Vero menata dengan rapi setiap tangkai bunga di vas. Sudah lima vas terisi dan menghiasi beberapa sudut rumah.
Berkat kelincahan tangannya, rumah Seto tidak pernah terlihat dingin dan hambar. Selalu ada nuansa hangat yang menyentuh tiap sisi rumah mewahnya di kawasan Pondok Indah tersebut.
Siwi sudah berpamitan sejak pagi tadi ke kantor. Mertuanya, Eyang Widari sudah kembali ke Salatiga. Terkadang ia merasa kesepian. Namun semenjak Siwi hadir kembali, Vero mulai merasakan keceriaan.
Siwi sangat pandai membuat keluarganya berkumpul. Seto, ayahnya, bahkan sanggup meninggalkan seluruh pekerjaannya demi memenuhi permintaan putrinya untuk makan malam.
Vero tidak pernah menganggap Siwi anak tiri. Namun perlakuan Widari yang dari semula tidak menyukainya, membuat Vero tidak sempat mengasuh Siwi sejak ibunya meninggal.
"Biar Siwi tinggal bersamaku!" tegas Widari yang terlalu membanggakan Miana, menantunya yang meninggal karena kanker otak.
Vero sendiri bersahabat dengan Miana yang masih keturunan keraton Yogyakarta. Kepadanyalah, Miana memohon untuk menerima pinangan Seto, suaminya, setelah ia tiada.
"Hanya kamu yang memahami Seto. Engkau akan menyayangi Siwi seperti putrimu sendiri. Aku yakin itu," bujuk Miana di antara helaan napas sekaratnya.
Miana betul. Veronica, mampu memenuhi wasiat dari Miana jika saja tidak terenggut haknya oleh Widari yang mencampuri urusan rumah tangganya.
Sayangnya, Seto tidak bisa menolak ataupun melawan keinginan ibunya yang tidak terbantahkan.
"Aku harus mengiyakan. Demi kedamaian kita juga. Ibu itu ambisius dan keras kepala," alasan Seto tidak mampu Vero pertanyakan lagi.
Tangisan Siwi saat terpisah darinya dan Keenan terkadang menghadirkan mimpi buruk dan kerinduan yang teramat sangat. Namun wajah keras Widari yang angkuh, menyurutkan niatnya untuk menentang.
"Cukup, Sri. Bunganya nggak usah ditambah lagi," ucap Vero saat melihat tumpukan bunga menggunung.
Pembantunya mengiyakan dan mulai membantu menata. Vero terlalu larut dalam pikiran. Bagaimana tidak? Rasa sepi ini terasa menggigit dan menghimpitnya.
Kemana dia mencari penghiburan? Vero sudah yatim piatu sejak sepuluh tahun lalu. Adiknya juga pergi dan menikah dengan pria kebangsaan asing lalu memilih tinggal di Swedia.
Terkadang ia ingin melarikan diri sejenak. Namun tuntutan tanggung jawab menahannya untuk pergi.
"Pagi, Ve," sapa Seto suaminya. Ve adalah panggilan sayang Seto padanya. Vero tersenyum dan melangkah mendekati suaminya.
Kecupan hangat mendarat di dahinya dan Vero merasakan semangatnya bangkit. Seto menatap istrinya yang cantik dan selalu tampil anggun.
Dua puluh tahun menikah, Seto hampir tidak pernah mengucapkan kata cinta. Ia tidak pernah main perempuan ataupun berkhianat. Namun janjinya yang tidak akan jatuh cinta pada wanita lain selain Miana, membuat Seto menjaga dengan rapat untuk tidak sepenuhnya memberikan diri pada Vero.
Istrinya menuang kopi dan mempersilahkan untuk sarapan. Seto mengangguk dan menarik kursi.
Pagi ini dirinya menghabiskan beberapa saat mengamati Vero yang sibuk menyiapkan sarapan hangat untuknya.
