Alena mencoba menajamkan pendengarannya, mencari asal suara yang menarik perhatiannya itu. Tetapi suara itu mendadak tidak terdengar lagi.
"Ah, jangan bilang kalau aku salah dengar...," katanya pada dirinya sendiri.
Ia mempercepat langkah kakinya menuju gedung Asrama Putri SMA Scientia. Walaupun sering ada cerita angker tentang asramanya, tapi selama setahun ia tinggal di asrama ini, ia tidak pernah mengalami yang aneh-aneh. Ia sekarang sudah kelas XI, masa masih percaya dengan cerita seperti itu? Itu hanya cerita para senior kepada junior kelas X untuk menakut-nakuti mereka.
Alena membuka pintu kamarnya. Karin, teman sekamarnya, sedang tiduran di dipan sambil mendengarkan musik dari headset. Karin melambaikan tangan ke Alena. Alena hanya tersenyum, sambil menaruh tasnya di atas meja.
"Len, tadi ekskul apa?" Karin melepaskan headsetnya.
"Teater...," jawab Alena. Ia masih memikirkan suara biola tadi.
"Kamu rajin amat sih, ikut ekskul ini itu. Kalau aku sih, ikut satu aja udah cukup. Itu aja udah keteteran belajarnya," Karin tertawa. "Tapi kalau kamu mah beda, otaknya pentium level tinggi."
Alena menyukai sifat Karin yang suka ceplas-ceplos. Ia senang masih tetap sekelas dengan Karin setelah naik kelas XI.
"Rin, tadi kok aku kayak dengar suara biola ya? Waktu jalan dari kelas ekskul teater ke asrama putri," Alena mengutarakan rasa penasarannya.
"Suara biola? Kita kan nggak ada ekskul biola."
"Makanya itu...," Alena menggumam. "Tapi ini udah kedua kalinya, kemarin aku juga dengar, aku pikir mungkin telingaku yang salah. Hari ini aku yakin, itu emang suara biola... Tapi dari mana asalnya?" Alena seperti bicara pada dirinya sendiri.
Karin memandang teman sekamarnya itu. Alena memang selalu gampang penasaran pada hal-hal yang menarik perhatiannya, mungkin memang sudah 'kutukan' orang pintar. Tapi Karin senang berteman dengan Alena, karena sifatnya yang tulus dan tidak pelit, terutama tidak pelit berbagi ilmu.
"Ya udah, besok kalau kamu dengar lagi, aku temanin kamu cari deh...," Karin menawarkan diri. "Tapi aku pinjam catatan Fisika kamu dong, ada PR nih, susah banget..." Itu cara Karin untuk minta diajari mengerjakan PR secara halus.
Alena tertawa. "Sini..., mana yang susah?"
"Hihihi.... Kamu emang paling baik deh..." Karin terkikik.
*
"Silakan memperkenalkan diri." Miss Stella mengangguk pada pemuda yang berdiri di sampingnya.
Alena melihat teman-teman ceweknya mulai berbisik-bisik. Sekolah mereka sering menerima siswa baru di pertengahan semester, itu bukan hal baru lagi. Jadi, kenapa teman-temannya seperti mulai bergosip? Apa karena cowok yang berdiri di depan kelas itu punya rambut bergelombang yang tebal? Atau karena tatapan matanya yang tajam seperti elang, dibingkai oleh alisnya yang tebal melengkung? Atau karena kulit wajah dan tubuhnya yang putih bersih, badannya yang tinggi dan tegap seperti seorang atlet?
Alena memalingkan mukanya, tiba-tiba ia merasa wajahnya jadi hangat. Kenapa dia? Tidak biasanya dia menilai seorang cowok dari penampilannya.
"Hai, aku Alva. Salam kenal." Perkenalan diri yang singkat.
Miss Stella sedikit mengangkat bahunya, mungkin dia berpikir siswa baru itu masih malu.
"Baiklah, Alva. Silakan duduk di bangku yang kosong, mmm.... Itu, di sebelah Alena, di sudut..." Miss Stella mengarahkan dengan jarinya.
