Share

02 - Sebuah Misi

Jenna's POV

Keesokan harinya..

"Jennaaaaaaa!"

Aku sedikit terkejut ketika mendapati dua orang gadis tiba-tiba datang berlarian menuju ke arahku saat aku baru tiba di halaman sekolah.

"Apa? Ada apa? Apa Kristy berbuat ulah lagi, huh? Di mana? Kristy di mana?" tanyaku bertubi-tubi.

Tentu saja aku panik, mengingat Kristy—salah satu sahabat baikku memang kerap berbuat ulah dengan mengerjai para guru di sekolah.

Yah, kami berempat—aku, Maggie, Jessie dan Kristy memang terkenal bandel, tapi Kristy-lah yang paling bandel di antara kami. Meski begitu, kami pun tak jarang mengikuti permainannya sehingga setiap kali mendapatkan hukuman, kami bertiga pasti ikut terkena imbasnya.

Belum sempat Maggie dan Jessie menjawab, seorang gadis lain yang sangat kami kenal muncul di kejauhan, berlari menuju ke arah kami. Aku menghela napas lega melihatnya. Itu Kristy.

"Jennaaa!" ia berteriak dan langsung memelukku erat-erat.

"Ada apa, sih? Kenapa kalian bersikap seperti ini? Hei, hentikan aku tak bisa bernapas." aku mencoba melepaskan lingkaran lengan Kristy dari leherku.

"Hei, katakan padaku. Apa benar kemarin kau berkelahi dengan The Jackals?" tanya Jessie pula.

"Apa kau sudah gila, huh? Kenapa kau tidak mengajak kami? Kami ‘kan juga ingin sekali menghajar mereka berempat." sambung Kristy.

Ah maaf, tapi sepertinya aku tidak begitu.” Maggie menyahut sedikit lirih, "Tapi apa kau baik-baik saja? Mereka tidak menyakitimu, bukan?”

“Katakan padaku, apa mereka kalah olehmu, huh? Ya! Pasti begitu. Jenna kita selalu bisa diandalkan." Kristy kembali menyahut dengan berapi-api.

Aku tersenyum kecut mendengarnya. The Jackals. Tak perlu kujelaskan lagi siapa yang mereka maksud dengan The Jackals. Tentu saja keempat bocah berandal yang kutemui di pasar kemarin.

"Tidak. Aku tidak berkelahi dengan mereka. Hanya memergoki. Itu saja." ucapku.

"Benar begitu?"

"Begitulah. Tapi, darimana kalian tahu kalau aku bertemu mereka kemarin? Apa kalian mengikutiku?"

"Tidak, hanya saja—" Jessie tak melanjutkan ucapannya, melainkan justru bertukar pandang dengan Kristy dan Maggie.

Aku sedikit heran ketika melihat mereka ragu-ragu mengatakan sesuatu.

"Ck, lupakan saja. Ayo kita ke kelas. Sepertinya aku belum sempat mengerjakan tugas Matematika karena sibuk merawat Ibu yang sakit. Maggie, aku pinjam punyamu, ya." kataku pula.

"Ah, Jenna, tunggu!" cegah mereka tiba-tiba.

"Kenapa?"

“Sebenarnya—”

***

Sammy POV

Sudah sekitar 10 menit aku menunggu gadis itu di kelasnya, tapi nyatanya ia tak kunjung muncul juga. Apa dia takut padaku sehingga sengaja bolos dan tak berani masuk kelas?

Aku tersenyum simpul melihat murid-murid lain yang kini tampak berbisik-bisik ketakutan melihat kami.

Tentu saja, memangnya siapa yang tidak mengenal The Jackals, kelompok yang bahkan sudah sangat terkenal di sekolah. Ya, kami memang sedikit berandalan, tapi tetap saja kami tidak suka menindas murid yang lemah. Kecuali jika mereka mencoba menantang secara terang-terangan. Oke, sebuah pengecualian untuk kejadian yang sering terjadi di pasar. Itu sudah menjadi hal lain lagi.

Ya, selama ini kami sangat berpengaruh di sekolah dan tak ada yang berani berurusan dengan kami, tapi rupanya kini aku justru merasa tertantang oleh seorang gadis bernama Jenna itu.

Hm, dia harus tahu siapa sebenarnya Sammy.