Betapa setianya dia selama ini. Kenapa ia masih mengeraskan hati padanya? Bahkan bisa terhitung berapa kali ia meniduri istrinya. Hanya untuk memenuhi kebutuhan batin dan menahannya dari godaan selingkuh.
"Kita harus mulai bicara pada Keenan, Mas," ucap Vero meletakkan piring berisi telur omelet dan pancake di hadapan suaminya.
"Tentang?"
"Kehidupan dia."
"Keenan sudah besar, kenapa harus kita ikut campur."
Vero menghela napas berat. Laporan pembantu apartemen Keenan di Kemang cukup mengusiknya.
"Hidup dia terlalu tidak ada kendali. Bagaimana kalo dia terkena penyakit," ucap Vero dengan gusar. Seto tersenyum.
"Keenan pasti pintar jaga diri. Tapi, untuk membuatmu tenang, aku akan bicara padanya," balas Seto. Vero merasa lega akan jawaban suaminya. Ia mengangguk dan Seto mencubit dagu istrinya dengan mesra.
"Aku justru ingin merencanakan liburan buat kita berdua," cetus Seto. Vero terpana. Liburan? Sejak kapan Seto perduli untuk bersenang-senang dengannya?
"Mak-maksud kamu, Mas?"
"Liburan, honeymoon kita. Yang tertunda selama dua puluh tahun," jawab Seto. Vero membuka mulutnya dengan tidak percaya.
"Sudah saatnya, aku menyerahkan hatiku padamu. Seutuhnya," lanjut Seto. Vero merasakan butir hangat bergulir di pipinya yang halus dan tanpa noda flex. Sebuah kecantikan yang seakan tidak pernah pudar.
"Tidak pernah aku berhenti berharap ...," jawab Vero dengan lirih. Seto meraih tangan istrinya dan mengecup hangat. Jarinya menyusut airmatanya istrinya.
"Aku bebas hari ini, mungkin kita bisa meluangkan waktu ...,"
"Kutunggu di kamar," potong Vero dengan semangat.
Ia berdiri dan melenggang dengan senyum tersungging. Seto merasakan jantungnya berdetak dengan irama yang menyenangkan!
***Sekretaris Shana baru saja bergabung hari itu. Keenan terkejut saat melihat wanita bertubuh sintal dan sensual keluar dari kantor Shana melewatinya.Blus putih yang wanita itu kenakan sangat tipis dan mencetak bulatan indah yang membusung sempurna. Sebuah ukuran yang jauh di atas rata-rata, dan Keenan menyukainya.
"Sabar, ia baru saja bergabung. Tahan diri," sindir Shana yang memergoki dirinya.
"Gila aja, baru tadi malam kita bersa ....,"
"No string attached!" potong Shana tegas. Keenan tercenggang. Shana kembali masuk ke kantornya. Keenan mengejar Shana masuk.
"Kamu nggak cemburu liat aku tadi?" tanya Keenan heran. Shana mendelik. Matanya yang indah dengan bulu mata lentik membuat Shana makin menarik.
"Jangan mikir kayak anak kecil deh. Hubungan kita nggak lebih dari saling membutuhkan. Jangan libatin hati," jawab Shana judes dan terlihat kesal.
Keenan menatap wanita di hadapannya. Baru kali ini ia menghadapi wanita setipe Shana!
Perempuan ini tidak liar ataupun mudah mengatakan iya dalam hal bercinta. Lebih kepada memilih sebagai pemegang kendali atas permainan mereka.
Keenan merasa dipermainkan, dan ia ingin membuat Shana betul-betul cemburu!
"Sedingin itu hatimu?" tanya Keenan. Shana yang sudah sibuk berkutat dengan pekerjaannya berhenti dan memandang Keenan. Tatapannya berubah menjadi lembut.
"Tidak ada bedanya dengan kamu, Sayang," jawab Shana setengah meledek. Keenan membuang muka.
