Mencintai tidak harus setiap saat, kita hanya perlu tau rasanya saja. Kisah ini menceritakan seorang perempuan lugu bernama Aini. Kisah cintanya bersama rois'am pesantren membuat ia harus berjuang demi mendapatkan hati pria pandai itu. Apakah Aini akan mendapatkannya? Ataukah tidak?
View MoreAini menyusuri satu persatu lukisan kakaknya. Lukisan yang selalu mengingatkan pada kematian kakaknya yang begitu tragis. Kakaknya tewas saat ia hendak pergi ke pesantren. Mobil bak tanpa aling-aling yang menabrak kakak Aini hingga tewas. Dari kejadian itu, Aini berfikir bahwa kematian kakaknya disebabkan oleh pesantren. Peraturan pesantren yang membuat kakaknya harus pergi--hingga akhirnya tewas. Aini sekarang sudah lulus sekolah menengah pertama, itu saatnya Aini melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Yap, sekolah menengah atas. Sudah terlalu banyak sindiran orang tuanya tentang pesantren. Kedua orang tuanya menginginkan Aini pergi ke pesantren. Tidak salah lagi, orang tua siapa yang tidak menginginkan putra-putrinya sukses? Ingin putra-putrinya terjerumus pergaulan zaman sekarang? Zaman dimana anak-anak, remaja, bahkan dewasa, melakukan perzinahan, mencopet, bahkan saling membunuh. Itu harga yang mahal sekali. Apakah negara ini berontak? Jawabannya adalah, tidak. Negara terlalu sibuk dengan uang, uang, dan uang. Perkara kecil pun tidak dihukum, apalagi perkara besar. Itulah zaman millenium, remaja tak tahu cara sopan santun pada orang yang lebih tua, dan sebaliknya. Orang tua Aini tidak mau seperti itu, mereka ingin putrinya tumbuh menjadi pemuka agama, pintar dalam berbagai hal.
Langkah Aini terhenti pada foto berbingkai. Foto Aini bersama kakaknya.
"Andai kakak masih di sini. Mungkin aku juga akan menuruti apa kata ibu, pergi ke pesantren." Aini tersenyum getir saat menatap kembali kenangan masa lalu."Kamu jangan terus bersedih, Nak. Kenapa? Teringat masa lalu lagi?" Ibu Aidah yang baru saja muncul dari balik daun pintu bertanya.
"Iya, Bu. Jika Ibu akan memaksaku untuk ke pesantren kali ini, aku sudah bilang beberapa kali, aku tidak mau." Aini menjawab pertanyaan Ibu Aidah, kedua kelopak mata Aini masih menatap foto-foto kenangan.
"Kenapa tidak mau? Aini ingin mengecewakan Ibu?"
"Bukannya Aini ingin mengecewakan, Bu. Jika Aini pergi ke pesantren, sama saja dengan Aini membuat luka kembali. Saat Ibu mengatakan pesantren, hatiku teriris, Bu. Kematian kakak, apa Ibu sudah lupa? Apa Ibu ingin aku juga tewas?" Aini mengusap wajahnya, bulir-bulir kecil berjatuhan lewat pipi Aini.
"Astagfirullah, Nak. Jangan mengatakan seperti itu. Ibu mencoba tersenyum setiap detik, itu bukan berarti Ibu melupakan Ranala. Kamu anak Ibu satu-satunya, Ibu tidak ingin kamu terjerumus pergaulan zaman sekarang."
Ruangan tamu lengang, menyisakan gemercik kolam air di depan teras rumah. Ayah Aini, ikut bersuara, "Ada apa ini?" Pak Amar memegang pundak Ibu Aidah, kemudian melihat Aini yang sedang menangis.
"Tidak apa-apa, Ayah." Aini yang menjawab.
"Kenapa menangis?" Pak Amar bertanya kembali.
"Tadi kami sedang memandangi foto-foto Ranala bersama Aini. Tidak disengaja, air mata kami mengalir." Ibu Aidah kali ini yang bersuara.
"Ayah juga tau. Aini menolak kembali untuk pergi ke pesantren, bukan?"
Ruangan tamu kembali lengang. Pertanyaan Pak Amar tergantung di langit-langit ruangan, tidak ada jawaban.
