Share

I. Spring | Five

"Dad?"

Suara bruk terdengar ketika tubuh gadis itu terjatuh dan mendarat diundakan tangga dengan posisi terduduk, Vander tak sadar melepas pegangannya.

"Aww..."

"VANDER!"

Mulut Vander menganga mendapati gadis yang berada dalam bopongannya tadi terjatuh. Dan saat ia beralih ke suara ayahnya, pria paruh baya itu sedang membelalakkan mata padanya.

"Kenapa diam? Segera angkat gadis itu! Kau mencelakainya."

Vander tersadar. Segera Vander mengikuti instruksi ayahnya untuk menolong Chloe. Dengan gerakan kakunya yang terkesan terburu-buru, ia mengangkat gadis itu.

"Aww.. you hurt me." Chloe meringis lagi.

Vander kembali membuat kesalahan. Ia tak sengaja membuat kepala Chloe terbentur dinding saat mengangkatnya, dan beberapa kali kaki wanita itu mengenai pembatas kayu. Salahkan lebar jalan yang tidak terlalu luas. Ditambah situasi menegangkan seperti sekarang.

"Vander, treat your girl right!" sahut ayahnya dari lantai atas sembari memerhatikan.

Vander memejamkan matanya kesal. Sedangkan Chloe tersenyum dengan penuh kemenangan.

"Treat me like a queen, Baby," bisik Chloe seraya mengelus dada Vander dengan telunjuknya, "and i'll treat you like a king." Chloe mendesis sambil mengedipkan matanya menggoda Vander.

Karena muak akan sikap gadis itu, ia menyentakkan tubuh Chloe yang ada dalam gendongannya. Akibatnya wanita itu kembali mengeluh.

"Aw, sakit," cicitnya mencoba menarik perhatian lagi. Dan itu sukses membuat sang ayah berbalik dan membesarkan mata pada anaknya.

Setelah meletakkan Chloe di sofa, Vander pun juga ikut duduk di sampingnya. Berhadapan dengan sang ayah yang kini sudah duduk di depan mereka.

Suasana seketika hening. Yang pasti Vander tak berani memulai pembicaraan. Apalagi menatap sang ayah yang sedari tadi memandangnya dengan tajam. Membuat nyalinya menciut.

"Paman, maafkan kami yang sudah berlaku tidak sopan di hadapan anda tadi."

Vander terkejut mendengar suara Chloe. Ia memandang gadis di sebelahnya dengan rasa tak percaya. Berani sekali si biang onar bersuara ataukah dirinya yang terlalu pengecut?

Lantas Vander menatap reaksi sang ayah ragu-ragu yang ternyata juga sedang melihat ke arahnya.

"See. Bahkan gadis muda ini lebih menghargai ayah daripada kau. Apa susahnya berkata maaf? Apapun yang kalian lakukan itu urusan kalian. Tapi setidaknya hargai orang tua selagi kau menganggapnya. Karena diam tak selamanya menyelesaikan masalah."

Vander dengan paksa menelan pahit salivanya. Tenggorokannya seperti tercekat sekarang. Tak dapat berkata apa-apa dan hanya bisa mengangguk kaku.

"I- I'm sorry, Dad." Hanya itu yang keluar dari bibir Vander.

Setelahnya ia melihat ayahnya berdiri dengan mantel di lengannya. Lalu ia mengalihkan pandangannya kesembrang arah ketika sang ayah menoleh kepadanya.

"Antarkan kekasihmu pulang. Setelah itu pulang ke rumah." Pesan ayahnya kepada Vander. Selanjutnya sang ayah beranjak dari sana meninggalkan keduanya.

Vander masih terdiam di tempat duduknya. Masih memikirkan perkataan ayahnya barusan yang sukses membuatnya tadi mati kutu. Bahkan sampai ayahnya tak terlihat lagi.

Apa susahnya berkata maaf?

Karena diam tak selamanya menyelesaikan masalah.

Ya, selama ini ia belum pernah mengatakan kata maaf dengan benar pada ayahnya perihal masa lalu. Bahkan bercerita pun mereka jarang. Vander lebih suka mengungkapkan segalanya pada sang ibu ketimbang sang ayah.

Bukan karena takut. Tetapi karena merasa bersalah sudah mengecewakan sang ayah. Walaupun sang ibu sudah menyarankannya, namun nyali Vander tak sekuat itu. Ia tahu ayahnya sangat kecewa padanya saat ia melanggar perjanjian mereka dulu. Dan wajah itu masih menghantuinya hingga kini.

Selama ini Vander dan ayahnya adalah dua orang kaku di rumah. Mereka memang saling menyapa, namun tidak berinteraksi dengan baik. Seperti ada dinding tipis yang membatasinya. Sehingga keduanya tidak seakur dulu dan jarang terlihat bersama.