"Aku masih punya hati ...," tangkis Keenan dengan angkuh.
"Oh ya? Di mana? Di antara belahan pahamu yang menggantung itu?" sahut Shana dengan suara mengejek. Keenan mendengus jengkel dan berbalik pergi.
"Jangan lupa laporan kontrak bisnisnya!" seru Shana berteriak pada Keenan. Pemuda itu tidak perduli.
Ia melangkah masuk kantornya dan membanting diri di kursi. Rasa kesal karena dilecehkan dan dianggap anak kecil benar-benar menyentil egonya.
Alden masuk dan menanyakan kabar. Tanpa bicara banyak, Keenan mengajak sepupunya untuk menyelesaikan kontrak bisnis yang Shana minta!
"Ok." jawab Alden heran.
***Keenan baru saja mandi dan berganti baju. Ia memeriksa ponsel dan membalas beberapa pesan yang masuk. Ketukan di pintu ia jawab dengan malas."Nggak keluar?" Alden muncul dengan baju rapi.
"Malas," jawab Keenan.
"Loe nggak kena penyakit kan?" tanya Alden bingung.
"Sialan, lagi capek. Kerja seharian di kantor. Loe enak pergi sama Siwi. Gue?" keluh Keenan menghempaskan diri di tempat tidur.
"Lho? Loe kan sama Shana? Bukannya itu yang Loe mau?" Alden makin heran. Keenan mengibaskan tangannya di udara. Alden membuat gerakan mengunci mulut.
"Gue cabut dulu deh," pamit Alden. Keenan mengacungkan jempol. Sepeninggal sepupunya, Keenan melihat ponselnya bergetar. Pesan muncul dari seseorang yang cukup mengejutkan dirinya.
'Bisa datang? Aku kesepian banget. Lagi PENGEN'
'Jangan pake boxer. I want to lick it instantly'
Darah Keenan berdesir. Dua pesan beruntun dari Shana menggetarkan jiwanya. Rasa kesal karena sempat dipermainkan, hilang seketika. Dengan bergegas ia berganti baju tanpa dalaman boxer. Walaupun agak risih, namun Keenan rela melakukan itu!
"Mau kemana? Katanya nggak keluar?" tanya Alden yang masih menunggu Siwi di mobil.
"Changes plan!" jawab Keenan mengedipkan mata dan masuk ke dalam mobil dengan cepat.
Kendaraan mewah berwarna hitam itu melesat pergi. Alden tertawa dan menggelengkan kepalanya. Sadarkah Keenan jika ia terjebak dalam permainan Shana?
Teruskan yuk pada episode selanjutnya!
Terkadang sulit memulai sebuah kisah yang apik dan menarik dalam hidup. Jika kita terjebak pada kehidupan yang jauh dari kemudahan, maka kita cenderung tertelan dalam perjuangan untuk bertahan.Namun, memiliki hidup yang bergelimang harta juga tidak gampang. Keenan dan Alden bukan hanya dua pemuda yang hidup dari keberuntungan memiliki leluhur yang kaya raya. Mungkin ada jutaan manusia seperti mereka. Sayangnya, kebanyakan dari mereka, mengawali kisah dengan cara yang monoton seperti pendahulunya.Apa yang membuat Keenan dan Alden menarik? Mereka menempuh kehidupan yang jauh lebih liar dari leluhur mereka hanya untuk mencari sesuatu hingga ke titik PUAS. Pencarian jati diri? Mungkin. Atau, ada sesuatu yang baik, terjadi di balik keliaran hidup mereka? Sepertinya Alden sudah memulai menuju ke arah tersebut."Ini bantuanku untuk mereka," ucap Alden mengulurkan sebuah amplop cokelat pada Siwi."Apa ini?" tanya Siwi heran.Tan
Sejak proposal kerjasama yang mereka ajukan bersambut baik dengan Mercure, Shana dan Siwi sibuk menyiptakan berbagai rencana. Shana merekrut perancang muda yang berbakat. Dalam waktu tiga bulan awal mereka harus menampilkan performa terbaik."Masih ada yang kurang. Desain ini bagus, tapi terlalu modern. Seni tradisional batiknya tenggelam," keluh Siwi. Ya, mengangkat batik sebagai bahan material utama, Siwi berharap pilihannya akan menjadi sesuatu yang unik dan berbuah sukses."Gimana sama yang ini?" tanya Shana. Siwi masih menggelengkan kepalanya."Ada satu desainer yang cukup menarik simpatiku. Tapi dia karyawan Eyang. Namanya lupa, dia menciptakan kemasan yang apik untuk kopi Eyang sampai sekarang laku diimpor ke Belanda," ucap Siwi sambil berpikir keras."Bisa dipinjem nggak?" tanya Shana sambil membereskan kertas berisi gambar terpilih di meja."Dia kesayangan nenekku, Shan. Aku nggak yakin," jawab Siwi kecut.
