal itu. Ketika bayangan gelap itu menyelimutiku, aku sadar bahwa senyuman itu takkan pernah menjadi milikku. Lelaki yang kupuja itu takkan pernah membalas apapun yang pernah aku berikan untuknya.
Akulah yang merelakan semua untuknya. Harusnya aku tak perlu mengharapkan balasan apapun. Akan tetapi, aku terlalu egois. Aku tak pernah memikirkan bagaimana perasaannya padaku. Laki-laki itu sudah jelas mengatakan tak pernah mencintaiku, tapi aku tetap bersikeras untuk bersamanya sampai akhirnya.Kuusap lagi perutku yang mulai membuncit. Di sanalah, ada sebuah nyawa yang menghubungkanku dengannya. Nyawa yang terlahir meski tanpa kasih dari ayahnya. Dan, bahkan ayahnya tak pernah mengetahui bahwa anak ini sebentar lagi akan hadir di dunia ini. Anak yang tak pernah diinginkan oleh lelaki itu, tapi aku sangat menginginkannya. Namun aku begitu mencintai anak ini hingga jantungku terasa seperti akan meledak. Mengetahui bahwa aku tak sendiri, membuatku memiliki semangat untuk hidup. Aku tahu bahwa aku takkan pernah bisa memiliki lelaki itu. Meski kami pernah menjalin sebuah ikatan yang suci, lelaki itu takkan pernah bisa membalas perasaanku, terlebih dengan semua kebencian yang dia tumpahkan kepadaku. Aku tak tahu mengapa dia begitu membenciku. Aku tak tahu penyebab dari semua perlakuan kasarnya padaku. Akan tetapi aku sadar bahwa aku takkan pernah bisa membencinya. Sedalam apapun dia menusukkan pisah ke dalam hatiku, maka semakin dalam pula perasaanku.Pernikahan antara Martha dan seorang pengusaha sukses bernama Jean menjadi topik terpanas minggu ini. Dilansir dari biaya pernikahan yang menghabiskan biaya hampir puluhan miliyar, dikatakan bahwa pernikahan ini merupakan yang paling mahal dan termewah tahun ini. Dikabarkan keduanya akan menghabiskan liburan bulan madu ke paris. Sebagai pernikahan pertama untuk keduanya, ini merupakan hal yang sangat romantis dan banyak yang mengharapkan hubungan keduanya akan langgeng.
Jantungku terasa seperti terhenti secara mendadak saat berita itu secara lisan sampai ke dalam gendang telingaku. Entah mengapa mendengar berita yang terpampang dalam layar kaca itu membuat aku meringis. Jean dan pernikahan pertamanya.
Pernikahan pertamanya. Tak ada yang mengetahui bahwa aku pernah menjadi istrinya. tak ada yang tahu bahwa aku pernah menjadi bagian dari hidup pria itu. Aku yang hanya seorang istri tak pernah diinginkan. Jean tak pernah secara resmi mengenalkanku kepada teman-temannya. Bahkan didepan orang lain, Jean menganggapku tak lebih dari seorang pembantu. Hubungan kami tak pernah berjalan normal sebagai mana mestinya. Dalam hubungan intim saja, Jika hanya Jean membutuhkanku, maka aku harus siap melayaninya. Aku tak boleh menolaknya. Jika sampai aku melakukannya maka tangan besarnya akan menghantam wajahku. Sering kali kuungkapkan pada diriku agar membencinya. Pria itu suda terlewat jauh melangkah. Namun aku takkan pernah bisa. Aku terlalu mencintainya. Anggaplah aku ini bodoh. Aku wanita yang lemah dan hanya mengandalkan cinta dalam hidupku. Tapi sungguh.. aku begitu mencintainya. Hanya Jean yang aku punya.....
"..Kau tak lebih dari seorang budak disini.."
"..Kau takkan pernah menjadi seperti apa yang kau bayangkan didalam kepala sialanmu itu.."
"..Aku jijik melihatmu.."
"Tanda tangani itu, aku akan menikah dengan kekasihku."
"Jangan pernah sesekali kau berani menunjukkan wajahmu dihadapanku."
...
