Share

04 - Sang Puan Tertidur

"Tidak ada yang lebih bahagia dalam hidup, kecuali keluarga utuh nan kasih sayang yang terpenuhi."

~Ratu Nandilandari

***

Ratu mengitari sekeliling halamannya, banyak rerumputan liar yang mulai meninggi menutupi sebagian indahnya rumah sang pemilik. 

Rumahnya sangat luas bagai istana kerajaan, tapi kelihatan terkesan seram karena tidak terawat dengan baik. Pagarnya penuh dengan tanaman rambat, jendelanya penuh dengan debu, dan lantainya pun terlihat sangat kotor. 

Pagi ini dia tak perlu buru-buru mempersiapkan diri pergi, lagipula hari ini libur sekolah. Kebetulan Ratu ada acara bertemu dengan teman dekatnya waktu SMP. 

Rencananya siang ini Ratu pergi, jadi ada waktu untuk bersantai. 

"Bisa-bisanya kalian tumbuh sembarang di rumah orang." Ratu mengomel pada salah satu tanaman baru yang tumbuh di pagarnya. Hatinya tergerak mencabut tanaman itu. 

Tiba-tiba handphonenya berdering. Dia pun menghentikan aktivitasnya, menerima sambungan telepon yang masuk. 

Nama Rumah Sakit Jiwa Pertiwi tertera di layar handphonenya. Meski hatinya berkata jangan menerimanya, tapi pikirannya masih jernih barangkali ada sesuatu yang dibutuhkan. 

"Iya. Ada apa?" tanya Ratu malas. 

"Oh, maaf saya sibuk!" Ratu menutup sambungan telepon itu tanpa pamit lebih dulu. 

Kedua matanya memerah, rasa takut yang selalu menghantuinya kala ia tertidur kembali terngiang membuatnya teringat lagi pada sosok wanita yang sangat dia rindukan, tapi dia takutkan dengan adanya pertemuan. 

Ratu menelpon salah satu kontak temannya yang merupakan sahabat SMP-nya. Dia ingin melupakan segalanya mengenai masa lalunya yang kelam. 

"Sekarang aja gimana? Bisa?" tanya Ratu pada seseorang di sebrang sana. 

"Oke. Gue tunggu." Setelah mendapati persetujuan dari temannya, dia menutup sambungan telepon itu. 

***

"Pertama, gue mau cari tahu dulu rumah dede emesh itu di mana. Kedua, gue mau cari tahu sifatnya dia. Dan ketiga, dia jadi pacar gue." Hito dan Reza saling pandang, kemudian mengangguk. 

"Terus, kapan lo mulai beraksi?" tanya Hito. 

"Santuy. Masih ada waktu."

Lagu Los Dol menggema di ruangan persegi empat, sumbernya dari handphone Raja. 

"Yaelah. Fuckboy kok lagunya musik dangdut sih," ledek Reza membuat Raja menciut malu. Hito ikut tertawa sembari sesekali membenarkan letak kacamatanya. 

"Terserah gue dong." 

Nomor baru terpampang di atas layarnya. Raja langsung menerimanya tanpa berpikir lebih dulu. 

"Ya dengan saya sendiri Raja Aleandra."

"Aku Repi, Kak. Pasti masih inget dong. Aku kan yang paling menonjol di antara mahasiswi lain."

Hito dan Reza pun serempak ketawa. 

"Repi mana sih?" tanya Raja berbisik. 

"Si Repi yang lo panggil sayang itu loh, ja. Mahasiswi baru yang suka mainin rambut ikalnya." Reza mengingatkan pertama pertemuan dengan gadis itu. 

Raja masih bingung tak mengingat gadis itu. Karena sudah terlalu banyak wanita yang ia berikan nomer whatsappnya tiap harinya. 

"Itu loh yang ada tompel di jidatnya, Ja!" timpal Hito polos dengan suara yang begitu nyaring melengking. 

Reza menutup mulut Hito dengan telapak tangannya. Dia cemas jika Repi mendengar ucapan Hito yang akan menyakiti hatinya. 

Tut ... tut ... tut .... 

Sambungan teleponnya terputus secara sepihak. Repi memutuskannya tanpa mengatakan apa pun lagi. Mungkin, dia mendengar apa yang diucapkan Hito. 

