Pagi itu, hujan lebat sudah turun dari subuh. Alena dan Karin masing-masing membawa payung ke sekolah. Tapi angin kencang dan hujan yang sangat deras membuat pakaian mereka tetap basah. Sampai di sekolah, Alena dan Karin mampir dulu ke toilet wanita untuk mengeringkan diri. Di dalam toilet sudah ada beberapa teman yang lain.
Alena menunggu di depan salah satu pintu toilet. Pintu terbuka, dan... Farah keluar dari toilet. Sepertinya mereka sama-sama kaget berpapasan seperti itu.
"Hai...Farah..." Alena cepat-cepat menguasai diri. Ia mencoba tersenyum.
Farah hanya tersenyum tipis, dan berlalu tanpa bicara. Alena berusaha bersikap sewajar mungkin.
Beberapa menit kemudian, Alena dan Karin masuk ke kelas. Entah mengapa, pandangan Alena langsung tertuju lagi ke Farah. Ia merasa, Farah juga sedang memandangnya dengan tatapan mata yang aneh. Alena buru-buru berjalan ke bangkunya. Alva mengangkat wajahnya dan menatap Alena. Tapi Alena merasa salah tingkah, dan tidak ingin membalasnya. Ia langsung duduk, dan berpura-pura menyibukkan diri dengan bukunya.
Waktu istirahat juga tidak membuat Alena merasa lebih rileks. Karin dan teman-teman cewek yang lain terus-menerus membahas tentang Prom Night. Alena bahkan hampir bertubrukan dengan Norman di kantin, karena saking ramainya. Sebenarnya, itu hal yang biasa terjadi di saat kantin sedang padat, tapi rasa bersalahnya pada Norman yang membuat Alena merasa hari itu terasa sangat panjang dan tidak nyaman. Norman tetap bersikap sopan padanya. Ia masih terngiang-ngiang perkataan Norman : "Kalau kamu berubah pikiran dalam seminggu ini, tolong kasih tahu aku ya."
Ini semua gara-gara Prom Night, Alena mengeluh dalam hati.
*
Alena hanya mengatakan, "Aku ikut ekskul dulu ya...," ke Alva, lalu cepat-cepat keluar dari kelas.
Alena juga tidak bisa berkonsentrasi pada materi yang disampaikan di kelas ekstrakurikuler. Entah mengapa, kepalanya terasa pusing. Mungkin gara-gara kurang tidur atau kehujanan, pikirnya. Waktu satu jam terasa sangat panjang.
Alena berjalan keluar dari ruang ekstrakurikuler PMR dengan lesu. Ia melambaikan tangan dan berusaha tersenyum pada teman-teman yang menyapanya.
Alena melirik arlojinya, baru jam setengah tiga. Alva mungkin sudah menunggu di rooftop. Tapi entah mengapa, ia merasa kehilangan semangat untuk bertemu Alva. Ia berjalan ke arah asrama. Ada baiknya ia beristirahat saja.
Sampai di kamar, Karin tidak kelihatan, mungkin dia sedang di kamar teman yang lain. Alena mengambil ponselnya, dan mengirim chat ke Alva. "Maaf ya, aku nggak bisa temanin kamu latihan, aku lagi nggak enak badan."
Alena tidak bisa memikirkan alasan yang lain lagi. Setelah itu, ia merebahkan badannya di tempat tidur dan terlelap.
*
"Len... Kamu udah bangun?" panggil Karin. Kenapa nada suaranya terdengar cemas?
"Mmm...." Alena masih merasa malas untuk membuka matanya. Berbaring di kasur rasanya nyaman sekali.
"Kamu sakit?" Karin memegang dahinya. "Iya, agak hangat..."
"Nggak..." Alena mencoba menepis tangan Karin.
"Tadi kamu bilang, nggak enak badan kan...?" tanya Karin.
Alena mencoba mengingat, kapan dia memberitahu Karin kalau dia tidak enak badan? Akhirnya ia membuka matanya.
"Siapa yang bilang, kalau aku nggak enak badan?" Alena membantah. Ia ingin bangun dari tempat tidur, tapi kepalanya masih terasa pusing."Alva yang bilang," jawab Karin.
"Apa?"
