Share

AMORAGA - 8

Your attitude is strange. Making me confused should be happy or just ordinary.

.

.

Happy Reading

Amora haus sekali setelah perdebatan panjang yang membuatnya harus menerima kenyataan bahwa ia sudah terikat oleh Baskara. Masa bodo. Amora tidak peduli dengan itu. Ia hendak ke dapur untuk mengambil air es. Ia melihat Raga yang tengah meminum sesuatu. Mata Amora melebar kala melihatnya. Tentu saja, Amora langsung menarik tangan Raga hingga beberapa butir obat terjatuh ke lantai. "Raga?! Lo narkoba?!"

Raga terkejut bukan main. Keterkejutannya bukan karena Amora yang menuduhnya meminum obat terlarang itu. Tapi ia terkejut karena Amora memergokinya ... dengan obat.

"Ngaco lo! Gue gak narkoba!"

"Bohong! Sini gue lihat obatnya!"

Raga menyodorkan botol obat berwarna putih itu kepada Amora. Ekspresi Amora berubah. Cewek itu tersenyum. "Iya bagus, deh. Minum vitamin yang banyak. Biar berhenti jadi orang nyebelin."

"Gak ngaruh kali. Walaupun gue minum vitamin banyak, gue akan tetep jadi nyebelin. Lo, kan, suka gue yang nyebelin."

"Idih. Otak lo udah kegeser, ya? Lo kepentok apaan? Dari tadi pagi, sikap lo aneh. Gak menggambarkan seorang Raga yang gue kenal, meskipun penginnya gak kenal."

"Emangnya, Raga yang lo kenal gimana?"

"Nyebelin, tukang ngadu, gak punya otak."

"Gini, ya, Amora yang cantik tapi boong. Harusnya lo bersyukur karena sekarang gue jadi friendly. Ini sebuah keajaiban dihidup lo."

"Keajaiban, mbahmu! Lo itu azab dihidup gue, Ga. Udah, ah. Gue haus. Minggir! Mau buka kulkas, nih, gue."

Amora mendorong Raga, mebuat cowok itu bergeser dari tempatnya. Ia melihat Amora yang tengah meneguk air dingin dari botol dengan sangat cepat. Haus sekali rupanya. Untung saja, Amora tidak mempermasalahkan obatnya.

*** 

Raga mengantar Amora pulang. Selama perjalanan, Amora tidak bicara apapun. Kali ini bukan mengantuk, melainkan sedang memikirkan hal lain. Banyak pertanyaan di otaknya tentang Raga. Bayangkan saja! Kalian tahu sikap Raga? Bule titisan setan yang suka bikin Amora marah? Hari ini Amora tidak melihat sikap menyebalkan cowok itu.

"Udah sampe, Ra," kata Raga membuyarkan lamunannya. Cewek itu menoleh ke kanan, melihat gerbang rumahnya yang menjulang tinggi. Sudah sampai rupanya.

"Kenapa bengong?"

"Eh?" Amora menatap Raga yang tengah mengambil helmnya.

Raga menyisir rambut cokelatnya dengan jari, kemudian menatap Amora yang juga tengah menatapnya. "Pokoknya, apapun yang udah berkaitan sama Baskara, akan selalu gue jaga. Termasuk lo. Jadi, gak usah takut sama Jeha. Dia emang bangsat, tapi dia gak akan berani selama lo ada di dekat gue."

Amora memalingkan wajahnya. "Gue gak takut! Lagian gue gak ada urusan sama Baskara."

Raga melepas gelang bertali merah dari pergelangan tangannya. Ia menarik tangan Amora, membuat cewek itu terlonjak kaget. Cowok itu tidak memerdulikan Amora yang berusaha melepas tangannya. Raga memakaikan gelang itu ke pergelangan tangan Amora. "Kalo suatu hari gue gak ada saat lo butuh bantuan, lo bisa minta tolong anak Baskara yang lain. Beberapa anak Baskara juga sekolah di Aeris. Mereka pakai gelang warna biru. Lo bisa langsung ngenalin mereka saat lihat gelang itu. Kalo lo tunjukkin gelang ini, mereka akan langsung bantu lo."

Amora mendengkus. "Gue bilang, gue gak butuh." Amora mencoba melepaskan gelang itu.

"Keberadaan seseorang gak bisa kita prediksi. Lo mungkin bisa melihat dia hari ini, tapi mungkin enggak besok, lusa, bahkan seterusnya."