"Lo tuh ya. Kalau punya mulut tuh dijaga, bisa enggak sih?" Reza cukup kesal dengan sahabatnya satu itu. Seringkali membuat masalah, tapi jika soal masalah mata pelajaran dia yang selalu jadi incaran anak sekelas. 

"Ya maaf. Gue keceplosan. Niatnya kan ngingetin si Raja doang."

"Tapi bener loh. Sekarang gue inget si Repi itu," seru Raja. 

Reza menggelengkan kepalanya pelan, kedua sahabatnya itu memang tidak berbeda jauh. Yang satu cupu, yang satunya lagi fuckboy. Tetapi, Reza merasa jadi orang yang paling bodoh dibanding mereka saat menyadari dirinya diselingkuhi oleh kekasihnya. 

"Kak Raja!" rengek Putri melongok ke dalam kamar abangnya yang dibiarkan terbuka. 

"Apaan sih, dek? Minta skincare lagi? Kan udah gue beliin kemarin."

"Bukan." Putri menggelengkan kepalanya. "Anterin gue yuk!"

"Ke mana lo? Mau ketemu cowok ya?" tanya Raja memastikan. 

"Bukan. Ketemu temen, kok. Cewek pula. Yaudah ayo anterin."

"Males ah. Sana aja sendiri. Gue mau maen bareng mereka." Raja menunjuk kedua sahabatnya yang tersenyum semanis mungkin pada Putri. 

"Lah lo mah gitu. Kakak Rese!" Putri menghentakkan kedua kakinya kesal, tapi akhirnya dia pergi sendirian. 

Raja menimpuk kedua sahabatnya dengan bantal. "Ngapain kalian senyum-senyum? Terus ngeliatin adek gue sampe segitunya?"

Pertanyaan sinis dari Raja menyadarkan dua kaum adam dari lamunannya. 

"Adek lo makin kesini makin cantik aja ya?" ucap Reza. 

"Gue baru nyadar ternyata adek lo udah gede," ucap Hito. 

"Awas aja kalau kalian berani deketin adek gue! Dia masih kecil. Dan, gue enggak setuju kalau pacar dia itu antara kalian berdua. Ngerti?"

Reza dan Hito pun mengangguk serempak. 

"Kalau mau punya pacar, cari cewek lain sana! Asalkan jangan adek gue."

"Yaudah gue pamit," ucap Hito. 

"Ke mana lo?" tanya Raja. 

"Cari cewek."

"Haha gercep amat sih lo!"

"Gue juga pamit," ucap Reza. 

"Mau cari cewek juga, Za?" tebak Raja. 

"Bukan."

"Terus? Lo mau ke mana?" tanya Raja lagi. 

"Mau kasih makan anak kucing," jawab Reza polos. 

Raja terbahak-bahak menertawakan kedua sahabatnya yang memiliki karakter pelawak. Bisa aja bikin perutnya dia sakit. 

"Gue beneran loh mau kasih makan kucing. Ada dua kucing di rumah punya keponakan gue."

"Yaudah sana cepetan lo kasih makan, keburu mati ntar berabe lagi. Hahaha."

Reza dan Hito pun pergi bersamaan. Tinggal Raja sendirian di rumahnya, kedua orangtua jarang di rumah karena sibuk mengurusi segala macam bisnis juga perusahaan. Kesibukan orangtuanya membuat Raja dan Putri menjadi anak yang tercukupi segala kebutuhannya. 

"Coba nyinyir lagi di postingan dede emesh ah. Siapa tahu kali ini dia respon."

Raja menscroll akun milik seleb beauty blogger itu, dia kembali memberanikan dirinya untuk mencoba mengirimkan pesan kepadanya. 

Rjaleandraa_ : "Make up kamu beneran terlalu mencolok, Sayang. Awalnya liat dari foto eh ternyata pas liat langsung emang beneran ... kamu cantik."

Raja kembali menutup akunnya, mengembalikan pada layar utama. Dia tak menunggu pesan itu dibalasnya, lebih memutuskan untuk tertidur semoga memimpikan sang gadis. 

