"Pertemuan itu awal untuk cerita kita. Bertemu lagi berarti kisah cerita lanjutan cinta."
***
Kuliah semester tiga memang tidak seperti semester sekian yang disibukkan dengan segala macam tugas. Meski begitu, tetap saja tugas harian membuat makalah tidak akan terlepas. Seperti saat ini, ketiga lelaki tampan tengah serius menatap layar laptop.
Ruangan sudah mulai sepi karena beberapa mahasiswa sudah pulang. Mereka bertiga ingin menyelesaikan saat itu juga agar sepulang dari kampus bisa memulai challenge yang Raja buat beberapa hari lalu.
"Beres!" Hito merenggangkan kedua tangannya setelah menyelesaikan tugasnya.
"Bantuin kek," celetuk Reza sudah mulai gelisah dengan tugasnya.
"Males ah. Kerjain aja sendiri."
"Lo kok gitu sih sama sahabat sendiri?" tanya Reza kesal.
"Kalau soal kek gini sih enggak liat status sahabat atau bukan. Tugas sendiri ya kerjain sendiri, enggak harus sama sahabat." Hito memasukkan cemilan yang disediakannya sebelum mengerjakan tugas.
"Lo emang kagak solid, To." Raja menyadari jika sahabatnya itu memang pelit jika soal mengerjakan tugas.
Hito memang paling pintar di antara mereka, tapi dia paling telat mikir jika sudah urusan cinta. Bahkan selama hidup dia belum pernah pacaran, bukannya tidak pernah jatuh cinta. Tapi, dia tidak bisa mengatakan cinta.
Bukan hanya mengatakan saja, mendekati gadis saja dia sudah menghindar duluan. Itulah Hito.
"Bukan gitu, Ja. Itu kan tugas kalian. Ya masa sih gue yang ngerjain?" tanya Hito.
"Dahlah. Lagipula udah beres." Raja menutup laptopnya setelah memastikan file yang dia buat telah benar-benar tersimpan.
"Gue juga dah beres." Reza meregangkan kedua tangannya karena merasa pegal.
"Gimana soal challenge?" tanya Raja mengingatkan.
"Kayaknya jangan dalam waktu seminggu deh, Ja. Gimana kalau sampe tuh cewek mau aja?" ucap Hito memberikan usul.
Raja berpikir sejenak. "Boleh. Gue juga setuju." Lagipula, dedek emesh yang dijadikan gadis incarannya sulit untuk diajak berinteraksi, berarti akan memakan waktu lebih dari seminggu untuk mengambil hatinya.
"Gue belum bisa cari cewek lain," ucap Reza mengeluh. "Hati gue masih bilang kalau Mia adalah gadis yang gue cinta."
"Lo jangan lebay deh, Za. Mia itu udah berkhianat. Udah waktunya lo cari gadis lain." Raja menyadarkan sahabatnya dari kegundahannya setelah putus dari Mia.
"Bener kata Raja. Lo harus cari gadis yang lebih dari dia." Hito menepuk bahu sahabatnya pelan.
Reza mengangguk pelan, membenarkan ucapan dari kedua sahabatnya jika dia tak seharusnya sampai segalau ini. Dia harus cari pengganti untuk mengobati luka di hatinya.
"To, lo udah ada incaran?" tanya Raja.
Hito menggeleng pelan. "Belum ada. Lagipula mana ada sih yang mau sama gue?"
"Lo jangan mikir kayak gitu dulu, bro. Lo tuh banyak yang suka, tapi lo nya aja yang kagak peka." Raja menggelengkan kepalanya pelan, orang yang merasa tersindir malah ketawa.
"Bisa bener lo bikin gue seneng." Hito memukul paha Raja dengan keras membuat lelaki itu menjauh darinya.
"Sakit tau!" Raja meraba pahanya.
"Sorry, haha. Ampun bang jago."
"Kalau udah menang hatinya, terus gimana nih?" tanya Reza pada Raja yang kini tengah membuka layar kunci pada handphonenya.
"Terserah kalianlah. Kalau gue sih mau cari yang baru lagi," ucap Raja lalu tertawa di akhirnya.
"Kalau gue bakalan pastiin. Cewek itu gak bakalan gue lepas lagi." Hito menekadkan dalam hatinya untuk menjadikan dirinya sebagai sosok yang setia.