"Aini, sekali lagi Ayah bertanya padamu, Nak. Apakah kamu tidak mau membahagiakan orang tua ini? Kami juga mengerti, rasa sakitmu belum terobati. Namun, obatilah luka-luka itu dengan pergi kesana, ke pesantren. Aini pasti akan mengerti, kenapa Kak Ranala pergi, kenapa Kak Ranala ingin ke pesantren. Hanya sekarang, Aini penuh dengan ego. Aini masih remaja, belum berfikir dewasa. Pergilah, Nak. Bukannya kami tidak menginginkanmu tinggal di sini. Kami akan selalu merindukanmu nanti." Pak Amar mengusap wajahnya, setelah memberikan nasihat pada Aini.
"Ayahmu benar, Nak. Sekarang keputusan ada ditangan Aini. Aini akan menuruti apa kata Ayah, atau Aini akan menuruti hawa nafsu." Ibu Aidah membenarkan ucapan Pak Amar. Memang benar, salah satu yang paling sulit dihindari adalah hawa nafsu.
"Aini tidak menjanjikan, Ibu, Ayah. Aini akan berfikir dulu. Aini harus menerimanya, walau itu sulit."
***Satu minggu setelah itu, setelah Aini memetakan kembali perasaannya. Aini menyetujui permintaan orang tuanya. Semua barang, peralatan, kebutuhan Aini yang akan dibawa ke pesantren disiapkan oleh Ibu Aidah. Persyaratan dan pendaftaran juga sudah dilengkapi Pak Amar. Aini meraih buku diary pemberian kakaknya. Buku bersampul unicorn, dengan warna pink kemerahan. Aini akan menceritakan semua kejadian pada kakaknya lewat tulisan. Karena kakaknya gemar dalam dunia literasi, Aini juga memilih jalan yang sama, mencintai dunia literasi. Dulu kakaknya pernah bercerita, 'Kakak ingin menjadi penulis yang terkenal, Dek. Jika nanti kakak tidak kesampaian, kamu harus menjadi penulis. Penulis yang tulisannya bisa dinikmati oleh semua kalangan.' Itu adalah pesan kakaknya sebelum Sang Pencipta merenggut nyawa Ranala. Aini memegang bollpoint dengan kuat, hendak menuliskan sesuatu."Jika kakak masih ada di sini. Mungkin kita akan pergi bersama-sama ke pesantren. Kita akan merajut kembali kenangan, kita juga akan membuat kedua orang tua kita bahagia karena melihat anak-anaknya yang begitu pintar. Kakak di sana baik-baik aja, kan? Aku di sini sedang tidak baik, Kak. Besok lusa, aku akan pergi ke pesantren. Entahlah seperti apa keadaan di sana, apakah menyenangkan atau menyedihkan. Kakak bahagia tidak jika aku akhirnya pergi ke pesantren? Semoga bahagia, ya. Aku harap begitu. Mungkin sampai sini dulu curahan hatiku ke kakak."
Aini menutup kembali buku diary-nya. Menatap langit-langit kamar yang lengang. ***Bola besar yang mampu menyinari planet bumi baru saja mengudara. Memunculkan sinar hangatnya. Pagi yang sangat sejuk, embun yang menetap di atas dedaunan mulai berjatuhan, memberikan kesegaran jika dihirup. Burung berkicauan di sana-sini menghiasi kala itu. Jadwal Aini pergi ke pesantren adalah hari ini. Semuanya sudah siap, mulai dari alat solat, alat mandi, dan tak lupa buku diary bertemakan unicorn dibawa Aini. Box buku juga sudah tertata rapi di dalam bagasi mobil."Semuanya sudah? Pastikan tidak ada yang tertinggal." Pak Amar memerintahkan Aini untuk mengecek kembali.
"Sudah, Ayah." Aini menutup bagasi mobil. Ibu Aidah juga sudah menunggu di dalam mobil.