Setiap kali Kupejamkan mataku mengingat kata-kata kasar yang terlontar dari bibirnya, rasanya seperti ada ribuan jarum yang tertancap didadaku. Rasanya sakit dan perih. Mungkin saja jika itu terlihat, luka yang ditorehkan untukku begitu besar dan menganga lebar. Membuka luka yang mengalir darah disana.
Saat dimana lelaki itu menyatakan ketidaksudiannya kepadaku, aku memohon. Aku bersujud dikakinya agar mau memaafkan apapun itu, semua kesalahanku padanya. Aku bahkan bersedia jika saat itu Jean bersedia untuk membunuhku. Aku tak peduli seberapa banyak luka yang telah Jean berikan padaku. Aku rela asalkan dia tak membuangku. Namun apalah dayaku, saat Jean menyeretku keluar dari rumah itu. Rumah yang pernah menjadi saksi bisu pernikahan kami. Aku sadar bahwa tingkat kebenciannya terhadapku begitu besar hingga memuncak pada tindakan kasarnya yang memukuliku. Namun aku berharap sebuah kebahagiaan kecil saat bersamanya. Aku ingin merasakan pelukan hangat darinya. Hanya itu tak lebih. Setidaknya lelaki itu bisa mengijinkanku untuk tetap disampingnya meski dengan keadaan yang berbeda. Kurasakan sebuah gejolak yang menggetarkan tubuhku. Anakku, disana ia bergerak seolah mengatakan bahwa saat ini aku tak sendirian. Ya, aku memang tak pernah sendiri karena kehadirannya. Aku pun tersenyum samar merasakan gerakannya yang sangat lincah disana. kuusap pelan permukaan perutku merespon gerakannya. "Nak, biar saja kita hanya hidup berdua yang penting kita senang." Ucapku padanya. Aku hanya berharap jika anaknya kelak akan menjadi anak yang membanggakan baginya. Bukan seperti ibunya yang miskin dan sering menyusahkan orang lain. Sekali lagi, aku menghembuskan napas pelan. Ketika mataku terpejam, aku selalu mengingat bagaimana kehidupanku dulu. Semua yang pernah terjadi begitu jelas terlihat dalam bayangan hitam putih dalam benakku.Jeanattan. Entah apa yang dilakukan lelaki itu saat ini. Aku tak berharap banyak untuk hubungan kami. Aku hanya berharap semua yang terbaik datang kepadanya. Aku harap semoga Martha, istri barunya bisa memberikannya cinta yang selama ini tak mampu kuberikan. Kudoakan semoga kalian selalu bahagia, meski aku disini tak bisa ikut merasakan kebahagiaan itu. Aku disini, dan juga anak kita. ***Matahari sudah mulai lelah mengeluarkan sinarnya. Terang pun tersembunyi dibalik kegelapan malam, seakan enggan untuk kembali bersinar. Siapapun mungkin memilih untuk pulang ke rumah mereka. Menikmati suasana hangat dirumah. Meski hal itu pun juga dilakukan oleh wanita yang tengah berbadan dua itu, namun wanita itu tahu bahwa di rumahnya takkan ada yang menyambutnya. Ia hanya akan kembali ke tempat dimana ia bisa menghabiskan malam dengan keheningan. Hanya itu yang bisa ia lakukan dimalam-malam tidurnya. Sendiri. Odelia saat itu baru saja pulang dari restoran tempat ia bekerja, berjalan dengan pelan ke arah sebuah gang sempit dan kumuh dipinggiran kota Jakarta. Disanalah.. tempatnya untuk menorehkan jejak kehidupannya yang baru. Rumah yang selama ini ia jadikan tempat bernaung bersama calon anaknya. Rumah itu dulunya Gudang yang dulunya digunakan untuk memisahkan limbah plastik yang masih bisa diolah. Namun karena semakin canggihnya teknologi, gudang itu mulai ditinggalkan. Luasnya hanya cukup untuk menampung Odelia dan anaknya kelak. Beruntung malamnya saat ia terusir, Odelia bertemu dengan seorang pria tua yang merasa iba padanya. Pria tua itu menunjukkan gudang itu dan berkata jika ia bisa menempatinya. Sungguh dunia ini sungguh pedih bila dirasa.Pelahan