Seorang gadis tengah berdiri di depan pintu sebuah rumah mewah, tetapi terlihat sederhana dan nyaman. Dia mengangkat tangannya dengan ragu-ragu, apa dia harus mengetuk pintu tersebut atau kembali pulang ke rumahnya dengan menahan lapar. Gadis itu sangat malu karena harus datang ke rumah ini setiap hari hanya untuk singgah. Ya, singgah untuk makanan. Walaupun tuan rumahnya dengan senang hati menerima kedatangan dia, tetapi tetap saja tidak enak pada mereka.
"Aduh, Ines bingung. Ketuk jangan ya? Tapi kalau nggak diketuk, nanti Ines makan apa coba?" gumam Ines.
Iya, gadis itu adalah Ines. Dengan modal keberanian karena rasa lapar yang menyerang perut kosongnya sedari pagi, membuat gadis itu nekad untuk datang ke rumah Fernan hanya untuk sebuah makanan. Malu? Sebenarnya dia malu, tetapi mau bagaimana lagi? Gadis itu tidak punya pilihan lain, daripada terserang maag atau penyakit lambung. Jadi, lebih baik ia menahan malu. Lagi pula, keluarga Fernan itu sudah sangat akrab dengannya, walaupun Ines bukan siapa-siapa mereka.
Namun, terkadang Ines juga merasakan malu yang teramat dalam. Bahkan harga dirinya seakan hilang saat itu juga. Saat di mana Fernan selalu saja mengejek dan menghinanya, walau itu hanya sebuah gurauan.
"Ya Allah, Ines bingung banget. Ketuk jangan ya? Ketuk aja, ah."
Dengan keberanian penuh Ines kembali mengangkat tangannya walau dengan ragu-ragu. Gadis itu menarik napas, lalu mengembuskannya secara kasar seperti orang yang baru saja bisa bernapas. Mengetuk pintu saja rasanya sangat berat seperti sedang berhadapan dengan dosen killer. Tidak terasa bunyi pintu diketuk terdengar nyaring, membuat Ines membuka matanya yang sempat terpejam saat menghela napas tadi. Memang aneh.
"Ish, Fernan sok budeg deh. Padahal Ines ngetuknya kenceng, tapi kok nggak dibukain aja. Apa mereka lagi makan? Masa sih? Biasanya mereka belom makan, karena Tante tahu pasti Ines bakal dateng. Fernan ayo dong bukain pintunya," gerutu Ines.
Baru saja dia mengetuk pintu itu dan belum ada satu atau dua menit ketukannya, tetapi gadis itu sudah menggerutu meminta dibukakan pintu oleh Fernan. Dan bagaimana mungkin orang di dalam rumah akan membukakan pintu untuknya? Bayangkan saja. Suara pintu yang menurutnya kencang, tetapi tidak untuk orang di dalam rumah. Yang kalian harus tahu, gadis itu hanya mengetuk pintu sebanyak tiga kali, tidak lebih. Memang benar-benar gadis aneh.
"Fernan, ayo dong bukain pintunya, apa kurang kenceng gituh ngetuknya?"
"Astaghfirullah, Ines lupa. Maaf, Ya Allah. Fernan kan pernah bilang, kalau ke rumah dia itu harus ketuk pintu sambil ucap salam tiga kali. Karena kalau kurang dari tiga, itu bukan manusia. Oke-oke, Ines ulang," ujar Ines.
Gadis itu kembali mengetuk pintu dengan kuat, kali ini benar-benar kuat. "Assalamu'alaikum, Fernan. Assalamu'alaikum, Om. Assalamu'alaikum, Tante. Ines datang lagi, nih, mau bantuin Tante buat bikin makan malam, tapi Ines juga sekalian numpang ya, Tan. Buka dong, tangan Ines pegel. Capek juga berdiri terus," keluh Ines yang mulai kesal karena belum ada sahutan dari siapa pun.
Sedangkan Fernan di dalam rumah sedang terkikik geli mendengar suara gadis yang terus berbicara sendiri di depan pintu rumahnya. Hingga tiba-tiba sang mama menjewer kuping pria itu dan memintanya untuk membuka pintu untuk Ines.
"Fernan, bukain pintu buat anak gadis mama, cepet," titah mama Fernan bernama Hidayah Mazzyla Zein.
Fernan menatap sang mama sambil meringis sakit. "Ma, lepasin dong. Iya, Fernan bukain pintunya. Lepas dong, sakit nih."
"Ya udah cepet buka, malah cekikikan terus dari tadi kayak orang gila. Anak orang kasihan itu nanti lumutan," cerocos Hidayah, membuat Fernan memutar bola matanya jengah.
"Fernan cepat," titah Hidayah kembali.
"Iya, ini juga mau ke bukain pintunya."
Fernan mendengkus sebal, lalu beranjak dari duduknya menuju pintu utama rumah untuk membukanya dan menyuruh tuan putri masuk. Fernan terkadang kesal pada mamanya, kenapa dia lebih menyayangi Ines daripada dia yang jelas-jelas anak kandungnya. Memang pilih kasih.
"Ck, ganggu aja tuh anak. Mau apa lagi sih dia? Pasti minta makan, kayak orang susah aja. Oh iya, dia kan emang susah, kasihan," racau Fernan sambil cekikikan tidak jelas.
"Wa'alaikumsalam. Mau apa lo ke sini?" tanya Fernan setelah membukakan pintu.
***
"Fernan ayo dong buka, Ines pegel. Fernan nggak sayang Ines, ya?" Ines terus saja berbicara sendiri.
Ines mengerucutkan bibirnya. "Kata Fernan, kalau udah lakuin yang disuruh itu, nanti dibukain pintunya. Tapi ... kok sampai sekarang pintunya belum juga dibukain. Fernan marah, ya sama Ines? Ya udah, deh Ines pulang. Assalamu'alaikum," ucap Ines.
"Wa'alaikumsalam. Mau apa lo ke sini?" tanya Fernan, membuat Ines langsung mengulas senyum manisnya.
Fernan menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa lo senyum-senyum begitu? Anemia lo?"
Ines berdecak sebal. "Ya kali orang senyum dibilang anemia? Ada juga orang suka pingsan karena kelelahan, baru anemia."
Fernan mendengkus sebal. "Ya kali kalau orang pingsan disebut anemia terus? Siapa tahu dia lagi hamil? Atau penyakit lain," gerutu Fernan.
"Ya kan emang identiknya begitu, Nan. Lo kira yang punya anemia muntah paku, baut, dan sebagainya? Itu mah teluh bukan anemia."
"Ah, ngomong sama lo mah, gue harus stok kesabaran ini mah."
"Dikira makanan distok?"
"Diem lo, berisik banget! Gue pusing dengernya!" pekik Fernan.
Saat seperti inilah yang paling Fernan hindari. Berbicara dengan Ines si gadis lemot, tidak berfaedah. Ujung-ujungnya malah berdebat tidak karuan. Jangan salahkan Fernan, salahkan Ines. Kenapa gadis itu selalu memancing emosi Fernan dengan ucapan bahkan pertanyaaan tidak jelasnya.
"Fernan udah dong, Ines minta maaf, deh." Ines menundukkan kepala.
Fernan mengembuskan napas kasar. "Iya, ini udah. Lo mau apa ke sini?" tanya Fernan dengan lembut.
Berbicara kasar dengan gadis di depannya itu tidak akan membuahkan hasil, jadi lebih baik dia mengubah nada bicaranya menjadi lembut. Aneh memang, masa seorang Fernan bisa berbicara lembut pada gadis itu.
Ines meremas ujung roknya, lalu mendongakkan kepala. "Hm ... I-nes boleh nggak numpang lagi di sini?" Bukannya menjawab gadis itu malah balik bertanya.
"Numpang apa?" tanya Fernan dengan pura-pura tidak tahu.
"Hm, tapi Fernan jangan ledekin Ines dulu, kalau Ines bilang yang sebenernya. Soalnya Ines juga terpaksa ke sini," ucap Ines yang takut diejek oleh Fernan.
Fernan menghela napas pelan, lalu menganggukkan kepala. "Apa?"
"Ines mau numpang makan, ya. Tadi mau makan di rumah, ternyata-"
Belum selesai Ines berbicara, Fernan langsung menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Pria itu sudah tahu segalanya tentang Ines, tetapi dia sering mengejek dan menghinanya itu hanya sebatas candaan. Namun, terkadang dia tidak tega melihat wajah malu dari sahabatnya itu, akibat ejekan dan hinaannya.
Tanpa keduanya sadari, ada seseorang yang tengah menatap ke arah mereka. "Gue bakal buat lo menderita, seperti apa yang Bunda lo lakuin sama Mama gue," gumam seseorang sambil menampilkan seringai mengerikan.
"Ines," panggil seorang pria paruh baya yang diketahui sebagai papa Fernan, Rafandra Pratama Reswara.Merasa ada yang memanggilnya, Ines langsung mengalihkan pandangan ke asal suara. "Iya, Om? Kenapa?" tanya Ines.Rafandra menghampiri gadis itu, lalu mengelus puncak kepalanya. "Kamu yang kenapa? Apa ada problem di rumah? Bunda kamu pasti kambuh lagi?" Bukannya menjawab, Rafandra malah balik bertanya.Ines cengengesan tidak jelas, lalu menjawab, "Om tahu sendiri Bunda gimana kalau sama Ines, tadi juga Ayah kayak bentak Ines cuma buat nyuruh ke kamar." Ines tersenyum dengan tulusnya.Rafandra menghela napas berat, lalu duduk di kursi biasa di ruang makan sebagai kepala keluarga. Pria itu melirik ke arah istrinya, lalu kembali beralih ke arah gadis yang berada di samping kanannya."Kok bisa ayah kamu marah?" tanya Rafandra kembali.Ines menggelengkan kepala. "Nggak tahu, O
Fernan mengerutkan dahinya dengan bingung. Bagaimana tidak? Sudah dua minggu ini Ines selalu diam tak mengeluarkan suara. Terkadang, gadis itu juga terlihat sedang melamun. Jika ditanya, dia selalu bilang tidak apa-apa, sehingga membuat Fernan kesal sendiri."Nes, lo kenapa, sih?" tanya Fernan, tetapi tidak dijawab oleh Ines."Oh God, kayaknya nih anak lagi banyak hutang, terus belom bayar. Kasihan," gumam Fernan.Karena kesal, akhirnya Fernan memutuskan untuk menggeplak tangan Ines dengan cukup kuat, membuat gadis itu terlonjak kaget dan mengalihkan pandangannya ke arah Fernan."Kenapa, Fer?" tanya Ines dengan polos.Fernan mengembuskan napasnya secara kasar. "Gue tanya, Nes. Lo kenapa? Udah dua minggu lo ngelamun. Terus selama itu juga, lo nggak ada ke rumah gue, lo mak
Suara orang-orang dewasa yang tengah berbincang begitu terdengar memenuhi ruangan yang sangat luas itu. Bukan hanya perbincangan soal bisnis saja, tetapi keharmonisan keluarga pun menjadi topik yang paling asyik untuk diperbincangkan. Bahkan, sesekali mereka tertawa karena guyonan dari anak-anak mereka. Hingga pertanyaan seorang wanita paruh baya menghentikan perbincangan itu."Mayang, Ines ke mana? Kenapa nggak kamu ajak?" tanya wanita paruh baya bernama Kinar Anindya Erick, Ibu dari Dirgantara Erick dan Argiantara Erick.Mayang menatap mertuanya itu. "Nggak tahu, Mi. Lagipula untuk apa mengajaknya? Dia bukan keluarga Erick, dan kalian semua pasti tidak suka dengannya."Kinar mengembuskan napasnya dengan pelan. "Seenggaknya, kalau dia ada di sini, mami dan semuanya bisa nyuruh-nyuruh dia. Kan kalau nyuruh gadis itu, kita nggak perlu bayar. Gratis," sahut Kinar."Mami," peringat Argiantara dan suami Kinar,
"Ines," panggil seseorang yang baru saja membuka pintu kamar gadis itu tanpa mengetuknya.Gadis itu mengalihkan pandangannya. "Abang? Udah pulang? Kok Cepet banget, sih," tanya Ines dengan bertubi-tubi."Udah kok. Emang mau nginep di sana apa?""Ya kirain, Bang."Arka bergidik ngeri. "Nggak, ah. Di sana banyak setan."Ines mengerutkan dahi dengan bingung. "Hah? Setan? Sejak kapan di rumah mewah banyak setannya, Bang? Baru tahu Ines tuh. Ada hantu apa aja Bang di sana?" tanya Ines dengan penasaran.Arka menatap Ines dengan raut serius sambil menahan tawanya. "Di sana ada Tante Miskey, Poci, Dedek tuyul, dan Mr black. Abang mau minta Sara Wijayanto buat menelusuri, sekaligus ngusir mereka juga kalo bisa," jawab Arka dengan asal.Ines menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Itu Mr Black siapa, Bang? Kalau keduanya aku tahu
Fernan menatap penuh keheranan pada gadis di hadapannya. Bagaimana tidak? Dua minggu kemarin, gadis itu terus diam terkadang melamun. Sekarang, tidak-tidak bukan sekarang, tetapi lebih tepatnya seminggu ini, dia terus mengulas senyum dan terlihat bahagia. Ada apa dengannya?"Lo kenapa, sih? Gue jadi segan deket-deket lo, Nes." Fernan bergidik ngeri.Ines menatap Fernan dengan kerutan di dahinya. "Kok segan sih? Emangnya gue kenapa diseganin? Kek juragan aja disegani," ucap Ines sambil terkekeh pelan.Fernan berdecak sebal. "Iya, segan. Segan karena ngeri. Kemaren-kemaren diemin gue, kadang juga ngelamun. Sekarang, senyum-senyum kayak orgil," sahut Fernan."Ish, Fernan mah nggak tahu orang lagi bahagia. Emang Ines harus sedih terus apa?" balas Ines dengan mengulas senyum tanpa beban.Fernan menaikkan sebelah alisnya. "Lo bahagia kenapa, sih? Gue penasaran tahu. Lo kan udah janji sama gue, kalau
Arka yang merasa bosan dengan topik pembicaraan keluarga besarnya, langsung beranjak meninggalkan ruang keluarga. Dia begitu terkejut saat melihat Ines tengah bersembunyi di balik tembok ruang keluarga.Apa Ines mendengar semuanya? tanya Arka dalam hati.Arka terus memperhatikan raut wajah Ines yang menunjukkan bahwa gadis itu tengah terluka, kecewa, dan sedih. Bahkan, mata dan pipinya sudah basah oleh air. Ines langsung menghapus air matanya, lalu mengucapkan kata-kata yang membuat Arka merasa sangat bersalah."Ines kira mereka bener-bener tulus, tapi ternyata bahagia itu disengaja. Bahagia yang disengaja karena kesepakatan bersama," gumam Ines sambil membalikkan badan untuk melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.Belum sempat gadis itu melanjutkan langkahnya, tiba-tiba Arka memanggil sang adik, membuat Ines langsung menghentikan langkahnya."Ines?" panggil Arka.
Seorang pria masuk ke dalam sebuah ruangan untuk menghadap sang bos yang tengah duduk di kursi kebesarannya. Pria dengan setelan serba hitam itu menundukkan kepala sambil berdiri di hadapan bosnya."Tuan memanggilku? Right?" tanya pria itu, membuat pria yang dipanggil tuan menatap ke arahnya dengan menampilkan wajah datar dan dinginnya."Right, aku ingin ke Indonesia hari ini," ucap pria yang dipanggil tuan."Are you sure, Sir? But, you-" Belum sempat pria itu melanjutkan ucapannya, tetapi sang bos langsung menyela."Yes, I am sure. Why?" Sang bos mengangkat sebelah alisnya."No, Sir. Okay, aku akan mempersiapkan keberangkatanmu." Sang tuan hanya menganggukkan kepala."Gercep sekali dia. Mentang-mentang akan bertemu dengan calon istrinya, pekerjaan pun ditunda. Dasar bucin," gerutu pria yang diketahui adalah tangan kanan pria yang masih duduk di kursi kebesarannya."Aku mendengarnya."Mendengar, heh? batin pria yang akan keluar dari ru
Vallen melangkah masuk ke dalam rumah mewah keluarga Argiantara Erick sambil menggenggam tangan Ines. Iya, setelah menemukan Ines yang bersembunyi di balik salah satu mobil, Vallen langsung membawa gadisnya ke rumah besar itu. Semua keluarga Erick sudah berkumpul di ruang keluarga, menunggu kedatangan Vallen dan Ines. Bahkan, Kinar pun sudah berada di sana. Pria itu memerintahkan Gray agar menjadi sopir di mobil Kinar, sedangkan dia mengendarai mobilnya ditemani sang gadis pujaan yang duduk di sampingnya."Mr Vallen? Selamat datang, Mr," ucap Argi dengan canggung seraya mengulurkan tangannya yang langsung dijabat oleh Vallen.Semua orang pun ikut melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Argi. Setelah itu, Argi meminta Vallen dan tangan kanan pria itu untuk duduk di sofa. Semuanya menatap kagum dengan ketampanan Vallen, walaupun wajah pria itu nampak dingin dan datar."Saya tidak menyangka,