Deg! "Kenapa harus di sebelahku?" Alena memprotes dalam hati.
Teman-teman mulai terdengar berisik. Sebagian teman cewek seperti mengikuti langkah kaki Alva dengan mata mereka, sedangkan beberapa yang lain, termasuk Karin, tersenyum-senyum ke arah Alena dan berbisik-bisik. Alena pura-pura memandang ke arah lain.
Saat siswa baru itu lewat di sampingnya, Alena melempar senyum tipis. Tapi... cowok itu bahkan tidak melirik ke arahnya! Alena merasa mukanya memerah lagi, tapi kali ini lebih karena kesal.
"Silent, please...," Miss Stella mengingatkan. "Kita lanjutkan pelajaran."
Alena berusaha agar tidak melirik ke arah kanannya selama pelajaran berlangsung. Tidak biasanya Alena tidak menyapa siswa baru, tapi cowok ini kenapa berbeda ya? Sepertinya dia memang bukan tipe yang ramah.
Bel istirahat berbunyi. Alena memasukkan bukunya ke dalam tas, sambil melirik ke kanan dengan sudut matanya. Ia hanya ingin tahu, apa yang akan dilakukan cowok itu saat istirahat.
"Alena!" suara Karin mengagetkannya. Teman sekamarnya itu berjalan ke arahnya. Karin masih tersenyum-senyum seperti tadi.
"Mau ke kantin nggak?" ternyata Karin bertanya kepada Alva.
Alena menunggu reaksi cowok itu. Tanpa sadar, ia menahan nafas.
"Nggak," jawab Alva dengan cepat sambil menggeleng.
Wajah Karin seperti membeku, ia tampaknya masih mengharapkan kata-kata selanjutnya dari mulut Alva. Alena cepat-cepat menggandeng tangan Karin, dan setengah menariknya untuk keluar dari kelas.
"Kenapa sih, kok kamu narik aku?" Karin baru melepaskan tangannya setelah di luar kelas.
"Kamu ngapain juga berdiri bengong di situ? Pakai ngajak-ngajak cowok itu ke kantin lagi..." Alena setengah mengomel.
"Lho, maksudku kan baik, biar dia ada temannya. Mungkin dia belum tau di mana letak kantin, ya kan?"
"Iya... Tapi kayaknya dia bukan orang yang senang ngobrol. Dari tadi di kelas, dia diam aja."
"Kamu nggak ngajak dia ngomong?" Karin bertanya dengan nada heran. "Ya ampun, Alena..." Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, sampai rambut ekor kudanya ikut bergoyang.
"Apa yang aneh sih? Yang lain juga nggak ada yang ngobrol sama dia. Lucky yang duduk di depan dia juga nggak..."
"Mungkin dia cuma malu. Itu kan biasa, di hari pertama sekolah baru."
Mereka sampai di kantin, di depan penjual bakso langganan mereka.
"Tahu nggak, apa kata Farah tadi?" kata Karin sambil mengantri.
Farah adalah cewek yang duduk di sebelah Karin di kelas, ia termasuk cewek yang populer di sekolah karena kecantikannya.
"Katanya si Alva itu...keren..." Karin mengacungkan kedua jempolnya.
Alena hanya menghela nafas. "Keren tapi sombong juga nggak menarik," ujarnya dalam hati.
*
"Ada, ekskul gamelan. Kamu duluan aja, Rin..." jawab Alena, sambil mengemasi buku-bukunya.
"Ya udah, see you..." Karin setengah berlari keluar kelas.
Alena melihat sekeliling, sudah tidak ada lagi siswa lain di dalam kelas, kecuali dia dan... Alva. Alena menarik nafas dalam-dalam, ia bermaksud untuk berkenalan dengan Alva, yah...sekedar berbasa-basi..., karena dia tidak tahan juga kalau duduk bersebelahan, tapi tidak saling menyapa.
