"Dad?"
Suara bruk terdengar ketika tubuh gadis itu terjatuh dan mendarat diundakan tangga dengan posisi terduduk, Vander tak sadar melepas pegangannya.
"Aww..."
"VANDER!"
Mulut Vander menganga mendapati gadis yang berada dalam bopongannya tadi terjatuh. Dan saat ia beralih ke suara ayahnya, pria paruh baya itu sedang membelalakkan mata padanya.
"Kenapa diam? Segera angkat gadis itu! Kau mencelakainya."
Vander tersadar. Segera Vander mengikuti instruksi ayahnya untuk menolong Chloe. Dengan gerakan kakunya yang terkesan terburu-buru, ia mengangkat gadis itu.
"Aww.. you hurt me." Chloe meringis lagi.
Vander kembali membuat kesalahan. Ia tak sengaja membuat kepala Chloe terbentur dinding saat mengangkatnya, dan beberapa kali kaki wanita itu mengenai pembatas kayu. Salahkan lebar jalan yang tidak terlalu luas. Ditambah situasi menegangkan seperti sekarang.
"Vander, treat your girl right!" sahut ayahnya dari lantai atas sembari memerhatikan.
Vander memejamkan matanya kesal. Sedangkan Chloe tersenyum dengan penuh kemenangan.
"Treat me like a queen, Baby," bisik Chloe seraya mengelus dada Vander dengan telunjuknya, "and i'll treat you like a king." Chloe mendesis sambil mengedipkan matanya menggoda Vander.
Karena muak akan sikap gadis itu, ia menyentakkan tubuh Chloe yang ada dalam gendongannya. Akibatnya wanita itu kembali mengeluh.
"Aw, sakit," cicitnya mencoba menarik perhatian lagi. Dan itu sukses membuat sang ayah berbalik dan membesarkan mata pada anaknya.
Setelah meletakkan Chloe di sofa, Vander pun juga ikut duduk di sampingnya. Berhadapan dengan sang ayah yang kini sudah duduk di depan mereka.
Suasana seketika hening. Yang pasti Vander tak berani memulai pembicaraan. Apalagi menatap sang ayah yang sedari tadi memandangnya dengan tajam. Membuat nyalinya menciut.
"Paman, maafkan kami yang sudah berlaku tidak sopan di hadapan anda tadi."
Vander terkejut mendengar suara Chloe. Ia memandang gadis di sebelahnya dengan rasa tak percaya. Berani sekali si biang onar bersuara ataukah dirinya yang terlalu pengecut?
Lantas Vander menatap reaksi sang ayah ragu-ragu yang ternyata juga sedang melihat ke arahnya.
"See. Bahkan gadis muda ini lebih menghargai ayah daripada kau. Apa susahnya berkata maaf? Apapun yang kalian lakukan itu urusan kalian. Tapi setidaknya hargai orang tua selagi kau menganggapnya. Karena diam tak selamanya menyelesaikan masalah."
Vander dengan paksa menelan pahit salivanya. Tenggorokannya seperti tercekat sekarang. Tak dapat berkata apa-apa dan hanya bisa mengangguk kaku.
"I- I'm sorry, Dad." Hanya itu yang keluar dari bibir Vander.
Setelahnya ia melihat ayahnya berdiri dengan mantel di lengannya. Lalu ia mengalihkan pandangannya kesembrang arah ketika sang ayah menoleh kepadanya.
"Antarkan kekasihmu pulang. Setelah itu pulang ke rumah." Pesan ayahnya kepada Vander. Selanjutnya sang ayah beranjak dari sana meninggalkan keduanya.
Vander masih terdiam di tempat duduknya. Masih memikirkan perkataan ayahnya barusan yang sukses membuatnya tadi mati kutu. Bahkan sampai ayahnya tak terlihat lagi.
Apa susahnya berkata maaf?
Karena diam tak selamanya menyelesaikan masalah.
Ya, selama ini ia belum pernah mengatakan kata maaf dengan benar pada ayahnya perihal masa lalu. Bahkan bercerita pun mereka jarang. Vander lebih suka mengungkapkan segalanya pada sang ibu ketimbang sang ayah.
Bukan karena takut. Tetapi karena merasa bersalah sudah mengecewakan sang ayah. Walaupun sang ibu sudah menyarankannya, namun nyali Vander tak sekuat itu. Ia tahu ayahnya sangat kecewa padanya saat ia melanggar perjanjian mereka dulu. Dan wajah itu masih menghantuinya hingga kini.
