Share

Gus Rayhan

Koridor putri lantai dua lengang. Kedua gadis ini masih diam dalam lamunannya, memikirkan laki-laki idamannya. Takut akan takdir, takut jika tidak bisa bersama. Tinggal beberapa langkah lagi, Aini dan Raisya sampai di pintu kamar. Namun, ada yang membuat langkah keduanya terhenti. Diluar kamar, Iklil tengah mengobrol dengan laki-laki yang tadi sempat bertemu di koridor. Aini dan Raisya bertanya-tanya, sedang apa mereka di kamar putri? dan siapa laki-laki itu?

ekor mata Iklil menemukan keberadaan Aini,

"Hai, Kamu lagi." Sapa Iklil, yang membuat Aini berdegup kencang. Namun Aini tak puas, namanya belum disebutkan, Iklil belum tahu namanya. 

"Hai, juga Kak." Jawab Aini singkat. Aini takut jika perkataannya salah, lebih baik dipersingkat.

"Oh, iya. Sejak Kita bertemu tadi malam, Saya belum tahu nama Kamu." Ucap Iklil, bukan hanya Aini saja yang ingin diketahui namanya, Iklil pun sama, ingin diketahui juga oleh gadis di depannya.

"Namaku Aini, Aini Halwa." Imbuh Aini, Aini percaya bahwa semuanya akan indah. Meskipun tak seberapa. Hari ini juga, resmi sudah perkenalannya dengan Iklil.

"Mata yang indah, bagus sekali nama Kamu." Ucap Iklil sambil melihat mata Aini yang memang benar indah. Mata keduanya saling menatap, merasakan degupan jantung. Buru-buru, Iklil mengalihkan pandangan, mengucap istigfar, Aini bukan mahramnya, haram dilihat.

"Maaf, Aini." Keduanya gugup, salah tingkah, entah harus memulai dari mana perbincangan berikutnya. Ini kali pertama Iklil menyebutkan nama Aini. Raisya, merasa dirinya tidak dipedulikan langsung berbicara,

"Maaf Kak, kami harus buru-buru masuk ke kamar. Takut disanksi sama Mbak galak yang tadi," pungkas Raisya. Tangan Aini ditarik paksa oleh Raisya, untuk segera masuk ke kamar.

Dengan suara lantang, Iklil memproklamirkan namanya, "Nama saya, Iklil." Suara itu pastinya terdengar oleh telinga Aini, Iklil, namamu juga bagus, batin Aini. Ada tatapan aneh dari laki-laki yang berada di samping Iklil, sejak tadi Iklil mengobrol dengan Aini, laki-laki itu terus mengamati setiap gerak-gerik yang dilakukan Aini. Laki-laki itu menyukai Aini saat pertama kali melihatnya.

"Aini, apakah Dia santri baru?" tanya laki-laki itu.

"Iya, tadi malam, Saya bertemu dengannya di tempat parkir," jawab Iklil.

"Baguslah, Kamu suka Dia?" pertanyaan ini membuat Iklil terpaku. Jika Iklil menjawab tidak, tapi, Iklil merasakan ada getaran aneh dalam hatinya. Itu berarti, Iklil menyukai Aini. Jika menjawab iya, sekarang Iklil sedang mempunyai komitmen dengan Arumi, Roisah pesantren. 

"Suka? tidak, Saya mau fokus dulu mengaji." ucap Iklil membohongi perasaannya sendiri.

"Jika Kamu tidak menyukainya, Saya akan taaruf dengan Aini," ujar Laki-laki itu  percaya diri.

Iklil mengalihkan pembicaraan, mengajak laki-laki itu untuk segera menemui Kyai

"Sebaiknya Kita segera bertemu Kyai, takut keburu ashar." Ajakan Iklil ditanggapi oleh laki-laki itu.

                          ***

"Kamu ah, gara-gara Kamu, Aku jadi lalat lewat nggak guna. Untung aja ada Kakak yang ganteng," gerutu Raisya.

"Justru sebab Kamu, pertemuan Aku sama Kak Iklil singkat banget," dengus Aini dengan bibir menggerutu.

"Sudah, ah. Aku lapar." Raisya membukakan pintu kulkas berisikan minuman dan makanan ringan, mengambil beberapa cemilan. Raisya memilih sereal yang sudah siap dimakan dengan susu sebagai minumannya. 

"Kamu mau apa? Aku pilihkan ya ...," Raisya mengambil minuman varian jeruk, lalu menyodorkan minuman itu pada Aini. Sontak, Aini mengibaskan tangan Raisya yang sedang memegang minuman tersebut lalu, bruaaak ..., minuman itu jatuh, gelas plastiknya pecah, membuat kubangan kecil. Raisya dibuat kaget oleh Aini.

"Kamu kenapa Aini? ada yang salah dengan minumannya?" Raisya masih heran, kenapa Aini berbuat seperti itu. Jika ketahuan Mbak galak tadi, pasti akan mendapatkan sanksi.

"Ya Allah, maafkan Aku, Raisya. Aku kaget, Aku kira bukan jeruk. Aku fobia buah itu," ucap Aini merasa bersalah.