"Halo... Aku Alena." Ia berdiri di sebelah bangku Alva. Tadinya ia mau mengulurkan tangan, tapi diurungkannya.
Cowok itu sepertinya sedang mencoret-coret di selembar kertas.
"Salam kenal ya..." Alena sudah siap-siap berjalan pergi, kalau cowok itu tidak merespon.
Di luar dugaan, Alva berdiri dan menatapnya. "Halo Alena..."
Alva tidak tersenyum, tapi tatapan matanya yang tajam itu seperti melembut. Mereka berdiri berhadapan. Alena baru sadar, kalau ia hanya lebih tinggi sedikit dari bahu Alva.
Alena tersenyum gugup. "Aku...masih ada ekskul... Aku duluan ya...," katanya. Ia melangkah dengan cepat dan keluar dari kelas, tidak menoleh ke belakang lagi.
*
Ia berjalan menyusuri ruangan kelas yang kosong, ke arah gedung asrama putri, yang terletak di belakang kompleks sekolah. Dan... Suara itu lagi...
"Kali ini, aku akan cari sampai dapat," katanya dalam hati.
Suara biola itu sudah tiga kali mengusiknya. Alena mendekatkan telinganya ke tembok, berharap bisa melacak asal suara itu. Datangnya seperti dari arah belakang ruang kelas musik. Ia terus berjalan, entah kenapa jantungnya mulai berdegup lebih cepat. Di sekitar situ tidak ada siapapun. Seharusnya tadi ia mengajak Karin dulu.
Di belakang ruang kelas musik, ada lorong yang menuju ke gudang tempat penyimpanan alat musik. Alena pernah lewat situ, tapi kenapa ia mulai merasa gugup sekarang? Lorong itu sedikit gelap, karena tanaman perdu yang merambat di tembok menghalangi masuknya cahaya matahari.
Suara biola itu terdengar semakin jelas, nadanya tinggi dan sendu, seperti menceritakan suatu kesedihan. Alena berdiri di depan gudang alat musik. Tidak salah lagi, siapapun yang memainkan biola itu, dia ada di dalam gudang. Tangannya meraih gagang pintu, jantungnya berdetak semakin cepat. Klek...
Alena terpaku di muka pintu. Kakinya terasa lemas. Si pemain biola menghentikan permainannya. Mata mereka bertatapan.
"Kamu...?" hanya itu yang keluar dari mulut Alena.
Sosok Alva yang tinggi berdiri di tengah gudang, ia memegang biola tua di tangannya. Ia sepertinya juga sama kagetnya dengan Alena.
"Kenapa kamu bisa ke sini?" tanyanya pada Alena.
"Eh... Aku... Cuma ikutin suara biola..."
Alva mengernyitkan dahinya. Apa ia merasa terganggu?
"Masuklah..." Itu sambutan yang di luar dugaan Alena.Alena melangkah perlahan. Gudang alat musik itu cukup luas, tapi bagian tengahnya kosong. Ada cahaya yang masuk melalui skylight di bagian tengah langit-langit, sehingga ruang itu tidak perlu lampu di siang hari. Sosok Alva yang berdiri persis di bawah skylight itu seperti bermandi cahaya matahari sore.
"Kok kamu bisa main biola di sini?" tanya Alena untuk menutupi kegugupannya. Tanpa sadar, ia meremas tangannya.
Alva balik menatapnya. Tatapan mata yang tajam itu... Tapi, mengapa Alena sekilas seperti melihat ada kesedihan di matanya?
"Sir Johan izinin aku main biola di sini selesai pelajaran. Karena belum ada kelas ekskul biola."
Sir Johan adalah guru seni musik kelas XI. Alva masih terus memandangnya. Alena berusaha menemukan kata-kata. Kenapa sih dia? Belum pernah dia segugup ini di depan seorang cowok.
"Oh.... Ya udah kalau gitu... Kamu lanjutin aja main biolanya. Aku...."
"Kamu juga bisa main biola?" tiba-tiba Alva memotong perkataannya.
"Eh.... Nggak... Aku nggak bisa..." Alena menggeleng.
