Share

Part 1

Aku dan hidupku, siapa yang tahu bahwa nyatanya kehidupanku tak seindah novella roman yang sering kubaca. Jauh dari itu semua, kehidupanku tak akan pernah baik-baik saja.

Hamparan langit biru yang cerah terpampang nyata menghiasi langit di pagi hari itu. suara kicauan burung menjadi musik pengiring pagi disalah satu rumah megah yang terbangun diantara deretan rumah yang lainnya. Bangunan itu nampak sunyi, bersembunyi dibalik kemegahannya. Tak pernah ada yang tahu bagaimana isi didalamnya. Tatapan yang melintas didepan bangunan itu hanya bisa berdecak kagum memandangi keindahan rumah dengan pilar kokoh bak istana. Bangunan yang paling besar dan mewah dari pada bangunan lainnya.

Namun tak pernah ada yang mengira apakah yang terjadi didalam sana. Tak pernah ada yang ingin tahu apa saja yang tengah terjadi didalam sana selain kemegahan yang menutupinya. Mereka hanya berpikir bahwa disana adalah tempat tinggal orang-orang kelas atas, yang memiliki banyak uang dan kekuasaan.

Ya, kekuasaan.

"Odelia!" suara seorang lelaki menggema diseluruh penjuru ruangan memanggil nama yang tak kunjung datang menyahuti panggilannya. Laki-laki dengan pakaian kantor miliknya nampak menuruni tangga dengan wajah marah. Rahang tegas miliknya menegang saat menemukan hal yang tak disukainya pagi ini.

Odelia.

Harusnya wanita itu ada disana. Harusnya wanita itu sudah bersiap, menyiapkan semua keperluannya pagi ini.

"Odelia!" langkah kaki milik lelaki itu berjalan menuju semua pintu yang dilihatnya. Membantingnya dengan debuman yang keras. Namun emosinya semakin memuncak kala tak menemukan sosok yang dicarinya sejak tadi pagi. Tak biasanya wanita itu tak menunjukkan batang hidungnya hingga waktu yang menunjukkan hampir mendekati siang.

"Odelia! Sialan! Kemana wanita ini?" makian terus dilontarkan lelaki itu ketika waktu semakin mendesaknya untuk menemukan wanita itu. Akan tetapi, hingga beberapa menit mencari, tak kunjung ditemukannya wanita itu.

Di salah satu kamar, yang letaknya berada jauh dari tempat dimana laki-laki itu mencarinya, sosok wanita bernama Odelia meringkuk diatas tempat tidur miliknya. Tubuh wanita itu bergetar, ia memeluk kedua kakinya dan menenggelamkan wajahnya disana. didalam ruangan kecil, yang hanya diterangi oleh cahaya yang mengintip masuk melalui jendela kecil, menjadi saksi bisu dimana wanita itu kini berada.

Ia takut. Seluruh tubuhnya menginginkannya untuk segera lari dari tempat ini. Hanya saja kedua kakinya sulit untuk digerakkan. Setiap gerakan yang ia lakukan, wanita itu harus menahan sakit yang amat mendalam pada luka yang bersarang disana. Beberapa bekas luka cambukan yang masih belum pulih hingga detik ini.

Seluruh tubuhnya bergetar saat mendengar lengkingan suara dari laki-laki yang masih meneriakinya. Ia ingin menulikan telinganya, tapi ia takut. Lelaki itu bisa saja menemukannya dan menumpahkan semua amarahnya kembali padanya. Lagi.

"Odelia!"

Gaungan suara itu semakin terdengar jelas ditelinganya. Kedua tangan wanita itu terangkat menutup kedua sisi kepalanya. Menutup jalur masuknya gelombang suara itu ke telinganya. Keterlanjangan ini begitu menyiksanya.

Wanita itu terisak kala rasa takut semakin menyeruak ke dalam sudut hatinya. Tangan-tangan kurus itu sampai mencengkram rambutnya yang sudah tak beraturan. Pergelangan tangan yang penuh luka, hanya itulah yang bisa digunakannya untuk lari dari kenyataan. Matanya tertutup, menolak melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.

Suara pintu terbuka dengan kasar memecahkan keheningan didalam ruangan sempit itu. Disana, laki-laki yang sejak tadi meneriakkan nama "Odelia" tersenyum menyeringai. Napasnya tersengal, namun tak menyembunyikan kemarahan yang terpendam pada wanita itu.

