Share

Bab 2 Angin Semilir

Hai namaku Kania, Kania Langit Amaranata. Usiaku tujuh belas tahun. Kata orang usia yang indah untuk jatuh cinta. Nyatanya aku merasakan cinta yang indah sejak umur tiga belas tahun. Aku jatuh cinta pada kakak kelasku saat duduk di kelas satu SMP. Dia empat tahun lebih tua dariku, bernama Airlangga Sakha Handojo. Saat ada nama ini, ingatanku kembali pada saat itu.

Aku lebih suka memanggilnya Angga. Namun, karena dia selalu marah maka aku terpaksa memanggilnya Erlan. Seperti semua anggota keluarga memanggilnya. Padahal aku punya batasan, tak memanggil nama akrab teman lelaki. Ya sudahlah, aku tak mau berdebat dengannya. Terlalu makan waktu.

Siapapun panggilan Erlan, nyatanya aku telah jatuh cinta pada nama itu. Saat mendengar namanya seolah ada angin semilir bertiup di telingaku. Sejuk dan dingin. Hebat benar Bapak Handojo memberi nama anaknya. Keluarga itu memang sangat keren sih.

Siapa yang tak tahu pada keluarga Handojo? Keluarga itu sangat terkenal di kompleks perumahan perwira. Letaknya di bagian depan kesatuan. Mobil mengkilat selalu siap setiap pagi. Tentu saja dengan ajudan yang berdiri tegap menyambut Bapak Handojo. Tak lama kemudian iringan bapak ibu Handojo keluar rumah. Bapaknya ganteng putih dengan seragam yang tampak angker. Ibunya cantik anggun dengan setelan blus berwarna biru. Sedangkan, dua anaknya berseragam sekolah.

Anak pertama keluarga itu adalah perempuan bernama Alya, Mbak Alya aku memanggilnya. Lalu yang kedua tentu saja Mas Erlan. Si gimbul imut-imut kesukaanku. Inginku tertawa, memang Mas Erlan berbadan tambun saat masih SMA. Nggak nyangka sekarang bisa jadi tentara yang kurus dan atletis. Semua itu butuh proses dan perjuangan. Iya karena aku yang menemani Mas Erlan lari-lari di lapangan demi bisa masuk Akmil. Sebab aku anak pelatih fisik Mas Erlan.

Ya benar, Kania adalah anak prajurit. Bapakku Sersan Dwiandoro. Kata orang, bapak anggota favorit Bapak Handojo makanya bisa dijadikan pelatih Mas Erlan. Iya sih bapak memang pintar dalam olahraga. Nilai samapta bapak selalu bagus. Makanya bisa menarik perhatian komandan batalyon yakni Bapak Handojo.

---

Berhubungan dengan Mas Erlan tentu saja tak semudah itu. Dia memang kembang sekolah. Semua anak suka padanya. Sekolah kami memang jadi satu, SMP dan SMA yang sekompleks. Mas Erlan ditaksir semua isi sekolah mulai dari satpam sampai ibu kantin. Mulai dari anak kelas satu SMP hingga kelas tiga SMA.

Memang dia gendut, tapi wajahnya sangat ganteng. Dengan pipi chubby, wajahnya terlihat sangat lucu. Kebalikan dari sikapnya yang dingin dan tak banyak omong. Cuek selangit juga. Namun, dia selalu penuh pesona. Selain itu, dia selalu juara paralel setiap semester. Membuatnya makin terkenal saja.

Bagaimana dengan seorang Kania. Hahaha, aku mungkin cuma seperti upilnya Erlan. Iyalah aku tak ada apa-apanya dibanding dengannya. Aku cuma seorang gadis puber biasa. Uang saku pas-pasan karena cuma anak tentara. Buku paket yang kadang lupa nggak bayar. Bau badan mirip bau seng. Kadang bau matahari juga. Maklum nggak kuat beli parfum.