"Terus kenapa kamu ikuti suara biola?"
Kenapa Alva sekarang jadi banyak bertanya ya? Padahal tadi di kelas, dia diam saja. Alena tersenyum gugup.
"Aku suka aja... Maksud aku, aku suka dengar suara biola. Opaku dulu juga main biola." Jawaban itu tiba-tiba membuat Alena jadi terkenang sosok Opa."Kalau gitu, harusnya kamu juga bisa main biola."
"Aku nggak pernah belajar. Opa udah meninggal waktu aku masih tujuh tahun... Aku cuma ingat, waktu kecil Opa sering mainin biola buat aku..."
Sejenak, mereka berdua sama-sama terdiam.
"Kamu mau dengar lagu apa?"
Alena tidak menduga Alva akan bertanya seperti itu. Alva mulai menggesek biolanya lagi. Matanya setengah terpejam, ia tampak sangat menikmati. Alena tidak tahu harus menjawab apa.
Mendadak suara biola berhenti. Alva memandang Alena lagi. "Ayo...lagu apa?" Ternyata Alva masih menunggu jawabannya.
"Mmm...lagu apa...? Terserah kamu aja deh, aku dengerin aja..." Alena masih tidak percaya Alva bisa bertanya seperti itu.
Alva masih tetap menatapnya. "Kamu suka main gamelan. Berarti kamu suka lagu tradisional ya?"
"Kok kamu tau aku main gamelan?"
Alva tidak menjawab. Ia malah mulai memainkan musik Gundul Gundul Pacul dengan biolanya, sebuah lagu tradisional Jawa. Tangannya begitu lincah, dan ia bermain dengan mata setengah terpejam.
Alena rasanya ingin membingkai momen itu di dalam hati dan pikirannya, walaupun seandainya momen itu tidak akan pernah terulang lagi.
*
Malam itu, Alena termenung di atas tempat tidur. Karin sudah terlelap dari tadi. Setelah kembali ke asrama putri, Alena tidak menceritakan pertemuannya dengan Alva di gudang alat musik ke Karin. Ia juga tidak cerita, bahwa ternyata Alva juga tinggal di asrama putra SMA Scientia.
Alena memiringkan badannya ke kiri. Dari tadi, rasanya ia hanya berguling-guling di atas tempat tidur. Kenapa sih pikirannya terus saja kembali ke kejadian tadi sore? Tentang Alva yang memainkan sebuah lagu dengan biola untuknya. Tentang Alva yang ternyata ingat perkataannya di kelas, bahwa ia ikut ekstrakurikuler gamelan. Tentang sikap Alva yang tidak seperti dugaannya, tentang Alva, semuanya tentang Alva, siswa baru itu!
"Ada apa sih dengan aku?" Alena memarahi dirinya sendiri. Tapi ia tidak bisa memaksa dirinya, untuk menghilangkan bayangan Alva dari benaknya. Kalau sampai Karin tahu, ia pasti akan meledek Alena
Pelajaran pertama Jumat pagi itu adalah olahraga. Alena mengikat rambutnya tinggi ke atas, supaya tidak berantakan selama berolahraga. Ia dan Karin bersama-sama berjalan keluar dari ruang ganti putri menuju ke lapangan.Lapangan yang luas itu sudah penuh dengan teman-teman sekelas mereka, ada yang berdiri mengelompok di pinggir, ada yang sudah mulai memainkan bola basket, ada juga yang hanya duduk-duduk.“Aduh...,” Alena mengaduh, karena Karin tiba-tiba menyikut tulang rusuk sebelah kirinya. “Ada apa sih, Rin?” Alena menegur dengan nada kesal.“Tuh, si Pangeran Putih lagi lihatin kamu...,” bisik Karin sambil tersenyum, ia mengedikkan kepalanya ke arah kanan Alena.Alena menoleh ke kanan, ke arah bangku-bangku semen yang berundak seperti anak tangga di pinggir lapangan. Alva duduk sendirian di bangku kedua dari bawah. Matanya seperti biasa menatap tajam...persis ke arah Alena! Wajahnya tetap dingin, tidak terse