"Tapi tetap aja challenge ini jadi tantangan. Cewek yang kena sasaran jadi korbannya," celetuk Reza. "Kasian gue. Gak tega."
"Pantesan aja lo diselingkuhin. Hatinya lo aja lembek, gampang lunak, coyy." Raja meremehkan Reza dengan mengangkat jempolnya ke bawah.
***
Bukan cewek kalau enggak tergiur sama skincare. Apalagi Ratu yang merupakan beauty blogger hampir setiap saat uangnya harus dihabiskan dengan segala kebutuhannya bikin channel.
"Gue nyoba pake ini, cuman enggak cocok. Bingung gue harus pake apa." Asya memegang dua botol kecil berbeda bentuk, dia terus mempertimbangkan keduanya.
"Coba aja yang ini. Gue pake itu cocok. Jerawat gue aja langsung kempes sekitar tiga hari." Vera menunjuk botol di tangan kiri Asya.
"Kalau di muka lo cocok, berarti di muka gue enggak." Asya menyimpan lagi botol kecil yang direkomendasikan sahabatnya.
"Lah kok gitu?"
"Muka gue beda dari semua orang. Kulit gue manja, kepenginnya dielus-elus."
"Idihhhh ... kelamaan jomblo lo!" Vera menoyor kepala sahabatnya.
Meski kedua sahabatnya saling bercanda, tapi hal itu tak membuat Ratu ikut tertawa. Dia terdiam di pojok rak penyimpanan skincare.
Kejadian kemarin lalu masih menyisakan rasa takut dalam dirinya. Sakitnya kembali kambuh, meski kejadian menyakitkan itu sudah lama berlalu. Tapi, rasanya seperti kemarin Kedu orangtua bersikap tidak adil untuk dirinya.
"Ra ... lo mau beli apa?" tanya Asya menyadarkan Ratu dari lamunannya.
Vera menyenggol lengan Asya. Tapi, gadis berambut ikal sebahu tetap berusaha membuat Ratu tersadar.
"Eh? Iya? Ada apa?" tanya Ratu lirik ke kiri dan kanan.
"Lo kenapa sih?" tanya Asya penasaran. "Dari tadi ngelamun terus."
"Gue butuh asupan."
"Yaudah kita makan aja gimana?"
"Ada menu daging manusia gak?" tanya Ratu dingin membuat kedua sahabatnya saling pandang bergantian.
"Ada." Suara itu berasal dari sosok lelaki yang memakai hoodie warna hitam.
Ratu dan kedua sahabatnya langsung menoleh.
"Gue orangnya." Lelaki itu membuka penutup kepalanya, menatap sang gadis lekat-lekat.
Raja Aleandra. Siapa lagi jika bukan dia sosok netizen yang seringkali memberikan komentar pedas kepada Ratu, tapi gadis itu tak mengetahuinya. Dia hanya tahu jika lelaki berperawakan jangkung itu yang telah menyelamatkannya sewaktu di toko skincare.
"Apa kabar?"
Ratu terdiam. Gadis itu menarik tangan Asya juga Vera tuk menjauh dari Raja.
"Hei. Lo inget gue kan?" tanya Raja lagi.
Gadis berambut panjang itu mempercepat langkahnya.
"Siapa Ra?" tanya Asya. Sesekali dia dan Vera menoleh ke belakang.
"Gue orang yang udah selamatin lo!"
Langkah Ratu terhenti. Apa yang diucapkan oleh lelaki itu memang benar, jika tak ada dirinya mungkin kepalanya sudah benjol.
"Kenapa? Lupa? Jangan melupa sebelum gue masuk ke dalam hidup lo."
Ratu benar-benar dibuatnya bungkam. Akhirnya gadis itu membalikkan badannya.
"Gue inget lo kok," ucap Ratu. "Hanya saja gue mau lo jangan inget gue lagi."
Gadis itu melanjutkan langkahnya lagi, tapi sebelum dia benar-benar menjauh dari pandangan Raja. Lelaki itu menyampaikan kalimat yang akan selalu terngiang di ingatannya.
"Gue pastiin lo gak bisa lupain gue."
