Share

Part 2

"Apa! Ara pergi dari rumah, Ma?" tanya Dedy--ayah tiri Ara pada Wanda--istrinya yang merupakan ibu kandung Ara. 

Sepulang bekerja yang Dedy harapkan adalah ketenangan serta kedamaian seperti biasa. Disambut oleh senyuman hangat sang istri, dan tingkah ceria Ara, namun yang Dedy dapat justru aduan kesedihan dari istrinya karena Ara pergi. 

Meskipun Ara hanya anak tiri, tetapi Dedy telah menganggapnya seperti anak kandungnya. Kehadiran Wanda serta Ara di rumah ini mampu membuat hari-harinya terasa lebih berwarna setelah kematian istri pertamanya dulu. 

Dedy memang mempunyai anak dari istri pertamanya. Usianya lima tahun lebih tua dari Ara, namun karena anak kandungnya itu laki-laki, dan cenderung dingin, maka bisa dikatakan  kurang dekat dengan Dedy. Justru Aralah yang lebih dekat dengannya, meskipun statusnya anak tiri. 

"Iya, Yah," jawab Wanda sembari terisak. 

Meskipun tadi Wanda telah menghubungi Ara, dan menanyakan tentang alasan mengapa Ara pergi meninggalkan rumah, tetap saja Wanda merasa sangat kehilangan, apalagi Ara anak perempuan sekaligus anak satu-satunya. Pernikahannya dengan Dedy selama enam tahun ini, belum dianugerahi momongan. 

Dedy menghela napas berat. Tak dipungkiri, kepergian Ara mengusik ketentraman hatinya. Dia menyayangi Ara sama seperti dia menyayangi anak kandungnya. 

"Mama sudah coba hubungi Ara?" Dedy bertanya pada istrinya. 

Wanda mengangguk lemah. "Sudah, Yah. Memang diangkat, tapi Ara nggak mau memberi tahu keberadaannya, dan sekarang malah ponselnya nggak bisa dihubungi lagi, hiks." 

Laki-laki yang menyandang status sebagai ayah tiri Ara ini menekan pelipisnya. Tiba-tiba Dedy merasa pusing dengan masalah ini. Dalam benak dia bertanya, kenapa Ara pergi dari rumah. 

"Mama tanya alasannya apa sampai Ara nekat pergi?" 

"Katanya Ara pengin hidup mandiri, Yah, Ara juga bilang kalau nggak mau numpang hidup lagi sama Ayah," jelas Wanda masih terisak. 

Lagi, Dedy menghela napas berat. Dia pikir selama ini hubungannya baik-baik saja dengan Ara, seperti layaknya ayah dan anak pada umumnya, tapi kenapa Ara justru pergi dari rumah dengan alasan itu? Padahal tadi malam mereka masih bercanda selepas makan malam. Apakah dia melalukan kesalahan sehingga Ara merasa tersinggung, lalu memutuskan pergi? 

"Mama tenang, ya, ayah akan suruh orang-orang ayah untuk mencari Ara, dan membawanya kembali ke sini," tutur Dedy menenangkan sang istri. 

=======Aufa=======

"Ra, bangun woyyy ...." Meta menggoyang-goyangkan tubuh sahabatnya yang tengah terlelap di kasur lantai miliknya. 

Meta berpikir Ara ini aneh, tadi siang bilang kamar kost-nya ini sempit, dan sumpek, tapi sekarang Ara justru terbuai ke alam mimpi di kamar kost sempitnya ini. 

"Bener-bener ajaib nih orang," gerutu Meta. 

"Araaa banguun ...," teriak Meta karena sedari tadi sahabatnya itu tak jua membuka matanya. 

"Berisik," kata Ara dengan mata yang masih terpejam, tapi Meta yakin kesadaran sahabatnya ini telah kembali. 

"Bangun, Ra, udah malem ini, lo tidur udah berapa lama coba?" Kini Meta sedikit menurunkan intonasi suaranya. "Lo mau makan nggak? Nih gue bawain lo sate kambing." 

Membawa-bawa nama makanan kesukaan Ara, mungkin saja bisa menarik minat Ara agar bangun, pikir Meta. 

"Hah? Yang bener, lo?" Ara langsung membuka mata dan mendudukkan tubuhnya. Mendengar nama makanan kesukaannya disebut, seketika membuat perut Ara keroncongan. 

Meta mencebik, dugaannya benar.

"Nih." Kantong plastik putih berisi makanan, Meta sodorkan pada Ara. 

Dengan wajah berbinar, Ara menerima kantong plastik itu, kemudian membukanya dengan cepat.

"Lo bohongin gue, Ta, ini soto keleus, napa lo bilang sate, Maemunah!" protes Ara. Tak disangka ternyata Meta mengerjainya. 

