Share

Kemarahan Bunda

Author: Hidsa
last update Last Updated: 2021-03-29 12:18:05

Tamparan yang begitu keras, membuat tubuhnya tersungkur ke lantai. Namun, sebelumnya dahi gadis itu juga membentur ujung kursi meja makan. Bi Iis dan Pak Imat yang melihat itu langsung berteriak, sedangkan Ines hanya bisa menangis tanpa suara sambil memegang pipinya yang memerah. Melihat hal itu, Bi Iis langsung menghampiri Ines dan memeluknya.

"Ampun, Bu. Jangan sakiti Non Ines, Bu," pinta Bi Iis yang sudah menangis tersedu-sedu melihat nona mudanya yang kesakitan akibat tamparan keras dari sang nyonya.

"Menyingkir, Bi Iis! Anak sialan ini harus diberi pelajaran!" teriak wanita yang dipanggil nyonya oleh Bi Iis.

Wanita itu bernama Mayang, bunda dari Ines. Tidak tahu kenapa tiba-tiba Mayang datang dari belakang, lalu menampar gadis yang berada di pelukan Bi Iis tanpa sebab.

Mayang menarik tubuh Bi Iis agar melepaskan pelukannya dari tubuh Ines. Setelah berhasil, wanita itu langsung menjambak rambut Ines yang masih menangis.

"Sakit, Bun hiks... ampun, Bun hiks... Ines salah apa, Bun, hiks...." Ines memegang tangan Mayang yang masih menjambak rambut gadis itu. Rasanya rambut Ines seakan terlepas dari kepala.

"Bun, sakit, Bun hiks...," rintih Ines.

Mayang melepaskan jambakannya, lalu menghempaskan kepala Ines sehingga membentur lantai.

"Kamu ke mana tadi, hah?!" tanya Mayang dengan berteriak marah.

Ines menghapus air matanya, lalu menjawab, "Ines kira sekarang hari kamis, ternyata minggu. Makanya Ines mau pergi ke kampus, tapi pas di jalan ketemu Abang. Dia ngasih tahu Ines, terus ajak Ines ke kantornya, Bun."

"Arka yang bertemu kamu, atau kamu sengaja datang ke kantor dia?! Saya tahu, kamu pasti yang datang ke sana buat ngadu kan?! Jawab!" teriak Mayang, membuat Ines terlonjak kaget.

Hal yang paling ditakuti oleh Ines sejak kecil adalah kemarahan Mayang. Wanita itu tidak akan segan-segan menampar, menjambak, bahkan memukul Ines. Padahal saat itu Ines baru berumur dua tahun, tetapi dia tidak merasa kasihan maupun iba pada anak sekecil itu. Ines tidak mengetahui mengapa bundanya sangat membenci gadis itu, bahkan akan sangat marah pada kesalahan kecil yang dilakukannya.

"Sumpah, Bun. Ines ke sana diajak Abang, bukan sengaja. Ines nggak pernah mengadu sama Abang, Bun," sahut Ines.

"Bohong! Kamu kira saya percaya sama kamu?! Saya lebih percaya pada keponakan saya, dibandingkan kamu yang hanya orang asing?!" Mayang menjentul-jentulkan kepala Ines yang kembali menangis saat mendengar bundanya mengatakan bahwa dia adalah orang asing.

"Ines nggak bohong, Bun. Abang yang ajak Ines, dan aku juga nggak ngomong apa-apa sama Abang," pungkas Ines dengan lirih.

"Alah, saya nggak percaya! Sebagai hukumannya, kerjakan semua pekerjaan rumah. Dan kamu nggak dapat makan hari ini!" sinis Mayang dengan penuh penekanan.

"Tapi, Bun-"

"Saya nggak menerima penolakan! Awas kamu ngadu sama Arka atau suami saya!" Mayang berjalan meninggalkan Ines.

Ines menatap punggung Mayang yang menjauh dan menghilang. Ines kembali menangis, lalu beberapa saat kemudian gadis itu menghapus air matanya dan mengulas senyum. Ines langsung beranjak mengerjakan hukuman yang diberikan oleh Mayang.

