Dokter Schneider baru keluar dari kamar Endaru dan segera disambut senyum ramah Nyai Larsih, “Bagaimana keadaannya, Dokter?”
Pria berambut dan bermata cokelat di balik kaca monokelnya itu menghela. Dia berbicara dalam bahasa Melayu yang baik, “Penyembuhannya cepat, hanya tiga hari lukanya sudah cukup kering. Akan tetapi, pasti akan meninggalkan bekas dan kemungkinan menjadi buta juga besar.”
Perempuan yang membawa Endaru ke rumah Demang Sastro menggunakan dokar tiga hari lalu itu mengangguk dan memandang iba pada Endaru yang masih duduk di ranjang, “Anak setampan itu!”
“Izinkan saya undur diri dulu, Nyai.”
“Tidak singgah lebih lama, Dokter?” sergah sang nyai, “Siang ini kami mengadakan pertunjukan reog gebyog[1].”
“Ada perayaan rupanya?” tanya sang dokter sambil melepas kaca monokelnya.
“Hanya perayaan wujud syukur dan penolak bala setiap malam Suro.”
Sang dokter meraih jam tangan berantai emas di saku jasnya, “Sayang sekali, Nyai, saya harus bergegas.”
Kuda-kuda terdengar meringkik disusul suara keributan dari halaman depan. Anak-anak berteriak-teriak sambil lari berhamburan meninggalkan pendopo. Nyai Larsih dan Dokter Schneider bergegas memeriksa ke depan. Endaru diam-diam turut mengekor di belakang mereka.
Pendopo dan pelataran terlihat berantakan. Angin bertiup sangat kencang. Segala macam peralatan untuk membuat dadak merak berterbangan memenuhi halaman.
Seorang warok muda datang tergopoh-gopoh lalu memberikan sembah pada nyai, “Kami tidak bisa menghadapinya tanpa kehadiran Romo.”
“Dia belum selesai dari tirakatnya,” jawab Nyai Larsih dengan nyaring tetapi suaranya tenggelam dalam libasan angin.
Keributan dan kepanikan seketika redam hanya menyisakan suara angin yang terus saja menderu-deru. Anak-anak, penabuh gamelan, penari dewasa, dan para jongos segera berlutut dan memberi sembah. Perhatian Nyai Larsih dan Dokter Schneider turut tersedot ke arah yang sama. Endaru yang berdiri di belakang dua orang itu terpukau melihat kedatangan seorang pria gagah dari sayap kanan rumah utama. Sebuah tangan tak kasat mata seolah menuntutnya untuk berlutut dan memberikan sembah. Dia tak bisa melawan dorongan kuat itu.
Pria itu muncul tanpa kemeja dan hanya mengenakan celana gombroh hitam dengan ikat pinggang besar. Puncak kepalanya tertutup belangkon mondolan. Lengan dan dadanya padat dipenuhi otot-otot yang mengeras. Cambang bauk dan kumis baplang melengkapi parasnya di bawah sorot mata yang penuh wibawa. Semua itu hasil dari proses penempahan diri selama tahun-tahun yang panjang dan berat. Usianya sudah mencapai enam puluh, tetapi paras dan raganya berhasil menutupi hingga tampak dua puluh tahun lebih muda.
Sudah beberapa hari ini angin bertiup kencang. Tak sedikit yang menjadi was-was karena reog gebyog akan segera digelar. Kemudian pria tanpa alas kaki itu berjalan tenang ke tengah-tengah halaman.
“Sugeng rawuh[2], Romo Sastro ....” Seluruh muridnya berlutut memberikan penghormatan.
Pria yang menemui kami di sungai siang itu. Meskipun wajahnya lebih pucat karena tirakat—tak makan, tak minum, dan tak tidur—selama tiga hari tiga malam, tetapi pengaruh dan kewibawaannya tak susut malah semakin bertambah-tambah saja.
Sang warok memberi tanda pada seseorang agar segera datang. Tak lama muncul perempuan cantik yang lebih muda dari Nyai Larsih membawa dupa dengan diiringi beberapa jongos. Mereka membawa kembang telon (tiga warna), minuman parem, kopi pahit, minyak wangi, dan sesaji yang lain.
