Hai namaku Kania, Kania Langit Amaranata. Usiaku tujuh belas tahun. Kata orang usia yang indah untuk jatuh cinta. Nyatanya aku merasakan cinta yang indah sejak umur tiga belas tahun. Aku jatuh cinta pada kakak kelasku saat duduk di kelas satu SMP. Dia empat tahun lebih tua dariku, bernama Airlangga Sakha Handojo. Saat ada nama ini, ingatanku kembali pada saat itu.
Aku lebih suka memanggilnya Angga. Namun, karena dia selalu marah maka aku terpaksa memanggilnya Erlan. Seperti semua anggota keluarga memanggilnya. Padahal aku punya batasan, tak memanggil nama akrab teman lelaki. Ya sudahlah, aku tak mau berdebat dengannya. Terlalu makan waktu.
Siapapun panggilan Erlan, nyatanya aku telah jatuh cinta pada nama itu. Saat mendengar namanya seolah ada angin semilir bertiup di telingaku. Sejuk dan dingin. Hebat benar Bapak Handojo memberi nama anaknya. Keluarga itu memang sangat keren sih.
Siapa yang tak tahu pada keluarga Handojo? Keluarga itu sangat terkenal di kompleks perumahan perwira. Letaknya di bagian depan kesatuan. Mobil mengkilat selalu siap setiap pagi. Tentu saja dengan ajudan yang berdiri tegap menyambut Bapak Handojo. Tak lama kemudian iringan bapak ibu Handojo keluar rumah. Bapaknya ganteng putih dengan seragam yang tampak angker. Ibunya cantik anggun dengan setelan blus berwarna biru. Sedangkan, dua anaknya berseragam sekolah.
Anak pertama keluarga itu adalah perempuan bernama Alya, Mbak Alya aku memanggilnya. Lalu yang kedua tentu saja Mas Erlan. Si gimbul imut-imut kesukaanku. Inginku tertawa, memang Mas Erlan berbadan tambun saat masih SMA. Nggak nyangka sekarang bisa jadi tentara yang kurus dan atletis. Semua itu butuh proses dan perjuangan. Iya karena aku yang menemani Mas Erlan lari-lari di lapangan demi bisa masuk Akmil. Sebab aku anak pelatih fisik Mas Erlan.
Ya benar, Kania adalah anak prajurit. Bapakku Sersan Dwiandoro. Kata orang, bapak anggota favorit Bapak Handojo makanya bisa dijadikan pelatih Mas Erlan. Iya sih bapak memang pintar dalam olahraga. Nilai samapta bapak selalu bagus. Makanya bisa menarik perhatian komandan batalyon yakni Bapak Handojo.
---Berhubungan dengan Mas Erlan tentu saja tak semudah itu. Dia memang kembang sekolah. Semua anak suka padanya. Sekolah kami memang jadi satu, SMP dan SMA yang sekompleks. Mas Erlan ditaksir semua isi sekolah mulai dari satpam sampai ibu kantin. Mulai dari anak kelas satu SMP hingga kelas tiga SMA.
Memang dia gendut, tapi wajahnya sangat ganteng. Dengan pipi chubby, wajahnya terlihat sangat lucu. Kebalikan dari sikapnya yang dingin dan tak banyak omong. Cuek selangit juga. Namun, dia selalu penuh pesona. Selain itu, dia selalu juara paralel setiap semester. Membuatnya makin terkenal saja.
Bagaimana dengan seorang Kania. Hahaha, aku mungkin cuma seperti upilnya Erlan. Iyalah aku tak ada apa-apanya dibanding dengannya. Aku cuma seorang gadis puber biasa. Uang saku pas-pasan karena cuma anak tentara. Buku paket yang kadang lupa nggak bayar. Bau badan mirip bau seng. Kadang bau matahari juga. Maklum nggak kuat beli parfum.
Wajahku biasa, kata orang sih manis. Tinggiku tak seberapa. Kulitku agak gosong karena sering pulang sekolah jalan kaki menantang matahari. Sering berkeringat karena membawa tas sekolah yang berat. Rambut lurus dikuncir kuda pakai karet gelang. Hidung biasa tak mancung dan pesek. Mata bulat dengan bulu mata panjang lentik mungkin yang agak menarik.
Lalu apa dong yang membuatku dan Mas Erlan dekat? Mungkin karena sering ketemu. Dalam suasana dan situasi apapun. Iya karena kami satu asrama, bukan. Walau dia lebih sering duduk di tribun anak-anak pejabat batalyon sih. Kalau aku ya rebutan kue sama anak prajurit yang lain pada setiap acara.
