Share

Bab 2. Kesabaran.

Riri menatap pantulan dirinya di cermin. Ada bekas kebiru-biruan di pipi mulusnya yang seputih susu. Selama empat tahun pernikahan, Ayus tak pernah mengangkat tangannya untuk memukul. Namun kali ini berbeda, demi wanita yang baru hadir dihidupnya Ayus tega mendaratkan tangannya di pipi Riri. Bukan hanya perih sehabis ditampar, namun juga membuatnya semakin perih di hati.

"Mas Ayus… Kau telah berubah. Kau tidak mencintaiku lagi. Jika kau masih mencintaiku, kau pasti akan bertahan dan menerima kekuranganku. Berdalih agar aku tak dimaki dan dicemooh ibumu. Kau meminta izin untuk menikah lagi. Tapi aku tidak bodoh mas. Kau boleh menikah lagi, asal pernikahan kalian sirih. Hanya aku yang memiliki wewenang hukum. Aku menyetujui pernikahanmu itu dikarenakan ketakutanku. Dimana dirimu akan berzina dengan wanita itu. Setahun kau membohongiku, setahun kau mengkhianatiku, setahun pula kau membuatku terlihat bodoh. Permainan takdir macam apa ini, Tuhan? Bagaimana aku harus tetap sabar? Sedangkan disisi lain mereka pasti akan bercinta. Kenapa belum apa-apa aku sudah merasakan perih begini? Semalam kamupun tak pulang mas. Apa kamu menginap dirumah gadis itu? Aku tak mengerti, mengapa Nisa yang masih begitu muda mau bersamamu."

Riri memegang dadanya. Rasanya sesak sekali. Air mata kembali menggenangi pelupuk matanya. Setelah merenung sebentar, wanita itu menghapus air matanya. Kemudian berjalan gontai menuju kamar mandi. Bebersih diri dan berharap bisa menghilangkan pikirannya yang sedang kusut. 

Seperti biasa Riri menjalankan aktivitasnya. Meskipun dengan hati yang gelisah dan sakit, namun dia berusaha bersabar. Semoga saja, suaminya segera sadar. Dirinya hanya mampu berserah diri kepada yang kuasa. Dimana Tuhanlah yang mampu membolak balikkan hati hambanya.

*****

Riri menyambut kedatangan Ayus. Segera menyambar tangan sang suami dan mencium punggung tangannya. Meskipun dirinya sakit hati pada lelaki itu, tak bisa dipungkiri jika Ayus masihlah suami sahnya.

"Kok nggak salam Mas?" tanya Riri dengan polosnya.

"Kau keterlaluan, Ri! Kau membuat Nisa takut untuk menikah denganku."

"Aku hanya mengatakan apa yang ada didalam hatiku, Mas. Aku hanya takut Nisa hanya memanfaatkammu saja," jawab Riri dengan tenang.

"Kita sudah membahas ini sebelumnya juga, Ri! Kau juga sudah menyetujui permintaanku. Kenapa kau sekarang malah mempersulit pernikahanku dengan Nisa?"

"Mempersulit? Omong kosong apa lagi itu mas? Aku sudah menerima permintaanmu. Lalu apa lagi? Jangan bahas ini lagi mas. Segera urus pernikahanmu itu sebelum aku berubah fikiran," pungkas Riri sembari berlalu dari hadapan Ayus. Meskipun lelaki itu mengeratkan lehernya, tetapi Riri berusaha untuk mengacuhkannya.

Di dapur, Riri tak lagi kuasa menahan air mata yang terus menggenangi pelupuk matanya. Pada akhirnya, wanita itu telah roboh seketika bersamaan dengan air matanya yang kian membanjir.

"Pada akhirnya aku tak berharga lagi di matamu, mas. Sekarang aku sudah tak memiliki satupun hal yang bisa aku banggakan. Karena cintamu yang selama ini aku banggakan, kini telah berpindah tuan. Siapa aku sekarang bagimu? Aku hanyalah sebuah beban untukmu. Hiks hiks. Sepertinya aku tak lagi memiliki tempat disini."

******

Hari yang paling dinantikan oleh Ayus telah tiba. Senyum dan rona bahagia sedari pagi telah menghiasi wajahnya. Berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan Riri. Wanita itu hanya mampu menahan rasa sakit yang kian menggerogoti hatinya. Tak disangka olehnya jika suaminya akan menikah lagi. Bahkan dihadiri oleh para sahabat dan rekan kerja satu perusahaan. Membuat Riri terpojokkan. Bagaimana tidak, para hadirin dan tetangga menatapnya remeh. Tatapan-tatapan itu semakin membuat hati Riri semakin sesak.

