"Apa! Ara pergi dari rumah, Ma?" tanya Dedy--ayah tiri Ara pada Wanda--istrinya yang merupakan ibu kandung Ara.
Sepulang bekerja yang Dedy harapkan adalah ketenangan serta kedamaian seperti biasa. Disambut oleh senyuman hangat sang istri, dan tingkah ceria Ara, namun yang Dedy dapat justru aduan kesedihan dari istrinya karena Ara pergi.
Meskipun Ara hanya anak tiri, tetapi Dedy telah menganggapnya seperti anak kandungnya. Kehadiran Wanda serta Ara di rumah ini mampu membuat hari-harinya terasa lebih berwarna setelah kematian istri pertamanya dulu.
Dedy memang mempunyai anak dari istri pertamanya. Usianya lima tahun lebih tua dari Ara, namun karena anak kandungnya itu laki-laki, dan cenderung dingin, maka bisa dikatakan kurang dekat dengan Dedy. Justru Aralah yang lebih dekat dengannya, meskipun statusnya anak tiri.
"Iya, Yah," jawab Wanda sembari terisak.
Meskipun tadi Wanda telah menghubungi Ara, dan menanyakan tentang alasan mengapa Ara pergi meninggalkan rumah, tetap saja Wanda merasa sangat kehilangan, apalagi Ara anak perempuan sekaligus anak satu-satunya. Pernikahannya dengan Dedy selama enam tahun ini, belum dianugerahi momongan.
Dedy menghela napas berat. Tak dipungkiri, kepergian Ara mengusik ketentraman hatinya. Dia menyayangi Ara sama seperti dia menyayangi anak kandungnya.
"Mama sudah coba hubungi Ara?" Dedy bertanya pada istrinya.
Wanda mengangguk lemah. "Sudah, Yah. Memang diangkat, tapi Ara nggak mau memberi tahu keberadaannya, dan sekarang malah ponselnya nggak bisa dihubungi lagi, hiks."
Laki-laki yang menyandang status sebagai ayah tiri Ara ini menekan pelipisnya. Tiba-tiba Dedy merasa pusing dengan masalah ini. Dalam benak dia bertanya, kenapa Ara pergi dari rumah.
"Mama tanya alasannya apa sampai Ara nekat pergi?"
"Katanya Ara pengin hidup mandiri, Yah, Ara juga bilang kalau nggak mau numpang hidup lagi sama Ayah," jelas Wanda masih terisak.
Lagi, Dedy menghela napas berat. Dia pikir selama ini hubungannya baik-baik saja dengan Ara, seperti layaknya ayah dan anak pada umumnya, tapi kenapa Ara justru pergi dari rumah dengan alasan itu? Padahal tadi malam mereka masih bercanda selepas makan malam. Apakah dia melalukan kesalahan sehingga Ara merasa tersinggung, lalu memutuskan pergi?
"Mama tenang, ya, ayah akan suruh orang-orang ayah untuk mencari Ara, dan membawanya kembali ke sini," tutur Dedy menenangkan sang istri.
=======Aufa=======
"Ra, bangun woyyy ...." Meta menggoyang-goyangkan tubuh sahabatnya yang tengah terlelap di kasur lantai miliknya.Meta berpikir Ara ini aneh, tadi siang bilang kamar kost-nya ini sempit, dan sumpek, tapi sekarang Ara justru terbuai ke alam mimpi di kamar kost sempitnya ini.
"Bener-bener ajaib nih orang," gerutu Meta.
"Araaa banguun ...," teriak Meta karena sedari tadi sahabatnya itu tak jua membuka matanya.
"Berisik," kata Ara dengan mata yang masih terpejam, tapi Meta yakin kesadaran sahabatnya ini telah kembali.
"Bangun, Ra, udah malem ini, lo tidur udah berapa lama coba?" Kini Meta sedikit menurunkan intonasi suaranya. "Lo mau makan nggak? Nih gue bawain lo sate kambing."
Membawa-bawa nama makanan kesukaan Ara, mungkin saja bisa menarik minat Ara agar bangun, pikir Meta.
"Hah? Yang bener, lo?" Ara langsung membuka mata dan mendudukkan tubuhnya. Mendengar nama makanan kesukaannya disebut, seketika membuat perut Ara keroncongan.
Meta mencebik, dugaannya benar.
"Nih." Kantong plastik putih berisi makanan, Meta sodorkan pada Ara.
Dengan wajah berbinar, Ara menerima kantong plastik itu, kemudian membukanya dengan cepat.
"Lo bohongin gue, Ta, ini soto keleus, napa lo bilang sate, Maemunah!" protes Ara. Tak disangka ternyata Meta mengerjainya.