Semua orang di pelataran duduk berjajar di belakang Warok Sastro. Mereka abaikan angin yang masih saja berputar-putar menabrak segala yang bisa dibawa. Beberapa belangkon tampak terlepas dan tersapu dari kepala pemiliknya.
“Perempuan itu ibundaku—Nyai Centini,” bisik gadis kecil yang entah sejak kapan turut berlutut di samping Endaru.
Hadir dua orang lagi sambil membawa sisa sesaji. Endaru terkejut dan bersiap lari, tetapi gadis kecil itu menahan dan mencengkeram lengan Endaru agar tetap jongkok di sana. Kedua tangan bocah laki-laki itu terkepal di samping tubuhnya dengan otot-otot yang menegang.
“Ada apa?” bisik sang gadis kecil.
Mata Endaru tak bisa lepas dari kedua perempuan terakhir yang membawa sesaji.
“Kau penasaran dengan gadis muda yang baru datang itu?” tanya sang gadis kecil tanpa melepas genggamannya dari lengan Endaru. “Dia cantik, bukan? Nyai Keswari adalah istri ke empat sekaligus termuda Romo Sastro. Usianya baru empat belas tahun yang memang lebih cocok untuk menjadi kakakku—bukan ibu tiriku.”
Tangan Endaru masih gemetar menahan gigilan kemarahan. Perlahan dia menunjuk seorang perempuan yang duduk di jajaran paling belakang, “Kapan perempuan itu tiba di sini?”
“Oh, dia babu baru. Tiga malam lalu dibawa ke sini oleh para warok muda dari dusun,” jawab gadis kecil itu masih tak menyadari kejanggalan yang terjadi.
“Di mana dia tinggal?” tanya Endaru lirih dengan mata masih terpancang pada perempuan yang dimaksud.
“Tentu saja di bangsal paling belakang dekat dapur bersama para babu yang lain.” Gadis cilik itu mengerutkan dahi, “Kau mengenalnya?”
Endaru mendesis, “Dia emakku!”
Tangan gadis kecil itu semakin kuat menggenggam lengan Endaru sambil berbisik, “Tahan dirimu sejenak! Nanti aku bantu untuk bertemu dengannya tanpa sepengetahuan orang-orang!”
Lamat-lamat terdengar sang warok merapal mantra, “Kyai sampar angin lumaku ing awang-awang, mego mendung kanggo tumpakan, ka gendhong ka idhit sakuat lakuku. Ya Allah, Ya Muhammad, Ya Jibril, Ya Mikail, Ya Isrofil, Ya Isro’il ....”[3]
Mantra itu dibaca berulang-ulang sampai angin tiba-tiba tenang dan bertiup sepoi-sepoi. Endaru terperangah. Perhatiannya sedikit teralihkan dari sang ibu yang turut bersimpuh di barisan paling belakang. Tak pernah dia saksikan dengan mata sendiri tentang kesaktian para warok. Dengan satu mata yang tak terbebat dia resapi kenyataan yang tak terpecahkan dengan kepala kecilnya itu.
“Apa ini sungguh terjadi, Nyai? Atau hanya kebetulan semata?” tanya Dokter Schneider yang turut mewakili rasa ingin tahu Endaru.
Nyai Larsih yang masih berdiri di samping sang dokter hanya tersenyum bangga, “Atas izin Yang Maha Kuasa, Warok Sastro melakukan semua itu, Dokter.”
Tangan Warok Sastro meraih dupa dan mengurapi sejumlah topeng dadak merak yang akan digunakan para siswanya untuk bermain reog gebyog.
Endaru menoleh dan menatap gadis kecil di sampingnya, “Kau bukan putri Nyai Larsih?”
Gadis itu menggeleng. “Ibundaku istri ke dua Romo Sastro, kami tinggal di bangsal kanan-belakang, bangsal kanan-depan milik Nyai Larsih (dia tidak beranak), bangsal kiri-depan milik istri ke tiga, sedang bangsal kiri-belakang milik istri ke empat—Nyai Keswari. Istri ke tiga dan ke empat masih muda dan perawan karena belum terjamah Romo Sastro.”
