Share

Kamar Sibyan

Setelah mendapatkan perintah dari Kyai Kholil, Iklil mengantar Gus Rayhan ke kamarnya. Hanya ada diam saat mereka menuju kamar Gus Rayhan. Iklil masih larut dalam fikiran-fikiran negatifnya, seolah tak percaya diri karena sekarang saingan perasaannya dengan Gusnya, orang yang harus dita'ati. Dengan menenteng koper milik Gus Rayhan, Iklil mecoba memulai perbincangan,

"Ini Gus, kamarnya. Setiap minggu selalu dibersihkan oleh Mbak santri, jadi Gus ndak perlu khawatir. Semuanya sudah rapi, dan siap dipakai." Ujar Iklil.

"Terima kasih, ya, Kamu boleh melanjutkan aktivitas Kamu. Biar Saya saja yang merapikan kembali barang-barangnya." 

"Sama-sama Gus, kalau begitu, Saya izin pamit. Kebetulan, urusan dengan santri baru belum selesai." Pamit Iklil. Rasanya, Iklil ingin segera pergi dari ruangan tersebut.

"Ouh, Aini? santri baru itu kah?" terka Gus Rayhan.

"Bukan Gus, bukan hanya Aini, tapi ratusan santri lainnya," timpal Iklil.

"Saya juga ingin ikut serta dalam tugas-tugas pesantren, ini kan pesantren Abah. Jadi, Saya juga harus ikut andil."

"Baik Gus, nanti Saya siapkan di mana Gus bisa membantu. Tapi, Gus, sebaiknya Gus menjadi pengajar saja. Ada bagian jadwal kelas bahasa di Sekolah Menengah Atas. Nah, Gus bisa mengisi Kegiatan Belajar Mengajarnya. Gimana Gus, Saya tidak mau jika Gus harus capek-capek mengurusi kegiatan outdor, panas Gus," gurau Iklil, yang sebenarnya Dia tak mau jika harus terus berbarengan dengan Gusnya.

"Kamu ini bisa saja, ya, sudah. Saya terima," Gus Rayhan menerima tawaran Iklil, Iklil senang. 

"Alhamdulillah, ya, sudah kalau begitu, Saya pamit, Assalamualaikum." 

"Waalaikumsalam."

                                  ***

Setelah menghabiskan beberapa cemilan, perut Aini dan Raisya sudah terisi penuh. Aini melihat benda yang melingkar di pergelangan tangannya, jam tiga lebih 15 menit, sudah sore. Harusnya sudah adzan, tapi belum ada yang mengumandangkannya. Ruangan kamar putri lengang, Aini dan Raisya tengah duduk mengamati atmosfer kamar. Tidak ada orang di situ, mungkin sudah ke masjid duluan. Tinggal tersisa Aini dan Raisya.

"Sudah jam tiga loh, Ra. Kita nunggu adzan di sini saja ya," 

"Ok, terserah Aini saja. Aku ikut," Raisya melihat-lihat atmosfer kamar sibyan tersebut. Mengamati seluruh isinya.

"Kamar ini dinamakan Sibyan, kenapa ya, Aini, Kamu tahu tidak?" imbuh Raisya

"Aku juga tidak tahu, aneh saja namanya. Kenapa sibyan, gak sekalian tuh sabyan." Seperti biasa, Mbak yang bertemu tadi siang selalu datang tiba-tiba, disela-sela obrolan Aini dan Raisya, 

"Hai, kalian, cepat ambil air wudlu. Oh iya, kita belum kenalan, Nama Saya, Suci. Kalian ndak usah tahu kepanjangannya. Orang, biasanya panggil Saya Mbak Uci, kaya nama tahu aja, tapi Saya terima kok. Masalah kamar ini dinamai Sibyan, karena itu berartikan anak-anak, jadi, kamar ini khusus untuk anak-anak bandel kaya kalian. Dan di sini, Saya sendiri adalah Pengurus kamar Sibyan. Kalian harus nurut ke Saya, jika tidak, kuping kalian akan dijadikan sayur sop oleh Mbak Uci yang manis kaya permen. Hahaha," Mbak Uci tertawa dengan sarkatis.

