Share

Dear Diary

"Terima kasih sudah memberi tahu Aini, Kak." 

"Sama-sama." Ingin sekali Iklil mengucapkan, jangan menangis Aini, aku tak suka jika kamu menangis. Serasa dunia ini hancur, bahkan lebih dari itu. Tapi nihil, Iklil malu mengatakannya.

"Aku duluan pergi, Kak. Ayo Raisya," ucapnya pamit. Aini menarik tangan Raisya, meninggalkan Iklil. Iklil menatapi punggung Aini yang berlalu pergi ke masjid, Iklil sadar akan lamunannya lalu pergi beranjak ke masjid, mungkin kyai Kholil sudah menunggu di sana.

Pujian-pujian terdengar di halaman masjid, di kumandangkan oleh santri putra. Sudah menjadi adat bagi mereka saat menunggu kyai Kholil datang. Iklil yang tengah memasuki pintu khusus putra, mendapati Zainal yang sedang membaca ayat suci Al-Quran. Iklil ingat bahwa dirinya belum memberitahukan perihal koperasi pada Zainal. Terlalu banyak urusan sampai-sampai urusan koperasi yang lebih penting dari segalanya terlupakan. Iklil menghampiri Zainal, hendak memberitahukan.

"Hey," ucap Iklil membuat Zainal terlonjak.

"Astagfirullah, Kamu ini bukannya salam toh, malah mengagetkan. Ada apa?"

"Saya belum kasih tau perihal koperasi, ya?"

"Iya, Kamu belum ngasih tau Saya. Eh, gimana, diizinkan tidak? sudah bicara belum? Terus kata kyai bagaimana?"  tanya Zainal yang membuat Iklil pusing, 

"Lah, satu-satu kalau ngasih pertanyaan, pusing Saya. Jadi gini, kata kyai, kita di ijinkan. Asalkan--kita bisa tanggung jawab." 

"Alhamdulillah ... kalau begitu, kapan belanjanya? biar Saya jadwalkan," Ucapan syukur tak henti-henti di ucapkan oleh Zainal. Ini kabar gembira, otomatis mereka bisa menggantikan uang yang di rampok dua hari yang lalu.

"Insya allah besok. Eh, kyai sudah datang tuh. Saya tinggalkan dulu," buru-buru Iklil menjemput kyai Kholil, harusnya dia menemani dari rumah kyai sampai ke masjid. Tapi, karena sudah ada Gus Rayhan, Iklil tak usah repot-repot untuk menjemput kyai dari rumah. Kyai Kholil didampingi oleh Gus Rayhan sore ini, seluruh santri yang belum mengenal Gus pasti sedang bertanya-tanya, siapa laki-laki tampan yang sekarang berada di belakang kyai Kholil. Semua tatapan tertuju pada Gus Rayhan, Iklil menghampiri kyai-nya dan mencium punggung tangan kyai beserta Gus-nya. 

"Kamu kemana saja, Iklil." Tanya kyai Kholil 

"Anu, Kyai. Tadi, Saya mengurusi koperasi. Jadi ndak sempat menjemput." Kata Iklil.

"Ouh, ya sudah, ndak apa-apa. Masalah koperasi, Kamu ajak Rayhan, ya. Kenalkan dia tentang pesantren ini."

"Enggeh, Kyai." 

Kyai Kholil, gus Rayhan, dan Iklil, ketiganya memasuki masjid dengan disambut santri putra yang berebut mencium punggung tangan kyai-nya. Kyai Kholil memerintahkan Iklil untuk iqomah.

"Allahu akbar, allahu akbar, asyhadu anlaa ilaaha illallah ...," 

Kedua kalinya, Aini tersenyum oleh suara yang dihasilkan Iklil. Begitu merdu.

"Ra, Aku suka sekali saat mendengar suaranya," ucap Aini.

"Suara siapa? kak Iklil? udah lah jangan melamun terus, cepat pakai mukena, sudah qomat." 

"Ish, gitu amat si jadi temen. Iya-iya Aku pakai," imbuh Aini. Aini masih tersenyum, membayangkan wajah Iklil. 

