"Hem ... hem."
Wanita dengan rambut tergerai indah hingga pinggul bersenandung riang. Dia duduk di kursi dengan membelakangi seraya menyisir rambut panjang Delia yang duduk di lantai. Gaun marun tipis melekat di tubuhnya yang ramping dan seputih salju.
Bibirku melengkung melihat keduanya, apalagi Delia ikut bersenandung bersama sang Bunda. Aku mendekati mereka yang sepertinya belum menyadari keberadaanku. Pelan, aku menyentuh bahu kanan istri. Senandung tadi terhenti, menyisakan sunyi dalam kamar. Pergerakan Adel berhenti hingga sisir yang ia pegang masih berada di rambut Delia. Keduanya belum bereaksi, masih menatap ke arah jendela kaca besar yang berada di kamarku dan istri.
Alis mengkerut saat keduanya tetap diam, tidak menoleh, tidak pula menyahut. Hingga kuberanikan memanggil istri dengan suara lembut seperti biasanya.
"Sayang ...."
Adel tetap berdiam diri membuatku bingung sekaligus resah. Lagi, aku panggil dirinya. Namun, hingga pada panggilan ke tiga, dia tetap bungkam tak ingin menoleh.
Akhirnya kuputuskan berjongkok di sampingnya, menunduk seraya mengambil tangan istri dari kepala Delia. Lalu melepaskan sisir dari tangannya, menggenggam serta mengecup penuh kasih punggung tangan yang terasa dingin dan kaku.
"Sayang, aku merindukanmu," kataku setelah mengecup punggung tangannya lagi.
Kepala aku dongakkan dan yang kudapati wajah Adel yang memucat penuh kerutan. Bukan, bukan kerutan, tapi wajah sepucat kabut itu retak dibeberapa bagian. Dia balas memandangku, tetapi kali ini tatap lembutnya berbeda. Netra hitam legam menatapku tajam, wajahnya berubah datar tak ada lagi senyum tulus di sana.
Bola mata Adel terlihat seperti ingin ke luar dari tempatnya. Pada pupil mata legam melebar dan bersorot tajam. Sklera matanya tampak menonjolkan urat-urat yang kian lama membesar membuatku ngeri sendiri.
"Adel ... kamu kenapa, Sayang?" tanyaku sedikit ragu. Pasalnya, tangan Adel balas menggenggam tanganku jauh lebih erat. Lama kelamaan, remasannya terasa kuat hingga tulang tangan dan jemari rasanya mau retak.
Aku meringis menahan sakit dan panas yang menjalar di tangan. Kutatap wajahnya yang masih diam tanpa ekspresi, lalu beralih pada tanganku yang mengkerut akibat remasannya. Geraman tertahan keluar kala tulang-tulang tangan terasa ingin remuk karena remasan istri.
"Adel ..." panggilku sambil meringis seraya menatap mata tajamnya.
Sepertinya, Adel benar-benar berniat ingin meremukkan tulang belulangku. Namun, bagaimana bisa wanita lembut dan selemah dirinya memiliki kekuatan sebesar ini?
"Adel, sakit. Tolong hentikan," pintaku mulai terduduk di lantai yang dingin. Hingga raunganku mengisi keheningan kamar saat dia mematahkan pergelangan tangan bersamaan dengan bunyi tulang yang terdengar retak.
Jantung berpacu kala mata berhasil terbuka. Napasku memburu, gegas aku mengusap keringat di dahi. Wanita itu lagi, lagi-lagi ia datang mengusik!
Melihat Tisa yang masih terlelap di samping, gegas aku turun dari ranjang. Mencari udara di balkon kamar, sepertinya akan ampuh mengusir keganjalan yang merajai dada. Sudah beberapa minggu Adel mendatangi mimpiku. Entah itu hanya menatap dari kejauhan dengan tatapan yang entah, aku sendiri tidak dapat mengartikan. Beberapa kali, dia juga menyebut nama Delia. Entah apa maksudnya.
"Sialan kamu Adel. Sebenarnya, apa yang kamu inginkan?" desisku, gigi menggeletuk hingga dapat terasa rahang mengeras. Tangan meremas pagar besi yang berada di balkon. Tatapan menerawang ke gelapnya malam.
Sekelebat bayangan hitam tampak berdiri di depan gerbang rumah. Aku mempertajam penglihatan, menembus kegelapan agar dapat melihat jelas sosok yang berdiri di luar sana. Sosok itu seolah menatap ke arahku membuat alis terpaut tajam.