"Iya, Alva sampai datang ke ruang tamu asrama, minta Bu Tasya manggil aku... Aku pikir ada apa, aku udah kegeeran dicari Alva... Eeh...ternyata dia minta aku lihatin kondisi kamu. Katanya kamu nge-chat dia, kalau kamu lagi nggak enak badan...," cerita Karin panjang lebar.
Alena merasa ingin bersembunyi di balik selimutnya, supaya Karin tidak bisa melihat wajahnya yang memerah. Sekarang Karin jadi tahu, kalau mereka sering berkirim chat lewat ponsel.
"Aku tadi lagi di kamar Lala, jadi nggak tahu kalau kamu udah pulang. Begitu Alva kasih tahu, baru deh aku ke kamar, lihat kamu udah tidur nyenyak... Saking nyenyaknya, sampai nggak bangun, waktu aku keluar masuk kamar. Padahal, biasanya kan kamu paling sensitif sama suara...," Karin masih melanjutkan ceritanya.
"Waktu aku pegang badan kamu, emang agak hangat... Jadi aku bilang ke Alva, kayaknya kamu emang lagi demam. Tapi masih lagi tidur... Terus, dia malah bilang, mau nunggu kamu di ruang tamu asrama..."
"Apa??" Kali ini Alena benar-benar tersentak bangun dari tempat tidurnya. Aduh, kenapa jadi begini?
"Iya, dia masih nungguin di bawah, dia minta aku kasih kabar, kalau kamu udah bangun...." Karin memperhatikan tingkah Alena dengan bingung.
"Eeeh... Kamu mau ke mana??" Karin menarik tangan Alena, yang sudah mulai berlari ke pintu kamar, sambil merapikan rambut panjangnya dengan tangan.
"Aduh, Rin... Aku harus kasih tahu Alva, kalau aku nggak apa-apa... Kenapa sih jadi begini? Padahal tadi maksud aku cuma...cuma... Ah, udah deh, aku ke bawah dulu..."
Alena sudah berlari keluar kamar, ia berusaha merapikan rambutnya. Aduh, dia merasa berantakan! Mana baru bangun tidur lagi... Ia berlari sepanjang tangga menuju ke bawah, sampai ke lantai satu, tempat ruang tamu asrama berada.
Benar saja, Alva sedang duduk di teras luar ruang tamu, dekat pot tanaman. Ia duduk menghadap ke halaman. Alena setengah berlari keluar, meskipun kepalanya masih agak pusing.
"Alena... Kamu sudah baikan?" Tiba-tiba Bu Tasya keluar dari ruang kantornya di sebelah ruang tamu, dan memanggilnya dengan suara keras. Alva langsung menoleh ke dalam. Mata mereka beradu. Alena terpaku di tempat.
Ia menolehkan wajahnya ke arah Bu Tasya. "Saya nggak apa-apa kok, Bu...," jawabnya, sambil memaksakan senyum di wajahnya.
"Syukurlah, kamu udah baikan... Itu, Alva sampai kuatir banget...," kata Bu Tasya sambil menunjuk Alva, yang sudah berdiri di hadapan Alena.
Sejak kapan Bu Tasya kenal Alva? Alena bertanya dalam hati. Tapi ia tidak punya waktu untuk memikirkan itu. Karena Alva sudah memandangnya dengan tatapan mata yang terlihat cemas.
"Kita di luar aja...," Alena memberi isyarat pada Alva.
Mereka berjalan keluar ke teras."Kamu beneran udah baikan?" Bahkan nada suara Alva terdengar cemas.
Alena menghela nafas. "Alva, aku nggak apa-apa... Tadi kamu cuma salah paham. Waktu aku chat kamu, aku lagi capek, karena baru pulang dari ekskul. Terus, semalam aku emang kurang tidur, makanya aku merasa butuh istirahat. Tapi aku nggak sakit... Kamu ngapain sih, sampai harus ke sini segala? Sampai bikin panik Karin aja...," Alena mengomel panjang lebar.
Mendadak, Alva melangkah mendekat. Ia mengulurkan tangannya, menyentuh leher dan tangan Alena, lalu tangannya berpindah ke kening Alena. Semuanya terjadi begitu cepat, Alena sampai tidak sempat bergerak. Rasanya ia seperti membeku di tempat. Tangan Alva begitu hangat. Kenapa sih dia selalu berhasil membuat jantung Alena seolah mau berhenti?
"Badan kamu agak hangat... Kamu sebaiknya istirahat aja...," kata Alva dengan suara lembut, sambil menatap Alena.
Alena jadi merasa tidak enak karena sudah mengomel tadi, padahal Alva begitu perhatian. Posisi mereka masih saling berhadapan. Bagaimana kalau sampai ada yang melihat mereka berduaan di depan asrama?
Alena melangkah ke samping.
"Kamu balik aja ke asrama... Aku nggak apa-apa kok...," Alena menanggapi dengan gugup."Nggak usah kuatir..., kalau emang sakit, aku ada cadangan obat di kamar..." Alena merasa wajahnya masih hangat karena perlakuan Alva tadi.
"Aku juga nggak tahu, kenapa aku kuatir banget tadi... Padahal aku tahu, kamu pasti bisa obati sendiri...," ujar Alva sambil tetap menatapnya. "Aku rasa, aku cuma pingin ke sini buat lihat kamu, buat pastiin kamu baik-baik aja..."
Alena menggigit bibir bawahnya. Kata-kata Alva selalu membuatnya salah tingkah dan berharap, tapi ia juga takut menyimpan harapan itu.
"Aku nggak apa-apa kok... Makasih ya, udah... ke sini..." Tadinya Alena mau mengatakan: "Makasih ya, udah perhatiin aku", tapi ia buru-buru mengubahnya.
Alena berusaha tersenyum. "Udah sore... Kayaknya, lebih baik kamu balik ke asrama. Aku tadi ketiduran lama banget ya, ternyata udah jam limaan..."
Alva memandang ke arah langit yang mulai remang-remang. "Ya udah... Kamu istirahat aja lagi. Aku balik dulu..." Ia mulai melangkah ke halaman.
"Alva... Makasih ya...," kata Alena sekali lagi.
Alva hanya menatapnya penuh arti.
*
"Kamu udah ketemu Alva?" tanya Karin.
Alena hanya mengangguk pelan. Ia tidak mau mengatakan kalau kepalanya masih agak pusing, mungkin gara-gara kelamaan berbaring, atau salah posisi tidur tadi.
"Dia benar-benar kuatir lho tadi... Aku rasa...," Karin tidak meneruskan kalimatnya.
Alena tidak berani memandang Karin. Ia berpura-pura melihat ponselnya. Ada beberapa chat dan panggilan tidak terjawab dari Alva, hanya untuk membuktikan ucapan Karin. Alena menyalahkan dirinya sendiri. Kenapa sih dia bisa tertidur begitu lelapnya, hanya gara-gara kurang tidur semalam?
"Rin, aku mandi dulu ya, habis itu, kita makan malam yuk...," akhirnya Alena membuka mulut.
"Eeh... Kamu kan masih agak panas, jangan mandi air dingin..." Sekarang Karin yang bertindak berlebihan juga.
"Rin, aku nggak demam kok... Ini cuma agak hangat, mungkin gara-gara tadi pagi kehujanan. Nanti kalau udah minum yang hangat juga baikan..."
"Beneran ya? Aku nggak mau lho, kalau sampai diomeli Alva, gara-gara kamu sakit lagi...," Karin mulai melontarkan candaan, tapi mukanya kelihatan serius.
Alena menghela nafas dan bergegas ke kamar mandi.
Setelah selesai makan malam, mereka berdua sibuk mengerjakan PR Matematika di kamar.
"Len... Kayaknya kamu benar, Alva emang nggak sedingin kelihatannya. Buktinya, dia bisa perhatian gitu sama kamu...," tiba-tiba Karin menyeletuk.
Alena melotot. "Karin....."
"Lho, kenapa? Aku kan cuma ngomong apa adanya. Lagian kamu sih, selalu nggak peka sama cowok. Coba, si Norman kurang baik apa sama kamu? Dia udah dekatin kamu sejak kelas sepuluh. Tapi, kamu nggak pernah anggap dia serius. Padahal kalau aku lihat sih, dia kayaknya ada rasa sama kamu... Terus, sekarang si Alva..."
"Rin... Kamu kok bawel banget sih?" Alena mulai gelisah, gara-gara Karin menyebutkan kedua nama itu.