Wajahku biasa, kata orang sih manis. Tinggiku tak seberapa. Kulitku agak gosong karena sering pulang sekolah jalan kaki menantang matahari. Sering berkeringat karena membawa tas sekolah yang berat. Rambut lurus dikuncir kuda pakai karet gelang. Hidung biasa tak mancung dan pesek. Mata bulat dengan bulu mata panjang lentik mungkin yang agak menarik.

Lalu apa dong yang membuatku dan Mas Erlan dekat? Mungkin karena sering ketemu. Dalam suasana dan situasi apapun. Iya karena kami satu asrama, bukan. Walau dia lebih sering duduk di tribun anak-anak pejabat batalyon sih. Kalau aku ya rebutan kue sama anak prajurit yang lain pada setiap acara.

Namunn, suatu hari di acara ultah batalyon, aku ikut lomba balap karung. Siapa lawanku, Mas Erlan. Sangat lucu karena saat itu dia sudah kelas satu SMA. Aneh 'kan, masa sudah SMA main sama anak SD dan SMP? Namun, nyatanya itu terjadi. Katanya dia dihukum oleh bundanya karena nilai ulangan biologinya dapat 60. Keluarga yang unik.

Kehadiran Erlan di lapangan tentu saja kontan membuat semua anak heboh. Erlan memang terkenal ganteng, tapi juga jahat. Judesnya minta ampun. Bahkan, anak kecil selalu nangis kalau melihat wajahnya. Anak kecil itu mungkin kecuali aku.

Nyatanya, aku suka sekali melihat wajahnya. Walau katanya judes, bagiku justru lucu. Ingin galak tapi pipinya imut, aku tak takut justru gemas. Tak disangka dia lawanku di lomba balap karung. Masih kuingat, wajahnya merah padam menahan malu. Namunn, sikapnya ksatria karena menepati janjinya pada sang bunda. Sejak muda sudah berprinsip, 'kan, keren.

"Apa lihat-lihat!" gertaknya saat itu.

Aku malah tersenyum, "kapan lagi anak SMA main kayak gini. Asyik lho Mas mainan balap karung."

"He Bocah, kalau kamu berhasil kalahin aku, kukasih kamu permen satu kresek," ujarnya sombong.

"Oke, siapa takut!" jawabku sok jago.

Kamipun memasang kuda-kuda. Dia tak lagi mendengarkan olokan anak kecil yang biasanya takut. Wajah merah padamnya diganti dengan wajah penuh semangat. Oh jadi, Mas ini jagoan kandang, ya. Dia tak suka mengaku kalah atau kelihatan lemah. Iyalah saat diolokpun dia mengalihkan rasa malu pada kesombongannya padaku.

"Kamu bisa, Erlan," bisiknya pada diri sendiri.

Hm, jangan dikira aku nggak bisa ngalahin kamu, Mas.

"1 ... 2 ... 3!"

Kamipun langsung melompat dengan karung saat aba-aba terucap. Sangat melelahkan, tapi lucu. Semua bersorak, bukan padaku, tapi pada Mas Erlan. Semua tertawa karena dia mirip bola basket yang mantul-mantul. Kasihan sih, tapi biarin aja. Biar dia semangat ngurusin badan, 'kan.

"Waaa!" Sebuah teriakan membuyarkan lompatanku. Kontak kutoleh ke belakang dan menyaksikan Mas Erlan tersungkur, kira-kira 5 meter di belakangku.

"Aduh, kegendutan sih!" komentar beberapa orang sambil berbisik-bisik.

Tak lagi kulihat kesombongan itu. Justru wajah malu bak dilempar kotoran cicak. Dia sangat malu sampai merah hitam wajahnya. Iyalah anak SMA, anak komandan pula. Lantas kudatangi saja anak ganteng yang malang itu. Kuberi uluran tangan.

"Sini!" ucapku pelan.

Dia menampik keras tanganku, "nggak sudi!"