Selama ini Vander dan ayahnya adalah dua orang kaku di rumah. Mereka memang saling menyapa, namun tidak berinteraksi dengan baik. Seperti ada dinding tipis yang membatasinya. Sehingga keduanya tidak seakur dulu dan jarang terlihat bersama.
Padahal mereka adalah dua orang pria yang fisik maupun sifat sama persis. Tetapi keduanya memilih hidup seperti orang asing. Sangat disayangkan sekali.
"Ingin tinggal di sini atau-"
"Kita pulang! Jalan sendiri!"
"Tapi-"
Melihat Vander yang meninggalkannya sendiri. Terpaksa Chloe akhirnya mengikutinya sambil berjalan tatih. Bokongnya masih terasa sakit, tetapi ia harus berlari untuk mengejar ketertinggalannya.
Setelah di luar dan mengunci pintu gedung. Vander sambil menyandang tasnya berjalan ke arah Chloe yang sudah menjulurkan sebuah kunci mobil.
"Ini kuncinya, Tuan Beast. "
Dengan kesal, Vander merebut kunci itu lalu mereka memasuki sebuah mobil sport putih yang hanya tinggal satu di parkiran.
Dasar orang kaya!
Diperjalanan mereka, masih terbesit di pikiran Vander soal omongan ayahnya tadi. Entah kenapa bagian itu memengaruhinya hingga kini. Membuat dirinya sedikit tak fokus dalam berkendara. Yang ia butuhkan kini hanyalah angin segar dan tempat yang bagus untuk merenungkan segalanya.
"Shit!"
Vander memukul stirnya ketika rasa bersalah itu menyerang dirinya kembali. Sebenarnya di bagian mana yang salah dari caranya memperbaiki segalanya. Semua terasa salah dan tidak pada tempatnya.
Empat tahun. Ia perlu empat tahun untuk berada di titiknya yang sekarang. Bahkan yang ia kira hidupnya baik-baik saja, malam ini terlihat jelas. Bahwa semua kedamaian itu adalah semu. Percuma ia membangun tembok tinggi untuk membentengi dirinya, jika segala pertahanan itu semuanya terbuat dari pasir keputusasaan.
Jikapun ada letak kesalahan itu adalah di awal. Ya, Vander salah sedari awal. Ketika ia ingin merubah segalanya, ia lupa langkah pertamanya.
Vander, jika suatu hari nanti kau melakukan kesalahan. Hal pertama yang harus kau perbaiki adalah dirimu.
Kata-kata bijak ayahnya dahulu terlintas di benaknya. Itu adalah nasihat ayahnya sewaktu ia kecil. Ia melupakan itu. Dan sekali lagi, ia melakukan kesalahan. Ia membiarkan dirinya dalam kehancuran.
"Shit! Kenapa harus sekarang?"
Vander memukul kemudinya lagi. Membuat Chloe seketika terhenyak dari keterdiamannya. Ia melihat rahang pria itu mengeras dengan urat-urat yang menonjol di pelipisnya, juga binar mata elang itu yang terasa agak berbeda...seperti orang frustasi akan sesuatu.
"Menepilah."
Chloe tak tahu apa masalah Vander. Namun menyetir bukanlah hal yang bagus dilakukan ketika hati sedang kalut. Terlihat dari cara Vander yang sedari tadi tak karuan dan beberapa kali membahayakan mereka serta pengendara lainnya.
Seperti mantra, ucapan Chloe membuatnya menepikan mobil ke badan jalan. Lalu menunduk ke kemudi, Vander mencoba menenangkan diri. Sedangkan Chloe hanya diam memerhatikan.
Chloe hendak mengusap surai hitam itu, namun ia mengurungkan niatnya dengan menarik kembali tangan yang sudah mengudara di atas kepala Vander.
"Take your time." Hanya itu yang akhirnya Chloe ucapkan. Membiarkan keheningan melimpungi mereka berdua.
***
Lebih kurang sejam mereka berada dalam suasana sepi. Vander tak juga menegakkam tubuhnya. Bahkan Chloe ragu apakah Vander tertidur atau masih terjaga, tetapi ia tak berani menegurnya, karena ia merasa Vander tak seperti biasanya. Ia lebih memilih memainkan ponselnya."Maaf."
Chloe mendogak dari ponselnya. Lalu melirik ke arah Vander yang sudah menyenderkan kepalanya ke sandaran jok. Menunggu pria itu bersuara kembali.