***
Vera kebingungan harus ke mana dia mencari bantuan. Sepulang hangout dengan sahabatnya, mobilnya tiba-tiba mogok di tempat yang jauh dari keramaian.
Ingin menghubungi montir pun handphonenya mati. Bahkan di sini pun jauh dari bengkel.
"Yah. Gimana nih." Vera menggigit kukunya karena bingung.
Pengendara beroda dua maupun empat pun langka melewatinya. Tapi, Vera terus saja berharap akan ada sosok malaikat yang akan membantunya.
"Yah, masa sih gue harus ngindep di sini. Jalannya sepi lagi," ucapnya menggerutu. Dia melirik ke kiri dan kanannya banyak pepohonan rindang yang menyejukkan suasana. Vera mendekap peluknya sendirian, cuaca sudah gelap pertanda waktu akan larut malam.
Beberapa saat kemudian, harapan yang sedari tadi dia panjatkan datang begitu saja. Suara motor melaju menghampiri keberadaannya. Dengan sigap Vera merentangkan kedua tangannya di tengah jalan.
"Tolong! Bantu gue! Pokoknya harus bantu!" Kedua tangannya dia tangkupkan di atas dada, berlagak memohon meminta bantuan.
Ciiiiiit ....
Motor tersebut berhenti tepat di hadapan Vera yang kini tengah memejamkan kedua matanya.
"Lo ngapain di sini? Udah bosen hidup ya?" tanya sang lelaki kesal.
Perlahan, Vera membuka kedua matanya. Memastikan jika penglihatannya tidak salah, ada sosok manusia tampan yang turun entah dari mana.
"Lo mau mati?" tanyanya lagi.
"Gue mau minta bantuan. Gue tahu, lo baik."
"Lagian ngapain juga lo di sini sendirian. Udah mau larut juga, lo juga cewek."
"Mobil gue mogok." Vera menundukkan kepalanya dalam.
"Hubungi montir," jawabnya singkat.
"Handphone gue mati."
Lelaki itu menggelengkan kepalanya lemah. "Derita lo!" Dia kembali menyalakan motornya lagi siap untuk menancap gas.
Vera langsung terduduk di atas aspal, tak pernah ada rasa takut jika akan ada suatu hal yang terjadi padanya. Tapi, sikap bodohnya itu membuat Reza tersenyum. Meski hatinya tengah hancur, tapi nyatanya dia tidak lupa caranya untuk tersenyum.
"Gue enggak tahu bakalan minta bantuan sama siapa lagi. Jalan ini tuh jarang sekali ada pengendara yang lewat."
Vera menenggelamkan kepalanya di kedua pahanya.
"Lo tungguin aja penyelamat yang lain."
"Hanya lo malaikat gue!"
"Tapi gue bukan malaikat!" ucap Reza tegas.
Reza kembali menyalakan motornya, dan melaju begitu saja meninggalkan Vera seorang diri.
"Jahat! Cowok brengsek!" Vera terus saja mendumel pada Reza. Dia menendang ban mobilnya yang mengakibatkan kakinya kesakitan.
Vera kembali menangis, dia sudah pasrah dengan nasibnya hari ini.
"Naik." Suara datar dari belakangnya tak membuat Vera menghentikan tangisannya.
Suara deru motor dibuat terdengar lebih keras oleh pengendaranya membuat gendang kedua telinga Vera nyaris pecah.
Gadis itu menoleh ke belakangnya dan mendapati sosok lelaki yang sempat berdebat dengannya.
"Menyebalkan!" Vera menatap tajam pada lelaki itu.
"Naik! Cepetan!"
"Enggak!"
"Yakin?" tanya Reza.
Vera melirik ke kanan dan kirinya, sepi, sunyi. Dia tak akan mungkin jika harus bermalam di sana.
"Mobil gue gimana?" tanyanya.
"Gue panggil montir. Asal nanti lo yang bayar."
"Iya. Lo perhitungan banget sih jadi cowok."
"Karena gue kan bukan cowok lo."
Kalimat yang mampu membuat gadis itu bungkam. Tak mau berlama-lama di sana, Vera naik ke atas motor Reza.
Belum saja Vera benar-benar mendudukkan pantatnya, Reza melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Otomatis, posisi sang gadis lebih mendekat ke depan dan memeluk tubuh lelaki pemilik tubuh kekar itu.