Aini menelan salivanya, galak sekali Mbak ini, semoga saja semua fikiran negatif dari Aini hilang begitu saja. Raisya dengan santai, hanya menyimak berita panjang yang disampaikan oleh Mbak Uci. Mbak Uci menyamakan posisinya dengan Aini dan Raisya, duduk. Mungkin capek jika harus berlama-lamaan berdiri saat bicara panjangnya. Ia mengambil nafasnya, bersiap untuk memberikan pengumuman yang panjang,

"Kok malah diam, tenang kok, Mbak Uci yang membahana ini baik. Tidak seperti yang kalian bayangkan, Oh iya, satu lagi, Saya sekarang sedang kuliah di bawah yayasan pesantren ini, jadi kalian bisa menerka sendiri, Saya umur berapa. Dan, Saya juga sudah tau nama kalian dari jauh-jauh hari, Kamu Aini kan? satunya Raisya?" tebakannya salah, terbalik. Dua gadis ini dibuat tertawa oleh Mbak Uci.

"Katanya sudah tau dari jauh-jauh hari, masa terbalik sih ... hahaha," Raisya selalu saja begitu, tidak pandang umur jika meladeni gurauan orang. Untungnya, Mbak Uci tidak galak lagi, sudah jinak.

"Sudah tertawanya? puas? ayo kita ambil air wudlu," Aini, Raisya, Mbak Uci, ketiganya beranjak dari posisi duduknya. Kini, mereka melangkah keluar kamar. Bunyi bel dari pengurus inti menggema, memekakan telinga siapa saja yang mendengarnya. Suara adzan yang begitu indah menghiasi sore itu.

"Allaahu akbar, allaahu akbar ..." Itu suara Iklil, semua santri yang sudah lama tinggal di pesantren, tahu akan suara indah yang dihasilkan oleh Iklil. Tapi, bagi santri baru, ini menjadi sebuah pertanyaan. Saat Aini mendengarkan adzan, hatinya bergetar tak seperti biasanya. Ada rasa yang bergejolak, siapa Pria yang tengah adzan ini? langkah Aini tertinggal jauh, melamun, bertanya-tanya, siapa pria ini.

"....Bukan begitu Aini ..., lah Aini mana?" ucap Mbak Uci, membalikkan badannya.

"Lah kok malah melamun, cepat Aini." Imbuhnya. Aini tersadar, segera menyeimbangkan langkahnya dengan Mbak Uci. Suara adzan itu, suara yang sangat familiar. Tapi siapa? Aini ingin bertanya pada Mbak Uci, tapi terhalang oleh rasa malu. Karena Aini penasaran, Dia menanyakannya pada Mbak Uci. 

"Mbak, ini suara siapa, ya?"

"Yang sedang mengumandangkan adzan?"

"Iya,"

"Kenapa Aini tanya hal ini? ini suara Iklil, teman Mbak di kampus. Dia Rois di pesantren. Banyak santri putri yang suka sama Iklil, tapi Mbak biasa aja, hehe. Mbak menganggap dia sebagai adik Mbak sendiri," ujar Mbak Uci. Untung saja tidak menanyakan hal yang aneh-aneh.

"Ouh, Kak Iklil," jawab Aini enteng. Padahal, di dalam hatinya, sekarang tengah berbunga-bunga. Jadi, suara indah ini milik kak Iklil, batin Aini.

"Eh, tau nggak Mbak, Aini itu suka sama kak Iklil." Raisya dengan polosnya mengatakan hal sebenarnya bahwa Aini sedang dilanda asmara. Aini menatap tajam ke arah Raisya, memberikan isyarat kenapa memberi tahu Mbak Uci. Raisya hanya nyengir kuda tak merespon.

