Share

3. Banyak Bertanya

"Waktu itu dia sangat senang ketika kuberikan nama Snow," ucapku pada Foster.

Foster tampak menyukai dengan ceritaku ini.

"Yah, mungkin kalau kau yang memberikan nama itu padaku, aku akan lebih memilih untuk menjadi musuhmu saja," gumam Foster menyebalkan.

"Kau tau, Foster? Mengapa aku memberikan nama itu padanya?"

"Apa?"

Aku tersenyum sambil membayangkan wajah cerah itu. "Karena dia putih dan sangat polos."

"Mana ada lelaki polos, jangan mengelabuiku," ucap Foster tak percaya.

"Awalnya aku pikir dia berpura-pura, tapi ternyata dia benar-benar polos."

**

"Snow? Snow?" Dia mengucapkan nama itu berkali-kali seolah baru saja diberikan satu ton berlian.

"Hmm, Snow. Kau suka?"

Dia mengangguk cepat. "Snow, Snowie."

"Snow, cukup Snow jangan tambahkan apa-apa di belakang. Itu adalah merk penggiling es serut, kau mau jadi es serut, hah?"

Snow hanya tersenyum.

Satu Minggu bersamanya, dan bicaranya sudah cukup lancar. Awalnya aku kesal karena dia terus membeo ucapanku. Namun setelah listrik disalurkan ke dalam rumah, aku mulai menyalakan televisi itu untuknya.

Dan karena itulah dia menjadi banyak bertanya.

"Elena, itu apa?" tanya Snow pada makanan pizza yang berada di dalam iklan.

"Pizza, kenapa? Kau mau?"

"Apa enak?"

"Kalau tak enak tak akan ada yang mau menjual," balasku.

"Aku mau telur dadar buatanmu saja."

Aku tersenyum. "Anak baik," pujiku. Dan dia selalu bangga tiap kali aku mengatakan pujian itu padanya.

Ia sangat menyukai telur dadar, tapi yang dingin. Jangan coba-coba memberikannya sesuatu yang hangat apalagi panas, karena dia akan marah dan yang lebih buruk dari itu adalah dia akan merengut padaku.

Dia akan menunggu sampai dingin, atau terkadang dia akan memberikan es batu di atas telur dadar itu.

"Elena, kau tak bekerja seperti itu?" tanya Snow yang sangat ingin tahu. Layaknya anak empat tahun yang selalu menanyakan apa saja pada ibunya.

Aku menarik satu sudut bibirku, itu bukan mirip seperti permintaan. Melainkan suruhan untukku agar bekerja dan tidak menjadi pengangguran.

"Snow?" panggilku.

"Ya, Elena?"

"Apa kau pernah dipanggang di atas api kompor?" tanyaku sambil menghadap di depan teflon.

"Elena, sepertinya bekerja di rumah itu lebih cocok untukmu."

"Nah, kau tau kan apa maksudku," gumamku dan tersenyum sinis.

Aku malas untuk bekerja di luar. Apalagi kalau harus menghadapi cuaca dingin seperti ini.

Apa aku melanjutkan menulis novel? Tapi aku tak memiliki insiprasi lagi sejak saat ini.

"Snow?"

"Ya, Elena."

"Apa kau tahu kalau aku suka membuat novel?"

"Tidak."

"Makanya aku memberitahumu, bodoh!"

"Oh oke. Novel apa?"

Tiba-tiba aku berpikir, bagaimana kalau aku membuat novel mengenai Snow. Ya, Snow.

"Bagaimana kalau aku membuat novel tentangmu, boleh?" tanyaku sambil membawa telur untuknya dan kopi panas untukku.

Dia melihat cangkir itu seperti melihat ibu tiri yang sedang membawa cambuk.

"Bagus, Elena. Tapi bisakah kau jauhkan kopi itu dariku?" Snow mundur perlahan sambil melihat kopi yang ada di tanganku.

Aku tertawa pelan, dan tahu apa kelemahan Snow. Dia masih ancang-ancang untuk kabur kalau aku sedang sial dan menumpahkan kopi di tubuhnya.

"Oh, oke Snow." Aku meletakkan cangkir di atas meja dan menyerahkan telur itu pada Snow.

"Jadi bagaimana? Kau mau?"

Snow tidak mendengar ucapanku. Dia sibuk makan dengan lahap.

"Elena, itu apa?"

"Strawberry Cake, kenapa? Kau suka?"

"Kau mau membelikannya untukku?"

"Tentu."

Senyumnya mengembang.

"Tapi ada syaratnya."

Dia merengut.