Amora mengurungkan niatnya untuk melepas gelang itu. Ia berdecak sebal, memandang cowok bule dihadapannya ini dengan wajah kebingungan. "Intinya?"

Raga menyalakan motornya, lalu memakai helm, bersiap pergi. "Intinya, jangan lepas gelangnya," kata Raga dengan nada dingin, kemudian melenggang pergi begitu saja.

"Gak jelas banget lo, bule setan!"

        

06.35

Sial! Telat bangun!

Amora melompat dari atas kasur menuju kamar mandi. Setelah selesai, cewek itu turun ke bawah sambil berteriak. "Ah, Bi Daru. Mora, kok, gak dibangunin? Telat, nih," rengek Amora. Bi Daru baru saja selesai membuat sarapan langsung menutup kedua telinganya karena teriakan Amora yang luar biasa membuat pengang.

"Bibi udah bangunin. Tapi Non Mora enggak gerak sama sekali. Tadinya mau Bibi siram air beras."

"Yaudah, deh. Pak Sam, mana? Mora mesti berangkat sekarang."

"Bapak di luar, udah nunggu Non Mora. Ini makan dulu rotinya!"

Amora mengambil roti yang diberikan Bi Daru, lalu berlari ke arah pintu. "Pak Sam! Let's go! Hari ini harus 5 menit sampai sekolah. Mora upacara, nih, Pak."

"Siap, Non!"

Untung saja Amora datang 3 menit sebelum gerbang ditutup. Seperti biasa, di depan gerbang terlihat Pak Indra sedang berdiri menatap Amora jengah. "Jam berapa ini, Amora?"

"Saya gak telat, loh, Pak. Tiga menit sebelum bel. Hebat, kan?"

Pak Indra menggelangkan kepelanya. "Sudah masuk sana!"

"Siap, laksanakan, Pak."

Amora berlari menuju lapangan yang sudah ramai oleh seluruh murid Aeris. Amora melempar tasnya di dekat pot bunga, lalu berlari dan bergabung dengan barisan. Ia menghela napas lega. "Alhamdulillah, Hari ini bebas hukuman."

Upacara dimulai. Terik matahari pagi membuat keringat Amora bercucuran. Matanya menyipit karena silau. Upacara adalah hal yang dibenci Amora. Percuma saja ia mandi tujuh kembang jika pada akhirnya akan berubah menjadi bau matahari. Kenapa pula upacara harus di lapangan? Kenapa tidak di lapangan indoor? Padahal Aeris punya banyak lapangan indoor. Seseorang menepuk bahunya dari belakang, membuat cewek itu menoleh.

"Amora Natasha?"

"Iya, Bu. Nama saya Amora Natasha, kelas 12 IPA yang paling cantik seantero negeri Molala."

Amora menampilkan cengirannya. Namun, wajah Bu Asih nampak tidak bersahabat. "Kamu tahu salah apa, Amora?"

Amora mengerutkan dahinya. Beberapa anak sempat menoleh ke belakang karena suara Bu Asih yang agak keras. "Saya emang salah apa, Bu? Saya gak telat, kok."

Bu Asih menunjuk kerah Amora dengan penggarisnya. Amora langsung menunduk, melihat ada apa dikerahnya. Mampus, dasi gue mana?! Amora meraba lehernya, kemudian ia menepuk dahinya pelan.

"Ketinggalan di kamar mandi, Bu. Amora lupa. Tapi gak sengaja. Suer."

"Sekarang kamu maju ke depan!"

Amora menghela napasnya. Padahal baru saja Amora ingin berteriak kegirangan karena hari senin ia tidak mendapat hukuman lagi karena telat. Tapi, gapapa, lah. Asal gue gak dihukum bareng si bule setan. Gue jabanin.

"Siapa lagi yang tidak memakai atribut lengkap?" tanya Bu Asih dari belakang. Amora sudah berdiri di samping barisan guru-guru. Ia memasang wajah biasa tanpa peduli beberapa anak yang memerhatikannya. Dan sebagian besar sudah pasti murid-murid cowok yang kadang curi-curi pandang ke arah Amora. Bagi mereka, berdirinya Amora di depan adalah hiasan indah daripada melihat kepala sekolah mereka berceramah panjang kali lebar kali tinggi bagi dua.