"Hehe." Meta nyengir kuda. Misinya berhasil membuat sahabatnya kesal. "Lagian lo dari tadi gue bangunin nggak melek-melek, ya udah deh, gue terpaksa boong."
Ara memutar bola matanya. Kelakuan sahabatnya ini memang sering bikin kesal.
"Oke gue maafin karena lagi laper," kata Ara sembari mengeluarkan sterefoam berisi soto ayam itu dari kantong plastik.
"Gue nggak minta maaf, bego!" ucap Meta sembari menyentil dahi Ara.
"Iyain, soalnya gue males debat," tutur Ara, "eh, tapi kok lo tumben baik mau beliin makanan buat gue, emang lo abis gajian? Eh, lo kan pengangguran ya."
Meta berdecak sebal mendengar ucapan Ara yang seperti mengejeknya itu. "Gue keinget lo yang pasti belum makan, lagian itu makanan dibeliin sama pacar gue."
"Baik bener pacar lo, nggak ngerasa rugi dia?"
"Ya pacar gue kan emang baik, lo aja yang nggak tau."
=========Aufa=========
"Ra, gue mau curhat boleh?" tanya Meta saat dirinya berbaring di samping Ara. Meski kasur lantai di kamar kost-nya ini tidak lebar, tapi cukup muat menampung dirinya dan Ara, karena dua-duanya bertubuh mungil.
"Ck, tinggal curhat aja pake nanya, biasanya juga lo langsung nyerocos," jawab Ara seraya memandangi langit-langit kamar kost sahabatnya ini.
"Pacar gue mau dimutasi ke Bandung, Ra," tutur Meta dengan nada sedihnya.
Ara mencebik. Ternyata soal pacar yang mau Meta curhatkan.
"Terus?" Jujur Ara bingung mau menanggapi bagaimana, maka kata yang keluar dari mulutnya hanya itu.
"Ya gue sedih, Ra, rasanya nggak bisa kalau harus LDR-an."
Ara mendengkus kasar. Hanya masalah sepele itu saja Meta terlalu mendramatisir, bagaimana kalau sahabatnya ini mempunyai masalah seberat dirinya, bisa jadi nekat bunuh diri.
"Baru pisah ke luar kota aja lo udah sedih gini, gimana kalau pisahnya beda dunia, misalnya pacar lo mati gitu," ujar Ara tanpa memikirkan perasaan Meta yang tengah sedikit berduka.
"Sembarangan lo kalau ngomong!" ucap Meta kesal.
"Eh, Ta, gimana kalau kita ikut pacar lo aja ke Bandung?" usul Ara. Tiba-tiba saja Ara mendapatkan ide seperti itu.
"Ngapain?" Meta tak begitu menangkap maksud Ara.
"Ya kita ikut pindah ke Bandung, cari kerja di sana. Bandung lumayan oke kok kotanya. Ya meskipun UMR kota Bandung nggak sebesar di Jakarta, tapi lumayanlah bisa buat nyambung hidup kita," jelas Ara.
Memang Ara pernah mendengar tentang UMR kota Bandung dari cerita temannya yang memang sudah lama mengais rezeki di sana.
"Gue butuh duit bukan cuma buat nyambung hidup gue doang, Ra, tapi udah saatnya gue kirimin hasil kerja gue ke orang tua gue di kampung," tutur Meta jujur.
"Iya, gue tau. Kita bisa nyari kerja sesuai sama ijazah S1 kita, dodol! Gue rasa, gaji di Bandung cukup gede kalau pake ijazah kita."
"Lo yakin?" Meta masih merasa ragu.
"Yakin ... entar gue coba tanya-tanya sama temen gue yang kebetulan kerja di sana. Oh, ya lo juga bisa minta rekomendasi sama pacar lo, siapa tau dia bisa bantu nyariin kerjaan buat kita, gimana?"
"Hmm ... iya juga, ya, entar deh gue tanya sama Bobi." Meta mempertimbangkan saran Ara untuk menanyakan perihal pekerjaan di Bandung pada pacarnya--Bobi.
Seandainya besok atau lusa Ara bisa pergi ke Bandung, dia membayangkan akan memulai hidup barunya. Mencari pekerjaan demi menyambung hidup, serta membuktikan bahwa dirinya bisa berdiri tanpa ditopang oleh ayah tirinya.
Memang semua tak akan mudah seperti khayalannya, namun Ara yakin bahwa dirinya pasti bisa mengatasi segala rintangan dan hambatan yang mungkin saja ia temui di Bandung nanti.
Kuat ataupun tidak, tega ataupun tidak, Ara memang harus berpisah dengan mamanya. Dia bertekad suatu hari nanti akan kembali menemui perempuan yang telah melahirkannya itu, tentunya setelah sukses nanti.