Padahal mereka adalah dua orang pria yang fisik maupun sifat sama persis. Tetapi keduanya memilih hidup seperti orang asing. Sangat disayangkan sekali.

"Ingin tinggal di sini atau-"

"Kita pulang! Jalan sendiri!"

"Tapi-"

Melihat Vander yang meninggalkannya sendiri. Terpaksa Chloe akhirnya mengikutinya sambil berjalan tatih. Bokongnya masih terasa sakit, tetapi ia harus berlari untuk mengejar ketertinggalannya.

Setelah di luar dan mengunci pintu gedung. Vander sambil menyandang tasnya berjalan ke arah Chloe yang sudah menjulurkan sebuah kunci mobil.

"Ini kuncinya, Tuan Beast. "

Dengan kesal, Vander merebut kunci itu lalu mereka memasuki sebuah mobil sport putih yang hanya tinggal satu di parkiran.

Dasar orang kaya!

Diperjalanan mereka, masih terbesit di pikiran Vander soal omongan ayahnya tadi. Entah kenapa bagian itu memengaruhinya hingga kini. Membuat dirinya sedikit tak fokus dalam berkendara. Yang ia butuhkan kini hanyalah angin segar dan tempat yang bagus untuk merenungkan segalanya.

"Shit!"

Vander memukul stirnya ketika rasa bersalah itu menyerang dirinya kembali. Sebenarnya di bagian mana yang salah dari caranya memperbaiki segalanya. Semua terasa salah dan tidak pada tempatnya.

Empat tahun. Ia perlu empat tahun untuk berada di titiknya yang sekarang. Bahkan yang ia kira hidupnya baik-baik saja, malam ini terlihat jelas. Bahwa semua kedamaian itu adalah semu. Percuma ia membangun tembok tinggi untuk membentengi dirinya, jika segala pertahanan itu semuanya terbuat dari pasir keputusasaan.

Jikapun ada letak kesalahan itu adalah di awal. Ya, Vander salah sedari awal. Ketika ia ingin merubah segalanya, ia lupa langkah pertamanya.

Vander, jika suatu hari nanti kau melakukan kesalahan. Hal pertama yang harus kau perbaiki adalah dirimu.

Kata-kata bijak ayahnya dahulu terlintas di benaknya. Itu adalah nasihat ayahnya sewaktu ia kecil. Ia melupakan itu. Dan sekali lagi, ia melakukan kesalahan. Ia membiarkan dirinya dalam kehancuran.

"Shit! Kenapa harus sekarang?"

Vander memukul kemudinya lagi. Membuat Chloe seketika terhenyak dari keterdiamannya. Ia melihat rahang pria itu mengeras dengan urat-urat yang menonjol di pelipisnya, juga binar mata elang itu yang terasa agak berbeda...seperti orang frustasi akan sesuatu.

"Menepilah."

Chloe tak tahu apa masalah Vander. Namun menyetir bukanlah hal yang bagus dilakukan ketika hati sedang kalut. Terlihat dari cara Vander yang sedari tadi tak karuan dan beberapa kali membahayakan mereka serta pengendara lainnya.

Seperti mantra, ucapan Chloe membuatnya menepikan mobil ke badan jalan. Lalu menunduk ke kemudi, Vander mencoba menenangkan diri. Sedangkan Chloe hanya diam memerhatikan.

Chloe hendak mengusap surai hitam itu, namun ia mengurungkan niatnya dengan menarik kembali tangan yang sudah mengudara di atas kepala Vander.

"Take your time." Hanya itu yang akhirnya Chloe ucapkan. Membiarkan keheningan melimpungi mereka berdua.

***

Lebih kurang sejam mereka berada dalam suasana sepi. Vander tak juga menegakkam tubuhnya. Bahkan Chloe ragu apakah Vander tertidur atau masih terjaga, tetapi ia tak berani menegurnya, karena ia merasa Vander tak seperti biasanya. Ia lebih memilih memainkan ponselnya.

"Maaf."

Chloe mendogak dari ponselnya. Lalu melirik ke arah Vander yang sudah menyenderkan kepalanya ke sandaran jok. Menunggu pria itu bersuara kembali.

"Brooklyn. Aku membawamu ke jembatan Brooklyn, bukan ke tempatmu."

Chloe mengangguk. "No problem. Lagipula ini tempat yang indah," ucap Chloe mencairkan suasana. Tak lupa dengan senyumnya yang terkembang.

Vander menghembuskan napasnya kasar. "Aku tak sadar telah membawamu jauh."

Vander terkejut begitu tahu tempat perhentiannya adalah jembatan Brooklyn saat menegakkan tubuhnya tadi. Padahal ia tahu kemana seharusnya membawa gadis manja itu pulang. Namun, karena suasana hatinya tadi, membuatnya tak fokus dan pada akhirnya melenceng jauh dari jalan yang seharusnya.