"Hehe." Meta nyengir kuda. Misinya berhasil membuat sahabatnya kesal. "Lagian lo dari tadi gue bangunin nggak melek-melek, ya udah deh, gue terpaksa boong." 

Ara memutar bola matanya. Kelakuan sahabatnya ini memang sering bikin kesal. 

"Oke gue maafin karena lagi laper," kata Ara sembari mengeluarkan sterefoam berisi soto ayam itu dari kantong plastik. 

"Gue nggak minta maaf, bego!" ucap Meta sembari menyentil dahi Ara. 

"Iyain, soalnya gue males debat," tutur Ara, "eh, tapi kok lo tumben baik mau beliin makanan buat gue, emang lo abis gajian? Eh, lo kan pengangguran ya." 

Meta berdecak sebal mendengar ucapan Ara yang seperti mengejeknya itu. "Gue keinget lo yang pasti belum makan, lagian itu makanan dibeliin sama pacar gue." 

"Baik bener pacar lo, nggak ngerasa rugi dia?" 

"Ya pacar gue kan emang baik, lo aja yang nggak tau." 

=========Aufa=========

"Ra, gue mau curhat boleh?" tanya Meta saat dirinya berbaring di samping Ara. Meski kasur lantai di kamar kost-nya ini tidak lebar, tapi cukup muat menampung dirinya dan Ara, karena dua-duanya bertubuh mungil. 

"Ck, tinggal curhat aja pake nanya, biasanya juga lo langsung nyerocos," jawab Ara seraya memandangi langit-langit kamar kost sahabatnya ini. 

"Pacar gue mau dimutasi ke Bandung, Ra," tutur Meta dengan nada sedihnya. 

Ara mencebik. Ternyata soal pacar yang mau Meta curhatkan. 

"Terus?" Jujur Ara bingung mau menanggapi bagaimana, maka kata yang keluar dari mulutnya hanya itu. 

"Ya gue sedih, Ra, rasanya nggak bisa kalau harus LDR-an." 

Ara mendengkus kasar. Hanya masalah sepele itu saja Meta terlalu mendramatisir, bagaimana kalau sahabatnya ini mempunyai masalah seberat dirinya, bisa jadi nekat bunuh diri. 

"Baru pisah ke luar kota aja lo udah sedih gini, gimana kalau pisahnya beda dunia, misalnya pacar lo mati gitu," ujar Ara tanpa memikirkan perasaan Meta yang tengah sedikit berduka. 

"Sembarangan lo kalau ngomong!" ucap Meta kesal. 

"Eh, Ta, gimana kalau kita ikut pacar lo aja ke Bandung?" usul Ara. Tiba-tiba saja Ara mendapatkan ide seperti itu. 

"Ngapain?" Meta tak begitu menangkap maksud Ara. 

"Ya kita ikut pindah ke Bandung, cari kerja di sana. Bandung lumayan oke kok kotanya. Ya meskipun UMR kota Bandung nggak sebesar di Jakarta, tapi lumayanlah bisa buat nyambung hidup kita," jelas Ara. 

Memang Ara pernah mendengar tentang UMR kota Bandung dari cerita temannya yang memang sudah lama mengais rezeki di sana. 

"Gue butuh duit bukan cuma buat nyambung hidup gue doang, Ra, tapi udah saatnya gue kirimin hasil kerja gue ke orang tua gue di kampung," tutur Meta jujur. 

"Iya, gue tau. Kita bisa nyari kerja sesuai sama ijazah S1 kita, dodol! Gue rasa, gaji di Bandung cukup gede kalau pake ijazah kita." 

"Lo yakin?" Meta masih merasa ragu. 

"Yakin ... entar gue coba tanya-tanya sama temen gue yang kebetulan kerja di sana. Oh, ya lo juga bisa minta rekomendasi sama pacar lo, siapa tau dia bisa bantu nyariin kerjaan buat kita, gimana?" 

"Hmm ... iya juga, ya, entar deh gue tanya sama Bobi." Meta mempertimbangkan saran Ara untuk menanyakan perihal pekerjaan di Bandung pada pacarnya--Bobi. 

Seandainya besok atau lusa Ara bisa pergi ke Bandung, dia membayangkan akan memulai hidup barunya. Mencari pekerjaan demi menyambung hidup, serta membuktikan bahwa dirinya bisa berdiri tanpa ditopang oleh ayah tirinya. 

Memang semua tak akan mudah seperti khayalannya, namun Ara yakin bahwa dirinya pasti bisa mengatasi segala rintangan dan hambatan yang mungkin saja ia temui di Bandung nanti. 

Kuat ataupun tidak, tega ataupun tidak, Ara memang harus berpisah dengan mamanya. Dia bertekad suatu hari nanti akan kembali menemui perempuan yang telah melahirkannya itu, tentunya setelah sukses nanti. 

To be continue

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status