"Meskipun lagi dihukum, kepanasan kaya gitu, Amora tetep cantik. Rambutnya badai. Berasa nonton iklan shampoo," kata Bayu pada Raga yang juga sedang menatap Amora. Embusan angin menerbangkan rambut Amora yang memang dibiarkan terurai. Mirip iklan shampoo seperti yang Bayu bilang tadi. Terik matahari membuat pipi putih Amora menjadi merah. Mirip seperti memakai blush on. Ah, cantik sekali. Raga melepas topinya, kemudian menaruhnya di saku celana. Cowok itu berjalan mendekari Bu Asih yang tengah memeriksa atribut yang lain, Raga datang menghampiri wanita berkacamata itu. "Saya gak pakai topi, Bu."

Bu Asih menatap Raga dari atas sampai bawah. "Tadi saya lihat kamu pakai topi." Bu Asih membenarkan letak kacamatanya.

"Ibu salah lihat. Itu Bayu. Saya gak bawa topi."

Bayu yang mendengar itu hanya membuka mulut tak percaya. Padahal jelas-jelas Raga menyimpan topinya di saku celana. Apa lagi yang akan dilakukan oleh teman bulenya ini?

"Yasudah. Kamu ikut berdiri di depan bersama Amora."

Tanpa sepatah katapun, Raga langsung melenggang pergi dan berjalan menuju barisan samping para guru. Bayu mengedipkan matanya beberapa kali. Hingga akhirnya ia paham. "Anjay. Gercep bat lo, bule," gumam Bayu.

"Kenapa Bayu?" pertanyaan Bu Asih sontak membuat Bayu terdiam. Kenapa Bu Asih belum pergi, sih? Demen banget dideket gue.

"Enggak, Bu. Saya lagi baca doa."

"Doa apa?" Bu Asih mengerutkan dahinya.

"Doa supaya upacaranya cepet selesai, Bu." Bayu hanya menyengir yang dibalas gelengan kepala Bu Asih sebelum akhirnya melangkah pergi.

Amora mengelap keringat dengan punggung tangannya. Ia mengibaskan tangannya seolah angin yang dihasilkan dari kibasan itu bisa membuatnya serasa berada di tepi pantai.

"Gerah, banget, deh. Kenapa bumi ini gak ada AC-nya?"

"Emang mampu lo, beli AC buat bumi?"

Suara berat itu membuat Amora mendongak, lalu menoleh ke arah samping. Amora mengerutkan dahinya. Wajah gerahnya berubah menjadi wajah tak suka. Sehari gak dihukum bareng bule setan ini bisa, gak, sih?

"Bisa. Gue, kan, kaya." Amora memalingkan wajahnya dari Raga. Cowok itu mendengkus. "Lo gak sekaya itu buat beli AC segede bumi. Yang ada lo bisa jadi gembel sebelum beli."

Amora melirik sinis, lalu kembali mengibas-ngibaskan tangannya. Setelah upacara selesai, Bu Asih menghampiri kedua muridnya yang tadi melanggar peraturan sekolah. "Kalian berdua, ayo ikut Ibu!"

Amora berjalan lebih dulu. Ia malas berurusan dengan Raga. Cowok itu juga terlihat santai berjalan di belakangnya. "Kalian bersihkan halaman belakang! Sapu sampai bersih! Jangan sampai ada daun yang tergeletak di lapangan!"

Amora melebarkan mulutnya. "Bu, masa hukuman yang saya dapet selalu bersihin halaman belakang yang luasnya kaya danau toba? Masa gak ada yang lain, Bu? Hukumannya gak ada peningkatan?"

Bu Asih membenarkan kacamatanya. Ia mengambil dua buah sapu lidi dan memberikannya pada Amora dan Raga. "Karena halaman belakang itu luas, makanya Ibu suruh bersihin. Dan kamu, Amora ... halaman belakang sekolah gak seluas danau toba. Hukuman kamu ditambah. Cari tahu berapa luas, keliling, sudut, panjang dan lebar halaman beserta lapangan yang ada di sini. Ayo kerjakan!"

Amora membelakak matanya. Sedangkan Raga tak kuasa menahan tawa. Cowok itu tertawa keras bahkan sampai memegangi perutnya yang sakit. Amora menahan amarahnya. Ia mengusap dadanya pelan, lalu mulai menyapu halaman tanpa memerdulikan cowok menyebalkan itu.

Selama lima belas menit mereka berdua sudah menyapu hampir setengah halaman. Namun, Raga langsung memegangi dadanya yang sesak. Ia menunduk sambil meringis. Napasnya terasa tercekat.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status