"Brooklyn. Aku membawamu ke jembatan Brooklyn, bukan ke tempatmu."
Chloe mengangguk. "No problem. Lagipula ini tempat yang indah," ucap Chloe mencairkan suasana. Tak lupa dengan senyumnya yang terkembang.
Vander menghembuskan napasnya kasar. "Aku tak sadar telah membawamu jauh."
Vander terkejut begitu tahu tempat perhentiannya adalah jembatan Brooklyn saat menegakkan tubuhnya tadi. Padahal ia tahu kemana seharusnya membawa gadis manja itu pulang. Namun, karena suasana hatinya tadi, membuatnya tak fokus dan pada akhirnya melenceng jauh dari jalan yang seharusnya.
Lagipula jembatan Brooklyn adalah tempat favoritnya. Maka dari itu tanpa sadar ia mengarahkan kendaraan tersebut kesana.
"Anywhere with you is home," canda Chloe.
Napas Vander terhenti sesaat, dan jari-jarinya terkepal kuat di bawah.
Kata-kata itu hampir sama dari masa lalunya. Dan mengingatkan satu per satu akan memori lama.With you... home was anywhere.
Kini giliran sosok gadis dari masa lalunya yang hadir menghantuinya. Membuatnya rindu juga benci dalam satu waktu. Bahkan Vander tak tahu rasa mana yang lebih mendominan.
Vander memilih tak menanggapi Chloe. Ia tak ingin gadis itu tahu bahwa ucapan tadi memengaruhinya. Ia harus segera mengantar gadis itu pulang.
"Vander, kenapa kau terlihat terluka?"
Abai. Vander tak mau menanggapi gadis di sebelahnya itu dan lebih memilih melajukan kendaraan. Ia tak ingin Chloe mengetahui banyak tentangnya. Ia sangat defensif untuk orang seperti Chloe. Karena dunia tak perlu tahu dengan apa yang ia tutupi selama ini.
"Change hurts, right? It makes you insecure, confused and angry. And makes you like a beast."
"You know my name, not my story. So, don't speak!" hardik Vander.
Chloe tersentak, lantas ia membuang wajahnya menghadap kaca. Sambil menggigit bibirnya dan air wajahnya seketika berubah.
"Maaf," gumam Chloe.
Namun, Vander tak menanggapinya lagi. Ia hanya membuang napasnya secara kasar, seolah menyesali ucapannya kepada Chloe yang tak tahu apa-apa tentangnya.
Selama dalam perjalanan pulang keduanya hanya diam. Hingga akhirnya mereka sampai di depan gedung apartemen Chloe- Claytone Building yang masih satu lingkungan dengan Greenwich Village, tempat kampus mereka berada yang juga berdekatan dengan Washington Square Park.
Saat akan turun di basement, lagi-lagi Chloe mengeluh tentang bokongnya yang sakit. Terpaksa Vander menolongnya tanpa protes, karena ia ingin semuanya cepat selesai dan segera pergi.
Sambil memapah Chloe, Vander membawa gadis itu memasuki sebuah lift yang ternyata di dalamnya ada seorang nenek tua yang pernah ia temui.
"Oh, itu kau. Si anak muda baik hati," tunjuk sang wanita tua dengan tongkatnya kepada Vander.
Vander hanya bisa bersikap sopan dengan mengangguk. Sedangkan Chloe, gadis itu seperti menahan tawanya.
Lagipula sejak kapan pemeran Beast berubah menjadi baik hati kalau nyatanya ia begitu dingin pada semua orang.
"Kalian pasti pasangan. Terakhir kali aku melihat, kalian sedang ada masalah di taxi. Syukurlah sekarang akur kembali. Dan aku tak menyangka kita juga tetangga. Takdir macam apa ini," lanjut sang nenek sambil tertawa renyah.
Chloe bingung harus menanggapi seperti apa. Waktu itu sepertinya ia mabuk, jadi ingatannya kurang jelas. Dan ia lebih memilih tersenyum kaku pada wanita tua itu sebagai bentuk rasa sopan.
"Panggil saja aku Nyonya Stanley. Aku tinggal di lantai 12," beritahu sang nenek tua.
"Wow, kita selantai. Hai, namaku Chloe. Chloe Johnson, dan ini kekasihku, Vander," tunjuknya pada Vander yang sudah menggeram dan meremas pinggang Chloe kuat.