Pak Amar, Ibu Aidah, dan Aini, ketiganya sudah menempati bangku masing-masing. Pak Amar mulai menyalakan mesin mobil, dan para penumpang memasang sabuk pengaman. *** Perjalanan yang sangat mulus. Sekarang mereka telah tiba di pesantren Tebu Ireng--di Jawa Timur. Mereka datang saat matahari membenamkan dirinya--malam hari. Semua aktivitas di sana begitu mengagumkan. Santri-santri yang tengah berjaga pada malam hari, ada yang bergurau, membaca nadzom, satu-dua ada yang tertidur sembarang di pos ronda.Salah satu satpam menyapa, memberikan salam, "Selamat malam, Pak. Ada yang bisa kami bantu?" Pak Amar membukakan kaca jendela, membalas salamnya."Selamat malam juga, Pak. Saya calon wali santri baru, hendak mendaftarkan putri saya." Pak Amar tersenyum."Ouh, kalau begitu, Bapak masuk saja dulu. Nanti saya bilang dulu ke Rois-nya." Pak satpam
berkata dengan logat jawanya yang sangat khas, membungkukkan badannya.Jendela kaca ditutup. Pak Amar kembali menyalakan mesin mobil, melajukannya perlahan. Memilah-milah tempat parkir.
"Angkat barang-barangnya hati-hati, Nak." Pak Amar memerintahkan pada Aini.
Aini mengangguk.Salah satu pria, berpakaian santri menghampiri Pak Amar dan keluarga.
"Ada yang bisa saya bantu?" Pria itu berkata, setelah sebelumnya mengucapkan salam.
Pak Amar, Aini, dan Ibu Aidah menoleh, mencari asal suara.
Raisya mematung, mengamati tiap kata yang dilontarkan gus Rayhan. Sangat aneh, mengapa banyak sekali pertanyaan yang tertuju pada Aini. Aini juga sama seperti Raisya, merasakan hal yang sama."Kenapa Ustadz? ada yang salah?" Ungkap Raisya dengan beraninya ia mengucapkan itu."Tidak, tidak ada yang salah," sergah gus Rayhan. Sekali lagi, Raisya membatu. Dingin sekali perlakuan lelaki itu pada Raisya, berbanding terbalik dengan perlakuan lelaki itu pada Aini.Aini berbisik pada Raisya, memberikan peringatan, "Sudah, Ra. Dia itu ustadz, Kamu nggak boleh seperti itu, itu namanya tidak ta'dzim. Kamu sendiri kan yang ngajarin Aku harus ta'dzim. Segera Kamu meminta maaf," ucap Aini."Maaf kan Saya, Ustad, karena sudah ceroboh," kata Raisya."Aah, sudahlah lupakan. Maaf semuanya, Saya agak melenceng. Baik, kita lanjutkan kembali materi kita hari ini, materi Bahasa. Karena Iklil akan mengajarkan kalian semua tentang kitab kuning, Saya hanya mengisi kekosongan sa
Suara mesin rumah sakit berbunyi. Menandakan kondisi pasien tengah koma. Umi Hana terdiam, tidak bergerak sama sekali. Iklil panik, begitu juga abahnya. Iklil bergegas keluar, memanggil salah satu suster, memberi tahukan kondisi uminya."Siapa saja, tolong umi ...." teriak Iklil. Satu, dua suster lainnya berlarian, memberikan pertolongan. Wanita berpakaian suster itu sangat sigap, mengecek setiap data yang dikeluarkan oleh mesin itu. Tak henti-henti Iklil merapalkan doa terbaik bagi sang umi."Ya Allah ... bantu kami, berikanlah umi kesembuhan total. Aku tidak mau jika harus terus seperti ini, umi tersiksa, begitupun abah." Iklil begitu memohon pada Sang Pencipta, Sang pemberi keselamatan. Abah Ahmad terkulai, tak sanggup melihat istri tercintanya kesakitan.Suara mesin itu berhenti sejenak, memberikan pertanyaan bagi Iklil. Semua suster berdegup kencang, menentukan hasil kerja mereka, apakah akan selamat? atau berujung pada kematian. Tiba-tiba, gambar pada monitor