"Gue takut!"
Reza melirik kedua tangan gadis yang tak diketahui namanya melingkar di perutnya.
"Lo enggak usah peluk-peluk gue! Dasar cewek mesum!"
Vera tak mendengarnya. Dia terus memeluk Reza dengan erat.
Di pertigaan jalan, Reza memelankan lajunya.
"Ke mana arah rumah lo?"
"Nanti gue kasih tau. Sekarang, lurus."
Reza mengangguk. Vera terus fokus memberikan arahan kepada lelaki itu. Meski dalam hatinya dia merasa takut jika lelaki itu akan berbuat hal yang diinginkan kepadanya. Tetapi, perintah arahan darinya selalu dia ikuti membuatnya lebih tenang dan meyakini jika lelaki itu memang baik.
"Ini rumah gue!" pekik Vera sembari menunjuk sebuah rumah sederhana di salah satu komplek.
"Berapa?" tanya Vera, tangan kanannya mengeluarkan uang di saku celananya.
"Gak usah."
Reza kembali melajukan motornya setelah menjawabnya.
"Woyyyyyy. Makasih!" teriak Vera.
Vera menepuk jidatnya. "Eh? Iya, gue lupa! Siapa nama dia?"
****
"Jika memang takdir maka sejauh apa pun jaraknya. Tak akan ada yang bisa mengatakan tak mungkin."****Sepoi angin menerpa tiap helai rambut gadis yang tengah menatap ke arah bangunan tinggi. Pikirannya sudah tak bisa lagi kontrolnya membuat dia memutuskan sendiri untuk pergi ke tempat psikiater. Dia harus mengetahui apa yang terjadi pada dirinya, dan harus bisa mengobatinya. Gadis berambut panjang yang dibiarkan tergerai itu melangkah tertatih menuju bangunan tersebut. Beberapa orang berpakaian seragam sewarna biru terang berlalu lalang mengerjakan tugasnya masing-masing. Namun, langkahnya harus terhenti kala ada seseorang yang mencekal pergelangan tangannya. Dia menoleh ke belakangnya dan mendapati sosok pemilik manik mata hitam legam yang tengah menatapnya sendu. "Lo kok ada di sini?" tanya Ratu bingung. "Jiwa gue sakit," jawabnya dingin. "Lo ngapain ada di sini?""Obatnya hanya gue." Raja hanya menjawab ucapan Ratu yang pertama, mengabaikan pertanyaan gadis itu mengenai keber
"Lukai saja dirinya, asal jangan hatinya. Karena luka dalam hati tak ada obatnya"***Putri jadi tersadar, jika Ratu memang sangat membutuhkan semangat dari orang-orang terdekatnya. Dia sangat butuh teman, gadis itu korban dari perpecahan kedua orangtuanya. Yang dimulai dari ayahnya memainkan hati ibunya. Sebagai seorang sahabat seharusnya dia mendekati di kala susah, bukannya menjauh karena beban hidupnya yang begitu nelangsa. Memang, ibu Ratu tidak seperti orangtua lain yang selalu menyambut sahabat-sahabatnya dengan senyuman juga sapaan ramah. Semua itu bukan karena beliau tak suka, tapi memang sudah seharusnya memaklumi karena kondisi mentalnya yang tidak sehat. Raja memeluk Ratu dengan erat, membiarkan gadis itu melimpahkan segala bebannya yang selama beberapa tahun ini dia pendam. Kekasihnya mengelus lembut helaian rambut sang gadis, lalu mengecupnya lama. "Maaf ...," ucap Raja lirih. Kedua tangannya meraba wajah sang gadis. Keduanya saling menatap menenggelamkan kesedihanny
"Jatuh cinta hanya teruntuk orang-orang yang mengerti apa itu memperjuangkan. Jika tidak paham, berarti itu baru terjatuh."****Bagaikan tertusuk belati tajam mengenai hatinya saat panggilan handphonenya ditolak. Bagaimana bisa lelaki itu berubah pikiran setelah melihat kenyataan jika ibunya mempunyai sakit mental. Padahal dari awal dia sendiri yang menginginkan kerukunan dalam keluarga kekasihnya. Raja sendiri yang mengantarkan Ratu ke sana. Tapi setelah insiden yang membuat Putri nyaris jantungan, lelaki itu bahkan tak membalas deretan pesan singkat dari Ratu. Beruntungnya obat penenang yang diberikan dokter sangat cepat meresap tubuh ibunya, sehingga kini dia bisa bersantai memainkan ponselnya mencoba tuk menghubungi Raja. "Apa Raja ngehindar dari gue ya?" tanya Ratu lirih entah pada siapa. Baru kali ini Ratu begitu cemas pada orang yang tidak mempunyai ikatan darah dengannya. Padahal, sebelum dia mengenal Raja sikapnya sangat cuek pada orang-orang sekitarnya. Dia takut jika
