Terkadang sulit memulai sebuah kisah yang apik dan menarik dalam hidup. Jika kita terjebak pada kehidupan yang jauh dari kemudahan, maka kita cenderung tertelan dalam perjuangan untuk bertahan.
Namun, memiliki hidup yang bergelimang harta juga tidak gampang. Keenan dan Alden bukan hanya dua pemuda yang hidup dari keberuntungan memiliki leluhur yang kaya raya. Mungkin ada jutaan manusia seperti mereka. Sayangnya, kebanyakan dari mereka, mengawali kisah dengan cara yang monoton seperti pendahulunya.
Apa yang membuat Keenan dan Alden menarik? Mereka menempuh kehidupan yang jauh lebih liar dari leluhur mereka hanya untuk mencari sesuatu hingga ke titik PUAS.
Pencarian jati diri? Mungkin. Atau, ada sesuatu yang baik, terjadi di balik keliaran hidup mereka? Sepertinya Alden sudah memulai menuju ke arah tersebut.
"Ini bantuanku untuk mereka," ucap Alden mengulurkan sebuah amplop cokelat pada Siwi.
"Apa ini?" tanya Siwi heran.
Tangannya merobek dengan hati-hati dan menarik lembar kertas yang mirip sertifikat. Rumah di kawasan Radio Dalam yang cukup strategis. Luas tanah dan bangunan juga cukup mencengangkan. Siwi membuka mulutnya tidak percaya.
"Atas nama Yayasan Rumah Harapan?" Alden mengangguk atas pertanyaan Siwi.
"Total ada dua puluh kamar layak. Belum terisi. Ada selembar cek di dalamnya, yang Bu Atin bisa cairkan untuk membeli perabotan. Aku ingin mereka hidup layak," papar Alden. Siwi memutar kursi direkturnya dan berdiri mendekati Alden.
"Kamu sadar arti ini semua?"
"Wi, jangan bikin keki ah ... salah ya?"
Siwi tertawa dan memeluk Alden dengan erat.Alden gelapan. Jujur dia pernah menaruh hati pada gadis yang lima tahun lebih tua darinya dulu, waktu SMA. Siapa yang tidak menyukai Siwi? Cantik, tubuh tinggi tegap dan atletis. Rambutnya pendek dipotong pixie dan kulit putih. Siwi mirip dengan artis Charlize Teron versi Indonesia.
"Kamu ternyata baik ... aku nggak nyangka, Al," puji Siwi tulus.
"Sial, gue pikir bikin salah apa," gerutu Alden.
"Kita ketemuan sama anak-anak ya, Al," tanggap Siwi kemudian. Sejenak Alden bimbang. Ada undangan pesta nanti malam dari temannya.
"Boleh, tapi hari minggu aja ya?" pinta Alden. Siwi memajukan mulutnya.
"Jangan terlalu terlibat dunia drugs, kamu akan terlena!" ingat Siwi dengan tatapan tajam. Alden mengedipkan mata jahil.
***Keenan mengamati brosur yang ada di tangannya dengan teliti. Penawaran untuk mengunjungi sebuah kota di daerah dekat dengan rumah Eyangnya sangat menggugah minatnya.
“Keen, konsentrasi! Kamu perlu presentasi bentar lagi,” seru Siwi menjentikkan kedua jarinya. Keenan meletakkan brosur dan memberikan perhatiannya penuh pada layar screen yang tersambung pada laptopnya.
“Kamu bisa pegang handout ini,” tawar Alden. Keenan tersenyum.
“Seriously?” tanya Keenan. Alden terkekeh.
“Aku yang buat, ingat?” bisik Keenan. Alden meninju lengan Keenan yang kekar.
Satu persatu karyawan mereka masuk. Sekretaris baru itupun masuk dan duduk di posisi Keenan mampu melihat melihat belahan paha yang sengaja dibuka. Trisna, nama wanita seksi itu. Pikiran nakal mulai merayap dalam benak Keenan.
