Share

-7-

Dokter Schneider baru keluar dari kamar Endaru dan segera disambut senyum ramah Nyai Larsih, “Bagaimana keadaannya, Dokter?”

Pria berambut dan bermata cokelat di balik kaca monokelnya itu menghela. Dia berbicara dalam bahasa Melayu yang baik, “Penyembuhannya cepat, hanya tiga hari lukanya sudah cukup kering. Akan tetapi, pasti akan meninggalkan bekas dan kemungkinan menjadi buta juga besar.”

Perempuan yang membawa Endaru ke rumah Demang Sastro menggunakan dokar tiga hari lalu itu mengangguk dan memandang iba pada Endaru yang masih duduk di ranjang, “Anak setampan itu!”

“Izinkan saya undur diri dulu, Nyai.”

“Tidak singgah lebih lama, Dokter?” sergah sang nyai, “Siang ini kami mengadakan pertunjukan reog gebyog[1].”

“Ada perayaan rupanya?” tanya sang dokter sambil melepas kaca monokelnya.

“Hanya perayaan wujud syukur dan penolak bala setiap malam Suro.”

Sang dokter meraih jam tangan berantai emas di saku jasnya, “Sayang sekali, Nyai, saya harus bergegas.”

Kuda-kuda terdengar meringkik disusul suara keributan dari halaman depan. Anak-anak berteriak-teriak sambil lari berhamburan meninggalkan pendopo. Nyai Larsih dan Dokter Schneider bergegas memeriksa ke depan. Endaru diam-diam turut mengekor di belakang mereka.

Pendopo dan pelataran terlihat berantakan. Angin bertiup sangat kencang. Segala macam peralatan untuk membuat dadak merak berterbangan memenuhi halaman.

Seorang warok muda datang tergopoh-gopoh lalu memberikan sembah pada nyai, “Kami tidak bisa menghadapinya tanpa kehadiran Romo.”

“Dia belum selesai dari tirakatnya,” jawab Nyai Larsih dengan nyaring tetapi suaranya tenggelam dalam libasan angin.

Keributan dan kepanikan seketika redam hanya menyisakan suara angin yang terus saja menderu-deru. Anak-anak, penabuh gamelan, penari dewasa, dan para jongos segera berlutut dan memberi sembah. Perhatian Nyai Larsih dan Dokter Schneider turut tersedot ke arah yang sama. Endaru yang berdiri di belakang dua orang itu terpukau melihat kedatangan seorang pria gagah dari sayap kanan rumah utama. Sebuah tangan tak kasat mata seolah menuntutnya untuk berlutut dan memberikan sembah. Dia tak bisa melawan dorongan kuat itu.

Pria itu muncul tanpa kemeja dan hanya mengenakan celana gombroh hitam dengan ikat pinggang besar. Puncak kepalanya tertutup belangkon mondolan. Lengan dan dadanya padat dipenuhi otot-otot yang mengeras. Cambang bauk dan kumis baplang melengkapi parasnya di bawah sorot mata yang penuh wibawa. Semua itu hasil dari proses penempahan diri selama tahun-tahun yang panjang dan berat. Usianya sudah mencapai enam puluh, tetapi paras dan raganya berhasil menutupi hingga tampak dua puluh tahun lebih muda.

Sudah beberapa hari ini angin bertiup kencang. Tak sedikit yang menjadi was-was karena reog gebyog akan segera digelar. Kemudian pria tanpa alas kaki itu berjalan tenang ke tengah-tengah halaman.

Sugeng rawuh[2], Romo Sastro ....” Seluruh muridnya berlutut memberikan penghormatan. 

Pria yang menemui kami di sungai siang itu. Meskipun wajahnya lebih pucat karena tirakat—tak makan, tak minum, dan tak tidur—selama tiga hari tiga malam, tetapi pengaruh dan kewibawaannya tak susut malah semakin bertambah-tambah saja.

Sang warok memberi tanda pada seseorang agar segera datang. Tak lama muncul perempuan cantik yang lebih muda dari Nyai Larsih membawa dupa dengan diiringi beberapa jongos. Mereka membawa kembang telon (tiga warna), minuman parem, kopi pahit, minyak wangi, dan sesaji yang lain.

Semua orang di pelataran duduk berjajar di belakang Warok Sastro. Mereka abaikan angin yang masih saja berputar-putar menabrak segala yang bisa dibawa. Beberapa belangkon tampak terlepas dan tersapu dari kepala pemiliknya.