Iklil menghampiri perempuan itu, memastikan. Saat didekati, perempuan itu persis sekali seperti Aini. Iklil menyapanya,"Permisi," kata Iklil. Perempuan itu menoleh, ternyata bukan. Mustahil juga jika Aini sekarang berada di rumah sakit. Bukankah Aini sekarang sedang di pesantren?"Iya, Mas?" Tanya perempuan itu, Iklil menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali itu."Hm, maaf Mbak, Saya salah orang.""Ouh tidak apa-apa, Mas. Mas pasti sedang mencari istri Mas, ya?""A--apa? Istri? Saya masih kuliah, Mbak. Belum punya Istri,""Atau, Mas lagi memikirkan pacar, Mas, ya?""Huuss, Mbak ini. Kan di dalam Islam tidak boleh pacaran." Pipi Iklil memerah, mengapa ia malah memikirkan Aini, yang jelas-jelas bukan mahramnya."Aah, si Mas ini, pipi Mas tuh kemerahan. Saya tinggalkan dulu, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," Iklil langsung memegangi pipi-nya. Apakah merah? Aahh lupakan saja, batin Iklil. Iklil terus menyusuri ko
"Sekali lagi terima kasih, Ra. Karena sudah memberi tahuku,""Sama-sama, Aini." Aini melamun, kenapa Iklil tidak memberi tahunya? Ahh, dia ingat, Aini bukan siapa-siapanya Iklil. Bagaimana mungkin Iklil akan memberi tahu pada Aini, mencari kabar Aini pun tidak, apalagi harus memberi tahukan apa sebab-sebabnya Iklil pulang."Aini? Hallo? Yeh, malah melamun. Pasti karena Iklil, Aku merasa bersalah karena memberi tahumu.""A--iya? Aduh, ini kenapa ya Allah. Ngga kok, masa memikirkan kak Iklil. Bukannya kalau memikirkan orang yang bukan mahram itu dosa, ya?" Ucap Aini terang-terangan. Padahal, yang sebenarnya terjadi ialah, Aini sedang memikirkan kak Iklil--lelaki yang bukan mahramnya."Aahh, Kamu. Bisa saja mengelaknya, Aku juga tau kok, Kamu sendiri yang dosa tau. Memikirkan kak Iklil kan? mana mungkin sekarang Kamu melamunkan tukang rujak, pastinya melamunkan kak Iklil-mu itu kan?" beberapa pertanyaan Raisya membuat Aini kesal."Astagfirullah
Telepon genggam milik Iklil lengang. Tak ada yang menyahut satu pun, hanya diam. Detak jantung Iklil berdetak dua kali lebih cepat, menunggu jawaban dari abahnya."[Abah? tolong jawab. Mengapa Abah hanya diam,]" desak Iklil."[Umi, Nak. Umi sedang sakit, kanker jantungnya kambuh lagi, tadi sore kami bergegas pergi ke rumah sakit terdekat. Umi selalu mengigau, menyebutkan namamu berulang-ulang. Jika Kamu luang, pulang lah, Nak. Temui Umi,]" pinta Abah. Bagaimana ini, besok ia harus pergi berbelanja koperasi dengan Zainal, kyai kholil juga meminta untuk ditemani ke acara haul. Ah, pulang saja, urusan umi lebih penting dari apapun, batin Iklil berucap."[Hallo, Nak. Bagaimana?]""[Iya Abah, nanti Iklil akan pulang. Diusahakan sebisa mungkin Iklil harus pulang. Nanti jam tujuh pagi, Iklil akan meminta izin pada kyai, semoga saja diberi izin.]""[Bagus kalau begitu, Abah matikan ya, assalamualaikum.]""[Waalaikumsalam.]""Huufft, rintangan
"Terima kasih sudah memberi tahu Aini, Kak.""Sama-sama." Ingin sekali Iklil mengucapkan, jangan menangis Aini, aku tak suka jika kamu menangis. Serasa dunia ini hancur, bahkan lebih dari itu. Tapi nihil, Iklil malu mengatakannya."Aku duluan pergi, Kak. Ayo Raisya," ucapnya pamit. Aini menarik tangan Raisya, meninggalkan Iklil. Iklil menatapi punggung Aini yang berlalu pergi ke masjid, Iklil sadar akan lamunannya lalu pergi beranjak ke masjid, mungkin kyai Kholil sudah menunggu di sana.Pujian-pujian terdengar di halaman masjid, di kumandangkan oleh santri putra. Sudah menjadi adat bagi mereka saat menunggu kyai Kholil datang. Iklil yang tengah memasuki pintu khusus putra, mendapati Zainal yang sedang membaca ayat suci Al-Quran. Iklil ingat bahwa dirinya belum memberitahukan perihal koperasi pada Zainal. Terlalu banyak urusan sampai-sampai urusan koperasi yang lebih penting dari segalanya terlupakan. Iklil menghampiri Zainal, hendak memberitahukan."Hey,"
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments