Share

4. Jemput Delia

Aku mengusap pelan surai hitam Delia. Gadis itu tiduran di sofa, kepala direbahkan ke pahaku. Sambil memakan keripik pisang, kami menonton TV. Menikmati hari libur.

Tisa izin ke salon pagi tadi bersama teman-temannya. Sementara Renisa, dia titipkan ke orang tuanya. Fian sendiri, sibuk mengurusi tugas kuliah. Pemuda itu seperti tidak pernah absen dengan tugas kuliahnya.

Usai menonton kartun kesukaan Delia, aku memindahkan channel, menonton berita.

"Pagi ini, ditemukan mayat seorang gadis dengan tubuh hancur. Diduga, malam tadi terjadi kecelakaan di jalan Sudirman, karena di TKP warga menemukan mobil yang sudah hancur dibeberapa bagian. Mobil tersebut, diduga milik korban."

Di layar empat belas inc, terpampang sosok mayat berada di kantung jenazah. Beberapa warga terlihat membawa sesuatu di tangan dan membawanya ke kantung jenazah. Pun Polisi yang bertugas. Sayang sekali, baik jenazah dan benda yang tengah mereka angkut ke dalam kantung berwarna hitam, diberi blur.

"Ratna," gumam Delia membuatku tercengang.

Pandanganku jatuh pada layar TV yang sedang ditatap Delia. Tampak sepasang suami istri berusaha menerobos garis Polisi. 

"Delia kenal?" tanyaku ragu.

Delia tampak diam dalam pangkuan. Apa dia sudah tidur? Saat aku menunduk, mengintipnya, mata gadis itu sudah tertutup. Napasnya mengalun teratur.

Apa Delia hanya mengigau?

***

"Mas ...."

"Hmm." Aku melirik sejenak pada Tisa yang berbaring miring seraya mengelus lengan kecil Renisa.

"Kamu tahu tidak, tadi pas di salon aku dapat kabar dari teman-temanku. Katanya, salah satu putri tetangga mereka, diculik. Sudah dua hari tidak ada kabar."

Aku menatap Tisa sepenuhnya usai mematikan laptop. Mendadak resah mendengar kabar seperti ini. Pikiranku langsung tertuju pada Delia.

"Parahnya, anak itu satu sekolahan dengan Delia, Mas."

Jantungku terasa diremas mendengarnya. Ya Tuhan ... semoga saja Delia tidak mengalami hal serupa dan gadis yang diculik itu, semoga cepat ditemukan.

"Apa anak itu dari keluarga berada?"

Tisa menggeleng. "Katanya sih, ayahnya hanya seorang supir angkot. Tapi anak itu, cantik. Ah, aku ada fotonya. Dikirim di WhatsApp sama temanku. Mas, mau lihat?"

Tanganku meraih gawai yang disodorkan Tisa. Kepala mencoba menerka-nerka. Mendengar dari cerita Tisa tentang latar belakang keluarga anak itu, tidak mungkin motif penjahatnya untuk meminta uang tebusan. Lalu, untuk apa?

Aku meraih gawai di nakas saat benda itu berdering. Sementara mata masih mengamati wajah gadis berseragam putih abu-abu yang berada di gawai istri.

"Maaf, Pak. Sepertinya, Bapak harus menghentikan niat Bapak menggugat keluarga pelaku atas tindakan pembulian terhadap putri Bapak."

Alis mengkerut tajam mendengar ucapan Pengacara terpercayaku. Tidak biasanya dia meminta agar mempertimbangkan kembali keputusan yang sudah kuambil.

"Kenapa mendadak begini? Apa Anda ingin berhenti dari posisi Anda saat ini?" Satu alisku terangkat.

"Maaf, Pak. Bukan itu maksud saya. Begini saja, besok saya akan datang ke rumah Bapak."

"Tidak perlu. Bicara saja di sini!" cegatku.

Terdengar helaan napas dari seberang. "Begini, Pak. Tiga dari lima pelaku pembulian, saat ini sedang mengalami musibah."

Lelaki dari seberang menceritakan detail musibah yang sedang menimpa anak-anak pelaku pembulian terhadap Delia. Katanya, satu di antara mereka meninggal akibat kecelakaan. Terlindas truk dan anggota tubuhnya berhamburan saat ditemukan oleh warga. Duanya lagi diculik dan sampai sekarang belum ada kabar terbaru dari pihak berwajib. Sedang dua pelaku lainnya, masih dalam keadaan aman.

Tercengang aku mendengarnya. Ya Tuhan ... kenapa jadi begini?! Aku mengusap kasar wajah. Elusan di lengan, membuatku menoleh sebentar ke arah Tisa.

"Jadi ... apa, Bapak tetap ingin melanjutkan ini? Sebenarnya, sidang tetap bisa dilanjutkan. Keluarga pelaku akan menerima denda yang cukup besar demi meloloskan putri mereka dan membayar biaya pengobatan mental untuk Delia."

Setelah membuang napas gusar, aku berucap, "Cabut tuntutan untuk tiga anak itu. Sementara duanya lagi ...."