"Astagfirullah, Kamu fobia jeruk? gimana ceritanya? kok aku pengen ketawa, ya." Raisya terbahak, Aini hanya bisa diam, malu. Aini mempunyai keturunan dari Ayahnya, sama-sama fobia jeruk. Entah genetik dari mana, Aini juga tidak tahu.

"Sudahlah, jangan ketawa Raisya. Memang Aku aneh kok," kata Aini kesal.

"Maaf-maaf, Aini. Nih, Susu mangga, suka kan? Aku jadi tau apa saja fobia Kamu, kan kita sahabat." Ucap Raisya nyengir kuda.

"Suka kok, makasih, Ra." Keduanya bertatapan, saling melemparkan senyuman. Karena sahabat sejati harus tau apa yang disuka dan tidak disukai, harus tau bagaimana caranya membuat bahagia jika sedih. Itulah arti sahabat.

                      ***

Ceklek, pintu depan rumah Kyai dibuka perlahan oleh Iklil setelah sebelumnya mendapat izin untuk masuk ke rumah Kyai.

"Assalamualaikum," salam Iklil dijawab oleh semua orang yang berada didalam rumah Kyai, hanya ada nyai Fatimah, dan santri-santri yang mengabdi pada Kyai.

"Waalaikumsalam, ada apa Iklil? siapa yang ada diluar, wali santri?" tanya kyai Kholil.

"Bukan Kyai, itu tamu. Katanya dari Jerman, ingin bertemu dengan Kyai dan Bu Nyai." jawab Iklil sopan.

"Hah? dari Jerman? siapa? suruh masuk saja," Kyai Kholil sangat penasaran.

Iklil keluar, memanggil laki-laki itu. Saat laki-laki itu masuk, kyai Kholil dan nyai Fatimah terpaku. Meneteskan air mata kebahagiaan, melihat anaknya sudah tumbuh dewasa. Gus Rayhan, laki-laki itu adalah Gus, anaknya kyai Kholil. Gus Rayhan tinggal di Jerman bersama Pamannya sejak kecil, sejak berumur enam tahun. Kyai Kholil dan nyai Fatimah belum bertemu lagi dengan Rayhan secara langsung. Sesekali, mereka berbincang lewat telephone. Adiknya kyai Kholil--Pamannya Rayhan, selalu mengirimkan foto-foto Rayhan saat di Jerman, sebagai pengobat rindu sang Abah dan Umi.

"Masya allah, Nak. Kenapa datang ke Indonesia tidak memberi tahu Abah? Biar Iklil yang jemput Kamu di bandara." Kyai Kholil mengusap aliran sungai kecil di pipinya. Gus Rayhan menghampiri kyai Kholil dan nyai Fatimah, memeluk keduanya dengan erat. Seakan tidak boleh ada yang menggangunya.

Iklil mematung, menyaksikan keluarga Kyai yang sangat dihormatinya. Laki-laki tadi? Gus? Iklil malu, merasa bersalah. Sejak pertemuannya dengan Gus Rayhan, Iklil merasa kurang sopan terhadap perlakuannya. Jika Iklil tahu, pasti akan mencium tangan Gus Rayhan sejak pertama bertemu. 

"Iklil, kenalkan, ini Rayhan, anakku satu-satunya yang pernah diceritakan padamu waktu itu," jelas kyai Kholil.

"Enggeh, Kyai. Mohon maaf Gus, jika tadi Saya kurang sopan pada Gus Rayhan," ujar Iklil hati-hati.

"Tidak apa-apa, Iklil. Terima kasih sudah mengantar Saya ke rumah. Oh iya Abah, Umi, maafkan Rayhan tidak memberi tahu jika Rayhan akan pulang ke Indonesia, takutnya merepotkan. Lagian, Rayhan sudah besar, tau arah pulang kok." 

"Bukan begitu, Nak, Jerman dan Indonesia itu beda. Jika Kamu kesasar gimana, ndak tahu alamat rumah," ucap nyai Fatimah khawatir, beruntung anaknya baik-baik saja.

"Ya, sudah, Kamu istirahat yang cukup, ya. Iklil, tolong antar Rayhan ke kamarnya." perintah kyai Kholil.

Iklil menunjukan kamar yang akan ditempati oleh Rayhan. Fikiran Iklil berkecamuk, entah mengapa semenjak Gus Rayhan menanyakan perasaannya pada Aini, hati Iklil tidak tenang. Iklil bingung harus bagaimana. Takut jika perkataan Gus nya benar, akan melakukan taaruf dengan Aini. Jika dibandingkan, Aini akan memilih Gus Rayhan, tinimbang Iklil. Gus Rayhan adalah anak kyai Kholil, mempunyai pendidikan yang tinggi. Sedangkan Iklil, hanya rois pesantren yang mengabdi pada Kyai nya, dan sedang menyelesaikan kuliah di bawah yayasan pesantren, apakah skenario allah akan memihak pada Iklil? atau kah pada Gus Rayhan? Iklil hanya mengharapkan skenario yang indah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status