Lagipula jembatan Brooklyn adalah tempat favoritnya. Maka dari itu tanpa sadar ia mengarahkan kendaraan tersebut kesana.

"Anywhere with you is home," canda Chloe.

Napas Vander terhenti sesaat, dan jari-jarinya terkepal kuat di bawah.

Kata-kata itu hampir sama dari masa lalunya. Dan mengingatkan satu per satu akan memori lama.

With you... home was anywhere.

Kini giliran sosok gadis dari masa lalunya yang hadir menghantuinya. Membuatnya rindu juga benci dalam satu waktu. Bahkan Vander tak tahu rasa mana yang lebih mendominan.

Vander memilih tak menanggapi Chloe. Ia tak ingin gadis itu tahu bahwa ucapan tadi memengaruhinya. Ia harus segera mengantar gadis itu pulang.

"Vander, kenapa kau terlihat terluka?"

Abai. Vander tak mau menanggapi gadis di sebelahnya itu dan lebih memilih melajukan kendaraan. Ia tak ingin Chloe mengetahui banyak tentangnya. Ia sangat defensif untuk orang seperti Chloe. Karena dunia tak perlu tahu dengan apa yang ia tutupi selama ini.

"Change hurts, right? It makes you insecure, confused and angry. And makes you like a beast."

"You know my name, not my story. So, don't speak!" hardik Vander.

Chloe tersentak, lantas ia membuang wajahnya menghadap kaca. Sambil menggigit bibirnya dan air wajahnya seketika berubah.

"Maaf," gumam Chloe.

Namun, Vander tak menanggapinya lagi. Ia hanya membuang napasnya secara kasar, seolah menyesali ucapannya kepada Chloe yang tak tahu apa-apa tentangnya.

Selama dalam perjalanan pulang keduanya hanya diam. Hingga akhirnya mereka sampai di depan gedung apartemen Chloe- Claytone Building yang masih satu lingkungan dengan Greenwich Village, tempat kampus mereka berada yang juga berdekatan dengan Washington Square Park.

Saat akan turun di basement, lagi-lagi Chloe mengeluh tentang bokongnya yang sakit. Terpaksa Vander menolongnya tanpa protes, karena ia ingin semuanya cepat selesai dan segera pergi.

Sambil memapah Chloe, Vander membawa gadis itu memasuki sebuah lift yang ternyata di dalamnya ada seorang nenek tua yang pernah ia temui.

"Oh, itu kau. Si anak muda baik hati," tunjuk sang wanita tua dengan tongkatnya kepada Vander.

Vander hanya bisa bersikap sopan dengan mengangguk. Sedangkan Chloe, gadis itu seperti menahan tawanya.

Lagipula sejak kapan pemeran Beast berubah menjadi baik hati kalau nyatanya ia begitu dingin pada semua orang.

"Kalian pasti pasangan. Terakhir kali aku melihat, kalian sedang ada masalah di taxi. Syukurlah sekarang akur kembali. Dan aku tak menyangka kita juga tetangga. Takdir macam apa ini," lanjut sang nenek sambil tertawa renyah.

Chloe bingung harus menanggapi seperti apa. Waktu itu sepertinya ia mabuk, jadi ingatannya kurang jelas. Dan ia lebih memilih tersenyum kaku pada wanita tua itu sebagai bentuk rasa sopan.

"Panggil saja aku Nyonya Stanley. Aku tinggal di lantai 12," beritahu sang nenek tua.

"Wow, kita selantai. Hai, namaku Chloe. Chloe Johnson, dan ini kekasihku, Vander," tunjuknya pada Vander yang sudah menggeram dan meremas pinggang Chloe kuat.

Chloe memang sudah gila memamerkannya ke siapa saja tentang hubungan mereka. Bahkan orang baru sekalipun.

Begitu terdengar bunyi dentingan lift, pintu itu langsung terbuka, dan dengan cepat Vander menyeret gadis yang dipapahnya itu agar keluar dari sana tanpa mengucapkan salam perpisahan dengan si nenek.

Melihat hal itu, Nyonya Stanley hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum, "Dasar anak muda jaman sekarang. Serba tidak sabar." Sembari melangkah mengikuti Vander dan Chloe yang sudah lebih dulu.

Setibanya di depan unit Chloe, Vander melepaskan tangan gadis itu dari lehernya untuk memisahkan diri.

"Sudah. Aku sudah mengantarmu!"

Sebelum tubuh Vander berbalik, Chloe menarik lengan pria itu agar tak pergi.

"Wait! Ada sesuatu yang ingin kukatakan. Aku-"

Namun, ketika Chloe ingin berbicara, pintu dari unitnya terbuka dan menampilkan sosok pria dengan bathrobe putih sedang berdiri tegak memandang mereka berdua.

Membuat mata Vander seketika membelalak lebar. Tak menyangka sosok pengkhianat dalam hidupnya kembali hadir.

"Louis Miller?"

To Be Continued

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status