"Jadi, disini tempat kau bersembunyi, Jalang?"

Odelia, wanita itu meringsut ketakutan. Dengan tangan lemah itu, Odelia berusaha meraih apapun agar menutupinya dari lelaki yang kini tengah berjalan ke arahnya. Ia mencengkram selimut tipis dan menutupi tubuhnya yang penuh luka dengan benda itu. ia tak ingin laki-laki itu mendekat. Ia tak ingin laki-laki itu menyentuhnya. Ia ketakutan. Ia tak mau merasakan sakit ini lagi.

Tubuhnya sakit, hatinya pun telah hancur.

"Wah, ada apa sayang? Kelihatannya kau begitu takut padaku." senyum mengejek terlihat dari bibir tipis milik laki-laki itu saat menyadari ketakutan melanda Odelia. Hatinya senang, wanita itu menderita saat ini. Semua luka yang ada ditubuhnya membuatnya yakin jika saat ini Odelia tengah kesakitan. Dan, ia tahu siapa yang harus bertanggung jawab atas semua ini.

Saat sampai didepan tempat tidur Odelia, laki-laki itu merangkak naik ke atas sana. Senyuman jahat pun tak pernah dilepaskannya saat memandang wajah pias milik Odelia yang ketakutan dengan kehadirannya. Tak peduli seberapa malangnya wanita itu, ia puas bisa melampiaskan semuanya pada wanita itu.

Wanita yang harus dibencinya.

"J-Jangan! Jangan dekati aku!" Odelia menutup wajahnya ketakutan. Ia ingin meringsut lebih jauh lagi, menjauhi laki-laki ini. Hanya saja punggungnya sudah tak bisa lagi membuat jarak. Ia sudah terjepit dan laki-laki itu takkan mungkin mengampuninya saat ini. Kesakitan pasti akan datang kembali padanya.

Tangan laki-laki itu terangkat, mengurai emosi yang tertahan selama beberapa saat tadi, disaat ia tak menemukan sosok wanita ini ditempat yang sudah seharusnya. Dicengkramnya surai hitam milik Odelia dengan kekuatan penuh sebelum akhirnya menyeret wanita itu hingga bangkit dari tempat tersembunyiannya.

Tanpa belas kasihan, laki-laki itu memaksa Odelia untuk mendongak. Menatapnya dengan wajah penuh air mata. Tak terbesit sedikit pun perasaan kasihan saat memandangi wajah penuh lebam itu. Takkan tergerak hatinya mendengar isakan kecil, memintanya untuk melepaskan cengkraman dari rambutnya.

Odelia menderita, itulah keinginannya.

"Kau berani membantahku, maka kau akan merasakan akibatnya." Laki-laki itu menggantung suaranya dan mendekatkan tubuh Odelia. Merengkuh seperti ingin meremukkan tubuh lemah wanita itu dalam pelukannya. Bibirnya yang tepat berada disamping telinga wanita itu berbisik. Bisikkan yang membuat Odelia tak mampu lagi berkata-kata.

"Kau. Akan kubuat kau hidup bagaikan di neraka, istriku."

Dibalik punggung lelaki itu, wajah Odelia berubah pias. Ia sudah pasrah, laki-laki itu takkan pernah mengampuninya. Odelia tahu, seberapa besar keinginannya untuk meluluhkan hati suaminya itu, Jean takkan pernah membalas perasaannya. Jean hanya ingin melukainya. Menorehkan bekas parah yang takkan pernah bisa ia sembuhkan.

Tak ada Jean miliknya yang lembut, merengkuhnya saat dirinya terjatuh dalam kesedihan.

Tak ada Jean miliknya yang akan membawanya berbicara dari hati ke hati seperti dahulu.

Sekarang, Jean yang ingin menghancurkannya adalah sosok monster yang menginginkan kematiannya. Laki-laki yang bersuka rela melenyapkan nyawanya kapan saja.

Namun, seberapa banyak luka yang laki-laki itu tinggalkan, perasaan Odelia takkan pernah berubah. Robekan dihatinya takkan pernah bisa menyentuh palung terdalam perasaannya. Rasa yang takkan pernah berubah hingga detik dimana ia menyadari bahwa takkan ada cinta untuknya dihati Jean.

Dan selamanya ia akan terus mencintai suaminya, Jean.

"Apakah kau pernah mendengar kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya sendiri?"