***

Beberapa buku setebal kamus terpajang sepanjang jalan. Tersusun rapi di atas rak bertingkat. Banyak macam pilihan bagi pecinta buku khususnya. 

Terlebih di sana difasilitasi dengan tempat duduk yang nyaman, juga suara alunan melodi yang merdu membuat para pembaca betah berada di sana. 

Entah sudah berapa jam Asya berada di toko buku itu. Terduduk di pojok dekat rak buku novel genre teenlit. Sesekali dia tersenyum ketika mendapati scene yang menarik dan membuatnya baper. 

Ceritanya tentang percintaan anak SMA. Sosok gadis periang yang menyukai salah satu mahasiswa cupu yang menurutnya menarik. 

"Permisi." 

Asya mengalihkan pandangannya pada empat mata yang kini berada di hadapannya. Matanya memang empat, dia lelaki berkacamata. Hidungnya mancung membuat kacamatanya tidak naik turun, rambutnya yang berponi membuat tangan sang gadis terasa gatal ingin mengacak-acaknya karena gemas. 

"Boleh saya ikut duduk di sini?" tanyanya. 

"B-boleh. Sangat boleh." Asya menggeser posisi duduknya, tapi lelaki itu memilih duduk di depan Asya, bukan di sampingnya. 

Asya menunduk malu karena penawarannya ditolak secara halus. Tapi, tak mengapa. Gadis itu terus menenangkan dirinya. 

"Suka novel genre fantasi juga?" tanya Asya saat melihat buku yang dibawa lelaki itu. 

Lelaki itu mengangguk. 

"Aku juga suka. Sangat suka sekali."

"Tapi, kenapa sekarang baca buku genre teenlit?" tanyanya saat melihat setumpukan buku yang berada di samping sang gadis. 

Asya menggeser buku-buku yang diambilnya lebih mendekatkan padanya. "Lagi mau baca aja. Baru baca sih."

"Tapi, aku suka baca genre teenlit, lho."

"Sama. Aku juga suka."

Lelaki itu mengerutkan dahinya, merasa lucu dengan gadis di depannya yang terus mengikuti kesukaannya. 

"Nama kamu siapa?" tanya Asya spontan. Gadis itu mengulurkan tangannya, tapi sang lelaki tak membalas uluran tangannya. 

"Hito Mahesa," jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang kini tengah dia baca saksama. 

"Asya Shaquille." Gadis itu tetap memperkenalkan dirinya meski Hito tak menanyakannya balik. 

***

Hiasan tanaman gantung yang sengaja dijadikan pajangan menjadikan cafe tersebut unggul jika dilihat dari segi keindahan. 

Tak heran jika banyak pengunjung yang berdatangan. Selain tempatnya yang kekinian, menu pesanan di sana pun tak kalah enaknya dibanding cafe lainnya. 

Gadis berambut panjang yang kini dibiarkannya tergerai, hanya sebagian rambut poninya dijepit agar tidak menghalangi penglihatannya. 

Sembari menunggu kedatangan sahabatnya, dia menyeruput coffe late yang masih mengepul. 

"Udah lama lo nunggu, Ra?" 

Ratu menengadah, bibirnya refleks tersenyum saat mendapati kehadiran sosok yang ditunggunya. 

"Enggak juga sih." Ratu menyambut kehadiran sahabatnya dengan pelukan juga saling menempelkan pipi kanan dan kirinya secara bergantian. 

"Maafin ya. Tadi, gue nunggu grab dulu."

"Lah kok lo naik grab sih? Seingat gue lo enggak pernah bisa lepas dari suruhan bokap nyokap lo." Ratu kembali duduk begitu pun juga sahabatnya. 

"Pak Aryo lagi pulkam. Punya bodyguard malah males nganterin katanya. Kalau Papa sih enggak usah ditanya, dia kan jarang di rumah."

Ratu tersenyum miris mendengar cerita sahabatnya. Menurutnya, gadis di depannya itu sangatlah beruntung karena dia masih memiliki keluarga yang lengkap, sedangkan dirinya hanya memiliki raga, tidak memiliki siapa pun. 

"Niatnya gue tadi mau kenalin abang gue," ucapnya. 

"Abang lo?" tanya Ratu. "Abang lo yang mana? Abang lo kan ada tiga."