"Siapa itu?!" teriakku nyaring. Tak peduli jika ada tetangga yang akan terganggu.
Sosok itu menggeleng, lalu menempelkan jari telunjuk di bibir. Sial! Orang itu mau main-main denganku rupanya!
Saat aku hendak beranjak—berniat turun ke lantai bawah dan menemuinya—sosok itu sudah berbalik dan berjalan ke gelapnya malam. Kini aku merutuki diri karena tidak meletakkan lampu di gerbang atau di depan sana. Mengapa juga orang rumah yang berada di depan sana malah pindah, akhirnya lampu dari rumah itu yang biasanya menerangi jalan kini padam membuat suasana kian gelap.
"Ada yang tidak beres," gumamku mengingat sosok tadi. Sosok yang samar tampak memakai topi dan menghilang di balik malam.
"Sayang, kenapa?"
Suara serak Tisa membuatku berbalik. Wanita dengan piyama sepaha itu, tengah berdiri di ambang pintu balkon sambil menguap. Aku menggeleng lalu membawanya kembali tidur. Biar sosok pengusik tadi diurus besok dan sebaiknya, aku tidak usah menceritakan pada Tisa. Jangan sampai dia khawatir berlebih lagi seperti kemarin-kemarin.
***
Napas kasar tersentak saat pengacaraku membawa kabar yang mampu membuat kepala berdenyut pagi ini. Salah satu dari gadis yang mem-bully Delia dan telah seminggu menghilang, dinyatakan meninggal akibat bunuh diri. Sungguh aku tidak habis pikir. Sebelumnya, satu dari mereka ditemukan meninggal akibat kecelakaan dan tubuh gadis tersebut terlempar dari mobil hingga hancur akibat dilindas truk yang menabraknya. Lalu sekarang, sungguh kepala mau pecah memikirkan semua ini!
"Mayat gadis itu, ditemukan gantung diri di sekolah, Pak Arya."
Seketika aku mendongak, menatap lelaki yang duduk di hadapan dengan alis mengkerut. Mata menerawang, mencoba mengingat sesuatu.
"Jadi ...." Ya Tuhan, gadis yang empat hari lalu ditemukan gantung diri di sekolah adalah ... pelaku yang mem-bully Delia?!
Aku berdecih, menyandarkan punggung ke sofa. Kembali aku menatap lelaki bertubuh kurus dengan kulit sawo matang di depanku.
"Hasil otopsi?"
Lelaki tersebut menggeleng pelan. "Keluarga tidak mengizinkan mayat gadis itu dioptopsi. Namun, saya mendapatkan informasi tentang keluarga korban yang sepertinya bisa menjadi benang merah atas kasus ini, Pak."
Aku mengangguk, lalu meraih map yang ia sodorkan. Dari data yang diperoleh, gadis itu terlahir dari keluarga kurang mampu. Ayahnya bekerja sebagai tukang becak, sementara sang ibu penjual bakso keliling. Dia hanya memiliki seorang adik lelaki.
"Orang tuanya sering bertengkar dan pernah bercerai sebelumnya. Para tetangga memberikan saya informasi ini, Pak," lanjutnya. "Sementara polisi telah menutup kasus ini karena keluarga tidak bersedia melakukan otopsi juga memilih tidak menindaklanjuti kasus anak mereka dan dugaan polisi pun mengarah pada kondisi mental gadis tersebut."
Ya, dapat disimpulkan bahwa gadis itu memiliki gangguan mental, melihat bagaimana lingkungan keluarga serta tekanan ekonomi apalagi sekolah yang dia masuki adalah sekolah terbaik dan cukup mahal. Meski memang yang kudapati, gadis itu masuk dengan bantuan beasiswa, tetapi tak bisa menjamin ketenangannya di sekolah sementara lingkungannya berada di kelas yang berbeda dengannya. Mungkin tekanan-tekanan itulah yang membuatnya kabur dari rumah dan memilih mengakhiri hidup.
Napas panjang terembus setelah diskusi panjang antara aku dan pengacara. Kini, tak ada lagi yang perlu diragukan. Kedua gadis yang mem-bully Delia memang meninggal secara normal. Tidak ada yang mengganjal.
"Saya akan tetap mengawasi dua pelaku tersebut, Pak. Sementara satu lagi yang telah dinyatakan hilang, hingga saat ini belum ada informasi terbaru dari polisi. Kemungkinan, jika sampai minggu depan dia tidak ditemukan juga, maka polisi akan menutup kasus tersebut, Pak."