"Level terberat mempertahankan hubungan, yaitu tak direstui orangtua"***Ratu sudah bisa dinyatakan pulang, hari ini dia tengah mengemasi barang-barangnya. Dibantu oleh ketiga sahabatnya yang selalu setia menemaninya selama dirinya sakit. "Hai pacar!" sapa Raja mengagetkan Ratu yang tengah melipat bajunya. Dia tersenyum saat mendapati wajah sang lelaki yang tengah berseri menampilkan deretan gigi putihnya yang bersih. "Cie dah sembuh." Raja mengusap lembut pucuk kepala sang gadis yang hanya meresponnya dengan senyuman. "Aku ternyata melunak," ucap Ratu lirih. Ketiga sahabatnya tak mau menimpali ucapannya karena itu hanya akan memperkeruh suasana mereka. "Melunak apa pacar?" Raja menatapnya bingung, mengangkat sebelah alisnya sebelah. "Bisa jadi pacar orang.""Orangnya mana?" Raja menengok ke kiri dan kanan, barangkali dia menemukan seseorang yang diucapkan oleh sang kekasihnya. Ratu menangkupkan dagu sang lelaki tuk menghadapnya, bersamaan itu kedua manik mata mereka saling pa
"Setelah melewati tahap jatuh cinta. Ada satu tahap lagi yaitu; takut. Takut kehilangan."***Sekarang, Ratu merasa lebih membaik dari sebelumnya. Raja pula tidak lagi terlalu cemas saat meninggalkannya pergi ke kampus. Sebelum berangkat pun lelaki itu memberi pesan pada sang gadis untuk menunggunya beberapa jam. Lagipula jadwal di kampus setahunya tidak akan begitu padat. Ada salah satu dosen yang hanya memberikan tugas. Ratu menurut saja, lagipula saat tubuhnya lemas setelah sakit seperti ini akan mustahil baginya keluar dari kawasan rumah sakit. Gadis berambut panjang itu terduduk di kursi roda, menepikan kedua roda yang didorongnya sendiri tepat di ujung jendela. Menampakkan pemandangan pepohonan yang sengaja ditanam oleh pengurus rumah sakit. Banyak orang yang berlalu lalang dengan mengenakan seragam beratribut rumah sakit sepertinya. Sudah tak aneh lagi bagi Ratu berada di lingkungan seperti saat ini. Dia sudah terbiasa keluar masuk rumah sakit hanya karena masalah yang sama.
"Cinta bukan hanya dinyatakan oleh ucapan, tapi juga ditunjukkan dengan tindakan."~Clovy***Sedetik pun Raja tidak pernah meninggalkan Ratu di ruangannya seorang diri. Dia terus menemani, bahkan kedua matanya rela tetap berjaga semalaman. Respon sang gadis masih tetap sama, menggerakkan jemarinya, meneteskan air mata, tapi tak sekali pun membuka kedua matanya. Padahal sudah seharusnya Ratu terbangun dari mimpi panjangnya. Entah mimpi apa yang telah membuatnya tertidur seharian. "Ra ... gue harap hari ini lo bangun," ucap Raja seraya mengelus rambut sang gadis. Sinar matahari sudah berani menyelinap masuk lewat gorden jendela. Tapi, Raja tidak menyingkapkan gorden yang masih menutup bagian kaca. Dia membiarkannya agar ketenangan sang gadis tidak terganggu karena silau. Dia menatap wajah Ratu yang sangat bersih tanpa noda sekali pun. Mungkin itu semua hasil dari kontennya dalam channel youtube. Menjadi seorang beauty vlogger memang harus rela mengeluarkan beberapa rupiah uang unt