Alena seperti mendapatkan energi ekstra sepanjang sisa jam pelajaran. Ada sesuatu yang ditunggu-tunggunya, dan hanya dia dan Alva yang tahu. Alva tetap tidak banyak bicara di dalam kelas, tapi dia sudah mulai bicara dengan Lucky yang duduk di depannya, atau lebih tepatnya Lucky yang mengajaknya bicara. Sepertinya setelah pertandingan voli tadi, Alva mulai dapat berbaur dengan teman-teman yang lain.Tapi ada satu hal yang tetap membuat Alena penasaran. Dia belum pernah melihat Alva tersenyum, apalagi tertawa. Wajahnya tetap saja dingin dengan sorot mata tajam. Hanya tatapan matanya yang kadang berubah menjadi lebih lembut, atau setidaknya begitu menurut Alena.“Setidaknya ada kemajuan. Dia udah mulai ngobrol sama yang lain,” Alena berkata dalam hati.*Bel tanda pulang berbunyi. Mendadak, Alena merasa jantungnya mulai berdegup lebih kencang, seperti menantikan sesuatu yang sang
Pagi itu, Alena terbangun sekitar jam setengah enam. Ia mandi dengan santai dan berganti pakaian. Ia mengemas beberapa barang ke dalam tas ransel kecil untuk dibawa pulang. Sambil menyisir rambut panjangnya, Alena membuka chat di ponselnya. Jam enam. Ada chat dari Alva lagi!Sebuah foto, kali ini foto matahari yang baru terbit di kejauhan. Alena tersenyum. Cara yang unik untuk mengucapkan selamat pagi.Mendadak, Alena tersentak. Dia menyambar ranselnya dan buru-buru berlari keluar kamar, menuruni tangga dengan setengah berlari juga. Dia tahu, dari mana Alva mengambil foto itu.Alena sampai di atas rooftop dengan sedikit terengah-engah. Ia masih mengatur nafasnya. Di ujung, ia melihat Alva memegang kamera DSLR, sedang membidik sesuatu di kejauhan."Kamu juga hobi motret?" Alena sengaja mengagetkan Alva.Usahanya berhasil, Alva tampaknya tidak menduga Alena sudah berada di situ. Alva menoleh. Rau
Senin pagi, Alena dan Karin berjalan berdua ke ruang kelas XI A. Karin masih asyik bercerita tentang liburannya ke Air Terjun Sri Gethuk. Mereka sampai di bangku Alena. Alva sudah duduk di bangkunya. Seperti biasa, ia kelihatan asyik mencoret-coret di kertas.Karin langsung duduk di bangku di depan Alena, dan meneruskan ceritanya. "Padahal jaraknya nggak jauh. Masa kamu belum pernah sih, ke Sri Gethuk?" tanya Karin dengan nada tidak percaya."Ya kalau dari rumah kamu dekat, kalau aku kan agak jauh. Lagian, kamu bukannya ngajak-ngajak... Udah tahu kalau aku paling suka air terjun," Alena menjawab."Siapa suruh kamu nggak mau ikut pulang ke rumahku?" ledek Karin.Alena tertawa. Tiba-tiba, Sania, pemilik bangku di depan Alena, sudah ada di samping Karin. Ia pun bergabung dalam obrolan. Sekilas, Alena menoleh ke arah Alva, cowok itu tetap asyik dengan kesibukannya sendiri.Bel tanda pelajaran perta