Aku mengangguk, lalu menjabat tangan pria itu tak lupa memberi ucapan terima kasih sebelum Dedi pamit pergi. Meski tidak dapat menghukum kelima pelaku mengingat kondisi mereka yang tak memungkinkan, aku tetap memberi pengawasan agar tidak lagi menyentuh Delia. Meski dari mereka berlima, hanya satu gadis yang masih datang ke sekolah. Sementara yang satunya lagi telah mendekam di rumah sakit jiwa. Aku sendiri tidak peduli dengan alasan mengapa gadis tersebut mengalami gangguan jiwa, jelasnya aku menganggap hal itu sebagai ganjaran karena telah berbuat keji kepada putriku.
"Iya, tolong bantuannya, Pak," ucapku mengakhiri telepon. Kemunculan sosok semalam membuatku harus ekstra berhati-hati. Aku putuskan meminta bantuan seorang detektif, semoga saja kasus ini bisa diusut.
Lama kupandangi map yang berisikan foto seorang gadis berambut pendek, di lembar berikutnya juga terdapat foto dan biodata gadis berambut sebahu. Di bawah foto - foto itu, terdapat nama Nurul dan Ratna.
Suara derap langkah mengalihkan pandanganku. Delia dengan kaus putih kebesaran serta rok hijau sebetis mendekat dengan tatapan fokus pada map di meja.
"Hai, Sayang." Kuberikan senyuman untuknya. Delia hanya melirik sebentar, seulas senyum tipis tersungging di bibir pink alaminya. Dia duduk di sebelahku.
"Nurul."
Aku mengikuti arah pandangnya pada map biru. "Iya, Sayang. Dia teman sekolahmu yang mem-bully Delia."
Dia bergumam, lalu menjatuhkan kepalanya di bahuku. Senyum tersungging mendapati sikap manja Delia yang tiba-tiba. Meski dia hanya diam, tetapi dengan dia yang mau dekat seperti sekarang sudah cukup menjelaskan. Tangan bergerak mengelus lembut surai hitam legamnya.
"Delia mau beli bunga lavender."
Aku mengangguk, lalu mengecup dahinya. "Iya, Sayang. Nanti kita beli bersama."
Sungguh, Tuhan ... seburuk apa pun aku sebagai seorang lelaki, tapi aku sangat menyangi putriku. Sebagai seorang ayah, aku tak akan sanggup melihatnya terluka. Apalagi jika ada yang melukainya. Aku janji, ini akan jadi yang terakhir, setelahnya tidak ada lagi yang berani melukai Deliaku.
Bersambung
"Delia!" Jantungku berpacu dengan tangan terkepal. Gegas aku berlari ke balkon dan meraih tubuh kecil itu. Aku angkat tubuh itu yang terasa singan dan langsung meurunkannya kasar, hingga Delia mundur selangkah. Gila! Apa yang dipikirkan anak itu?! Berdiri di atas pagar balkon?! Demi Tuhan, aku baru saja kehilangan istriku karena gantung diri dan sekarang, putri semata wayang juga ingin melompat dari lantai dua rumah ini?! "Apa yang kamu lakukan, ha?!" Suaraku meninggi, menatapnya tajam. Delia justru balas menatap seolah dia tidak gentar dengan sentakan barusan. Aku menggusar rambut, melihat gadis itu cuman diam. Gigi gemertak menahan amarah di dada. "Kamu harus pindah kamar! Ayo!" Melihatnya diam saja, aku meraih pergelangan tangan Delia dan menyeretnya kasar dari balkon. Namun, teriakan Delia membuatku terlonjak menatapnya. "Aku
"Sayang sekali, Pak, CCTV tidak sampai menjangkau area gerbang rumah."Napasku tersentak kasar melihat monitor yang sama sekali tidak menampakkan apa-apa selain kegelapan. Pria berjaket kulit akhirnya berdiri dari duduk setelah beberapa menit memeriksa hasil rekaman CCTV di seluruh area rumah."Untuk berjaga-jaga, saya akan menugaskan beberapa orang berjaga di rumah Anda, Pak."Aku mengangguk mengucapkan terima kasih. Setelah kedua detektif itu pergi dengan tangan kosong, aku terduduk di kursi. Memandang kosong CCTV yang hanya memperlihatkan area depan rumah yang gelap, hanya lampu taman yang menyorot remang. Setelah para detektif tidak menemukan bukti atau kejanggalan yang ditinggalkan sosok yang datang semalam, aku mengutus orang untuk memasang CCTV di depan gerbang.Belum selesai masalah dengan perubahan sikap Delia dan teror kulit kucing di jemuran, kini sudah muncul masalah baru. Bik
