Share

Ancaman

Cinta itu kaya matematika, sulit di mengerti terlalu rumit untuk dipahami.

-Reyana S-

Sepanjang perjalanan, Reya tertawa terbahak-bahak. Membayangkan wajah Rika dan bu Siwi yang tampak mengenaskan. Bahkan Reya membayangkan Rika dan bu Siwi sekarang tengah mendorong motornya.

Sinting!

Satu hal yang muncul dalam benak Gavin dan Alvaro yang melihat tingkah Reya. Gavin tampak tak peduli, ia tetap fokus menyetir meski dalam benaknya terus bertanya-tanya apa yang salah dengan Reya? Perasaan tidak ada yang lucu, tapi kenapa Reya terus tertawa? Berbeda dengan Alvaro yang sangat penasaran.

"Re," panggil Alvaro.

"Hm." Reya mengalihkan perhatiannya ke Alvaro.

"Bukan ... lo kan?" tanya Alvaro ragu-ragu.

Reya mengernyitkan dahinya, bingung. "Maksudnya?"

"Yang ngelakuin bukan lo kan?"

"Nglakuin apa?" Reya tak mengerti maksud pertanyaan Alvaro.

"Yang tadi."

"Tadi?" beo Reya, mengingat-ingat tadi yang dimaksud Alvaro.

Alvaro berdecak, ia jadi gregetan sendiri. "Yang nyopot ban motor bu Siwi, bukan lo kan?" tanya Alvaro tapi terdengar menuntut.

"Bukanlah," jawab Reya, jelas ia berbohong. Bisa mati kalau Alvaro tahu, nanti dia bakal ngadu ke papanya. Habis sudah Reya kalau sampai papanya tahu. Terakhir kali saja Reya harus rela kehilangan mobil balap kesayangannya gara-gara ngempesin ban mobil kepala sekolah.

Alvaro tak percay begitu saja, ia merasa ada yang janggal dengan sikap Reya. Alvaro yakin kalau memang Reya dalang dari kejadian di parkiran tadi.

"Jujur aja Re, pasti lo kan? Secara gak ada yang senekad dan segila lo, cuma lo yang berani ngelakuin hal sinting kaya gitu," tukas Alvaro.

"Lo nuduh gue?" Reya berdecak, sebal. Wajahnya berubah ketus.

"Gue gak nuduh, tapi----"

"Terserah lo aja deh, mau percaya atau gak. Gak penting juga buat gue," sergah Reya, memotong ucapan Alvaro.

Gavin hanya menonton tanpa ikut berkomentar, ia melirik Reya yang memalingkan wajahnya ke samping mobil. Sebenarnya Gavin juga curiga kalau pelakunya itu Reya, apalagi tadi ia memergoki Reya dari parkiran. Tapi Gavin tidak suka ikut campur, jadi ia memilih diam. Bukan urusannya juga.

Reya menggerutu, berkomat kamit merutuki Alvaro yang masih saja memberondongnya dengan berbagai pertanyaan yang mengarah pada kejadian tadi. Memang susah kalau mau mengelabui Alvaro, dia terlalu peka dan Reya kesulitan berbohong di depannya.

Reya memilih diam, enggan menggubris Alvaro. Ia memainkan ponselnya, hingga sebuah pesan masuk mengalihkan perhatian Reya. Ia membukanya, Reya langsung melotot, bibirnya terkatup. 

Pesan itu berisi foto-foto dirinya yang tengah mengerjai motor Rika dan bu Siwi. Reya segera mengirimi pesan ke nomor tak dikenal itu, tak lama ia menerima balasan. Satu video ketika ia sedang mencopot ban motor bu Siwi dengan pesan bernada ancaman.

"Gimana kalau video ini sampai ke bokap lo?"

Reya menelan ludahnya kasar, wajahnya berubah pucat dan Gavin menyadari itu semua. Ia menolehkan kepalanya lalu bertanya, "Siapa?"

Reya tersentak ketika mendengar suara Gavin, ia langsung menutup layar ponselnya. "Bukan siapa-siapa," jawab Reya.

Gavin tak lagi bertanya, meski ia tahu kalau Reya tengah menyembunyikan sesuatu. Terlihat jelas dari perubahan ekspresi Reya saat menerima pesan barusan.

------

Reya berjalan menuruni tangga, wajahnya tampak kusut karena memikirkan pengirim pesan tadi. Reya takut jika video tadi sampai ke papanya. Bukan tidak mungkin jika papanya akan murka dan menarik semua fasilitasnya.