"Ya emang aku bawel... Tapi aku kan sahabat kamu. Jadi, kalau menurut aku...kamu lebih cocok sama Alva. Kalian sama-sama unik, punya sisi misterius... Lagian, kamu harus lihat wajah Alva tadi sore, benar-benar kuatir..."
Wajah Alena mulai memerah. "Karin... Udah dong... Aku lagi fokus nih..."
Giliran Karin yang menghela nafas. Padahal dia tidak bermaksud menggoda. Mungkin lebih baik dia membiarkan semuanya mengalir saja.
Sebelum tidur, Alena mengecek ponselnya. Seperti biasa, Alva mengirim chat sekitar jam delapan malam.
"Jangan lupa istirahat.""Kamu tadi siang sempat latihan nggak?" tanya Alena ingin tahu.
"Sempat."
"Besok aku ekskul teater. Habis ekskul, aku pingin lihat kamu latihan."
"Sebaiknya kamu istirahat aja besok."
"Aku nggak sakit kok..." Alena mengirim emoji wajah yang kesal.
Hening.
Agak lama kemudian, Alva mengirim sebuah foto. Foto air terjun yang sangat indah, menurut Alena. Fotonya diambil agak menyamping, dengan pepohonan hijau sebagai latar belakang. Alena terpesona.
"Di mana itu? Bagus banget...""Biar kamu mimpi indah. Good night." Alva hanya menjawab seperti itu.
Alena agak kesal karena pertanyaannya tidak dijawab, tapi tak lama kemudian, dia tersenyum. Lagi-lagi, Alva mengingat percakapannya dengan Karin di kelas, bahwa dia sangat suka air terjun.
Semua orang di puncak bukit itu asyik mengabadikan momen matahari terbit. Alva perlahan melepaskan pelukannya, kemudian mereka berdua juga berfoto, dengan latar pemandangan gunung-gunung berselimutkan awan dan bola emas matahari. Mereka berdua duduk mengagumi pemandangan yang sangat luar biasa dari puncak bukit. Hawa dingin menusuk mulai terasa berkurang, karena kehangatan dari sinar matahari.Setelah kurang lebih satu jam di atas Bukit Sikunir, saatnya untuk melanjutkan perjalanan lagi. Alena menoleh ke tempat Karin duduk tadi. Ia tampak sudah bisa berdiri, dengan dibantu Lucky. Alena dan Alva menghampirinya. Karin tersenyum malu-malu pada mereka."Kakiku udah baikan kok, udah bisa gerak lagi nih...," katanya, sambil menggerak-gerakkan kaki kirinya."Bisa jalan nggak?" tanya Alena."Bisa kok..." Karin berjalan pelan-pelan. "Ayo kita turun..."Lucky membantu Karin berjalan perlahan-lahan ke tan
Hari Kamis pagi, seluruh peserta karya wisata kelas XI IPA berkumpul di halaman depan sekolah. Jumlah peserta sekitar 150 siswa dari tiga kelas. Sudah ada tiga bus wisata besar yang menanti di depan gerbang sekolah. Tentunya mereka tetap didampingi oleh guru-guru mereka, ada empat guru pria dan dua guru wanita yang ikut dalam karya wisata tersebut. Sekolah tidak menggunakan jasa event organizer atau pemandu wisata, para siswa sendirilah yang menjadi panitia. Tujuannya untuk melatih kemandirian dan kedisiplinan siswa.Sekitar jam enam, seluruh peserta sudah lengkap didata. Kemudian mereka dibagi ke dalam tiga bus, Alena dan Alva berada dalam satu bus, sedangkan Karin di bus yang lainnya. Alena merasa senang bisa bersama Alva. Mereka duduk bersebelahan di bangku paling belakang, bersama dengan tiga teman lainnya. Setelah briefing singkat dan doa bersama, bus-bus itu meluncur meninggalkan sekolah.Di dalam bus, paniti