Suara Siwi yang membuka rapat membuyarkan kembali angan kotornya. Kakaknya memberi kabar bahwa mereka akan menawarkan kerjasama dengan Mercure Asia grup. Hari ini proposal tersebut akan mereka ajukan.
Keenan kemudian memulai presentasinya selama sepuluh menit. Komisaris yang menjadi pengawas perusahaan Seto lainnya turut hadir.
Tiga pria separuh baya yang terkenal dengan kejelian dan juga standard tinggi dalam menilai terlihat tidak menunjukkan perubahan wajah.
Sulit menebak apakah mereka menyukai isi presentasinya atau tidak. Alden menyambung dengan beberapa poin yang akan menjadi kekuatan mereka dalam memenangkan kontrak tersebut.
“Any question, welcome,” pungkas Alden mengakhiri presentasi mereka.
Danuardi, salah satu Komisaris pengawas perusahaan utama melepas kacamatanya.
“Saya ada pertanyaan, simpel dan mudah,” ucap Danu dengan suaranya yang berat dan dalam.
Wajahnya yang kebapakan justru menunjukkan karisma yang mencekam untuk semua. Para karyawan paham, Danuardi adalah ahli akuntan yang sangat handal.
“Silahkan, Pak,” sambut Siwi. Hatinya berdebar kencang.
Walaupun memegang perusahaan ayahnya, namun kredibilitasnya sangat dipertaruhkan saat ini. Siwi tidak pernah gagal, dan dia tidak siap untuk mengalami yang pertama kali.
“Menggunakan kekuatan Customer Service dalam meraup keuntungan? Jelaskan,” pinta Danu.
Sekilas sederhana dan tidak sulit untuk menjelaskan. Namun kalimat yang klise akan membuat Keenan terdengar dangkal. Pemuda itu malas mendengar ceramah Siwi yang akan membayangi dirinya dalam beberapa tahun mendatang. Ia tahu bagaimana kakaknya mengejar dan menuntut dirinya juga Alden untuk terus berprestasi.
“Kalian mendapatkan semua fasilitas untuk maju! Apakah hasilnya akan sama dengan teman kalian yang cuman naik angkot ke sekolah?” itu ucapan Siwi yang terus memacu mereka.
“Keenan, apakah kamu ingin menjawab pertanyaan Pak Danu?” tanya Siwi dengan raut wajah menahan jengkel. Keenan tergagap namun segera menguasai diri.
“Ya. Pasti, Bu Direktur,” jawab Keenan jenaka.
Siwi mengeraskan rahangnya dengan kesal. Keenan bangkit dan mendekati Danu dengan kepercayaan diri yang besar. Siwi mengumpat dalam hati dan berharap ini hanya mimpi buruk jika Keenan gagal menjawab dengan tepat. Adiknya memandang Danu dari atas hingga ke bawah, ia berhenti di sepatu.
“Pak Danu, maaf. Jika tidak keberatan. Berapa harga sepatu, Bapak?” tanya Keenan. Danu terlihat sedikit enggan menjawab.
“Sepuluh juta, kurang lebih,” jawab Danu. Kerlingan mata takjub terlihat di penjuru ruangan.
“Wow, fantastis. Selera yang bagus,” puji Keenan. Danu mengangkat dagunya dengan bangga.
“Jika membeli barang sebagus ini, apakah Bapak berharap pelayanan yang baik?” tanya Keenan.
“Pasti. Salesman yang mampu menghargai uang yang saya berikan,” jawab Danu. Keenan mengangguk.
“Good answer. Jika setelah memakai dua minggu, misalnya, sepatu anda tiba-tiba rusak. Kulitnya terkelupas. Apakah Pak Danu akan mendatangi kembali dan mengajukan complain?”
“Ya, pasti.”
“Berharap garansi seratus persen?”
“Wajib.”