Odelia menyeret kakinya yang terasa lelah masuk ke dalam rumahnya. Berharap jika sesampainya disana, ia bisa mengistirahatkan kakinya yang seharian melayani para pelanggan yang datang ke restoran tempatnya bekerja. Beruntung pemilik tempat itu mengijinkannya bekerja dengan kondisi yang tengah berbadan dua. Kalau bukan karena belas kasihnya, Odelia mungkin takkan bisa menikmati sepiring nasi dipagi hari lantaran tak memiliki uang. Namun, tanpa ia sadari jika sedari tadi, aktivitasnya dipantau oleh seseorang yang sama sekali tak diketahui kehadirannya. Dari dalam mobil sedan miliknya, pria itu larut memandangi wanita yang sudah memasuki rumah kecil yang entah apakah itu layak disebut sebagai sebuah rumah. Kehidupan yang bahkan takkan pernah bisa dibayangkan oleh wanita yang tengah mengandung manapun. Hal itu seolah mencongkel bagian terdasar dalam dadanya. Odelia yang harus kembali hidup seperti ini, tak layak. Dan ia hanya mampu duduk ditempat ini terpaku memandangi kehidupan tragis wanita itu. Wanita yang pernah berbagi dengannya. Wanita yang pernah mencurahkan hidup untuk laki-laki bajingan sepertinya. Entah dari mana asalnya hati wanita itu. Begitu rapuh tapi mampu kembali berdiri meski keadaan yang tak memungkinkannya. Tanpa sadar lelaki itu mencengkram kuat stir mobil yang ada didepannya. Matanya berkilat penuh emosi.Terdengar suara hembusan napas yang beradu tajam. Lelaki itu marah. Marah bukan kepada siapapun, melainkan kepada dirinya sendiri. Dia yang bertanggung jawab atas semua penderitaan ini, dan dirinya yang telah membuang impian bersama wanita yang ia cintai.
"Odelia..."...
Teruntuk yang tersayang, suamiku, Jean.Mungkin setelah kau membaca ini, aku sudah tak lagi berada didekatmu. Mungkin saat ini kau pun sudah menjalani kehidupan barumu bersamanya. Tapi.. bisakah aku mengatakan beberapa baris kata.
Oh.. jangan marah, Jean. Itu bisa membuatmu menambah garis kerutan dikeningmu. Ijinkan aku mengatakan ini sebelum aku benar-benar melupakannya dan juga.. dirimu.Entah mengapa setiap kali aku memikirkan nasibku, aku selalu mengatakan bahwa aku ini bodoh.Setiap kali aku mengingatmu aku selalu mengatakan bahwa aku ini adalah wanita yang tidak tahu diuntung. Setiap kali aku memandangi tubuhku aku selalu mengatakan bahwa aku ini memang tak pantas bersanding denganmu. Mungkin dengan kepergianku dari hidupmu kau akan tenang dan bahagia. Meski aku bukanlah istri yang baik, kau selalu ada. Biarpun kau tak pernah mengijikanku untuk berdiri disampingmu. Aku selalu dibelakangmu. Melihatmu secara diam-diam. Namun aku sadar bahwa memang wanita sepertiku tak pantas memiliki hatimu. Cukup mencintaimu saja sudah membuatku bahagia.
Kau tak perlu menangis jika sedih untukku, kau tak perlu mengamuk ketika marah kepadaku, karena aku sudah mengijinkanmu memilih kebebasanmu. Aku sudah melepaskanmu dari belenggu keegoisan perasaanmu. Mengikatmu denganku dalam sebuah ikatan pernikahan rasanya membuat seolah aku yang menyiksamu.Jean, terima kasih untuk waktu yang berharga ini. Aku sangat bahagia mengingat kenangan kita dulu. Dimana saat kau memanggilku, menggenggam tanganku hangat. Aku takkan meminta apapun lagi darimu. Cukup ini saja yang akan aku bawa hingga waktuku habis. Hanya ini yang akan aku jaga sebagai tanda perpisahan darimu... anak kita...Jaga dirimu baik-baik. kudoakan segala yang terbaik untukmu dan juga dirinya. Aku disini tetap menjaga hatiku untukmu.
Kukatakan, kau tak perlu mencintaiku Jean.Cukup aku saja yang mencintaimu.Dari yang mencintaimu, selalu.