Tiga bulan kemudian.Ujian akhir semester kedua sudah menanti Alena dan Alva. Tugas dan latihan soal, ulangan harian mendadak, jadwal ekstrakurikuler, kursus bahasa Jerman, dan belajar untuk ujian akhir, seperti rutinitas yang sudah menjadi makanan mereka sehari-hari selama tiga bulan terakhir ini.Alena merasa lama-lama ia menjadi terbiasa dengan kesibukan tersebut, hal yang tadinya terasa begitu berat di awal. Alva tidak pernah mengeluh atau terlihat kesulitan menjalani semuanya. Ia juga selalu mendampingi Alena, sehingga Alena merasa mendapat semangat tambahan untuk bisa menyamai Alva.Alena dan Alva sama-sama berhasil naik ke level berikutnya dalam kursus bahasa Jerman mereka. Mereka berniat untuk mengikuti ujian Bahasa Jerman di Goethe Institute setelah Alena menyelesaikan level B1, rencananya dalam waktu enam bulan ke depan.Ujian akhir semester kedua bagi siswa kelas X dan XI SMA Scientia berlangsung se
Alena berjalan tergesa-gesa menuju ruang tunggu pemain. Tadi di lobby, ia melihat sekelompok gadis remaja masih berkerumun, seolah menunggu. Untunglah panitia tidak mengizinkan siapapun masuk ke dalam ruang tunggu, kecuali yang memakai tanda pengenal crew. Apakah mereka menunggu Alva? Alena merasa makin tidak nyaman. Ia bergegas masuk ke dalam ruang tunggu yang tadi ditempati tim Om Bimo.Komunitas musik klasik dari Kampus ISI itu sedang bergembira dan mengobrol satu sama lain, tentunya merayakan keberhasilan penampilan mereka malam ini. Alva berdiri dekat Om Bimo. Om Bimo sedang berbicara sambil memegang pundaknya, seperti sedang memberi selamat atau menyemangatinya.Alva langsung menoleh ke arahnya, ketika Alena berjalan masuk ruang tunggu itu. Alva menatapnya dengan penuh arti. Alena merasa ia mengerti maksud Alva, ia tersenyum dan mengangguk. Lalu ia duduk lagi di kursi yang tadi siang didudukinya, memberi kesempatan Alva dan ti
Alena mengikuti Luis berjalan menuju pintu masuk ruang konser bagi penonton. Di situ, sudah ramai penonton yang mengantri untuk masuk. Alena melihat banyak penonton dari kalangan anak muda dan remaja, mungkin sebagian besar adalah mahasiswa dan pelajar.Setelah menyerahkan tiket ke panitia, Alena dan Luis masuk ke dalam ruang konser. Ruangan itu sangat luas dan megah dengan langit-langit tinggi. Kursi-kursinya tersusun berundak ke atas seperti di bioskop.Alena mengikuti Luis berjalan ke barisan kursi di tengah, tidak terlalu dekat dengan panggung, juga tidak terlalu jauh. Luis sepertinya sudah memilihkan posisi yang nyaman untuk merekam. Di depan kursi mereka, terdapat ruang yang cukup luas untuk menaruh tripod.Alena duduk dan mulai men-setting kamera dan tripodnya. Luis duduk di sebelah kanan Alena. Luis masih berusaha mengajaknya mengobrol, ia berkomentar tentang ramainya penonton dan dekorasi panggung yang megah
Minggu-minggu berikutnya adalah saat yang sibuk bagi Alena dan Alva berdua. Alva terus mempersiapkan diri untuk konser musik klasik, yang akan berlangsung tiga minggu lagi. Selain berlatih di Kampus ISI bersama Om Bimo dan komunitas, ia juga sering berlatih sendiri di gudang alat musik, tentunya ditemani Alena jika sedang tidak ada jadwal ekstrakurikuler.Kesibukan di sekolah juga semakin bertambah, karena ujian tengah semester akan diadakan sekitar dua minggu setelah konser musik klasik. Alena dan Alva harus berusaha membagi waktu untuk belajar, mengerjakan tugas, mengikuti kelas ekstrakurikuler, kursus bahasa Jerman, dan latihan musik.Alena merasa ia seperti sedang berlomba lari, dan nafasnya terengah-engah. Tapi ia merasa mendapatkan kekuatan lagi, setiap kali menatap wajah Alva. Ia teringat janjinya kepada Tante Clara, ia ingat nasihat Papa dan Mama, bahwa ia harus berjuang untuk meraih apa yang menjadi impiannya. Alva selalu berada di