“Saat mendapatkan ganti, apakah Pak Danu akan mengambil dengan senang hati?”
“Apa mengambil? Tidak, mereka harus mengantarnya. Ayolah ini sepatu senilai puluhan juta!” jawabnya dengan senyum sinis. Keenan tersenyum puas.
“Semua jawaban tentang kelebihan customer service telah Bapak jawab sendiri dengan baik dan tepat,” ucap Keenan.
“Maksudmu?” tanya Danu tidak mengerti.
“Salesman yang pengalaman, first service. Ucapan terima kasih atas pembelian Bapak, after service. Penggantian plus pengantaran gratis, special service!
Pak Danu, bagian mana yang tidak menunjukkan bahwa customer service sebagai factor yang meningkatan penjualan? Ingat, word of marketing is the most powerful. Happy service creates happy sales, happy customer will become happy ambassador for our brand!” papar Keenan.
Danuardi terlihat tertegun. Kedua partnernya mengangguk dan tersenyum lebar.
“Perusahaan ini, akan mengedepankan satu hal yang menjadi moto kita. Our Service Is Customize!” lanjut Keenan dengan santai dan duduk.
Keenan si konyol yang tidak pernah serius, telah memenangkan tantangan hari itu. Siwi mencubit lengan Keenan dengan kuat.
“Aduuh, apa sih Wi!” pekik Keenan keki. Wajahnya meringis menikmati cubitan kakaknya yang menyisakan merah di kulitnya.
“Sekali lagi kamu bikin aku sport jantung kayak tadi, aku lempar kamu ke perusahaan Papa,” ancam Siwi. Alden tergelak.
“Apa salahku? Kan sukses. Kita dapat approval dari mereka!” pekik Keenan dengan tidak mengerti.
“Caranya jangan kayak tadi! Untung Pak Danu itu karyawan Papa, kalo itu rekan bisnis, udah game over kita!” bentak Siwi dengan wajah memerah.
“Tapi aku suka cara Keenan tadi,” puji Shana. Keenan langsung besar kepala. Siwi melirik Shana dan tanpa berucap dia melenggang pergi.
“Bontot, rapiin semua materi dan kirim via email!” seru Siwi sambil berlalu.
“Aku lagi?” keluh Alden.
Keenan menyentuh pundak Alden dengan wajah prihatin.
“Al, dicubit jauh lebih sakit …,” bisiknya sambil sok serius.
“Kampret …!" rutuk Alden. Keenan berjalan keluar dengan langkah panjang dan senandung penuh ledekan.
Kembali, Keenan dan Alden membuktikan. Otak mereka tak sedangkal yang kebanyakan orang pikir. Dua pemuda tangguh dan penuh dedikasi. Walaupun terkesan urakan dan berandal, namun tanggung jawab mereka pikul dengan sungguh-sungguh.
Sejak proposal kerjasama yang mereka ajukan bersambut baik dengan Mercure, Shana dan Siwi sibuk menyiptakan berbagai rencana. Shana merekrut perancang muda yang berbakat. Dalam waktu tiga bulan awal mereka harus menampilkan performa terbaik."Masih ada yang kurang. Desain ini bagus, tapi terlalu modern. Seni tradisional batiknya tenggelam," keluh Siwi. Ya, mengangkat batik sebagai bahan material utama, Siwi berharap pilihannya akan menjadi sesuatu yang unik dan berbuah sukses."Gimana sama yang ini?" tanya Shana. Siwi masih menggelengkan kepalanya."Ada satu desainer yang cukup menarik simpatiku. Tapi dia karyawan Eyang. Namanya lupa, dia menciptakan kemasan yang apik untuk kopi Eyang sampai sekarang laku diimpor ke Belanda," ucap Siwi sambil berpikir keras."Bisa dipinjem nggak?" tanya Shana sambil membereskan kertas berisi gambar terpilih di meja."Dia kesayangan nenekku, Shan. Aku nggak yakin," jawab Siwi kecut.