"Aku tahu kok anak gemuk susah bangun kalau terjatuh. Sini aku bantu," sambungku lagi.

"Bocah, pergi sana!" usirnya sambil menunjuk wajahku.

Aku langsung meraih lengan gemuknya. Dengan kekuatan bocah yang kupunya, kutarik tubuhnya. Ada kelegaan di wajahnya. Namun, justru ini puncaknya. Dengan santai kulepaskan lagi pertolonganku. Kontan dia terjatuh, lagi. Tertawa dalam hati aku melihatnya.

Sambil tertawa aku berkata, "makanya Mas olahraga biar nggak kayak bola bekel. Jangan sombong dan sok serem deh. Hai Mas imut, namaku Kania."

"Ha ... ha ... ha." Sorak tawa berderai di seluruh lapangan. Sampai pada akhirnya ajudan Bapak Handojo membubarkan semua termasuk aku yang langsung berlari.

Kasian deh, tapi aku sengaja melakukannya. Masih kuingat wajahnya yang seperti bom akan meledak. Pastilah dia murka karena dikerjai anak SMP sepertiku kok. Makanya jangan sombong. Tahu rasa deh. Aku jahat ya? Tidak, aku cuma suka menggodanya. Aku suka melihatnya marah, lucu dan imut.

---

Kuingat mata tajam itu seperti laser yang menyala. Tajam menyeringai dan hendak mencabikku berkeping-keping. Mata siapa lagi kalau bukan mata Mas Erlan. Benar, keesokan hari setelah hari memalukan itu, aku dicegat di belakang sekolah. Dia sendirian saja bersama ajudan galaknya. Rasanya mau dicekik sama dia saat tangan ini ditarik oleh tangan gemuknya.

"Apa maksudmu malu-maluin aku kemarin? Kamu nggak tahu aku siapa, ya?" ujarnya penuh kemarahan.

Mendengar suaranya seperti ada angin semilir menerpa tengkukku, "suara Mas terlalu bagus buat marah-marah."

"Kamu nggak tahu takut, ya? Kurang ajar kamu, ya!" gertaknya makin parah.

"Aku cuma nggak mau Mas jadi orang yang galak."

"Kamu bocah tahu apa," bentaknya.

"Aku memang masih anak SMP, tapi aku suka sama Mas Erlan," ucapku begitu saja.

"Amit-amit deh disukai sama anak kayak kamu," ujarnya sombong.

"Memangnya kenapa, aku 'kan normal suka sama cowok. Lagian masa Mas Erlan nggak kenal aku sih. Aku Kania, anaknya Pak Dwi yang ngelatih Mas lari."

"Aku nggak tahu kamu siapa. Yang jelas aku benci sama kamu. Untung kamu cewek, kalau cowok udah kugampar," ujarnya masih penuh kebencian.

"Biarin aja Mas benci sama aku. Yang penting aku udah permalukan Mas di depan umum."

"Apa ... kamu nggak takut aku, ya?" ulangnya lagi.

"Apa yang harus ditakutkan. Makin Mas Erlan marah, justru aku makin gemes. Mas Erlan lucuuu banget," ucapku seraya menyentuh pipinya.

Wajahnya merah, meraaaah sekali. Jelas dia malu. Tuh 'kan, kubilang juga apa. Dia cuma galak di luar saja. Aslinya lucu, 'kan. Makin sukalah aku mengganggunya. Galak-galak imut. Asyiklah semoga bisa ikut bapak ngelatih dia. Biar aku bisa terus mengganggunya. Pasti kejudesannya itu runtuh.

"Mas malu, 'kan, ya ... awas naksir, ya!" ujarku sok percaya diri sambil berlalu saat dia terkesima.

Lalu kudengar teriakannya saat itu, "hei yang suka sama aku lebih cantik daripada kamu. Amit-amit suka sama kamu. Najis!"

Aku hanya tersenyum simpul. Angin semilir menerpa wajahku, ah aku bahagia.

***

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status