Pagi itu, hujan lebat sudah turun dari subuh. Alena dan Karin masing-masing membawa payung ke sekolah. Tapi angin kencang dan hujan yang sangat deras membuat pakaian mereka tetap basah. Sampai di sekolah, Alena dan Karin mampir dulu ke toilet wanita untuk mengeringkan diri. Di dalam toilet sudah ada beberapa teman yang lain.Alena menunggu di depan salah satu pintu toilet. Pintu terbuka, dan... Farah keluar dari toilet. Sepertinya mereka sama-sama kaget berpapasan seperti itu."Hai...Farah..." Alena cepat-cepat menguasai diri. Ia mencoba tersenyum.Farah hanya tersenyum tipis, dan berlalu tanpa bicara. Alena berusaha bersikap sewajar mungkin.Beberapa menit kemudian, Alena dan Karin masuk ke kelas. Entah mengapa, pandangan Alena langsung tertuju lagi ke Farah. Ia merasa, Farah juga sedang memandangnya dengan tatapan mata yang aneh. Alena buru-buru berjalan ke bangkunya. Alva mengangkat wajahnya dan menatap Ale
Alena selalu suka hari Rabu. Mungkin karena hari ini ada pelajaran seni musik dan ekstrakurikuler teater. Setelah beristirahat tadi malam, dia sudah tidak merasa pusing, dan badannya juga tidak hangat lagi.Sampai di kelas, Alva tidak kelihatan. Mungkin dia agak telat, pikir Alena.Sekitar satu menit sebelum bel masuk berbunyi, Alva melangkah masuk kelas, dan menyusul tepat di belakangnya... Farah. Alena merasa jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Ia berpura-pura tidak melihat, dan mengajak Sania yang duduk di depannya mengobrol. Ia juga tidak menoleh waktu Alva duduk di sampingnya.Pelajaran terasa berjalan sangat lambat, bahkan pelajaran seni musik pun tidak bisa menghiburnya. Ia merasa kesal pada dirinya sendiri. Sebaiknya tidak usah menduga macam-macam, ia berusaha menghibur dirinya sendiri.Jam pelajaran terakhir sudah usai. Alena mengemasi tasnya. Ia masih belum berbicara dengan Alva sepanjang hari ini
Jumat pagi adalah saatnya olahraga bagi kelas Alena. Hari ini jadwal olahraga bebas. Alena dan Karin sudah membawa raket badminton mereka masing-masing. Mata Alena dari tadi mencari-cari Alva.Itu dia! Ternyata Alva sedang duduk di bangku taman, dekat lapangan voli. Sepertinya dia sedang asyik dengan pikirannya sendiri. Alena berjalan mendekatinya. Karin sudah asyik bermain badminton dengan teman-teman yang lain. Alva sudah menoleh lebih dulu sebelum Alena menyapa."Ayo, ikut main badminton...," ajak Alena. Ia duduk di samping Alva di bangku."Aku nggak punya raket..." Suara Alva terdengar pelan."Kenapa? Kamu kayaknya kurang semangat hari ini..."Alva memandangnya. "Karena ini hari Jumat. Besok kamu pulang ke rumah. Aku sendirian lagi."Alena tidak menyangka Alva akan berkata seperti itu. Sepertinya ini saat yang tepat."Kamu nggak perlu sendirian... Kamu mau ng
Om Andre tinggal sendiri di sebuah rumah, yang menurut Alena sangat unik. Om Andre seorang arsitek, jadi dia sendiri yang mendesain rumahnya. Rumahnya berbentuk seperti joglo, rumah adat Jawa, dengan bahan sebagian besar dari kayu. Halaman depannya luas dan terdapat pendopo, di sinilah ia biasanya menerima tamu. Rumahnya sendiri memanjang ke belakang, dan terdapat banyak kamar.Om Andre menyambut mereka dengan ceria. Om Andre adalah adik Papa yang bungsu. Alena selalu tidak mengerti kenapa Om Andre belum menikah, padahal ia sudah mapan, dan menurut Alena, Om Andre juga sangat baik dan menarik.Om Andre mengajak mereka duduk-duduk di taman belakang rumah, di situ ada kolam ikan yang cukup besar. Alena dan Alva asyik memberi makan ikan."Opa dan Oma kamu baik banget ya... Masakan Oma juga enak, aku tadi sampai makan banyak banget, semuanya enak sih...," komentar Alena sambil tertawa.Alva kelihatan ceria, matany