Laki-laki dengan pakaian jas putih khas dokter itu nyaris tergelak saat mendengar suara Jean yang bertanya padanya. Ingin rasanya ia menertawakan laki-laki itu karena pertanyaan anehnya, tapi melihat ke arah wajahnya yang nampak tak ingin dibantah, laki-laki itu pun memilih jalan aman. Diam dan mendengarkannya saja.

Pagi ini ia dikejutkan dengan kedatangan sahabat lamanya saat berkuliah di Jerman, yang tiba-tiba mengajaknya untuk bertemu. Bahkan Jean sampai rela menyinggahi tempat kerjanya, di rumah sakit. Dan dari apa yang sudah didengarnya dari Clara, mungkin saja saat ini sahabatnya itu sedang berada dalam masalah. Raut wajah Jean pagi ini menjelaskan semua padanya.

"Tak ada istilah pemerkosaan pada kehidupan rumah tangga, Jean. Kalian menikah, sudah pasti semua itu berjalan dengan semestinya."

Rian, laki-laki itu tahu harusnya kalimat itu tak tepat dialamatkan pada Jean. Sudah bukan rahasia pribadi lagi kalau Jean tak menghendaki pernikahannya. Laki-laki itu dengan terang-terangan menyatakan ketidaksukaannya pada sosok wanita yang kini menjadi istrinya. bahkan Jean selalu meminta pil pencegah kehamilan padanya selama beberapa bulan setelah pernikahannya berlangsung. Setiap kali Rian mencoba bertanya, Jean hanya mengatakan bahwa ia tak siap untuk menjadi seorang ayah. Tidak sampai ia bisa benar-benar mencintai istrinya.

"Aku tak pernah mencintainya." Tegas Jean. Namun suara laki-laki itu penuh keraguan. Wajah pria blaseran itu hanya terunduk murung, menolak menatap kedua mata Rian yang kini sedang mengamatinya.

"Apakah kau yakin?" Rian menggenggam botol bening yang berisikan beberapa butir pil berwarna kuning. Pil yang biasa digunakan Jean untuk mencegah adalah kehamilan dalam rumah tangganya. Ia sangsi jika perkataan Jean akan selalu sama setiap bulannya. Memang pada awalnya, Jean memperlihatkan keyakinan bahwa ia takkan jatuh pada pesona istrinya sendiri. Namun entah mengapa yang dilihat Rian semakin lama semakin bertolak belakang. Sedikit keraguan terpancar saat Jean menyatakan perasaannya pada pernikahan ini.

"Jean, kau bisa memulai untuk jujur terlebih dahulu. Dia bukan Martha. Wanita itu sudah menjadi istrimu, sudah pasti dia akan menjadi milikmu."

"Dia memang bukanlah Martha, Jadi aku tak bisa mencintainya." Sergah Jean cepat. Laki-laki bertubuh tegap itu mengambil paksa botol yang ada dalam genggaman Rian.

"Jika kau memperlakukan wanita selayaknya Ratu, maka wanita akan memperlakukanmu selayaknya seorang Raja."

Jean mendengus pelan. Tangan besar laki-laki itu membuka satu kancing jas hitam miliknya dan kembali duduk bersandar setelah mengantongi botol pil itu. Masih dengan tatapan yang sama, Jean enggan untuk menatap Rian secara langsung.

"Ada hal yang telah kulakukan, lebih buruk dari itu."

Kedua alis Rian bertaut sempurna. Ucapan Jean yang baru saja terlontar menyentaknya. Ia yakin ekspresi itu sebelumnya tak pernah ia harapkan. Namun Jean merubah raut wajahnya. Penuh maksud yang ia yakin takkan baik.

"Apakah pertanyaanmu tadi memiliki hubungan dengan semua ini, Jean?"

Wajah Rian menegang saat menyadari pengakuan tak langsung yang dilakukan Jean. Ia berharap apa yang dipikirkannya tak menjadi kenyataan. Ia tahu Jean. Laki-laki itu takkan pernah tega menyakiti siapapun, apalagi wanita. Jean sangat menghormati dan menjunjung tinggi derajat wanita. Sama seperti halnya Jean memperlakukan Clara dan juga Martha.

Jean bangkit. Setelah keinginannya untuk mengambil barang yang ia cari, tak ada gunanya lagi ia berada disini. Semakin lama berada satu ruangan dengan Rian, bisa membuatnya berdebat dengan laki-laki itu. Ia cukup sadar jika Rian mulai mengendus ada ketidakberesan padanya, dan Jean harus segera mengakhiri ini.