       ***

Malam hari saat semua santri baru berbincang-bincang, merapikan pakaian ke loker, tiduran dan lain sebagainya. Aini, Ia sendiri sibuk dengan buku diary-nya yang bersampulkan animasi unicorn. Menuliskan kejadian-kejadian indah yang dialaminya sejak masuk pesantren.

                          Dear Diary

Jumat, 15 Juli 2016 hari dimana aku memasuki dunia pesantren. Sedikit aneh menurutku saat mengamati sekitaran pesantren, karena aku baru pertama kali datang ke tempat ini. Ouh iya, untuk kakak-ku, aku sangat bahagia saat aku bisa menjadi peserta terbaik di angkatan tahun ini. Jika saja kakak ada di sini, melihatku, aku sangat bahagia sekali. Satu lagi kak, aku sedang dilanda asmara loh. Kalau kakak tahu, pasti sekarang kakak akan mengejekku. Nama pria yang sedang aku cintai yaitu Iklil. Sangat bagus bukan? Hm, andai kakak di sini, aku akan memelukmu, menceritakan semua kejadian yang aku alami.

Satu tetes air mata keluar tanpa di perintah Aini. Ia menutup buku diary-nya dan mendekap dalam-dalam. Begitu rindunya Ia kepada kakak tercinta. Aini tengah menangis, menangis dalam kesunyian, menandakan betapa pedihnya Ia ditinggalkan sang kakak. Saat itu, Raisya datang dengan membawa dua kotak nasi dengan beberapa makanan dan minuman--waktunya makan. 

"Hey, kok malah nangis. Aini? ini makan dulu, sengaja Aku ngga ngajak Kamu tadi, biar Kamu cepat merapikan lemarinya." Raisya menyodorkan satu kotak nasi--Aini menerimanya. 

"Terima kasih, Ra. Kamu memang sahabat terbaik Aku." Kata Aini sambil menahan isak tangisnya.

"Dimakan dulu nasinya, jangan nangis. Sudah besar kok nangis,"

"Aku ingin pulang, Ra. Rindu sapaan ibu, dongeng dari ayah. Aku rindu semuanya," Aini melanjutkan tangisannya, kali ini Ia berbohong, sebab Aini menangis karena kakaknya. Raisya tak tega jika harus melihat sahabatnya itu menangis. Raisya mendekap Aini, meredakan tangisnya.

"Kalau Kamu punya masalah, jangan sungkan-sungkan buat cerita ke Aku, ya, kan Aku sahabatmu. Jangan ada yang saling dipendam, Kamu harus ingat itu Aini." Ucap Raisya, karena ia tahu kebohongan Aini sekarang. Mana mungkin Aini menangis karena ayah atau ibunya saja, pasti ada masalah lain.

"Ada masalah lagi kan? Jangan bohong padaku, Aini." Imbuh Raisya. Raisya melepaskan dekapannya, memberi ruang untuk Aini berbicara.

"Aku sedang menangisi kakakku." Isak Aini.

"Lanjutkan,"

"Hari itu, hari dimana kakakku pergi ke pesantren. Harusnya tiga hari kemudian, karena ada urusan pengurus ... jadi dia berangkat hari itu juga, ngga bisa diundur. Saat kakakku diperjalanan, ada orang yang tidak bertanggung jawab menabraknya hingga tewas ...." Aini tak kuat jika harus melanjutkan ceritanya, Raisya hanya menyimak, karena sekarang Raisya juga ikut bersedih.

"Kamu kenapa ikut menangis, Ra. Cerita hidup Aku menyedihkan, ya? maaf," ungkap Aini.

"Tidak, kok. Cerita hidup Aku lebih menyakitkan Aini, Kamu harus bersyukur masih punya orang tua ...." Kalimat Raisya terpotong.

"Lalu kenapa? orang tuamu?"

"Orang tuaku meninggal saat usiaku delapan tahun. Sekarang Aku tinggal bersama pamanku, pamanku juga sendirian. Istri dan anaknya tewas bersama orang tuaku saat menaiki pesawat. Huft ... itu adalah peristiwa yang sangat mengenaskan, kabarnya tersebar diberbagai media sosial. Sudahlah, lupakan. Ayo Aini, kita harus bangkit, jangan terlena oleh masa lalu. Masa depan sudah menanti kita sukses." Raisya menyunggingkan senyumannya, menghapus sungai kecil yang mengalir dipipinya.