“Perawan?” Endaru berkerut dahi.
“Untuk mempertahankan daya mistiknya para warok pada tahap awal harus menyucikan diri dengan tiga patrap: sucining suwara, sucininng tenogo, dan sucining roso[4]. Tahap berikutnya adalah melakukan tirakat dengan mengurangi makan, tidur, dan mencegah syahwat. Bersamaan dengan lakon ini mereka juga harus meninggalkan sirikan molimo yang ditambah madani dan mateni.[5] Selanjutnya mereka harus melakukan puasa sembilan macam!”
Endaru terbelalak dengan mulut menganga, “Untuk apa daya mistik itu?”
Gadis itu menyengih dan mengalihkan tatapan ke pendopo, “Salah satunya untuk hal yang baru saja kau saksikan!” Gadis itu bersedekap, “Termasuk ilmu kebal dari tebasan berbagai senjata.”
Endaru menghela napas yang sempat tertahan di dada hingga gembung, “Lalu pantangan madon‒tidak berhubungan badan dengan perempuan‒meskipun itu istri sendiri, apa itu masuk akal?”
“Untuk itulah kau dan anak-anak laki-laki lain seumuranmu itu ada di sini!” jawab sang gadis cilik dengan iba.
“Untuk apa?” Endaru masih tak mengerti, “Demang bahkan mempunyai empat orang istri dan seorang putri?”
Gadis cilik itu menjawab dengan acuh, “Aku hanya anak tiri Romo Sastro, ibuku seorang janda.”
***
“Cah Bagus, kemarilah!” panggil Warok Sastro pada Endaru.
Bocah laki-laki itu berjalan jongkok mendekati sang warok yang duduk di kursi goyang dengan kaki bertelekan pada bantal. Pikiran Endaru teralihkan pada sang ibu yang ingin segera ditemuinya.
“Sahaya, Ndoro.”
Warok Sastro duduk bersandar sambil mencangklong pipa tembakau, “Mulai sekarang panggil aku Romo!”
“Sahaya, Romo ....” jawab Endaru sambil memberi sembah.
“Cah Bagus, kemarilah lebih dekat!”
Endaru merangkak dan berhenti tepat di depan kaki sang warok. Pria itu mengulurkan tangan mengusap perban pada mata Endaru, “Siapa namamu, Cah Bagus?”
Bocah itu mengkeret dengan tubuh yang mulai gemetar. Matanya tertunduk ke bantal pijakan kaki sang warok. Endaru ketakutan dengan segala pemikiran sinting yang membayang di dalam benaknya. Dia berbisik lirih dengan kedua tangan masih mengapurancang, “Enes, Romo ....”
“Enes? Tak ingin kuberi nama baru?” Suara sang warok berat dan dalam.
Anak itu menggeleng lemah.
“Biarlah namamu demikian, tapi hidupmu tak akan enes (sebatang kara) lagi karena mulai hari ini kau adalah anakku dan Nyai Larsih adalah ibundamu,” sambil diisapnya pipa tembakau itu cukup dalam dan lama.
“Sahaya, Romo.”
“Aku sengaja membawa ibumu ke sini agar kau tenang dan tenteram selama ngelmu. Jangan membenciku, Enes, Cah Bagus. Aku begitu menyayangi anak-anak. Selama mampu akan kubawa dan kudidik kalian agar menjadi manusia yang beradab. Kemiskinan selamanya akan membuat generasi ini larat. Kau sudah kugadang untuk menjadi penerusku—warok sakti dan dihormati—di kademangan ini. Kau yang akan menggantikan bapakmu untuk meraih posisi itu.”
Saat itu kepala Endaru tegak terangkat. Sembah terlepas dari kedua tangannya, “Bapak sahaya?”