Indira datang sedikit terlambat dari biasanya. Untuk menghemat ia naik sepeda dan jarak dari rumah ke kantor memakan waktu yang lumayan jauh."Kamu keringatan banget sih!" tegur Erna.Indira mengangguk dan bergegas ke kamar mandi. Dengan secepat mungkin ia berganti baju dan kembali ke ruangan."Naik sepeda lagi?" tanya Erna sebelum ia masuk kantornya."Biar sehat, olahraga," jawab Indira cepat. Erna mencibir dengan kesal."Kenapa nggak bilang kalo bokek, sih?" gerutu Erna sambil merogoh tasnya dan mencabut beberapa lembar. Ia melesakkan ke dalam kantong Indira yang mencoba berkelit."Kalo kamu nggak terima, berarti egois. Kakekmu butuh ini," ancam Erna. Indira berdiri dengan bibir bergetar."Maturnuwun ya, Er," bisik Indira lirih sekaligus menahan malu. Erna menepuk lengan Indira dan tersenyum tulus.***Makan siang setengah jam lagi. Indira membuka dengan pelan tasnya. Empat lembar lima
Indira menarik amplop putih dan merobeknya. Raut wajahnya pias. Banyak sekali uang ini? batin Indira terkejut.Hatinya makin kesal. Ia tidak butuh belas kasihan! Setelah menebus obat, ia bergegas pulang. Ketika melewati warung, Indira membeli semua kebutuhannya dengan sisa uang miliknya. Gadis itu hanya mengambil sejumlah yang ia berikan pada Alden sebelumnya, dari amplop tersebut.Begitu tiba di rumah, Indira mengintip kamar kakeknya. Masih terlelap. Indira kembali keluar dan menerjang malam menuju rumah Widari."Lho? Mbak Indi, kok tumben?" sapa Haris satpam rumah bosnya. Indira tersenyum ramah dan bertanya apakah Alden ada."Baru aja pulang. Sebentar saya panggil, Mbak," jawab Haris dan Indira mengucapkan terima kasih.Gadis itu memilih duduk di pos satpam sambil memeriksa handphonenya."Indira?" seru Alden dengan wajah senang. Indira mengangguk datar dan meraih tangan Alden serta mengembalikan amplop putih t
Alden kembali ke Jakarta dengan semangat yang membara. Tekadnya untuk serius menekuni tugasnya di perusahaan kini bulat. Ia dan Keenan akan bekerja dengan sebaiknya. Semoga usaha Alden menjadi bantuan yang sangat berarti untuk Indira.Entah kenapa Indira sangat mencuri simpati dan perhatiannya. Bukan dalam cara biasa seperti ia tertarik pada lawan jenis. Namun timbul rasa ingin melindungi, yang mendorong Alden hingga ia sendiri bingung akan perasaan tersebut."Al, produksi dari desain Indira sudah diproses. Jika ini berhasil, kamu harus stand by di Salatiga dan mendirikan kantor khusus untuk mengembangkan berikutnya!" seru Siwi pagi ini."Seserius itu?" tanya Alden."Tidak ada yang kuanggap sepele dalam hal apa pun. Menciptakan rumah mode akan membuat Indira nyaman dan bekerja maksimal," jawab Siwi yang didukung oleh Shana.Keenan hanya terdiam membisu di sebelahnya, dengan wajah terpaku pada laptop. Di layar menampilkan de
Pertemuan pagi itu dengan beberapa pemilik ruko, akhirnya berbuah baik. Shana menemukan lokasi yang tepat untuk rumah mode mereka.Tidak terlalu sulit untuk mencapai kata sepakat. Nilai kontrak ruko dan rumah yang mereka ditempati, masih terbilang sangat terjangkau dan murah.Tanpa menawar, Shana membayar dan mendapatkan surat perjanjian kontrak selama lima tahun."Saatnya pindah ke rumah baru!" seru Shana dengan riang.Alden tersenyum dengan antusias. Bukan karena keberhasilan mereka mendapatkan tempat dengan mudah, namun karena Indira akan mendapatkan pekerjaan yang baik ke depannya nanti."Kamu mau kemana lagi?" tanya Shana heran."Kamu pulang aja ke hotel dengan mobil sewa itu. Aku naik taxi, ada seseorang yang harus kutemui," pamit Alden meninggalkanShana yang terpaku dengan perasaan kesal. Kenapa terbersit perasaan tidak suka atas ucapan Alden barusan? Cemburukah ini? Shana menyangkal d
Seharusnya Alden menemui Indira untuk menggabarkan berita gembira. Tetapi saat ia menelepon Keenan untuk mengajak Indira, tiba-tiba Keenan berdalih. Indira masih mengerjakan proyek terakhir sebelum bekerja sepenuhnya untuk Alden. Dengan hati kesal Alden memilih membantu Shana."Semua sudah mereka sediakan. Kita tinggal nempatin aja kok," balas Shana saat Alden menawarkan bantuan untuk menyiapkan rumah yang akan mereka sewa nanti."Ok, aku akan ngambil koper," sahut Alden dengan gontai. Shana memandang Alden dengan pandangan menyelidik. Sikap loyo Alden pasti berkaitan dengan gadis yang sering ia dengar, Indira."Kamu kecewa ...," cetus Shana sambil mengunci koper miliknya. Alden yang sudah membuka pintu kamar hotel untuk keluar mendadak berhenti."Keenan ingkar," sahut Alden."Sepenting itukah gadis tersebut? Maksudku, kalian memperebutkan Indira?" tanya Shana.Alden bagaikan tertampar dan menoleh. Bukankah terl
"Astaga kamu beneran nambah?" tanya Alden. Indira mengangguk dengan geli. Keduanya sedang menikmati makan malam yang lebih awal."Aku nggak makan siang gara-gara Keenan," jawab Indira. Alden berhenti menyuap."Keenan? Kenapa dia?""Sudahlah lupain, aku nggak mau kehilangan selera makan lagi," tangkis Indira ingin beralih topik. Alden menggelengkan kepalanya."Pantesan dia ngotot ngak jadi ngijinin aku ngajak makan siang kamu," gumam Alden. Indira mengernyitkan keningnya."Kenapa nggak nunggu aja pulang kantor? Hindari berurusan sama Keenan deh. Malah jadi ribet sama dia, Al.""Masalahnya dia juga batalin proses transfer kamu ke perusahaan Griya Busana."Deg. Jantung Indira berdetak kencang."Transfer aku ke Griya? Aku baru tau ...."Alden juga baru teringat jika Indira belum mengetahui rencana mereka. Dengan penuh semangat Alden menjelaskan keseluruhan rencana mereka. Indira menj