"Sam, mungkin sebaiknya kita kembali ke kelas saja. Sepertinya Jenna tidak masuk hari ini." ucap Martin padaku.

Aku tahu dia gelisah karena sebentar lagi bel masuk berbunyi dan dia pasti tak mau ketinggalan jam pelajaran pertamanya.

Ck! Memang, di antara kami berempat, Martin lah yang paling pandai. Dan berkat dirinya pula aku jadi tidak pernah TIDAK mengerjakan tugas pelajaranku. Meskipun aku sering mengajaknya bolos, tapi entah kenapa laki-laki berkacamata bulat ini selalu bisa mengejar ketinggalan pelajarannya. Kurasa otaknya itu bukan otak biasa seperti yang sewajarnya dimiliki manusia.

"Sepertinya Jenna memang tidak masuk. Tadi pagi saja sewaktu aku mandi di rumahnya, ia masih tidur." sambung Yoshua—teman kami yang bertubuh paling pendek di antara kami berempat. Meski begitu, wajahnya lumayan manis dengan sedikit poni yang menutupi dahinya, Tak sedikit murid gadis di sekolah ini yang mengaguminya.

"Huh? Kau mandi di rumahnya?" berbagai pikiran kotor pun langsung mampir ke otakku saat mendengar ucapannya itu.

Apa mungkin Yoshua berbuat hal tidak senonoh dengan gadis itu?

Ah, benar juga, aku baru ingat kalau mereka berdua memang bertetangga.

"Aku yakin dia datang. Lihat saja. Bahkan ketiga temannya juga belum masuk kembali semenjak mereka keluar kelas tadi. Mereka pasti saat ini sedang bersembunyi dari kita." tambah Harry.

Dari ketiga temanku ini, Harry-lah yang paling kusukai. Karena dia selalu memiliki pemikiran yang hampir sama denganku. Tubuhnya paling gempal di antara kami berempat dan sangat bisa diandalkan.

"Kau benar. Aku pun berpikiran seperti itu. Kita tunggu sampai mereka masuk." Pungkasku kemudian.

Namun, lima menit berlalu dan aku masih belum melihat tanda-tanda kedatangan mereka. Aku mulai putus asa dan karena desakan yang terus menerus datang dari Martin, akhirnya kami pun beranjak keluar dari kelas Jenna.

Akan tetapi baru saja kami keluar dari kelas, tahu-tahu empat orang gadis telah berdiri di depan kelas, membuat langkah kami seketika terhenti karenanya.

"Oh, ha-halo.." sapa Yoshua sambil melambaikan tangannya.

"Apa ini? Kenapa kalian di luar?" tanya Martin tak kalah terkejut pula.

"Aku menunggu kalian." Jenna menyahut dengan wajah tanpa dosa miliknya.

Tentu saja jawabannya membuatku tak habis pikir, "Apa katamu?"

"Kudengar kalian hendak menemuiku. Karena tak ingin mengganggu ketenangan murid yang lain, jadi aku menunggu kalian sejak tadi di sini. Akhirnya kalian keluar juga." lanjutnya lagi.

Tunggu. Apa maksudnya ini? Jadi mereka sudah berada di sini sejak tadi? Sial. Apa mereka sengaja ingin membuat kami kesal?

"Kenapa kalian lama sekali, huh? Kakiku sampai pegal berdiri di sini sejak tadi." gadis dengan surai panjang lurus dan wajah tegas menyahut dengan nada jengkel. Aku tahu namanya Kristy.

"Jadi—kenapa kau ingin menemuiku?" Jenna kembali bertanya seraya menatapku.

Hazel cokelat miliknya menatap lekat padaku, seolah sengaja ingin menantangku. Baiklah, kuakui wajahnya memang lumayan—bahkan sangat cantik. Meski tak banyak memakai polesan wajah seperti halnya murid gadis kebanyakan, wajahnya sangat natural dan tetap terlihat cantik. Tapi tentu saja itu tidak mengubah pemikiranku tentangnya, yah—gadis sok kuat ini harus tahu dengan siapa ia berhadapan sekarang.

"Aku ingin membalas dendam." ucapku pula.

"Huh? Balas dendam? Kenapa?"

Tak mencoba menjawab, aku hanya diam menatapnya. Mencoba mengeluarkan senjata milikku yang selama ini selalu berhasil membuat para gadis takluk. Ya, aku yakin pasti gadis angkuh ini akan gugup saat aku menatapnya lekat seperti ini.