Bukan hanya fasilitas saja, Reya juga akan kehilangan kebebesannya ditambah hidupnya akan seperti di penjara. Karena sang papa akan mengurungnya, mengawasi setiap gerak gerak Reya.

Sekarang saja Reya sudah seperti tahanan wajib lapor, ke mana-mana selalu di awasi.

"Malam, kok anak papa cemberut si?" komentar Rey ketika melihat Reya yang baru datang.

Reya tak menjawab, ia menarik kurus dan duduk. Reya kembali diam, sibuk dengan pikirannya sendiri sampai tak sadar jika tengah diperhatikan papanya.

"Reya," panggil papanya. Reya masih diam, tatapannya tampak kosong. "Reya." Rey mengernyitkan dahi, tak biasanya Reya akan diam seperti ini. "REYANA."

Reya tersentak ketika suara bariton papanya menyadarkan Reya dari lamunan singkat. "Iya, Pa."

Rey menghela napas pendek, menatap sendu putri semata wayangnya. "Anak papa kenapa? Ada yang mengganggu pikiran kamu?"

Reya menggeleng, memaksakan seulas senyum agar papanya tak curiga dan tidak perlu khawatir. "Gak ada kok, cuma lagi banyak PR aja. Kepala Reya pusing."

"Makanya jangan main game sama tiktok mulu, belajar sebentar lagi kan tes tengah semester," sahut Ana yang baru saja keluar dari dapur membawa mangkuk berisi sayur.

"Reya belajar kok Ma, tapi dalam mimpi," kata Reya, mengumbar senyum lebarnya.

Ana mendengus, Raya selalu saja menyanggah ucapannya. Tak pernah mau menurut, Ana sampai lelah dan bingung bagaimana caranya membuat Reya mau belajar. Disuruh les saja dia malah kabur ke warnet.

"Kalau gitu kamu bisa minta bantuan Gavin, dia pinter. Juara umum terus di sekolahnya yang lama, kamu gak keberatan kan Gavin?"

Gavin yang sedang makan sampai tersedak, ia terbatuk-batuk. Beruntung Ana sigap memberikan minum kepadanya.

"Pelan-pelan Vin." Ana mengelus punggung Gavin.

"Makasih Tante," ucap Gavin setelah menormalkan tenggerokannya.

"Gimana, mau kan?" ulang Rey masih dengan pertanyaan yang sama.

Gavin tak langsung menjawab, jujur saja Gavin keberatan. Menjaga Reya saja sudah buat ia pusing kepala, apalagi kalau ditambah harus mengajari Reya. Yang ada Gavin bisa stres dan darah tinggi.

"Papa apaan si? Reya gak mau, lagian Reya bisa belajar sendiri," tukas Reya, melirik sebal Gavin yang tengah menatap ke arahnya.

"Reya, gak boleh gitu. Bener kata papa, mending kamu belajar sama Gavin aja," sahut Ana mendukung usul suaminya.

"Gimana Vin, om harap kamu mau ajarin Reya. Tapi om gak maksa kok," ucap Rey.

Reya mendengus, percuma saja Reya protes. Berdebat sampai ia ubanan sekali pun, papanya akan tetap dengan keputusannya dan pada akhirnya ia harus belajar bersama Gavin seperti sekarang.

Gavin berulang kali menghela napas, kini ia terjebak dalam ruangan berdua dengan Reya. Cewek sinting yang membuat kepalanya serasa mau pecah. Sudah setengah jam berlalu dan Gavin hampir menyerah mengajari Reya yang terus membantah ucapannya.

Jika bukan karena tidak enak menolak permintaan papa Reya, Gavin ogah mengajari Reya. Lihat saja, cewek itu bukannya mengerjakan PR-nya malah mencoret-coret sampul buku.

Gavin mendengus, tak habis pikir dengan tingkah Reya yang seperti anak kecil. Bisa-bisanya Reya menggambar kumis pada gambar cinderela di sampul bukunya, bukan hanya itu dia juga menggambar tompel di pipi pangeran dan menghitamkan gigi cinderella dan pangeran.

Benar-benar kurang kerjaan.

"Reya," panggil Gavin.

"Hm," gumam Reya tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang sedang ia coret-coret.

"Lo niat ngerjain gak si?" Gavin berdecak, kesal karena waktunya terbuang sia-sia.