“Perempuan itu ibundaku—Nyai Centini,” bisik gadis kecil yang entah sejak kapan turut berlutut di samping Endaru.

Hadir dua orang lagi sambil membawa sisa sesaji. Endaru terkejut dan bersiap lari, tetapi gadis kecil itu menahan dan mencengkeram lengan Endaru agar tetap jongkok di sana. Kedua tangan bocah laki-laki itu terkepal di samping tubuhnya dengan otot-otot yang menegang.

“Ada apa?” bisik sang gadis kecil.

Mata Endaru tak bisa lepas dari kedua perempuan terakhir yang membawa sesaji.

“Kau penasaran dengan gadis muda yang baru datang itu?” tanya sang gadis kecil tanpa melepas genggamannya dari lengan Endaru. “Dia cantik, bukan? Nyai Keswari adalah istri ke empat sekaligus termuda Romo Sastro. Usianya baru empat belas tahun yang memang lebih cocok untuk menjadi kakakku—bukan ibu tiriku.”

Tangan Endaru masih gemetar menahan gigilan kemarahan. Perlahan dia menunjuk seorang perempuan yang duduk di jajaran paling belakang, “Kapan perempuan itu tiba di sini?”

“Oh, dia babu baru. Tiga malam lalu dibawa ke sini oleh para warok muda dari dusun,” jawab gadis kecil itu masih tak menyadari kejanggalan yang terjadi.

“Di mana dia tinggal?” tanya Endaru lirih dengan mata masih terpancang pada perempuan yang dimaksud.

“Tentu saja di bangsal paling belakang dekat dapur bersama para babu yang lain.” Gadis cilik itu mengerutkan dahi, “Kau mengenalnya?”

Endaru mendesis, “Dia emakku!”

Tangan gadis kecil itu semakin kuat menggenggam lengan Endaru sambil berbisik, “Tahan dirimu sejenak! Nanti aku bantu untuk bertemu dengannya tanpa sepengetahuan orang-orang!”

Lamat-lamat terdengar sang warok merapal mantra, “Kyai sampar angin lumaku ing awang-awang, mego mendung kanggo tumpakan, ka gendhong ka idhit sakuat lakuku. Ya Allah, Ya Muhammad, Ya Jibril, Ya Mikail, Ya Isrofil, Ya Isro’il ....”[3]

Mantra itu dibaca berulang-ulang sampai angin tiba-tiba tenang dan bertiup sepoi-sepoi. Endaru terperangah. Perhatiannya sedikit teralihkan dari sang ibu yang turut bersimpuh di barisan paling belakang. Tak pernah dia saksikan dengan mata sendiri tentang kesaktian para warok. Dengan satu mata yang tak terbebat dia resapi kenyataan yang tak terpecahkan dengan kepala kecilnya itu.

“Apa ini sungguh terjadi, Nyai? Atau hanya kebetulan semata?” tanya Dokter Schneider yang turut mewakili rasa ingin tahu Endaru.

Nyai Larsih yang masih berdiri di samping sang dokter hanya tersenyum bangga, “Atas izin Yang Maha Kuasa, Warok Sastro melakukan semua itu, Dokter.”

Tangan Warok Sastro meraih dupa dan mengurapi sejumlah topeng dadak merak yang akan digunakan para siswanya untuk bermain reog gebyog.

Endaru menoleh dan menatap gadis kecil di sampingnya, “Kau bukan putri Nyai Larsih?”

Gadis itu menggeleng. “Ibundaku istri ke dua Romo Sastro, kami tinggal di bangsal kanan-belakang, bangsal kanan-depan milik Nyai Larsih (dia tidak beranak), bangsal kiri-depan milik istri ke tiga, sedang bangsal kiri-belakang milik istri ke empat—Nyai Keswari. Istri ke tiga dan ke empat masih muda dan perawan karena belum terjamah Romo Sastro.”

“Perawan?” Endaru berkerut dahi.    

“Untuk mempertahankan daya mistiknya para warok pada tahap awal harus menyucikan diri dengan tiga patrap: sucining suwara, sucininng tenogo, dan sucining roso[4]. Tahap berikutnya adalah melakukan tirakat dengan mengurangi makan, tidur, dan mencegah syahwat. Bersamaan dengan lakon ini mereka juga harus meninggalkan sirikan molimo yang ditambah madani dan mateni.[5] Selanjutnya mereka harus melakukan puasa sembilan macam!”

Endaru terbelalak dengan mulut menganga, “Untuk apa daya mistik itu?”