Namun, siapa sangka aku justru dibuat kesal lantaran gadis itu mendadak tertawa terpingkal-pingkal tanpa sebab.

"Hahaha.. Astaga, apa kau marah karena kemarin Kak Jason datang menghajarmu, huh?" katanya yang seketika membuatku mengernyit kecil.

Apa katanya? Dia mengenal Kak Jason? Dan juga, dia memanggilnya Kakak? Tunggu. Apa hubungan mereka dekat? Dan lagi, bagaimana dia bisa tahu bahwa Kak Jason mendatangiku kemarin?

Dengan jengkel aku melirik ke arah laki-laki yang patut kucurigai. Yoshua. Tapi laki-laki itu dengan cepat menggeleng berkali-kali menandakan bahwa ia tak membocorkan perihal kejadian memalukan kemarin.

Tatapanku beralih kembali pada gadis yang masih berdiri di hadapanku itu.

"Ah.. Aku lupa memberitahu sesuatu. Kemarin aku kabur bukan karena aku takut, tapi karena aku memiliki urusan yang jauh lebih penting daripada hanya sekedar berurusan dengan berandalan seperti kalian. Jadi jangan pernah berpikir kalau aku takut padamu. Mengerti?" katanya.

Sial. Kenapa dia selalu berhasil mengatakan sesuatu terlebih dahulu bahkan sebelum aku sempat mengatakan apapun?

"Dan juga.. Lain kali bersikaplah sopan terhadap orang yang lebih tua darimu, hm?" lanjutnya lagi seraya menepuk bahuku sedikit keras, lantas beranjak melewatiku begitu saja, diikuti ketiga kawannya.

Tunggu. Apa-apaan ini? Bagaimana bisa aku mendadak jadi seperti patung di hadapan gadis ini?

Tidak! Tidak bisa!

"Oi, Jenna!" ucapku pula tanpa menoleh. Meski begitu, bisa kudengar langkah kaki mereka kembali terhenti saat mendengar panggilanku.

"Jangan pernah ikut campur urusanku lagi, atau kau akan menerima akibatnya." lanjutku kemudian dengan lirih namun tegas.

Bagus, Sammy. Setidaknya kau tidak terlihat lemah di hadapan mereka, terutama gadis bernama Jenna itu.

Lantas usai mengucapkan itu, aku pun melangkahkan kedua kakiku beranjak pergi begitu saja meninggalkan mereka, diikuti oleh ketiga temanku.

Diam-diam aku menyunggingkan smirk kemenanganku. Aku yakin saat ini dia pasti merasa kesal karena ucapanku. Ya, itu sudah cukup melegakan.

"Wah.. Kau melakukannya dengan baik. Mereka tampak kesal dengan ucapanmu barusan." ucap Harry sambil menepuk bahuku.

"Tapi kalau suatu saat nanti Jenna masih suka ikut campur, apa kita benar-benar harus memberinya pelajaran?" tanya Yoshua pula.

"Siapa yang tahu?" aku mengendikkan kedua bahu.

"Heh? Kau serius? Tapi, apa itu tidak terlalu berlebihan? Bagaimanapun juga dia itu seorang gadis."

"Memangnya kenapa? Apa kau tidak tahu kalau dia itu sebenarnya lumayan jago berkelahi? Dan juga, dia memiliki teman-teman yang sama sangarnya dengannya." kata Harry.

"Tapi tetap saja mereka itu perempuan. Kupikir akan memalukan jika kita harus melawan perempuan. Mereka itu makhluk lemah yang berperasaan lembut."

Aku mendadak tertegun mendengar ucapan terakhir Yoshua itu. Berperasaan lembut? Ah, benar juga. Lantas, sebuah smirk pun kembali terulas di wajahku. Sepertinya aku memiliki ide yang bagus.

"Tenang saja. Kalau memang dia masih suka ikut campur dengan urusan kita, kita lawan dengan cara lain."

"Huh? Cara lain? Maksudmu?"

"Kuberitahu nanti saja."

"Hei! Cepat! Cepat! Kita benar-benar akan terlambat masuk kelas!" teriak Martin yang ternyata sudah berjalan jauh mendahului kami bertiga.

Aku mendesah kecil melihatnya.

"Oi, Martin! Kita akan membolos lagi hari ini!" balasku pula.