"Makanya, jadi wanita itu yang sempurna dong. Harus bisa memberikan suaminya keturunan. Nah gini kan. Akhirnya menikah lagi. Masih untung dikasih makan sama anakku. Kalau enggak, pasti jadi gembel dijalanan kau!" sindir ibu dari Ayus.

Sakit. Hati Riri bagai dihujam belati. Dihadapan para tamu mertuanya masih mencemoohnya. Benar, dirinya hanya seorang yang candela. Dengan hati yang hancur Riri segera melangkahkan kakinya untuk meninggalkan acara itu. Segera menuju ke kamarnya dengan cepat. 

Sungguh hati wanita mana yang tak luka melihat suami yang dicintainya menikah lagi tepat dihadapannya. Bahkan ibu mertua mendukung perselingkuhan itu. Terlebih lagi cemoohan dn cibiran dari ibu mertua seakan menambah garam diatas luka hati Riri.

"Ya allah, bolehkah aku menyerah? Bolehkah aku mengakhiri ini semua? Tak ada lagi tempat yang bisa menerimaku. Begitu hinakah aku sehingga mereka memperlakukanku sebegininya? Ya allah, tak banyak yang kupinta. Hanya utuhkanlah cinta suamiku untukku. Tetapi hari ini aku menyadari satu hal. Semua luka ini harus berakhir."

Tok tok tok.

Terdengar suara pintu kamar Riri diketuk. Segera wanita itu menghapus  air matanya yang telah membanjiri wajahnya. Dengan senyum yang terpaksa, ia akhirnya membuka pintu kamarnya. Senyum itupun lenyap seketika saat melihat Ayus, suaminya bersama dengan Nisa. Kedua netra Riri juga menangkap tangan Nisa yang bergelayut manja dilengan Ayus.

"Ri, aku pamit dulu sama Nisa. Kami ingin malam pertama di hotel. Kamu jaga diri ya. Terima kash telah memberi kami berdua restu untuk menikah. Kalau begitu kami pergi dulu. Assalamualaikum, Ri."

Hening. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir Riri. Entah kenapa lidahnya begitu kelu. Kedua netranya menatap lekat pada dua sosok yang kian menjauh dari tempatnya.

"Sepertinya, aku harus mengakhiri luka ini." lirih Riri dalam tangis yang pilu.

"Sabar? Harus sampai mana aku bersabar, Mas? Kamu tak lagi memiliki cinta untukku. Kamu mengkhianati janji suci cinta kita. Kamu bahkan dengan bangganya mengatakan akan melakukan malam pertama bersama istri mudamu itu. Sampai sejauh mana batas kesabaran itu ada? Bukankah lebih baik aku mengakhiri rasa sakit ini mas? Ini bukan lagi perkara aku yang tak bisa mengandung. Tetapi, kau telah dibutakan oleh nafsu birahi."

Riri bangkit dengan sisa-sisa tenaganya yang ada. Saat dirinya hendak kembali masuk ke dalam kamar, ibu mertuanya telah berdiri tak jauh dari tempatnya berada. Bukan hanya itu saja. Riri melihat sebuah tas jinjing besar yang dia yakini itu miliknya.

"A ada apa Bu?" tanya Riri dengan ragu.

"Ini barangmu. Berterimakasihlah padaku karena aku telah sudi mengemasnya! Sekarang, pergilah dari rumah ini. Biarkan rumah ini ditinggali oleh anakku dan menantuku, Nisa."

"Apa Ibu bercanda? Aku juga berhak atas rumah ini, Bu! Aku juga mengambil semua tabunganku untuk membeli rumah ini. Ibu jangan seenaknya berlaku seperti ini padaku!"

"Diam kau wanita mandul! Kalian seret wanita mandul ini keluar dari rumah anakku," titah ibunda Ayus pada 4 orang lelaki bertubuh besar. Riri kini mengerti sepertinya mertuanya itu telah cukup lama menantikan hari ini. Hari dimana dirinya ditendang dari rumah ini.

"Tidak Bu! Aku juga berhak atas rumah ini! Aaaahhh."

Tubuh Riri terpelanting jatuh ke ubin halaman rumah. Seketika ibu mertuanya muncul dengan senyum penuh kemenangan dan menutup pintu rumahnya dengan cukup keras. Riri menganga tak percaya. Ibu mertuanya begitu tega menyeretnya keluar dengan kasar bahkan dibawah guyuran hujan yang cukup deras.

"Haha ternyata sebelum aku mengakhirinya, aku terlebih dulu dibuang. Sungguh ironis sekali hidupku ini."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status