Gadis itu menyengih dan mengalihkan tatapan ke pendopo, “Salah satunya untuk hal yang baru saja kau saksikan!” Gadis itu bersedekap, “Termasuk ilmu kebal dari tebasan berbagai senjata.”

Endaru menghela napas yang sempat tertahan di dada hingga gembung, “Lalu pantangan madon‒tidak berhubungan badan dengan perempuan‒meskipun itu istri sendiri, apa itu masuk akal?”

“Untuk itulah kau dan anak-anak laki-laki lain seumuranmu itu ada di sini!” jawab sang gadis cilik dengan iba.

“Untuk apa?” Endaru masih tak mengerti, “Demang bahkan mempunyai empat orang istri dan seorang putri?”

Gadis cilik itu menjawab dengan acuh, “Aku hanya anak tiri Romo Sastro, ibuku seorang janda.”

***

“Cah Bagus, kemarilah!” panggil Warok Sastro pada Endaru.

Bocah laki-laki itu berjalan jongkok mendekati sang warok yang duduk di kursi goyang dengan kaki bertelekan pada bantal. Pikiran Endaru teralihkan pada sang ibu yang ingin segera ditemuinya.

“Sahaya, Ndoro.”

Warok Sastro duduk bersandar sambil mencangklong pipa tembakau, “Mulai sekarang panggil aku Romo!”

“Sahaya, Romo ....” jawab Endaru sambil memberi sembah.

“Cah Bagus, kemarilah lebih dekat!”

Endaru merangkak dan berhenti tepat di depan kaki sang warok. Pria itu mengulurkan tangan mengusap perban pada mata Endaru, “Siapa namamu, Cah Bagus?”

Bocah itu mengkeret dengan tubuh yang mulai gemetar. Matanya tertunduk ke bantal pijakan kaki sang warok. Endaru ketakutan dengan segala pemikiran sinting yang membayang di dalam benaknya. Dia berbisik lirih dengan kedua tangan masih mengapurancang, “Enes, Romo ....”

“Enes? Tak ingin kuberi nama baru?” Suara sang warok berat dan dalam.

Anak itu menggeleng lemah.

“Biarlah namamu demikian, tapi hidupmu tak akan enes (sebatang kara) lagi karena mulai hari ini kau adalah anakku dan Nyai Larsih adalah ibundamu,” sambil diisapnya pipa tembakau itu cukup dalam dan lama.

“Sahaya, Romo.”

“Aku sengaja membawa ibumu ke sini agar kau tenang dan tenteram selama ngelmu. Jangan membenciku, Enes, Cah Bagus. Aku begitu menyayangi anak-anak. Selama mampu akan kubawa dan kudidik kalian agar menjadi manusia yang beradab. Kemiskinan selamanya akan membuat generasi ini larat. Kau sudah kugadang untuk menjadi penerusku—warok sakti dan dihormati—di kademangan ini. Kau yang akan menggantikan bapakmu untuk meraih posisi itu.”

Saat itu kepala Endaru tegak terangkat. Sembah terlepas dari kedua tangannya, “Bapak sahaya?”

Mata kiri Endaru yang liar tertangkap oleh Warok Sastro yang penuh pengalaman hidup, “Kuberikan restu pada bapakmu untuk menjalani hidup sebagai seorang warok sejati. Kuwariskan ilmuku padanya tetapi di penghujung lelaku tiba-tiba dia mengambil pilihan untuk menikah dan berumah tangga dengan emakmu.”

Sastro menatap Endaru, “Begitu tahu kau dilahirkan, aku bersumpah akan menjadikanmu warok sejati. Tak akan kubiarkan kau gagal seperti Bagus—bapakmu.”

“Di mana bapak sahaya berada, Romo?” pekik Endaru sambil menahan keguncangan batinnya.

[1] Pertunjukan reog keliling

[2] Selamat datang

[3] Mantra Kyai Sampar Angin: “Kyai Sampar Angin yang berjalan di atas langit, awan mendung sebagai kendaraan, digendong dan dibopong sekuat tenaga. Ya Allah, Ya Muhammad, Ya Jibril, Ya Mikail, Ya Isrofil, Ya Isro’il ....”

[4] Patrap (aktivitas) menjaga kesucian lisan, perbuatan, dan hati.

[5] Sirikan molimo (pantangan lima perkara): mencuri, candu, judi, mabuk, dan berhubungan badan dengan perempuan, dua tambahan lainnya adalah sewenang-wenang merebut hak orang lain dan membunuh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status