"HEH?!"

***

Jenna POV

"Apa? Kau serius?"

Aku seketika menutup kedua telingaku mendengar pekikan dari ketiga sahabatku itu.

"Ugh! Kenapa reaksi kalian berlebihan sekali? Kupingku sampai sakit." ucapku seraya meniup kedua telapak tanganku, kemudian mendekatkannya pada kedua telingaku.

"Tapi Jenna, aku benar-benar senang sekali mendengar rencanamu itu. Kita akan ke pasar dan mengawasi The Jackals? Wah.. Benar-benar rencana brilian!" Jessie berseru dengan raut wajah berseri-seri.

Aku tersenyum kecut melihatnya, “Hei, aku tahu kau senang karena kau memiliki maksud yang lain. Ck.. Sudahlah, lebih baik kau lupakan saja perasaanmu pada laki-laki gempal itu. Dia bahkan hampir saja menghajarku kemarin."

Begitulah. Jessie memang sudah lama menyukai laki-laki bernama Harry itu. Entahlah, aku tidak tahu bagaimana bisa ia menyukai laki-laki seperti itu. Memang dia tampan. Tapi tetap saja sikapnya tidak kusukai. Sama halnya seperti Sammy.

"Bukankah itu hebat? Oh my God.. Dia benar-benar tidak pilih-pilih dalam mencari lawan." lagi-lagi Jessie berkata sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di dada dan menatap ke atas seolah-olah membayangkan sesuatu.

"Oi! Apa kau sedang membayangkan aku dihajar oleh Harry, huh?" ucapku padanya sengit.

"Ya, kau benar.. Hehehe...." sahutnya cengengesan membuatku seketika mendengus jengkel karenanya.

"Baik, aku setuju. Sepulang sekolah kita langsung ke pasar tempat mereka biasa beroperasi. Sekalian aku ingin membeli beberapa bahan makanan untuk makan malam nanti." kali ini Maggie yang menyahut.

Aku tersenyum dan mengangguk. Sahabatku yang satu ini memang pandai sekali dalam hal memasak. Kami bahkan sering pergi ke rumahnya hanya untuk ikut merasakan makanan buatannya.

"Kau membeli bahan makanan di pasar? Kenapa tidak di minimarket atau supermarket saja? Bahan makanan di sana jauh lebih bersih dan terjamin daripada di pasar." Kristy terdengar menimpali. Maklum, di antara kami berempat, bisa dibilang dialah yang paling perfeksionis. Ia berasal dari keluarga yang cukup terpandang dan kaya. Tidak heran jika ia memiliki pandangan sedikit berbeda dari kami bertiga.

"Tak masalah. Aku ini koki yang handal. Aku bisa membedakan mana bahan makanan yang masih segar dan tidak." Maggie pun menyahut tenang.

Kristy tampak mencibir mendengarnya, "Baiklah.. Kita ke pasar nanti. Tapi sebagai gantinya, kau harus memasakkan makanan yang lezat untuk kami."

Maggie mengacungkan jempol kanannya, "Deal."

"Baiklah! Dengan ini kita sudah sepakat akan mengawasi gerak-gerik The Jackals mulai sekarang dan akan menjadi pembela kebenaran. Setuju?" kataku kemudian seraya menyodorkan tangan kananku ke depan meminta persetujuan mereka.

"Setuju!" sambut Kristy antusias sembari meletakkan tangan kanannya di atas tanganku.

"Tidak masalah." sambung Maggie mengikuti jejak Kristy.

Kami terdiam sejenak dan saling berpandangan. Tunggu. Sepertinya anggota kami masih kurang satu.

Dengan serempak kami pun menoleh ke arah Jessie. Dan benarlah. Gadis itu ternyata masih asyik melamun sambil tersenyum-senyum tak jelas.

"Oi, Jessie!" teriak kami serempak membuat gadis berponi itu tersentak seketika.

Lalu dengan cepat ia pun turut menggabungkan tangannya dengan kami.

"Okay! Aku juga setuju!" serunya cepat.

Aku tersenyum puas dibuatnya.

Sayang sekali, Sammy. Jika kau pikir aku akan takut dengan ancamanmu, kau salah besar. Lihat saja. Mulai saat ini aku akan selalu muncul untuk mengganggu kesenangan sepihakmu itu.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status