Chloe memang sudah gila memamerkannya ke siapa saja tentang hubungan mereka. Bahkan orang baru sekalipun.
Begitu terdengar bunyi dentingan lift, pintu itu langsung terbuka, dan dengan cepat Vander menyeret gadis yang dipapahnya itu agar keluar dari sana tanpa mengucapkan salam perpisahan dengan si nenek.
Melihat hal itu, Nyonya Stanley hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum, "Dasar anak muda jaman sekarang. Serba tidak sabar." Sembari melangkah mengikuti Vander dan Chloe yang sudah lebih dulu.
Setibanya di depan unit Chloe, Vander melepaskan tangan gadis itu dari lehernya untuk memisahkan diri.
"Sudah. Aku sudah mengantarmu!"
Sebelum tubuh Vander berbalik, Chloe menarik lengan pria itu agar tak pergi.
"Wait! Ada sesuatu yang ingin kukatakan. Aku-"
Namun, ketika Chloe ingin berbicara, pintu dari unitnya terbuka dan menampilkan sosok pria dengan bathrobe putih sedang berdiri tegak memandang mereka berdua.
Membuat mata Vander seketika membelalak lebar. Tak menyangka sosok pengkhianat dalam hidupnya kembali hadir.
"Louis Miller?"
To Be Continued
"Louis Miller?" Vander memandang ke arah pria bersurai perak dengan bathrobenya dan Chloe bergantian. Ia tak tahu kalau masa lalunya kini bisa berubah menjadi mimpi buruk. Dan seperti dejavu. Lagi. Ia menemukan pria yang ia kira sahabatnya itu menjadi benalu di hidupnya. Pria bernama Louis itu terkejut, "Vander? Is that you? Kau bersama... Chloe?" Memerhatikan penampilan baru Vander yang dengan kacamata. Tak lagi berlari seperti masa lalu. Vander maju selangkah dan memberi pukulan telak pada rahang Louis. "Terima kasih untuk kembali karena aku belum memberi salam perpisahanku dengan benar dulu. Goodbye, Jerk!" Setelah merubuhkan Louis yang tak bisa berkutik, Vander beralih ke ar
Suara langkah kaki dari lantai atas terdengar sedikit gaduh, disusul dengam suara kursi bergeser, membuat Zallyn mengalihkan pandangannya ketika ia baru saja mengangkat waffle dari cetakannya.Wanita paruh baya itu cukup terkejut dengan kehadiran putranya di pagi hari.Lantas ia bertanya sambil mengerutkan keningnya. "Vander, kau bangun pagi lagi? Apa ada kelas pagi hari ini?"Vander duduk di meja makan saat ibunya membalikkan badan dari arah pantry menghadapnya. Sepertinya paruh baya itu belum terbiasa dengan kebiasaan baru anaknya- bangun pagi."Ada janji dengan dad, Mom. Lagipula tidak ada kelas hari ini."Sang ibu berjalan ke arah meja makan seraya mem
Setelah menurunkan Chloe di salah satu gedung tua berbatu bata merah yang hanya beberapa blok dari rumahnya. Vander dan ayahnya kembali dalam keheningan tak berujung.Bahkan sampai mereka di garasi rumah, Vander tetap menunjukkan aksi tutup mulutnya. Dan menghindar cepat dari sang ayah yang kini memasang tanda tanya besar di wajahnya saat anaknya berlalu masuk ke dalam rumah."Vander, Daddy ingin bicara padamu. Kita bicara di halaman belakang," ucap Ayahnya saat Vander sudah separuh jalan di tangga menuju kamarnya.Vander memejamkan matanya kesal. Tak bisakah ia diberikan waktu barang sebentar untuk menenangkan dirinya? Ia takut dirinya hilang kendali di depan ayahnya saat gejolak emosinya sedang tak menentu.Namun itu yang mereka butuhkan kini. Vander tak bisa harus terus menerus
"No way!" pekik Andres tiba-tiba sambil berdiri, "Bukannya ini wanita yang berada di laptop Vander?" tanyanya dengan logat latinnya yang kental.Vander yang tadinya mengalihkan wajah ke samping lainnya, seketika berbalik menghadap sang tamu yang sedang berdiri sambil tersenyum kepada semua orang.Tidak! Sang mantan tidak seharusnya berada disini. Ini bukan tempat pembuangan! Sosok itu harus segera disingkirkan, kalau tidak akan mengundang penyakit.Lantas Vander berdiri dan seketika suara kursi berderit terdengar di lantai kayu. Membuat samua mata tertuju pada pria berbaju kuning itu yang hendak melangkah ke arah sang tamu asing."Ikut aku!" desis Vander mengamit tangan wanita yang dibencinya tersebut. Membawanya menjauh dari yang lainnya menuju pintu keluar.