"Hem ... hem."Wanita dengan rambut tergerai indah hingga pinggul bersenandung riang. Dia duduk di kursi dengan membelakangi seraya menyisir rambut panjang Delia yang duduk di lantai. Gaun marun tipis melekat di tubuhnya yang ramping dan seputih salju.Bibirku melengkung melihat keduanya, apalagi Delia ikut bersenandung bersama sang Bunda. Aku mendekati mereka yang sepertinya belum menyadari keberadaanku. Pelan, aku menyentuh bahu kanan istri. Senandung tadi terhenti, menyisakan sunyi dalam kamar. Pergerakan Adel berhenti hingga sisir yang ia pegang masih berada di rambut Delia. Keduanya belum bereaksi, masih menatap ke arah jendela kaca besar yang berada di kamarku dan istri.Alis mengkerut saat keduanya tetap diam, tidak menoleh, tidak pula menyahut. Hingga kuberanikan memanggil istri dengan suara lembut seperti biasanya."Sayang ...."Adel tetap berdiam diri membuatku bingung sekaligus resa
"Ucing, ucing!"Suara mungil dari ruang makan, membuat langkah tercapu mendekat. Tampak Renisa berjongkok di kolong meja makan sembari memanggil-manggil dengan suara cadel.Aku ikut berjongkok di samping gadis berambut sebahu. Lalu menoleh ke arahnya."Nisa cari apa?"Mata bulat mengerjap. "Ucing, Ayah! Lenica cali-cali, ucingnya ilang!" (Kucing, Ayah! Renisa cari-cari, kucingnya hilang!).Laporannya membuatku terkekeh geli. Jadi teringat saat Delia kecil dulu. Sama persisi seperti Renisa. Usai mengelus kepalanya penuh sayang, aku membawa gadis itu dalam gendongan lalu berjalan ke ruang tamu.Dari arah tangga, Delia turun masih dengan gaun tidur berwarna putih. Rambut hitam legam digerai indah. Bersamaan dengan itu, Fian keluar dari kamar yang berada di samping tangga. Karena kamar di lantai atas sudah terisi, kecuali kamar Delia dan aku takut membuat gadisku itu marah alhasil Fian
Mendengar suara bising, perlahan mata terbuka. Remangnya lampu tidur menyorot ruangan. Dengan mata masih berat luar biasa, aku melirik sekitar mencoba meraih saklar di dekat nakas. Jam beker masih menunjukkan pukul dua dini hari.Di sisi pintu kamar mandi, tak sengaja mata menangkap sosok bergaun marun berdiri menatap ke arahku. Aku mengucek mata sebentar, kembali mempertajam penglihatan. Seketika kesadaran kembali ke raga kala suara isakan dari depan sana terdengar lirih menggantikan suara gaduh yang terdengar dari luar kamar.Suara tangis yang amat pilu. Mendadak hati ikut tercubit, iba mendengar tangisnya.Tunggu, aku sedang bermimpi, 'kan? Sosok itu makin mendekat. Suara tangisnya makin parau dan menyesakkan dada."Delia ... Delia ...."Mata terpejam erat saat wajah yang tidak tersorot lampu menunduk hendak mendekat. Jantung berdentum, cucuran keringat di dahi dan sekujur tub
Dengan jantung berdebar, aku menghentikan mobil ke sisi jalan. Tangan berkeringat mencengkeram stir mobil. Dahi pun digerayangi peluh. Susah payah aku menelan saliva, menyiapkan diri sebelum melihat sosok di samping yang kujemput di sekolah tadi."Saya mau pulang ...." Terdengar isakan dari kursi di sebelah.Bulu kudukku meremang, pegangan di stir aku eratkan. Tubuh menggigil mendengar suara tangis yang makin kencang itu. Mataku terpejam rapat, lalu menutup kedua telinga saat suara isakan berubah menjadi pekikan yang memekakkan."Saya mau pulang!""Ayah!"Jantungku berdentum keras saat suara tadi menghilang. Menyisakan aroma busuk dari kursi penumpang. Seperti bau bangkai hewan yang berhari-hari dibiarkan. Gegas aku keluar dari mobil, melewati Delia yang berdiri di dekat pintu mobil. Perut mual luar biasa gara-gara aroma menyengat itu."Ayah kenapa?" Delia memijat tengkukku ya