Aku menggantung ucapan cukup lama. Berpikir. Sampai kemudian mengambil keputusan agar Pak Dedi—Pengacara—menghentikan kasus ini, tapi tetap mengawasi dua pelaku yang tersisa.

"Ada apa, Mas?" tanya Tisa. Aku menggendong Renisa kembali ke kamarnya sebelum kembali merebahkan diri di samping Tisa.

Malam ini aku membutuhkannya demi menghilangkan beban di kepala.

***

"Delia yakin mau ke sekolah?" Aku menatap cemas gadis yang sudah berseragam lengkap itu.

Senin ini, Delia meminta kembali bersekolah setelah empat hari sekolah memberinya izin. Padahal aku sudah menawari agar dia pindah sekolah saja. Namun, Delia menolak.

"Ayah tidak perlu khawatir," katanya sebelum masuk ke mobil.

Aku mengembuskan napas. Sebelum menyusul Delia, langkahku terhenti saat dari samping, Fian mengklakson motornya dari samping mobil. Sejajar dengan jendela mobil di mana Delia duduk. 

Dia sedikit membungkuk menatap Delia, setelah menyapaku.

"Semoga harimu menyenangkan, adikku!" teriaknya di balik helm yang kacanya terbuka, kemudian melesat pergi.

Aku memijat tengkuk sebelum masuk ke mobil. Melirik Delia yang diam memandangi langit dari kaca mobil yang terbuka.

***

"Nanti ayah jemput, ya. Tunggu ayah, jangan ke mana-mana." 

Aku mengusap kepala Delia. Gadis itu mengangguk. Rasanya masih tak rela melepasnya tanpa pengawasan.

Apa aku sewa Bodyguard saja ya, untuk mengawasi, Delia? Tapi, Delia pasti tidak akan suka. Aku takut, itu hanya akan membuatnya merasa dikekang.

"Hari ini akan lebih baik dari yang kemarin. Ayah jangan khawatir." Senyum Delia sedikitnya mengobati kecemasanku.

Tak bisa dipungkiri, Delia memang segalaku. Meski aku telah mengkhianati mendiang ibunya, bukan berarti tega membuat Delia terluka sama seperti aku melukai ibunya. 

***

Mobil melaju memecah jalanan. Di samping, Tisa tidak henti bersuara berusaha menenangkan Renisa yang terus menangis. Mendadak anak itu demam, aku yang sedang berada di kantor pun bergegas menjemput mereka di rumah setelah Tisa menelepon dengan suara cemasnya.

Sesampainya di rumah sakit, Renisa dibawa ke IGD sebelum dipindahkan ke ruang perawatan. Aku berdiri di samping Tisa yang menangis di samping putrinya yang terbaring lemas. Renisa sudah mulai tenang dan tertidur setelah dipindahkan ke ruang perawatan anak. Namun, demamnya masih tinggi. Tadi saja saat kudapi di rumah, anak itu kejang-kejang.

"Tenang ya, dia akan baik-baik saja."

***

"Bi, Delia sudah pulang?" Sore tadi, aku lupa menjemput Delia karena terlalu sibuk dengan Renisa.

"Tunggu sebentar, Tuan. Bibi cek ke kamarnya dulu."

Napas kusentak kasar mendengar balasan wanita paruh baya. Bisa-bisanya dia tidak memperhatikan putriku, apa sudah pulang atau tidak!

Jariku mengetuk besi brankar, tempat Renisa terlelap. Lalu melirik Tisa yang tidur di sampingnya dalam keadaan duduk.

"Kamar Non Delia kosong, Tuan. Bibi cek kamar mandi juga, tidak ada, Non Delianya."

Aku meneguk saliva mendengar suara cemas Bibi. Gegas aku membangunkan Tisa setelah mematikan telepon. Setelah pamit ke Tisa, segera kupacu langkah menuju parkiran rumah sakit.

Ya Tuhan ... sekarang sudah menunjukkan pukul delapan malam. Bagaimana bisa aku lupa pada Delia?!

***

Pandanganku menyapu gelapnya sekolah. Lampu mobil menyorot gerbang. Di sana, tampak seorang gadis berjongkok di depan gerbang.

Mataku membelalak, bergegas turun.

"Ya Tuhan ... Delia?! Maaf, Sayang."

Gadis itu mendongak, menampakkan wajah pucat seperti susu yang sedikit tertutupi rambut. Segera kurengkuh tubuh itu, membawanya ke mobil seraya mengulang kata maaf. Delia diam saja sambil menunduk. Sebagian wajahnya tertutupi rambut.

Dia pasti marah padaku.

Saat melewati halte bus, tidak sengaja aku melihat seorang gadis berseragam SMA duduk di sana. Kedua tangannya menyangga di sisi tubuh. Rambut hitam panjang tergerai. Sekilas gadis itu mirip Delia.

Saat hendak melewati halte, mataku membeliak setelah meyadari sesuatu. Ya Tuhan ... itu Delia?!

Lantas, siapa yang tadi kujemput?

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status