Akhirnya Vander bisa bernapas lega setelah sampai di dalam unit apartemen Andres. Sebelumnya ia harus ikut dalam aksi kejar-kejaran dengan para wanita asal kampusnya yang dengan gilanya mengikuti kemana langkahnya berjalan.Seharian di kampus membuat dirinya sangat tidak betah dengan kelakuan absurd para wanita-wanita di sekelilingnya. Salahkan ayahnya yang merusak kacamatanya sehingga hari ini ia tak dapat menutupi mata elangnya juga wajah tampannya. Membuat penampilannya tampak berbeda dari sebelumnya.Lebih gagah dan juga dominan dibandingkan pria lainnya. Aura Vander lebih keluar. Dan seketika dirinya bagaikan magnet yang menarik sesiapa saja untuk mendekat padanya. Termasuk menjadi penguntit yang dilakukan oleh para wanita yang kurang kerjaan itu.Tidak Chloe maupun wanita manapun- jelas membuatnya gila. Hidupnya telah berubah
Kembali. Vander kembali dengan kacamata yang membingkai wajahnya. Namun hal itu tak ada gunanya lagi. Semua sudah tahu paras tampan dibalik tipuan kecil itu.Dan merasa tak ada gunanya lagi bersembunyi, seorang Zeckar muda akhirnya keluar dari cangkang memilih untuk menunjukkam jati diri sesungguhnya.Be a beast. Walau Vander sudah membuka rahasia kecilnya, sifat yang ditunjukkannya tak pernah berubah menjadi lebih baik seperti apa yang ditunjukkan tampilannya. Tetap kasar, tak peduli dan jarang tersenyum. Seakan wajah datar itu sudah melekat pada dirinya.Pria berbadan proporsional itu tetap membuat jarak pada sesiapa saja. Bahkan bila ada yang terang-terangan mengikutinya, ia dengan tegas mengecam aksi itu dan mengusirnya tanpa balas ampun.Dibalik itu semua, Vander kini tengah mencari informasi tentang mantannya itu
Malam semakin larut dan acara makan malam bersama di rumah keluarga Vander telah selesai. Semua tamu juga sudah berpulangan, kecuali tiga orang yang dalam keadaan setengah sadar- duduk di sofa ruang santai dan bersama mereka menyanyikan lagu 'Ave Maria'.Suara ketiganya sungguh tak karuan. Sangat buruk dan juga sumbang. Membuat ketiga orang lainnya yang adalah tuan rumah menggelengkan kepala- tak mengerti dengan ketiga orang gila lainnya yang sedang kehilangan kewarasannya lakukan."Biarkan mereka tidur disini malam ini. Karena sepertinya tidak memungkinkan untuk merek kembali pulan. Billy dan Andres tidur di kamarmu, Vander. Lalu Chloe... bawa gadis itu ke kamar tamu."Ayah Vander kembali menghela napasnya lalu pergi menuju kamarnya, diikuti oleh sang istri yang tampak kelelahan dan ingin istirahat segera. Meninggalkan Vander yang diberi tanggung jawab untuk meng
Vander menemukan dirinya kini tengah duduk di hamparan pasir putih nan halus seraya memandang lautan biru diiringi ombak-ombak kecil yang berlomba menuju tepi pantai. Dihalangi oleh manusia-manusia yang memadati sarana rekreasi itu tentunya.Rambutnya yang biasanya kaku kini dibiarkan bergerak bebas— dipermainkan angin, tersibak karena deru yang kencang. Bernasib sama seperti jaket training panjang hitam yang dikenakannya— berkibar-kibar karena dalam keadaan terbuka, menampakkan kaos polo yang mencetak tubuh atletisnya.Hanya satu hal yang tidak ada. Kacamata. Benda tua itu sudah lenyap.Dirinya tahu kalau kehadirannya di tempat yang ramai itu adalah ide yang buruk. Lihat saja bagaimana semua wanita yang sedari tadi berlalu lalang di depannya, terkesan seperti hiu yang siap menerkam mangsanya. Sangat mengerikan.