To be continue
"Ra, serius nih, kita mau pindah ke Bandung?" tanya Meta pada Ara yang tengah sibuk menyiapkan barang-barang yang akan dibawanya ke Bandung. Beruntung tak banyak barang yang kemarin ia unbox di kost-an Meta."Lo masih ngeraguin keputusan gue? Atau lo takut nanti kita nggak bisa hidup di Bandung?""Gue ragu, Ra, lo kan tau sendiri kalau gue nggak pernah ke Bandung." Meta mengeluarkan apa yang sedari tadi bersarang di benaknya. "Apalagi ini terlalu mendadak, Ra."Memang sangat mendadak. Baru tadi malam Meta menceritakan bahwa Bobi--pacarnya dimutasi ke Bandung, saat itu juga Ara langsung mengeluarkan pendapatnya untuk ikutan pindah ke Bandung. Tanpa pemikiran yang matang, dan terkesan tergesa-gesa, hari ini Ara langsung menyatakan pindah."Lo tenang aja deh, gue jamin kita nggak akan mati di sana." Benar kan pemikiran Ara?"Gue punya temen yang udah lama kerja di sana, Ta, entar kita bisa minta tolong sama dia, tad
"Aduh, Ra, gimana ini? Dari tadi tuh kita udah muter-muter nyari tempat tinggal temen lo, tapi nggak ketemu juga. Capek nih gue, kaki gue rasanya mau copot," gerutu Meta.Ara memutarkan bola matanya. Sahabatnya yang satu itu memang lebay alias over dengan sesuatu yang terjadi dengan mereka. Padahal menurut Ara mereka baru saja tiba di komplek kontrakan yang ditempati temannya, dan baru saja jalan sebentar."Berlebihan lo, Ta, baru aja kita jalan sebentar. Dari tadi tuh kita muter-muternya naik ojol sampai keluar duit banyak gue," timpal Ara."Halah, duit dari penjualan ponsel lo yang mahal itu masih banyak kali, Ra, nggak bakal habis cuma buat bayarin ojol doang," kata Meta dengan tanpa rasa bersalahnya.Ingin rasanya Ara menampol mulut sahabatnya itu, namun ia tahan, karena tentu saja malu melakukannya di jalan seperti ini. Dalam hati Ara bertekad akan memberi pelajaran pada sahabatnya itu setelah mereka mendapatkan tempat tinggal
"Kak Arum, rencananya hari ini aku sama Meta mau nyari kontrakan, Kak, apa kak Arum bisa bantu?" tanya Ara pada Arum yang sepagi ini sudah menyiapkan sarapan, sedangkan Meta masih asyik bergelung dengan selimut."Lho, ngapain nyari kontrakan, Ra? Kamu sama Meta bisa tinggal di sini bareng sama aku," jawab Arum. Ia heran kenapa Ara memintanya membantu untuk mencari kontrakan. Ia pikir Ara akan tetap tinggal bersamanya, begitu pula dengan Meta. Tidak masalah jika kost-nya yang sempit ini akan menjadi sangat sempit karena ditempati bertiga."Makasih, Kak, buat tawarannya, tapi aku sama Meta udah bertekad buat belajar hidup mandiri, Kak, jadi nggak mau ngerepotin siapa pun termasuk kak Arum," ucap Ara. Semalam ia sudah mendiskusikan ini dengan Meta.Arum mengangguk paham. "Oke, aku ngerti, Ra. Nanti aku bantuin kamu buat cari kontrakan. Mau tipe yang seperti apa?"Ara berpikir sambil menerawang. Kontrakan yang ia cari haruslah s
"Nah, Ara, Meta, ini komplek kost teman aku," ucap Arum ketika mereka telah sampai di depan gerbang komplek kost teman Arum.Ara manggut-manggut, sementara Meta mengedarkan pandangan matanya pada sekeliling komplek kost yang baru saja mereka datangi.Tidak buruk. Seenggaknya terlihat rapi dan sedikit asri. Beda dengan komplek kost Arum."Di sini satu tempat kost-nya lumayan luas, jadi mungkin cukup buat dua orang. Nanti aku tanya sama temen kost-ku, masih ada kamar kosong apa enggak," lanjut Arum."Iya, Kak, kita ngikut aja deh," kata Meta.Selanjutnya Arum mengajak Ara dan Meta untuk memasuki komplek kost itu. Menyusuri lorong kamar kost, menuju tempat teman Arum."Ini kamar kost teman aku, sebentar ya, aku panggil dulu orangnya," ujar Arum saat mereka berada di depan salah satu kamar kost.Ara dan Meta sama-sama diam. Berdiri sambil memperhatikan sekeliling komplek kost ini. Ji