"Tidak ada. Aku hanya iseng bertanya. Lagi pula,"

Jean berjalan ke arah pintu. Namun laki-laki itu tak langsung keluar. Jean menahan dirinya sebentar untuk mengucapkan beberapa kata pada Rian. Jean membuat wajahnya sedatar mungkin saat bertatapan dengan Rian. Kali ini laki-laki itu menatap mata pria itu langsung. Ia tak ingin Rian terlibat dalam masalah ini.

Ini hanyalah masalah dirinya, Odelia dan masa lalu.

Rian tak perlu menambah daftar peran dalam rencananya. Menghancurkan wanita itu adalah keinginannya. Ia ingin mengakhiri kisah menyedihkan ini dengan kehancurkan Odelia. Takkan pernah ia membiarkan orang lain berusaha menghalangi jalannya. Meski itu kerabat dekatnya sendiri.

"Tak ada satu pun wanita di dunia ini yang akan bertahan dengan laki-laki yang menyiksanya."

Tidak, selain Odelia.

"Kau harus tahu, Jean." Rian berkata. Dokter itu keluar dari sisi meja kerjanya dan berjalan menghampiri sahabatnya. Tangannya terangkat, merengkuh pundak pria itu. bukan dalam bentuk dukungan, hanya kepastian bahwa Jean tak salah mengambil pilihan apapun itu.

"Penyesalan selalu datang terlambat. Jangan sampai kau menyesali apa yang kau perbuat saat ini, meskipun aku tahu kau sudah mengetahui segala resikonya. Kau terlalu mudah kutebak."

Jean bergeming. Laki-laki itu lebih memilih memandangi kedua sepatu miliknya. Kilauan sepatu hitam itu memantulkan bayangan wajahnya. Disana, terlihat sosok yang menyerupai dirinya. Wajah yang muram dan tak yakin dengan apa yang sekarang ia lakukan.

Pikirannya bertekad, namun hatinya meragu.

Setelah setahun berlalu, benarkah ia sudah merasa puas?

Setahun, dua belas bulan, tiga ratus enam puluh lima hari ia telah melakukan semuanya. Sungguh, tidakkah ada yang berubah?

"Tak ada yang perlu kusesali."

Jean berjalan keluar dari ruangan Rian. Langkahnya yang lebar diiringi oleh tatapan Rian yang mengiba kepadanya. Sedikit banyak Rian mengetahui bagaimana kehidupan Jean sebelum ini. Lelaki itu memiliki catatan masa lalu yang buruk. Jean jarang memiliki orang terdekat disisinya. Lelaki itu terbiasa hidup dengan keburukan yang diturunkan oleh kedua orang tuanya.

"Kuharap kau tak salah langkah, Jean."

Di dalam sebuah kamar yang luas, Seorang wanita tergeletak tak berada diatas lantai. Hanya dengan berbalut selimut, wanita itu tak berada diatas lantai kayu yang dingin. Entah sudah berapa jam ia bertahan pada posisi seperti ini. Bukannya ia kuat menahannya. Diatas lantai kayu yang dingin, tanpa sehelai benang selain selimut yang menutupi tubuhnya, Odelia tentu saja takkan kuat menahannya.

Hanya saja..

Ia tak mampu menggerakan tubuhnya. Semuanya terasa sangat nyeri. Setiap kali ia berusaha mengubah posisinya yang teraring miring menjadi terlentang, rasanya seperti ada salah satu tulang yang mulai bergeser dari tempatnya. Entah sudah berapa pagi yang telah ia lewati selama ini dalam kondisi yang sama. Ia tak mampu menghitungnya lagi. Odelia sudah terlalu terbiasa dengan semua ini. Bukan pagi baginya apabila ia tak berakhir dengan kondisi seperti ini.

Ditatapnya pergelangan tangan kirinya yang semakin memar karena perbuatan lelaki itu. Jean takkan mau berbaik hati membiarkannya tertinggal dalam kedamaian. Lelaki itu tak sudi membiarkannya terlelap karena kelelahan. Jean selalu meninggalkan bekas, untuk membuatnya kesakitan.

Jean.

Suaminya.

Odelia takkan pernah melupakan pria iru barang sedetik saja. kehadiran Jean menjadi detik dalam setiap detak jantungnya. Kehidupannya bergantung kepada pria itu. Bukan saja dalam hal keuangan, Odelia telah menggantungkan jiwanya pada Jean.