Indira datang sedikit terlambat dari biasanya. Untuk menghemat ia naik sepeda dan jarak dari rumah ke kantor memakan waktu yang lumayan jauh."Kamu keringatan banget sih!" tegur Erna.Indira mengangguk dan bergegas ke kamar mandi. Dengan secepat mungkin ia berganti baju dan kembali ke ruangan."Naik sepeda lagi?" tanya Erna sebelum ia masuk kantornya."Biar sehat, olahraga," jawab Indira cepat. Erna mencibir dengan kesal."Kenapa nggak bilang kalo bokek, sih?" gerutu Erna sambil merogoh tasnya dan mencabut beberapa lembar. Ia melesakkan ke dalam kantong Indira yang mencoba berkelit."Kalo kamu nggak terima, berarti egois. Kakekmu butuh ini," ancam Erna. Indira berdiri dengan bibir bergetar."Maturnuwun ya, Er," bisik Indira lirih sekaligus menahan malu. Erna menepuk lengan Indira dan tersenyum tulus.***Makan siang setengah jam lagi. Indira membuka dengan pelan tasnya. Empat lembar lima
Indira menarik amplop putih dan merobeknya. Raut wajahnya pias. Banyak sekali uang ini? batin Indira terkejut.Hatinya makin kesal. Ia tidak butuh belas kasihan! Setelah menebus obat, ia bergegas pulang. Ketika melewati warung, Indira membeli semua kebutuhannya dengan sisa uang miliknya. Gadis itu hanya mengambil sejumlah yang ia berikan pada Alden sebelumnya, dari amplop tersebut.Begitu tiba di rumah, Indira mengintip kamar kakeknya. Masih terlelap. Indira kembali keluar dan menerjang malam menuju rumah Widari."Lho? Mbak Indi, kok tumben?" sapa Haris satpam rumah bosnya. Indira tersenyum ramah dan bertanya apakah Alden ada."Baru aja pulang. Sebentar saya panggil, Mbak," jawab Haris dan Indira mengucapkan terima kasih.Gadis itu memilih duduk di pos satpam sambil memeriksa handphonenya."Indira?" seru Alden dengan wajah senang. Indira mengangguk datar dan meraih tangan Alden serta mengembalikan amplop putih t
Alden kembali ke Jakarta dengan semangat yang membara. Tekadnya untuk serius menekuni tugasnya di perusahaan kini bulat. Ia dan Keenan akan bekerja dengan sebaiknya. Semoga usaha Alden menjadi bantuan yang sangat berarti untuk Indira.Entah kenapa Indira sangat mencuri simpati dan perhatiannya. Bukan dalam cara biasa seperti ia tertarik pada lawan jenis. Namun timbul rasa ingin melindungi, yang mendorong Alden hingga ia sendiri bingung akan perasaan tersebut."Al, produksi dari desain Indira sudah diproses. Jika ini berhasil, kamu harus stand by di Salatiga dan mendirikan kantor khusus untuk mengembangkan berikutnya!" seru Siwi pagi ini."Seserius itu?" tanya Alden."Tidak ada yang kuanggap sepele dalam hal apa pun. Menciptakan rumah mode akan membuat Indira nyaman dan bekerja maksimal," jawab Siwi yang didukung oleh Shana.Keenan hanya terdiam membisu di sebelahnya, dengan wajah terpaku pada laptop. Di layar menampilkan de