"Gak," jawab Reya asal-asalan. "Lagian lo bawel banget si, PR-PR gue juga. Besok gue bisa nyontek punya Ichi, ngapain gue susah-susah mikir." Reya memekik karena Gavin tiba-tiba menyentil jidatnya. "Lo ...?" Reya mendelik, menatap sebal Gavin.

"Pantes aja lo bego, PR aja nyontek," komentar Gavin.

"Apa lo bilang, gue bego?" Emosi Reya seketika naik ke ubun-ubun, seandainya ada palu Thor di dekatnya mungkin Reya sudah memukulkannya ke kepala Gavin.

"Bego. Lo tahu? Cewek bego gampang dimanfaatin cowok, kaya lo. Sampe diselingkuhin berkali-kali." Gavin tersenyum miring, seolah mengejek Reya.

Reya mengepalkan tangannya, melayangkan pukulannya ke Gavin. Tapi dengan cepat Gavin menangkap kepalan tangan Reya. "Kenapa? Marah? Emang bener kan? Buktinya lo ngerjain soal beginian aja musti nyontek. Gue kasih tahu ya, cowok itu sukanya sama cewek pinter bukan yang o2n kaya lo."

Reya menelan kedongkolannya, memang benar yang dikatakan Gavin. Cowok memang lebih suka cewek pintar, buktinya hampir semua cowok di sekolahnya menyukai Agnes anak kelas XII yang selalu jadi juara umum, saingannya Alvaro.

Tapi tetap saja, Gavin tak seharusnya berkata seperti itu. Menyebalkan! Memangnya dia pikir, dia ganteng apa? Wajahnya aja kaya remahan goreng, sok-sokan ngatain dirinya bego.

"Nyebelin lo!" Reya menarik tangannya dengan kasar.

"Buruan kerjain makannya."

Reya mendengus, tapi ia menurut kembali membuka buku PR-nya. Kepala Reya langsung pusing saat melihat angka-angka di buku, otaknya berteriak karena terlalu lelah berpikir.

Reya benci matematika, terlalu rumit di mengerti dan sulit dipahami. Apalagi ketika harus menghapal rumus yang banyak, sementara kapasitas otaknya tidak memadai.

"Ini salah," ucap Gavin menunjuk jawaban Reya nomor sepuluh.

"Bodo, kepala gue pusing. Dari tadi salah mulu yang bener gimana?" gerutu Reya.

Reya benar-benar frustasi dengan soal matematika yang diberikan si botak. Soal yang sangat sulit dicerna oleh otaknya yang kecil. Maklum otak Reya pentium III.

"Caranya gini." Reya terkesiap ketika tangannya ditarik Gavin. "Negatif ketemu negatif hasilnya positif, kalau negatif ketemu positif hasilnya negatif. Jadi yang ini hasilnya negatif."

Reya tak mendengarkan penjelasan Gavin, ia justru memandangi wajah Gavin yang berada di dekatnya. Entah kenapa dia tampak mempesona.

Ganteng.

"Lo dengerin gue gak si?"

Reya tersentak, ia gelagapan dan langsung menundukkan kepalanya karena kepergok Gavin. "Denger kok, yang ini ketemu ini haslinya negatif terus yang ini hasilnya positif kan?"

Dalam hati Reya merutuki dirinya sendiri, bisa-bisanya ia malah terpesona. Bahkan ia sempat berpikir kalau Gavin ternyata ganteng juga.

"Kebalik oon." Gavin menyentil kening Reya, membuat cewek itu memekik.

"Gavin sakit," rengeknya.

"Bodo, udah buruan kerjain lagi sampai bener."

Reya mencebikkan bibirnya, dalam hati merutuk Gavin, menyumpah serapah cowok itu. Tangan dan otaknya bekerja keras mengerjakan PR matematika yang cukup banyak.

Setelah selesai Gavin kembali ke kamarnya, sementara Reya membereskan buku-bukunya. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh, Reya sudah bersiap untuk tidur ketika lampu kamarnya tiba-tiba mati. Reya yang takut gelap seketika menjerit, ditambah suara kencang dari kaca jendelanya yang pecah akibat dilempar sesuatu.

Reya panik, ia ketakutan setengah mati saat melihat sekelebatan orang melintas di balkon. Tanpa sadar Reya meneriakkan satu nama yang terlintas di pikirannya.

"Gavin!!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status