"Iyakah? ya sudah, jika nanti Mbak bertemu Iklil, Mbak akan kasih tau." Kata Mbak Uci. Aini tak bisa berbuat apa-apa. Pipinya merah, 

"Sudah-sudah, kelihatan kok, pipi Kamu tuh merah. Mbak dukung kok ... Nah, sudah sampai, itu masjidnya. Untuk toilet putri di sebelah kanan, ya, awas jangan salah masuk looh. Mbak mau bertemu pengurus kamar lainnya. Kalian jangan nakal, ya." Ucap Mbak Uci. Tak terasa, perjalanan dari kamar sibyan ke masjid hanya beberapa menit.

"Iya, Mbak cantik. Kita kan sudah 15 tahun, masa nakal. Palingan mau buat masalah, hahaha ..." gurau Raisya.

"Dasar anak yang satu ini, ya sudah, Mbak tinggalkan dulu. Nanti kita bertemu lagi di dalam masjid, kalau ketemu itu juga." Mbak Uci meninggalkan dua gadis yang tak tahu apa-apa, tak tahu harus kemana. Aini mengajak Raisya untuk ke toilet, mengambil air wudlu. Jika mandi, percuma, Mereka tidak membawa alat-alat mandi, tertinggal di kamar sibyan. Mereka memutuskan untuk tidak membasuh seluruh badannya.

                   ***

Telephone genggam milik Iklil berdering. Tertera nama Pak Amar di layar gadgetnya. Iklil menggeserkan jari jempolnya ke arah warna hijau, mengangkat panggilan.

"[Assalamualaikum Nak Iklil,]"

"[Waalaikumsalam Pak, Ada apa ya?]"

"[Bapak minta tolong sama kamu, tolong sampaikan pada Aini, maaf Bapak tidak pamit dulu. Bapak dan Ibu sudah pulang ke Majalengka, ini sedang di perjalanan.]"

"[Dengan senang hati, Pak. Nanti Saya kasih tau ke Aini.]"

"[Terima kasih ya, Nak Iklil. Assalamualaikum.]" Belum sempat Iklil menjawab salam, telephone dari seberang sana dimatikan oleh Pak Amar. Tak sengaja, saat Iklil melihat ke arah tempat wudlu putri, Ada Aini bersama temannya, sedang mengantri wudlu. Iklil memerintahkan salah satu santri putri untuk memanggil Aini ke hadapannya. Santri putri itu langsung memberi tahukan kepada Aini bahwa Ia dipanggil oleh Iklil. Aini melihat keberadaan Iklil, ragu, Aini mengajak Raisya untuk menemaninya. Aini melangkah pelan, takut jika kegugupannya terlihat oleh Iklil. Sekarang, jarak mereka hanya dua meter.

"Hai, Aini," Iklil bingung, harus memulai percakapannya dari mana.

"Iya, Kak,"

"Tadi, Ayah Kamu menelpon Saya. Bilang jika mereka sudah pulang, maaf tidak berpamitan dulu," tutur Iklil. Aini mematung, matanya panas, sungai kecil dipipi Aini mengalir. Sekarang, Aini sendiri, tidak ada lagi sapaan pagi dari Ibu, tidak ada dongeng pengantar dari Ayahnya.

"Kenapa menangis?"

"Aini memang gini Kak, cengeng," ucap Raisya. Entah mengapa, saat itu juga, Iklil ingin memeluk Aini. Ingin menghapus air matanya. Hanya terhalang oleh ketidak halalan, Iklil beristigfar. 

"Ya Allah, rasa apa lagi ini. Mengapa saat aku melihat dia tersenyum, aku turut bahagia. Dan sekarang, melihat dia menangis, aku juga ikut bersedih. Semoga rasa ini tidak menghapuskan rasa cintaku pada-Mu ya rabb," batin Iklil.


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status