Ines yakin, suatu saat Bunda bakal baik sama Ines, batin Ines.

***

Ines mengembuskan napas kasar, lalu mulai mengerjakan apa yang diperintahkan oleh bundanya, Mayang. Pertama, gadis itu mulai menyapu seluruh lantai ruangan, lalu mengepelnya. Setelah selesai, dia mengelap barang-barang yang ada di ruang keluarga, kemudian mencuci piring, dan memasak makanan. Pekerjaannya baru selesai pada pukul 17.10 WIB.

Matanya membelalak ketika menatap jam yang terpajang di dinding dapur, membuat gadis itu tergesa-gesa menata makanan di meja makan. Setelah semuanya selesai, Ines langsung bergegas ke kamarnya untuk membersihkan badan yang terasa lengket.

"Lengket banget, nih, badan," gumam Ines, "mandi jangan ya. Mandi, ah," lanjutnya.

Sebelum beranjak ke kamar mandi. Ines melangkah ke depan cermin terlebih dulu, menatap pantulan dirinya. Tidak ada yang dilakukannya, hanya mengulas senyum tulus.

"Tetap senyum, Nes, siapa tahu mereka balas senyum kamu. Tapi, kalau suatu saat kamu lelah buat tersenyum, minta Allah untuk peluk kamu dan hilangin senyum ini," gumamnya.

Tanpa terasa air mata mengalir dari pipi gadis cantik itu. Dengan cepat, dia menghapus air matanya. Ines langsung beranjak ke kamar mandi.

Setengah jam kemudian, Ines baru keluar dari kamar mandi menjalani ritual di sore hari. Sambil menunggu azan Magrib berkumandang, gadis itu membaringkan tubuhnya di ranjang sambil memainkan ponselnya.

Pintu kamarnya diketuk berkali-kali, membuat Ines menghampirinya dan membuka pintu itu. "Ayah, ada apa?" tanya Ines dengan lembut.

"Ayah mau susul kamu. Ayo, makan bersama," ajak pria paruh baya yang dipanggil ayah oleh Ines.

Gadis itu menggelengkan kepala, lalu menyahut, "Nggak usah, Yah. Ines di kamar aja, deh. Makasih, Ayah."

Pria itu mengangkat tangannya, lalu mengelus kepala Ines. Dia tersenyum lembut menatap putri bungsunya.

"Takut sama Bunda, hm? Kalau itu alasan kamu, tenang aja. Kan ada ayah, Sayang." Pria itu merangkul bahu Ines dan mengajaknya ke ruang makan.

Ayah Ines bernama Argiantara Zidni Erick. Dia merupakan adik kandung Dirgantara Erick, ayah dari Crystal.

"Tapi-"

"Nggak ada tapi-tapian, Nak. Jangan takut, ada ayah juga abang. Bunda nggak bakal ngapa-ngapain kamu. Percaya sama ayah, oke," ujar ayah Ines, membuat gadis itu mengulas senyum dan menganggukkan kepala.

Sesampainya di ruang makan, ayah Ines langsung meminta putri bungsunya itu duduk di kursi samping kanannya. Sedangkan Mayang berada di kursi samping kiri ayah Ines, membuat keduanya saling berhadapan.

"Mas, kenapa kamu ajak dia makan," ujar Mayang pada suamianya, ayah Ines.

"Dia anak aku, Mayang, kalau kamu lupa. Dia lahir dari rahim istriku, yaitu kamu," sahut Argi.

Mayang menatap suaminya. "Nggak, dia bukan anak kita! Dia anak pria brengsek itu! Dia bukan anak aku! Aku nggak sudi mengakui anak bajingan itu!" teriak Mayang.

Wanita itu tersulut emosi saat suaminya mengatakan bahwa Ines adalah anak mereka, tetapi Mayang tidak terima. Karena ucapan sang suami, membuat dia kembali terbayang masa kelam itu. Argi menghampiri Mayang yang berteriak sambil menangis. Ines terkejut melihat reaksi sang bunda, hanya karena ayahnya mengatakan kalau Ines adalah putri mereka. Dan apa maksud bunda yang mengatakan bahwa dirinya putri pria bajingan itu?

"Dia bukan anak aku! Aku nggak pernah menginginkan dia jadi anak aku! Pergi kamu anak sialan, pergi dari sini! Pergi dari rumah ini!" jerit Mayang sambil menyiramkan air yang ada di gelas ke wajah Ines.

"Ines, masuk kamar, Nak!" tegas Argi.

Ines yang sadar diri, langsung beranjak dari duduknya. Padahal sedari pagi dia belum makan apa pun, maka dari itu dia menurut pada sang ayah yang mengajaknya untuk makan malam. Namun, kejadian tadi membuat Ines ketakutan.

"Ines lapar, tapi nggak ada makanan di tas. Biasanya ada roti. Aduh, mana nggak punya uang buat belinya. Apa Ines ke rumah Fernan aja, ya, pinjem uang," gumam Ines.

"Ya udah, deh, Ines ke rumah Fernan aja."

Baru saja Ines akan melangkahkan kaki keluar rumah, tiba-tiba suara seseorang menghentikannya.

"Mau ke mana kamu?" tanya seseorang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • La Tahzan, Miss Lemot   Terusir

    Vallen dan Ines turun ke lantai bawah dan menuju ke ruang makan. Mereka akan ikut sarapan bersama dengan keluarga Erick. Tidak hanya keduanya, tetapi papa Ines juga berada di sana.Vallen mengernyitkan dahinya ketika Ines tiba-tiba saja berhenti. Saat gadis itu akan memutar balik badannya, sang suami langsung menggenggam tangannya. Ines menatap penuh protes ke arah Vallen, tetapi pria itu tidak mendengarkan. Dia terus saja menarik Ines agar mengikutinya ke meja makan.Vallen meminta Ines untuk duduk di sampingnya dan gadis itu menurut. Namun, tiba-tiba saja Nela datang, dia meminta Ines untuk pindah tempat duduk karena itu adalah kursi yang biasa Nela tempati ketika tengah ikut makan bersama keluar Argiantara Erick."Ines? Kamu kenapa duduk di sini? Ini tempat aku, Nes. Aku biasanya duduk di sini, kalau makan di rumah Tante Mayang," ujar Nela seakan mengingatkan Ines."Bisa duduk di kursi yang lain bukan?" Bukan, bukan Ines yang menjawab melainkan Vallen.

  • La Tahzan, Miss Lemot   Rencana Jahat

    Seorang gadis menghampiri wanita paruh baya yang tengah terduduk dengan angkuh di sebuah sofa, sambil menatap tajam ke arah gadis yang merupakan putrinya. Dia sudah mengetahui apa maksud dan tujuan sang putri datang padanya, tentu untuk meminta bantuannya.Ada apa dengan gadis itu? Kenapa dia tidak seperti dirinya? Bisa melakukan hal-hal jahat hanya seorang diri, tidak membutuhkan bantuan siapa pun. Bahkan, untuk membunuh seseorang pun dia mampu walau hanya sendiri."Mama, aku butuh bantuan Mama."Wanita paruh baya itu memutar bola matanya malas. "Kau itu bodoh sekali. Mengerjakan hal seperti itu saja tidak becus, kalau kau meminta bantuanku, maka Mr X akan mencurigai kita.""Lalu aku harus bagaimana, Ma?" tanya gadis itu."Dasar bodoh! Pakai otakmu! Aku melahirkanmu supaya kau bisa membantuku untuk balas dendam pada Mayang, dan merebut apa yang seharusnya menjadi milik kita!" Bukannya men

  • La Tahzan, Miss Lemot   Rencana Jahat

    Seorang gadis menghampiri wanita paruh baya yang tengah terduduk dengan angkuh di sebuah sofa, sambil menatap tajam ke arah gadis yang merupakan putrinya. Dia sudah mengetahui apa maksud dan tujuan sang putri datang padanya, tentu untuk meminta bantuannya.Ada apa dengan gadis itu? Kenapa dia tidak seperti dirinya? Bisa melakukan hal-hal jahat hanya seorang diri, tidak membutuhkan bantuan siapa pun. Bahkan, untuk membunuh seseorang pun dia mampu walau hanya sendiri."Mama, aku butuh bantuan Mama."Wanita paruh baya itu memutar bola matanya malas. "Kau itu bodoh sekali. Mengerjakan hal seperti itu saja tidak becus, kalau kau meminta bantuanku, maka Mr X akan mencurigai kita.""Lalu aku harus bagaimana, Ma?" tanya gadis itu."Dasar bodoh! Pakai otakmu! Aku melahirkanmu supaya kau bisa membantuku untuk balas dendam pada Mayang, dan merebut apa yang seharusnya menjadi milik kita!" Bukannya men

  • La Tahzan, Miss Lemot   Curiga

    "Sedang apa kau di depan pintu kamar putriku?" tanya seseorang, membuat tubuh orang itu menegang.Reandra menatap penuh intimidasi ke arah gadis yang baru saja membalikkan badan dan juga tengah menatapnya dengan tajam. Iya, pria itu adalah Reandra, ayah kandung Ines, sedangkan gadis itu Reandra tidak mengetahui namanya. Dia akan menginap di sana beberapa hari sebelum berangkat ke Singapura, tempat tinggalnya sekarang."Bukan urusan lo," jawab gadis itu dengan ketus seraya pergi meninggalkan Reandra yang berdiri dengan penuh kecurigaan.Bagaimana tidak? Reandra melihat gadis itu tengah menutup pintu kamar putrinya, lalu mengatakan hal yang membuat jiwa penasaran pria paruh baya itu berkembang. Dia harus waspada dan mencari tahu.Saat akan membalikkan badannya. Tiba-tiba ada yang memanggil namanya. "Mas Andra," panggil seseorang dengan lembut.Reandra menatap orang yang memanggilnya

  • La Tahzan, Miss Lemot   Pernikahan

    Ines menatap pantulan dirinya di depan cermin. Biasanya ia akan tersenyum ceria sambil mengedipkan sebelah matanya. Namun, sekarang gadis itu malah murung, tidak bersemangat."Non Ines kenapa?" tanya seseorang yang tergesa-gesa masuk ke dalam kamar Ines, setelah para tukang rias pengantin itu pergi.Gadis yang mengenakan kebaya putih itu hanya menggelengkan kepala. Iya, hari ini adalah hari di mana Ines akan menikah dengan Vallen. Pernikahan Ines dan Vallen didasari oleh kemewahan."Non kalau nggak mau menikah, bilang saja, Non," ucap Bi Iis, membuat Ines menatapnya sambil mengulas senyum tulus."Ines nggak apa-apa, Bi."Bi Iis menganggukkan kepala. "Ya sudah, kalau begitu bibi kembali ke bawah, membantu pelayan-pelayan lain."Setelah kepergian Bi Iis, hanya keheningan yang menghinggap di ruangan Ines berada. Gadis itu masih terdiam sambil menatap pantulan dirinya, tetapi tiba-t

  • La Tahzan, Miss Lemot   Fitting Baju Pengantin

    Ines begitu sungkan untuk berbincang dengan Vallen perihal pernikahannya. Bukan hanya itu, bahkan untuk bertemu pun dia tidak punya nyali. Bagaimana tidak? Gadis itu terus saja mengingat perlakuan Vallen yang menciumnya secara tiba-tiba. Padahal kejadian tersebut sudah seminggu yang lalu, tetapi entah kenapa Ines merasa malu pada Vallen.Seperti halnya saat ini, Ines yang seharusnya melakukan fitting baju pengantin, malah pergi ke rumah Fernan."Lo ngapain di sini? Mau cari mati?" tanya Fernan yang terkejut saat membuka pintu utama di rumah mewahnya."Ish, Fernan. Kalau asal jangan ngomong, Ines ke sini cari Tante bukan mati." Ines mendengkus sebal mendengar pertanyaan Fernan yang frontal.Fernan mengibas-ibaskan tangannya. "Pulang lo, pulang. Bikin hidup gue dalam bahaya aja lo, sana pulang! Terus temuin pangeran lo," usir Fernan."Jahat banget sih, orang ada tamu datang kok malah diusir suruh

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status