Istrimu, Odelia.Aku dan hidupku, siapa yang tahu bahwa nyatanya kehidupanku tak seindah novella roman yang sering kubaca. Jauh dari itu semua, kehidupanku tak akan pernah baik-baik saja.Hamparan langit biru yang cerah terpampang nyata menghiasi langit di pagi hari itu. suara kicauan burung menjadi musik pengiring pagi disalah satu rumah megah yang terbangun diantara deretan rumah yang lainnya. Bangunan itu nampak sunyi, bersembunyi dibalik kemegahannya. Tak pernah ada yang tahu bagaimana isi didalamnya. Tatapan yang melintas didepan bangunan itu hanya bisa berdecak kagum memandangi keindahan rumah dengan pilar kokoh bak istana. Bangunan yang paling besar dan mewah dari pada bangunan lainnya.Namun tak pernah ada yang mengira apakah yang terjadi didalam sana. Tak pernah ada yang ingin tahu apa saja yang tengah terjadi didalam sana selain kemegahan yang menutupinya. Mereka hanya berpikir bahwa disana adalah tempat tinggal orang-orang kelas a
Perasaan yang paling menyakitkan adalah ketika kau tak bisa memiliki sesuatu yang paling kau inginkan. Tapi, hal yang paling sulit diterima adalah menghadapi kenyataan bahwa orang yang kau cintai adalah orang yang bertanggung jawab atas kesakitan itu."Aku takkan pernah membiarkanmu tenang sebelum aku selesai menuntaskan amarahku Lia. Kau akan merasakan nanti bagaimana rasanya dihancurkan oleh orang yang kau cintai."Sepasang mata hitam memandangnya tajam. Menusuk, seolah ingin benar-benar melukai hatinya. Tak ada dusta disana. semuanya terdengar nyata saat ini. Ingin rasanya ia membelai wajah itu, namun apa jadinya jika itu sampai ia lakukan. Jean takkan pernah membiarkannya menyentuh sejengkal tubuh miliknya. Laki-laki itu akan menepis kuat rasa kasih yang berusaha ia sampaikan meski hanya dengan kata-kata.Kini ia tahu mengapa dahulu ibunya begitu mencintai ayahnya. Ia mengerti posisi itu. Sampai disaat ay
Mencoba bertahan di atas puing, cinta yang telah rapuh. Apa yang kugenggam, tak mudah untuk aku lepaskan.Sepasang mata teduh itu memandangi rerumputan hijau yang ada didepannya. Suara cicitan burung sesekali terdengar kala ia mencoba untuk kembali tersadar dari lamunannya. Angin yang berhembus sedikit tenang mampu membawa alam tidurnya menjemput ditengah siang hari yang tak begitu terik. Justru siang ini ia merasa bahwa matahari sengaja menutupi sinarnya agar tak menyengat siapapun yang ada dibawahnya. Di taman belakang pekarangan rumahnya, sosok itu memilih terduduk dibawah langit-langit yang seolah tengah menatapnya. Meratapi bagaimana wujud wanita itu yang masih terdiam tak bergerak.Sosok itu, Odelia hanya bergeming dalam kesendiriannya. Tatapan palsunya tak benar-benar memandang objek yang ada dihadapannya. Pikirannya melayang, berada jauh ditempat yang sama sekali ta bisa ia jamah. Ia ingin mengatakan bahwa ia merindu
"Aku takkan pernah membiarkanmu tenang sebelum aku selesai menuntaskan amarahku Lia. Kau akan merasakan nanti bagaimana rasanya dihancurkan oleh orang yang kau cintai."Langit gelap menyelimuti kota Jakarta. Tepat pukul sebelas malam, lalu lintas di jalan raya perlahan mulai mumudar. Lampu-lampu jalanan serta iklan yang terpasang disetiap sudut jalan menjadi penerang bagi setiap pengemudi yang melintasi jalanan tersebut. Malam yang sunyi dan kelam, menyembunyikan setiap asa yang menguap pada terang hari. menyelimuti kalbu yang gelisah.Sebuah mobil sedan pendek memutar kemudinya ke arah rumah tak berpagar bergaya minimalis moderen, yang berderet dengan rumah-rumah yang memiliki jenis yang sama. Mobil mewah berwarna hitam itu berhenti disalah satu rumah yang nampak sepi dan lengang. Sosok lelaki yang berada dibalik kemudi itu memperhatikan dengan seksama bangunan yang telah ia kenali selama setahun belakangan ini. Mata elang
"Setiap darah yang mengalir dalam tubuhku adalah hal yang patut kusyukuri dan ketika aku meragu, kusebut namamu dalam hatiku dengan detak jantungku."Sepasang mata bulat yang tertutup itu terlelap, mengikuti dengkuran halus yang tak berbunyi milik sang wanita. Napasnya bergerak teratur dengan sendirinya kala udara yang berhembus disekitarnya masuk ke dalam paru-parunya, mengisi rongga terpenting dalam dirinya. Posisinya yang tidur menyamping membuat sosok yang kini juga berada disampingnya memperhatikan wajah wanita itu dengan seksama dan bulat.Seorang laki-laki nampak serius memperhatikan bagaimana rupa wanita itu saat tertidur. Ekor matanya tak pernah lepas dari wajah tentram milik wanita yang masih terlelap dalam keadaan telanjang disampingnya. Sesekali, laki-laki itu menjalankan jarinya disekitar wajah wanita itu, lalu menariknya kembali dengan terkejut.Terkejut?Tentu saja ia terkejut.