Mata kiri Endaru yang liar tertangkap oleh Warok Sastro yang penuh pengalaman hidup, “Kuberikan restu pada bapakmu untuk menjalani hidup sebagai seorang warok sejati. Kuwariskan ilmuku padanya tetapi di penghujung lelaku tiba-tiba dia mengambil pilihan untuk menikah dan berumah tangga dengan emakmu.”
Sastro menatap Endaru, “Begitu tahu kau dilahirkan, aku bersumpah akan menjadikanmu warok sejati. Tak akan kubiarkan kau gagal seperti Bagus—bapakmu.”
“Di mana bapak sahaya berada, Romo?” pekik Endaru sambil menahan keguncangan batinnya.
[1] Pertunjukan reog keliling
[2] Selamat datang
[3] Mantra Kyai Sampar Angin: “Kyai Sampar Angin yang berjalan di atas langit, awan mendung sebagai kendaraan, digendong dan dibopong sekuat tenaga. Ya Allah, Ya Muhammad, Ya Jibril, Ya Mikail, Ya Isrofil, Ya Isro’il ....”
[4] Patrap (aktivitas) menjaga kesucian lisan, perbuatan, dan hati.
[5] Sirikan molimo (pantangan lima perkara): mencuri, candu, judi, mabuk, dan berhubungan badan dengan perempuan, dua tambahan lainnya adalah sewenang-wenang merebut hak orang lain dan membunuh.
Dada telanjang Endaru bersimbah darah Sastro. Hanya dengan memakai sarung batik dia melompati regol, mencuri salah satu kuda dari istal, dan memacunya kembali ke rumah pertanian Cornellis.Saat tiba di depan pagar sebuah peluru melesak menghentikan laju kudanya. Kuda itu meringkik ketakutan hingga membuatnya jatuh terpental ke tanah. “Rose, ini aku!” teriak Endaru ke arah lantai dua rumah itu sambil berusaha bangkit dari tanah.“Endaru?” Rose melempar senapannya ke tempat tidur dan segera berlari ke halaman, “Apa aku melukaimu?”Pemuda itu berjalan limbung menuju rumah. Rose menghambur ke arah Endaru tetapi pemuda itu menolaknya, “Tubuhku kotor!”Kilat dan guruh memecah langit pekat. Rose membeliak saat menyadari tubuh Endaru berlumuran darah. Perempuan itu menutup mulutnya dengan tangan yang gemetar.Pyaar! Suara petir menggelegar di udara yang dingin. Hujan deras berjatuhan dari langit meng
Endaru meraba-raba dalam kegalapan. Dia melepas bebatan pada matanya yang sudah tak lagi mengeluarkan darah tetapi yang terjadi malah penglihatannya menjadi semakin buram.“Dasi? Di mana kau?” bisik Endaru putus asa.“Kau masih menginginkan gadis itu, Enes?” suara serak Sastro terdengar bagaikan gong yang dipukul.Dengan kepala yang masih berdenyut-denyut Endaru berusaha bangkit dan mencoba keluar dari bilik Sastro. Dia seperti terkurung di dalam ruangan yang sempit dan pengap. Endaru merasai gigilan di tubuhnya semakin dahsyat. Baru dia sadari bahwa pakaian tak lagi melekat di raganya.Dalam remang cahaya sintir yang kekuningan Endaru mulai bisa melihat Sastro tengah bersila di tengah ruangan hanya mengenakan kain jarik. Matanya terpejam dengan bibir yang terus merapal mantra.Endaru berusaha bangkit dari dipan dengan tubuh sempoyongan. Kepalanya berdentam-dentam dengan sensasi tusukan-tusukan yang menyakitkan pada mata. Sa