"Hah? Tiga? Maksud lo dua cunguk yang jadi buntut abang gue gitu?" Gadis berambut sebahu itu tertawa mengingat sang kakak yang seringkali diikuti oleh dua sahabatnya ke mana pun dia pergi. 

"Abang gue cuman satu. Yang dua lagi sahabat abang gue. Eh tapi, lo pernah lihat mereka bertiga?" tanyanya. 

"Itu loh, Put. Waktu sekolah lo kan pernah dijemput sama tiga cowok. Kata lo katanya abang lo semua."

Putri nampak berpikir. "Oh iya gue inget. Mereka emang udah gue anggap abang sendiri. Btw, lo udah tahu wajah mereka dong ya?"

"Enggak. Waktu jemput lo kan mereka bawa motor masing-masing. Terus pake helm semua, fullface pula. Mana bisa gue liat wajah mereka." Ratu terus terang mengingat kejadian beberapa tahun silam. 

"Nah, salah satu dari mereka itu abang sungguhan gue."

"Yaudahlah jangan bahas abang lo lagi. Kita ketemuan kan bukan pengin bicarain mereka," ucap Ratu mengingatkan. 

"Gue kangen banget sama lo, Ra!" pekik Putri. 

"Lagian lo ngilang sih."

"Gue lanjutin sekolah di London, Ra. Terus nomor lo juga enggak bisa dihubungi. Untung aja gue keingetan sama si Vera. Gue minta sama dia deh."

"Oh, pantesan. Terus, sekarang lo lagi liburan ke sini?" tanya Ratu. 

"Bukan. Gue pengin pindah aja ke sini. Lagipula gue kagak betah di sana, Ra," jelas Putri. "Kalau di sini kan ada abang gue juga, kalau di sana gue di asrama, Ra."

"Terus lo mau lanjutin ke sekolah mana?" tanya Ratu. 

"Kepenginnya sih gue lanjutin di sekolah yang sama kek lo, Ra."

"Yaudah boleh. Kebetulan di sana juga ada Vera."

"Nanti, deh. Gue coba bilang sama Papa."

Kringggg  .... 

Suara telepon membuat keduanya menghentikan perbincangan. Cepat, Ratu meraih handphonenya yang tergeletak di meja lalu menolaknya. 

"Dari siapa? Pacar lo ya?" tebak Putri. 

Ratu hanya diam, tak menimpali pertanyaan Putri. Telepon itu dari pihak Rumah Sakit Jiwa Pertiwi. 

***

Rambut panjangnya kembali berjatuhan seperti biasanya. Akan tetapi, wanita paruh baya itu terus menyisirnya tanpa henti. Pandangannya kosong terfokus pada luar jalan. 

Meski terhalangi oleh jendela, penglihatannya masih jelas melihat luar jalanan. 

"Ratu ... Mama rindu, Sayang."

Klise memori ingatannya kembali terbayang bagai video yang berputar mengingatkannya pada sosok putri tunggalnya. 

Lagi dan lagi, dia kembali membenci putrinya saat bayangan sosok lelaki hadir dalam ingatannya. 

"Kamu harus mati! Kamu harus mati! Kamu harus mati!" Kemudian dia tertawa meski kedua matanya berkaca-kaca. 

Dengan sengaja jendela kaca di depannya ia pukul dengan tangannya membuatnya terluka. Darah segar bercucuran saat itu juga. 

Dia memegang pecahan kaca dengan tangan kanannya. Dengan sadar, dia menancapkan pecahan kaca itu pada mata kirinya. 

Gelap  .... 

Pasien yang bernama Nindy itu tak sadarkan diri. Dia koma, entah berapa lama kelopak matanya akan terus terpejam. Dokter membawanya ke ruang gawat darurat, beberapa suster sibuk membantu segalanya. Sedangkan bagian petugas lain mencoba menghubungi nomer keluarganya. 

Hanya ada satu keluarga pasien, yaitu putri tunggalnya. Akan tetapi, sudah beberapa kali mencoba menghubungi putri pasien yang bernama Ratu Nandilandari itu tetap tidak bisa dihubungi. 

"Temui dia," ucap petugas lain yang lebih berwewenang. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status