"Halo, Nak. Ara pergi dari rumah," ucap Dedy melalui telepon. Sekarang ia sedang menghubungi anak laki-lakinya yang tengah berada di luar kota."Apa?! Pergi dari rumah? Kenapa bisa, Yah?" tanya anak laki-laki Dedy."Ayah tidak tahu alasan secara jelasnya, Nak. Sekarang kamu ada di kota mana?""Aku di Bandung, Yah.""Boleh ayah minta tolong, Nak?""Kalau aku bisa kenapa tidak, Yah?""Nak, menurut informasi orang-orang ayah yang ayah suruh untuk mencari Ara, kemungkinan besar Ara ada di luar kota Jakarta, tapi kami tidak tahu persisnya di mana. Apa kamu bisa tolongin ayah buat mencari Ara di Bandung? Ya, meskipun belum tentu juga Ara ada di Bandung.""Baik, Yah, aku akan coba cari Ara di Bandung.""Terima kasih, ya, Nak.""Ini kan sudah kewajiban aku, Yah, Ara sudah aku anggap sebagai adik kandungku."Dedy bernapas lega. Setidaknya anak kandungnya bersedia
"Gini, di kantor gue lagi butuh orang buat ditempatin di divisi marketing, sama sekretaris CEO. Coba aja kalian bawa surat lamaran ke sana, nanti gue kasih tahu alamat kantornya sama kalian," ujar Bobi pada Meta, dan Ara. Saat ini mereka bertiga tengah bertemu di taman yang letaknya tak jauh dari kontrakan. Ara, dan Meta menunda mencari pekerjaan karena Bobi mengajak bertemu."Oh, gitu ya, Say, boleh tuh, kan jadinya kita bisa kerja bareng sekantor," kata Meta sambil bergelayut manja di lengan Bobi. Bobi pun tersenyum pada Meta, dan tampak menikmati perlakuan Meta. Sementara Ara hanya mencebik melihat tingkah lebay temannya yang sedang kasmaran itu."Eh, Bob, emang nggak bisa, ya, kalau surat lamarannya dititipin ke lo?" tanya Ara.Ara berpikir jika surat lamaran kerja dititipkan pada Bobi, yang notabene-nya karyawan kantor itu, tentu lebih efisien. Dan yang penting juga bisa irit ongkos."Nggak bisa kayaknya, Ra, haru
Sang surya tampak bersinar cerah pagi ini. Secerah hati dua insan yang tengah bersiap-siap untuk pergi, menyambut masa depan. Ara, dan Meta sudah rapi. Seperti rencananya kemarin, hari ini mereka berdua akan berkunjung ke kantor tempat Bobi bekerja, guna mengantar surat lamaran kerja. Syukur-syukur jika nanti bisa langsung interview, lalu diterima kerja. Seindah itulah membayangkan. Namun, kenyataannya, realita tak seindah seperti khayalan kita. Tapi, apa salahnya berharap, dan mencoba bukan? "Dah, siap! Yuk, berangkat," ajak Ara, selepas ia memakai sepatu. "Ya, udah ayo jalan," kata Meta sambil sibuk dengan cermin kecil di tangannya, yang ia hadapkan pada wajahnya. "Awas, nanti lo tersandung kalau jalannya liatin cermin terus. Muka lo nggak bakalan berkurang kali," cibir Ara. Meta tak menjawab cibiran Ara. Ia hanya mendengkus sebal. Hari ini mood-nya cukup baik, jadi enggan merusaknya
"Ta, Lo lagi di mana?" tanya Ara lewat sambungan telepon. Tangan kanan Ara gunakan untuk memegang ponsel yang sedang didekatkannya ke telinga, sedangkan tangan kirinya memegang gagang koper yang ia bawa dari rumah."Ya gue lagi di kost lah, Ra, emangnya kenapa?" jawab teman Ara di seberang sana."Gue lagi di jalan mau ke kost-an lo, takutnya lo nggak ada," terang Ara."Ya elah, mau ke sini aja pake tanya dulu, biasanya juga langsung ke sini.""Ini penting, Ta, menyangkut kehidupan gue selanjutnya," ujar Ara sedikit mendramatisir. Kalau boleh Ara tebak, sahabatnya yang sedang dihubungi itu, pasti memutarkan bola mata, sebal dengan ucapan Ara."Lebay lo, ah. Udah mau jadi ke sini apa enggak? Gue tunggu nih, satu jam lagi gue mau nge-date sama cowok gue.""Iya, iya, gue ke kost lo sekarang. Jangan pergi dulu sebelum gue dateng."Ara memutuskan panggilan. Mematikan ponsel mahalnya, lalu memasukkan