Rombongan bupati tiba di Somoroto ketika bola api sudah tenggelam di langit barat. Di sana sudah ramai oleh para pendekar dan warok dari berbagai penjuru Panaragan. Semenjak Padepokan Wengker dikalahkan oleh padepokan milik Sastro para warok mulai berkiblat dan mempertimbangkan posisi Padepokan Bantarangin sebagai padepokan terkuat. Oleh karena itu sedapat mungkin mereka menjalin hubungan baik dengan Sastro untuk mencegah perselisihan sekaligus untuk memperoleh pos-pos jabatan penting di Panaragan.Upacara penentuan pimpinan Padepokan Bantarngin dihadiri oleh sejumlah perwakilan dari padepokan lain. Upacara penyambutan begitu meriah dengan adanya hiburan reog itu sendiri, atraksi pencak silat, dan jamuan beraneka ragam makanan.Warok Sastro yang kini menjabat sebagai bupati datang dalam iring-iringan yang meriah menuju kediaman lamanya di Somoroto. Sastro dalam pakaian kebesaran seorang warok duduk di pendopo yang sudah dihias sedemikian rupa. Para warok lain yang turu
“Tinggallah di sini bersamaku memimpin Padepokan Bantarangin dan satukan seluruh warok di bumi Panaragan ini di bawah kekuasaanku! Lima tahun aku bertarung dengan para warok lain untuk bisa menduduki takhta Bupati Panaragan. Jadi sudah sepatutnya jika aku menuntut pengakuan dari mereka, bukan?” Sastro menyulut kembali tembakau di dalam pipanya.Tanpa diduga Endaru bangkit dan berdiri tegak. Dengan perasaan berat dia mengucapan kalimat yang mungkin akan disesali seumur hidupnya, “Kau pikir aku akan menerima tawaranmu hanya karena menawan ibuku? Dia bahkan sudah memutuskan hubungan denganku!”Endaru mulai berjalan meninggalkan Sastro tetapi sekali lagi para opas itu menahan langkahnya. Salah satu dari mereka menunjukkan topeng bujang ganong yang semalam dikenakan Endaru saat menyelinap ke kediaman Sastro di Somoroto. “Anda tidak bisa pergi, Raden Mas. Anda harus ditahan sampai persidangan digelar karena kami menemukan bukti bahwa Anda terlib
Endaru sudah menguak pintu selebar mungkin dengan senyum semringah saat Rose mencegahnya. Pemuda itu berharap Dasi berdiri di sana dengan kebaya dan sanggul gantung seperti dalam imajinya selama tujuh tahun terakhir. Akan tetapi, pemuda itu membeliak saat mendapati orang yang berbeda berdiri di balik pintu. Terdengar pekik tertahan dari Rose yang baru sampai di tengah-tengah anak tangga.“Berlutut!” teriak orang yang berdiri di depan pintu.“Polisi?” Endaru berbisik lemah dengan kedua lutut melemas.Tiga orang opas dalam seragam serba hitam mengadang Endaru dengan dua moncong senapan tertuju ke arahnya. Seorang opas lagi yang bersenjatakan tongkat memukul bahu Endaru agar segera berjongkok. Dengan cepat mereka membelenggu kedua tangan dan kaki pemuda itu menggunakan gelang besi yang terhubung dengan rantai.Rose menerjang dan memasang badan untuk mencegah ketiga opas itu membawa Endaru pergi. Sesaat setelah Endaru berlari ke lantai
Dasi memutar ebor berisi pakaian basah ke depan untuk melindungi perut yang terbuka. “Kau bodoh karena kembali ke sini, Enes!”Endaru menerjang dasi dan merengkuhnya dalam dekapan. Ebor di tangan perempuan itu terlepas. Pakaian berhamburan ke tanah. Endaru mendekapnya lebih dalam seakan ingin menyatukan raga mereka dan melebur menjadi satu.Ragu-ragu tangan dasi terangkat dan dengan keras mendrorong Endaru hingga terlepas. Perempuan itu membungkuk berusaha memunguti pakaian yang terjatuh.Endaru tak menyerah. Dia tarik lengan Dasi dan kembali meraihnya dalam dekapan. Ingin dia ulangi kejadian tujuh tahun lalu—bibirnya melumat bibir Dasi yang merah tanpa gincu. Akan tetapi Endaru mundur dan melepas gadis itu. Mereka terengah dengan napas memburu—kecewa karena gelegak rindu yang urung tersalur.Dasi mendorong Endaru lebih kuat. Plak! Satu tamparan mendarat di pipi Endaru, “Kau tak suka pada perempuan