"Elena licik," gumamnya dengan pipi mengembung karena ada isi telur dadar.

"Hei! Tahu darimana kata licik! Wah! Jangan-jangan dari drama di televisi ya!"

"Aku kan harus banyak menonton itu, Elena. Agar bisa banyak bicara."

"Kalau kau mengatakan kata-kata buruk lagi, akan kujual televisi ini," ancamku.

Snow menatapku dengan tatapan layaknya anak anjing yang hendak dibuang pemiliknya. Dan tiba-tiba aku tersihir dan luluh lagi.

"Oke, aku maafkan kali ini. Tapi tidak nanti, mengerti."

Snow mengangguk.

Dasar mahkluk salju polos.

"Jadi tadi bagaimana?" tanya Snow. 

"Oh novel itu—jadi—"

"Bukan, strawberry cake maksudku."

"Snow," geramku sambil menjambak rambut Snow yang sangat dingin. Aku sudah kesal setengah mati karena sejak tadi dia hanya mengurus makanan dan perutnya saja.

"Jangan menyentuhku terlalu lama, Elena. Nanti kau bisa sakit."

DEGG!!

Kata-kata itu—kenapa dia mengatakan hal sederhana yang bisa membuat jantungku berdebar.

Aku memang pernah sakit karena terlalu lama berada di dekat Snow. Karena dia berasal dari salju, maka suhunya pun sama seperti itu. Dan sanggup membuatku untuk flu dan meriang beberapa hari.

Dan dia mulai mengerti jika aku dan dia tak bisa berdekatan terlalu lama.

Snow selalu tidur di luar, bersama dengan tumpukan salju. Dan jika sudah pagi, sebelum matahari muncul dia akan masuk ke dalam.

Terkadang dia akan berdiri di depan kulkas begitu lama untuk mendinginkan tubuhnya.

Dan aku juga sadar jika Snow tidak menyukai hawa panas.

"Jadi tadi bagaimana novelmu?" tanyanya kali ini dengan serius, karena makanannya telah habis.

Dasar rakus.

"Aku ingin membuat kisah tentangmu. Bagaimana kamu bisa terjatuh dan terbentuk seperti ini."

"Seperti apa?" tanyanya seakan mengetesku, aku tahu dari wajah penuh harap itu.

"Seperti manusia purba," ledekku.

Kupikir dia akan marah, tapi ternyata tidak.

"Kalau kau memanggilku manusia purba lagi maka kau harus membelikanku kue itu."

"Sejak kapan kau membuat peraturan yang menguntungkanmu?"

"Mulai sekarang."

"Bilang saja kalau kau mau kue itu," desahku sambil menyandarkan punggungku di kursi.

Tabunganku sebentar lagi hampir habis. Mungkin akan cukup jika aku saja yang makan. Namun ini aku harus memberikan makanan pada manusia salju itu setiap hari.

Aku melirik ke arahnya, dia melirik ke arahku dengan iler dimulutnya.

"Lap ilermu dong!"

Dia tersenyum.

"Snow, jadi begini."

"Apa, Elena."

"Di dunia ini tak ada yang gratis."

Dia mengangguk sok mengerti.

"Lalu?"

"Lalu kalau kau mau makan makanan enak, maka kau harus bekerja dulu!" Aku menyentil dahinya, dia tidak mengaduh kesakitan.

Dia malah balik menyentilku. Kurang ajar.

"Oke, Elena. Aku akan bekerja untukmu. Jadi apa yang bisa kulakukan untukmu?"

"Hei, jangan bilang seperti itu. Kalau tetangga dengar mereka akan mengira kau itu budakku."

"Budak? Apa itu budak? Apa rasanya enak?"

"Hmm, sangat enak."

Aku harus melatih kesabaranku setiap hari. Karena seperti hidup dengan anak pendidikan dini. Namun bedanya ini dalam king size.

"Oke Snow, kalau nanti novelku sukses. Kau akan kuberikan kue strawberry itu sampai satu rumah. Sampai kau minta ampun padaku, jadi bagaimana?"

Snow mengangguk seperti orang bodoh lagi. Dan hal itulah yang membuatku sangat ingin melindunginya. Dari dunia luar—karena dia tidak akan pernah tahu hidup di dunia luar itu seperti apa-apa.

"Elena?"

"Hmm."

"Ciuman itu apa?"

Aku meliriknya dengan ekor mataku.

"Snow! Matikan tv dan bersihkan rumah ini!" suruhku dengan wajah yang memerah dan panas.

Tv terkutuk! Akan kubakar nanti kalau Snow tidur.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status