Sebut saja dirinya bodoh, Odelia tak peduli. Ia sudah tak bisa menganggap yang lainnya selain Jean. Bahkan ia pun sudah melupakan Yonash dan juga Clara yang harusnya ia selalu ingat sebagai sebuah keluarga. Hanya Jean. Benaknya dipenuhi oleh eksistensi pria itu.

Odelia begitu mencintai Jean. Ia bahkan tak bisa membedakan yang mana rasa sakit dan rasa kasih jika bersama Jean. Ia sudah terlalu kebal terhadap semua kesakitan yang diberikan oleh lelaki itu. Baginya asalkan bersama Jean, Odelia merasa hidup. Meski Odelia harus mengorbankan dirinya hanya untuk lelaki itu.

Ia bodoh. Wanita bodoh.

Harusnya Odelia bisa saja melarikan diri. Bisa saja ia melaporkan Jean atas tindak kriminal yang dilakukannya. Namun ia tak sanggup. Cintanya pada Jean terlalu besar. Hanya sedikit kebaikan yang ditunjukkan oleh pria itu, maka ia akan merasa dicintai. Jean adalah hidupnya, tak perlu ia ulang kembali karena Odelia sudah menghapalkan hal itu didalam kepalanya.

Suara pintu terbuka memecah keheningan. Disana munculah sosok pria yang sejak tadi melintas dibenaknya. Jean dengan penampilannya yang segar tengah berdiri disana. Memandangi Odelia dengan raut wajah datar.

"Kau sudah bangun?"

Odelia mengangguk pelan. Ia tahu pertanyaan itu bukanlah karena maksud Jean mengkhawatirkannya. Laki-laki itu hanya memastikan kesadarannya yang sudah pulih. Odelia tahu Jean takkan pernah sebaik itu kepadanya.

Jean menurunkan tubuhnya. Dengan lutut yang menopang berat tubuhnya, Jean merunduk. Mata coklat terang miliknya menelusuri setiap sudut wajah Odelia yang terlihat memar karena ulahnya beberapa saat yang lalu. Matanya sendu membayangkan betapa menyakitkannya luka itu jika saja ia yang mengalaminya. Namun mengapa wanita itu begitu kuat menahan segala perilaku buruk yang dilakukannya. Terbuat dari apa hati wanita ini. Mengapa Odelia tak kunjung pergi meninggalkannya.

"Kau, Mau sampai kapan bertahan?" Jean berbisik. Suara bariton pria itu begitu kentara ditengah desisan udara yang bahkan hampir tak terdengar disekitar mereka.

Odelia tak mampu menjawab. Sudah ratusan kali Jean menanyakan hal yang sama, namun ia masih tak sanggup menemukan jawaban yang tepat untuk itu. Ia masih akan menjawab bahwa ia bertahan karena mencintai pria itu. Tentu, Jean takkan menerima alasan konyol itu. Jean dengan segala kerealistisannya hanya berpikir bahwa takkan ada wanita yang sanggup bertahan meskipun tersakiti.

"Aku tak bisa menjawab hal yang lain." Suara Odelia nyaris tak terdengar. Suara itu lemah mengikuti laju udara yang bergerak disekitarnya. "Kenapa kau tak mengakhiri ini, Jean?"

Rahang pria itu menegang. Jean terdiam dengan emosi yang mulai memuncak. Dicengkramnya rahang wanita itu hingga membuat Odelia meringis kesakitan. Kedua mata coklat terang itu dengan jelas memancarkan perasaan marah pada Odelia. Tak peduli seberapa kasarnya ia pada wanita yang merupakan istrinya itu.

"Ada banyak alasan mengapa aku melakukannya."

Ya, sangat banyak. Odelia takkan pernah mengerti jika wanita itu tak pernah hidup di posisinya. Semua penghinaan dan rasa sakit bercampur menjadi satu. Apalagi saat mengetahui bahwa wanita itu adalah orang yang sangat ingin ia hancurkan.

"K-Katakan."

Jean semakin menarik rahang Odelia mendekat ke arahnya. Kedua mata mereka pun kini semakin tak berjarak, membuat Odelia mampu melihat tatapan marah sekaligus terluka milik Jean yang mengarah kepadanya.

"Aku takkan pernah membiarkanmu tenang sebelum aku selesai menuntaskan amarahku Lia. Kau akan merasakan nanti bagaimana rasanya dihancurkan oleh orang yang kau cintai."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status