"Keisenganku berubah menjadi rasa keingintahuan yang tinggi. Kalian bersembunyi, maka aku akan mencari."Seorang wanita berambut panjang kini tengah terduduk disalah satu meja di salah satu cafe, yang letaknya berada didalam pusat kota. Hingar bingar ibukota yang mencekam seolah menjadi titik dimana dirinya harus menyembunyikan diri. Sembari menyerumpun kopi hangatnya, dari balik kacamata hitam bermereknya, wanita itu menyebarkan pandangannya, terutama pada sisi pintu masuk cafe. Ia tengah menunggu seseorang, hingga rasanya ia hampir mati kebosanan."Sialan kau Marko.. bisa-bisanya kau membuatku menunggu nyaris satu jam" geramnya penuh emosi. Wanita itu mengeram marah lantaran sosok yang saat ini tengah ditunggunya melanggar janjinya. Laki-laki itu semula mengabulkan permintaannya untuk bertemu tepat di pukul 11 siang. Namun hingga jarum jam menyentuh menit ke 30, laki-laki itu pun tak kunjung muncul.Tak lam
"Manusia adala hal terumit yang pernah mengisi lembaran di bumi ini. Ada berbagai rasa arogansi yang bertunas didalam diri mereka.""Jadi apakah kau sudah menemukan alasan mengapa kau tetap melakukannya?"Seorang wanita dewasa dengan potongan rambutnya yang berbentuk bob duduk dengan tenang disamping seorang pria berjas kantor rapi sembari meminum teh hijau hangat dalam cangkir berwarna keemasan itu. Tatapannya menyendu sejak aroma menenangkan itu menyeruak ke dalam indera penciumannya. Seolah ia berkata bukan ditujukan untuk pria yang kini masih bergeming setelah satu jam lamanya ia berada ditempat wanita itu.Reanna, wanita yang berprofesi sebagai seorang psikiater itu memilih untuk mengajak pria yang duduk tenang disampingnya membicarakan hal sepele yang sebenarnya ia tahu bahwa itu sama sekali bukan hal yang memiliki kaitan. Namun ia pun tak bisa memaksa agar pria itu mau membuka suara. Sejauh yang dikena
"Melupakanmu mungkin adalah satu hal yang paling kuinginkan. Alih-alih menerima hantaman yang membuatku amnesia, kenangan bersamamu kembali menyentak ruang ketenanganku."Seorang wanita dengan gaun tidur berwarna hijau yang membalut tubuh kurusnya, nampak berdiri didepan balkon. Kedua mata wanita itu terarah pada sinar rembulan yang malam ini bersinar begitu terang. Helaian rambutnya bergerak sesaat, mengikuti arah angin yang menerpa sisi wajahnya yang dibiarkan begitu saja berada dalam dinginnya angin malam ini.Adela.Wanita itu biasa akan terpanggil ketika mana itu disebut. Entah sudah berapa lama ia tak lagi mengingat dari mana asal nama itu. Ia terlalu menikmati hidupnya saat ini. Bahagia, berada dalam rumah yang mewah, dikelilingi oleh harta dan orang yang begitu mencintainya, dan juga Adela memiliki tempat berpulang saat ini. Wanita itu tak lagi