"Iya, Ra. Kamu benar, seharusnya Aku jangan menangis. Aku harus terlihat bahagia oleh semua orang, Kamu yang sabar ya, Ra. Ouh iya, ini nasi kotak punya kita belum dimakan, keburu dingin."

                     ***

Malam yang sama dengan Aini, Iklil--dia juga pandai membuat puisi, membuat cerita pendek ataupun kata-kata bijak. Malam ini, Iklil enggan memejamkan matanya walaupun sebenarnya ia mengantuk. Kelopak matanya juga sudah menghitam, menandakan orang pekerja keras. Iklil lebih memilih duduk di teras depan kamar, melamun, merangkai kata, dibandingkan merebahkan badannya. 

"Hai, bidadari kecilku. Apakah kamu tau jika aku jatuh hati padamu saat pertama kita bertemu? apakah kamu tau, aku terpanah oleh tingkahmu yang menggemaskan itu. Mungkin jika aku berhak memilikimu, sekarang juga aku ingin mencubit pipimu yang tembam itu. Sangat lucu. Ah, astagfirullah, membayangkan orang yang bukan mahram itu dosa, ya allah maafkan hambamu yang selalu khilaf." Iklil bangkit dari duduknya, mencari buku diary. Setiap kejadian yang Iklil alami pasti akan ditulis, cerita se-pendek apapun ia tulis. Buku diary bernuansa biru itu dibuka, Iklil mengambil bolpoin hendak menggoreskan tintanya pada lembaran-lembaran buku.

              Tebu Ireng, 15 Juli 2016

Saat aku mendapati kamu sedang mengerjakan soal-soal ujian itu, aku terpancing untuk mendekatimu dan bertanya. Aku tidak tahu mengapa bisa begitu, seharusnya aku tidak boleh menyapa atau yang lebih parahnya, kita mengobrol. Menanyakan nama kita masing-masing. Kita itu santri, terikat peraturan. Apalagi aku? sekarang aku rois di pesantren ini. Mana mungkin aku melanggar, itu sangat lucu. Tapi kenapa, sejak aku bertemu denganmu, pagi itu, aku tidak takut hukuman. Biarkan orang berkata apa, tapi yang aku inginkan adalah bersamamu, berbincang-bincang singkat, menyapamu, aahh entahlah. Aini Halwa. Namamu sangat bagus, yap, sekarang kamu jadi peran dalam cerita singkatku kali ini, Aini. 

"Mas Iklil belum tidur? kenapa mesem-mesem gitu, aneh ih malam-malam loh, mas." ucap Zainal datang tiba-tiba.

"Ish Kamu itu Zainal, mengagetkan saja. Ini biasa, bikin cerita. Udahlah, sana tidur, ganggu Saya saja."

"Kamu yang harus tidur cepat, besok kan kita belanja keperluan koperasi." Kata Zainal mengingatkan

"Astagfirullah, iya betul." Iklil mengecek jam yang terpasang dipergelangan tangannya. Jam 12 malam. 

"Sudah jam 12 loh, aahh, jika tidur juga percuma. Kan, nanti jam dua bangun, kalau begitu Saya ngga akan tidur. Lebih baik membuat cerita, atau baca-baca kitab."

"Bener nih ngga akan tidur? yasudah, Saya duluan mas." Zainal berpamitan, karena dia sudah merasakan kantuk. Iklil merogoh benda tipis berukuran segi empat itu dari saku celananya, mengecek pesan masuk dan panggilan tak terjawab. Disaat itu, mendadak, ada panggilan dari kampung halamannya. Tertera nama Abah di sana.

[Hallo, assalamualaikum, Nak.]"

"[Waalaikumsalam, Abah? kenapa malam-malam gini telepon Iklil? emang Abah ngga tidur? uminya mana Abah, Iklil ingin bicara, Abah ... Abah?]" Iklil cemas, mengapa abahnya tidak menjawab pertanyaannya. Hanya diam dan ada isakan samar diseberang telepon.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status