Pertemuan pagi itu dengan beberapa pemilik ruko, akhirnya berbuah baik. Shana menemukan lokasi yang tepat untuk rumah mode mereka.Tidak terlalu sulit untuk mencapai kata sepakat. Nilai kontrak ruko dan rumah yang mereka ditempati, masih terbilang sangat terjangkau dan murah.Tanpa menawar, Shana membayar dan mendapatkan surat perjanjian kontrak selama lima tahun."Saatnya pindah ke rumah baru!" seru Shana dengan riang.Alden tersenyum dengan antusias. Bukan karena keberhasilan mereka mendapatkan tempat dengan mudah, namun karena Indira akan mendapatkan pekerjaan yang baik ke depannya nanti."Kamu mau kemana lagi?" tanya Shana heran."Kamu pulang aja ke hotel dengan mobil sewa itu. Aku naik taxi, ada seseorang yang harus kutemui," pamit Alden meninggalkanShana yang terpaku dengan perasaan kesal. Kenapa terbersit perasaan tidak suka atas ucapan Alden barusan? Cemburukah ini? Shana menyangkal d
Seharusnya Alden menemui Indira untuk menggabarkan berita gembira. Tetapi saat ia menelepon Keenan untuk mengajak Indira, tiba-tiba Keenan berdalih. Indira masih mengerjakan proyek terakhir sebelum bekerja sepenuhnya untuk Alden. Dengan hati kesal Alden memilih membantu Shana."Semua sudah mereka sediakan. Kita tinggal nempatin aja kok," balas Shana saat Alden menawarkan bantuan untuk menyiapkan rumah yang akan mereka sewa nanti."Ok, aku akan ngambil koper," sahut Alden dengan gontai. Shana memandang Alden dengan pandangan menyelidik. Sikap loyo Alden pasti berkaitan dengan gadis yang sering ia dengar, Indira."Kamu kecewa ...," cetus Shana sambil mengunci koper miliknya. Alden yang sudah membuka pintu kamar hotel untuk keluar mendadak berhenti."Keenan ingkar," sahut Alden."Sepenting itukah gadis tersebut? Maksudku, kalian memperebutkan Indira?" tanya Shana.Alden bagaikan tertampar dan menoleh. Bukankah terl
"Astaga kamu beneran nambah?" tanya Alden. Indira mengangguk dengan geli. Keduanya sedang menikmati makan malam yang lebih awal."Aku nggak makan siang gara-gara Keenan," jawab Indira. Alden berhenti menyuap."Keenan? Kenapa dia?""Sudahlah lupain, aku nggak mau kehilangan selera makan lagi," tangkis Indira ingin beralih topik. Alden menggelengkan kepalanya."Pantesan dia ngotot ngak jadi ngijinin aku ngajak makan siang kamu," gumam Alden. Indira mengernyitkan keningnya."Kenapa nggak nunggu aja pulang kantor? Hindari berurusan sama Keenan deh. Malah jadi ribet sama dia, Al.""Masalahnya dia juga batalin proses transfer kamu ke perusahaan Griya Busana."Deg. Jantung Indira berdetak kencang."Transfer aku ke Griya? Aku baru tau ...."Alden juga baru teringat jika Indira belum mengetahui rencana mereka. Dengan penuh semangat Alden menjelaskan keseluruhan rencana mereka. Indira menj
Berulang kali Indira mengecilkan picingan matanya, untuk memperjelas pandangan pada detail desain. Namun masih tidak berhasil menemukan kejanggalan pada desain. Menurutnya, kemasan premium itu masih belum memuaskan."Kayaknya kotak yang melingkari kemasan masih kurang terang. Kamu bisa ganti dengan wana emas?" bisik Alden tiba-tiba muncul di sebelahnya. Indira terkejut dan melonjak kaget."Al!" pekik Indira yang merasakan konsentrasinya buyar seketika."Aku cuman kasih ide aja." Alden membela diri dan tersenyum mempesona.Indira mendadak merasa jengah, karena ia mengagumi senyum itu."Aku masih kerja. Nanti kalo jam sepuluh Luis belum dapet desain ini, aku bakal kena semprot," keluh Indira kembali menyibukkan diri.Alden akhirnya mengambil kursi dan duduk di depan meja kerja Indira. Kelima rekan kerja Indira melirik dengan iri. Indira mendadak menarik banyak perhatian cowok-cowok ganteng yang bukan dari kalangan bi