Share

-8-

Warok Sastro menyesap kembali pipa tembakaunya dengan pandangan menerawang jauh.

“Suatu malam bapakmu datang ke sini dan berkata bahwa dia merasa gagal menjadi seorang bapak. Nak, Gus, maka kubawa kau ke sini untuk kudidik dan kusiapkan sebelum menempuh jalan yang sunyi untuk menjadi warok sejati. Oleh karena itu, belajarlah apa saja yang bisa kau ambil di sini.”

Tubuh Endaru semakin bergetar hebat. Dia berusaha mengendalikannya dengan mengepalkan tangan sekuat tenaga dan mengalirkan segala kecamuk rasa itu ke dalam genggaman tangannya.

“Nyai, bagaimana persiapan menjamas[1]?”

Terdengar suara gesekan kain jarik dan tapak selop Nyai Larsih yang mendekat, “Sudah semua, Kangmas. Mari saya bantu bersalin baju.”

Warok Sastro berjalan diiringi Nyai Larsih menuju ke biliknya. Endaru berjalan gontai di belakang mereka menuju ke bangsal para babu. Endaru memperlambat langkah saat terdengar teriakan dan keributan dari batas antara rumah dalem dan luar.

“Hei, Gadis ingusan, kenapa kau berkeliaran di sini? Tempatmu di pondok pingitan! Jangan berani menyentuh keris-keris itu!”

Endaru menyaksikan seorang pemuda tengah menghardik putri Nyai Centini dengan sangat kasar. Gadis kecil itu melawan dan membalas dengan melempar segenggam pasir.

“Dasar Wandu!” teriak gadis kecil itu dengan lantang.

Wajah pemuda itu memerah dan siap melayangkan pukulan, tetapi Endaru segera meghalaunya. Keributan terjadi saat tanpa sengaja Endaru menabrak seorang anak yang datang membawa bokor mas berisi air kembang untuk menjamas. Bokor terpental menimbulkan bunyi kelontang. Air kembang membasahi sebagian keris dan tombak keramat yang ditata berjajar di sebuah meja.

“Hei, Anak baru, kau mau merusak segalanya?” teriak pemuda yang lain.

Sontak para gemblak yang lain berdatangan dan melerai mereka, “Hentikan! Bagaimanapun gadis itu adalah putri Romo sedangkan anak baru itu adalah calon pewaris padepokan ini.”

Endaru menarik gadis kecil itu menjauh meninggalkan para gemblak yang menghujani mereka dengan lirikan tajam dan bisik-bisik permusuhan. Setelah lepas dari kepungan para gemblak, gadis kecil itu menarik tangannya dari cengkeraman Endaru.

“Aku bisa melindungi diriku sendiri! Kau tak perlu ikut campur, Anak baru!”

Endaru menatap kepangan rambut gadis itu yang terburai sambil menyeringai, “Benarkah kau seorang perempuan? Berkepang saja kau tak mampu.”

“Sialan, kau!” Gadis kecil itu memberengut dan pergi meninggalkan Endaru.

Endaru tergelak dan berlari menyusulnya, “Kenapa mereka memusuhimu? Bukankah para Raden Ayu biasanya selalu dihormati dan disanjung?”

“Perempuan menduduki posisi paling belakang di bumi Panaragan ini, apalagi di rumah para pembesar yang bergelar warok. Kata ibundaku, perempuan harus cukup hanya mengabdi sampai di sumur dan dapur. Selamanya gemblak yang menduduki posisi tertinggi setelah waroknya, merekalah yang harus mengabdikan diri di kasur!”

“Aku tidak mengerti!”

Gadis itu memutar mata, “Mereka menganggap perempuan sebagai pantangan yang harus dihindari, ‘kan? Kehadiran perempuan bisa melesapkan kekuatan dan kesaktian para warok.”

Gadis itu tiba-tiba berbalik dan hampir bertabrakan dengan Endaru. “Sebentar lagi mungkin kau juga akan membenciku,” tatapannya tertunduk dan sedih.

“Hei, aku tak punya teman di sini! Anak-anak laki-laki itu tampaknya mereka juga membenciku. Bukankah, musuh dari musuhmu adalah temanmu?” Endaru menyeringai memamerkan deretan gigi putihnya yang gingsul.

Gadis kecil itu membeliak menatap satu mata Endaru yang tak terbebat kain, “Kau tak mengerti rupanya. Meski kau tak membenciku, tapi mereka akan memaksamu untuk menjauhiku!” Gadis itu berlari sambil menarik lengan Endaru lagi, “Mari aku antar ke tempat emakmu!”

“Namaku Enes ... kau?” teriak Endaru dengan napas terengah di antara larinya.

Gadis kecil itu menoleh sambil menggerakkan bibirnya tanpa bersuara. Endaru mengikuti gerak bibir itu dan merapal sebuah nama, “Dasi? Nama yang indah.”

***

Sesuai arahan dari Dasi, dia menunggu di sungai tak jauh dari Padepokan Bantarangin. Tak lama kemudian Dasi muncul bersama Gandari sambil membawa ebor berisi pakaian kotor. Endaru menerjang ingin memeluk sang ibu, tetapi perempuan itu menahan dan mendorongnya.

Plak! Tangan kanan Gandari mendarat di pipi kiri Endaru. Baik Endaru maupun Dasi sama-sama terperangah.

“Sudah kukatakan untuk pergi ke Tegalsari, bukan?” Gandari memekik sambil berurai air mata.

Endaru masih mematung menahan nyeri pada pipi. Kedua tangan bocah itu terkepal dan tiba-tiba bersimpuh di hadapan ibunya. Gandari mendongak dan mengusap wajahnya yang basah dengan kasar.

“Bagaimana lagi aku bisa melindungimu dari para warok itu, Nak? Larilah! Selamatkan dirimu!” pekik perempuan itu.

Endaru merangkak dan memeluk lutut ibunya, “Bagaimana bisa aku meninggalkan Emak di sini? Apa yang sebenarnya Emak takutkan? Apa yang akan mereka lakukan padaku?”

Gandari mundur dan melepas pelukan Endaru pada kakinya, “Jauhkan dirimu dariku! Jika Demang Sastro tahu, aku tak bisa menanggung penderitaan melihat kau terluka! Pergilah sebelum semua terlambat. Pergilah pada malam perayaan satu Suro nanti ke Tegalsari!”

Endaru berusaha mengejar ibunya, tetapi Dasi menarik dan menahan bocah itu.

[1] Upacara mencuci senjata di malam satu Suro

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status