Namunn, suatu hari di acara ultah batalyon, aku ikut lomba balap karung. Siapa lawanku, Mas Erlan. Sangat lucu karena saat itu dia sudah kelas satu SMA. Aneh 'kan, masa sudah SMA main sama anak SD dan SMP? Namun, nyatanya itu terjadi. Katanya dia dihukum oleh bundanya karena nilai ulangan biologinya dapat 60. Keluarga yang unik.
Kehadiran Erlan di lapangan tentu saja kontan membuat semua anak heboh. Erlan memang terkenal ganteng, tapi juga jahat. Judesnya minta ampun. Bahkan, anak kecil selalu nangis kalau melihat wajahnya. Anak kecil itu mungkin kecuali aku.
Nyatanya, aku suka sekali melihat wajahnya. Walau katanya judes, bagiku justru lucu. Ingin galak tapi pipinya imut, aku tak takut justru gemas. Tak disangka dia lawanku di lomba balap karung. Masih kuingat, wajahnya merah padam menahan malu. Namunn, sikapnya ksatria karena menepati janjinya pada sang bunda. Sejak muda sudah berprinsip, 'kan, keren.
"Apa lihat-lihat!" gertaknya saat itu.
Aku malah tersenyum, "kapan lagi anak SMA main kayak gini. Asyik lho Mas mainan balap karung."
"He Bocah, kalau kamu berhasil kalahin aku, kukasih kamu permen satu kresek," ujarnya sombong.
"Oke, siapa takut!" jawabku sok jago.
Kamipun memasang kuda-kuda. Dia tak lagi mendengarkan olokan anak kecil yang biasanya takut. Wajah merah padamnya diganti dengan wajah penuh semangat. Oh jadi, Mas ini jagoan kandang, ya. Dia tak suka mengaku kalah atau kelihatan lemah. Iyalah saat diolokpun dia mengalihkan rasa malu pada kesombongannya padaku.
"Kamu bisa, Erlan," bisiknya pada diri sendiri.
Hm, jangan dikira aku nggak bisa ngalahin kamu, Mas.
"1 ... 2 ... 3!"
Kamipun langsung melompat dengan karung saat aba-aba terucap. Sangat melelahkan, tapi lucu. Semua bersorak, bukan padaku, tapi pada Mas Erlan. Semua tertawa karena dia mirip bola basket yang mantul-mantul. Kasihan sih, tapi biarin aja. Biar dia semangat ngurusin badan, 'kan.
"Waaa!" Sebuah teriakan membuyarkan lompatanku. Kontak kutoleh ke belakang dan menyaksikan Mas Erlan tersungkur, kira-kira 5 meter di belakangku.
"Aduh, kegendutan sih!" komentar beberapa orang sambil berbisik-bisik.
Tak lagi kulihat kesombongan itu. Justru wajah malu bak dilempar kotoran cicak. Dia sangat malu sampai merah hitam wajahnya. Iyalah anak SMA, anak komandan pula. Lantas kudatangi saja anak ganteng yang malang itu. Kuberi uluran tangan.
"Sini!" ucapku pelan.
Dia menampik keras tanganku, "nggak sudi!"
"Aku tahu kok anak gemuk susah bangun kalau terjatuh. Sini aku bantu," sambungku lagi.
"Bocah, pergi sana!" usirnya sambil menunjuk wajahku.
Aku langsung meraih lengan gemuknya. Dengan kekuatan bocah yang kupunya, kutarik tubuhnya. Ada kelegaan di wajahnya. Namun, justru ini puncaknya. Dengan santai kulepaskan lagi pertolonganku. Kontan dia terjatuh, lagi. Tertawa dalam hati aku melihatnya.
Sambil tertawa aku berkata, "makanya Mas olahraga biar nggak kayak bola bekel. Jangan sombong dan sok serem deh. Hai Mas imut, namaku Kania."
"Ha ... ha ... ha." Sorak tawa berderai di seluruh lapangan. Sampai pada akhirnya ajudan Bapak Handojo membubarkan semua termasuk aku yang langsung berlari.
Kasian deh, tapi aku sengaja melakukannya. Masih kuingat wajahnya yang seperti bom akan meledak. Pastilah dia murka karena dikerjai anak SMP sepertiku kok. Makanya jangan sombong. Tahu rasa deh. Aku jahat ya? Tidak, aku cuma suka menggodanya. Aku suka melihatnya marah, lucu dan imut.
---Kuingat mata tajam itu seperti laser yang menyala. Tajam menyeringai dan hendak mencabikku berkeping-keping. Mata siapa lagi kalau bukan mata Mas Erlan. Benar, keesokan hari setelah hari memalukan itu, aku dicegat di belakang sekolah. Dia sendirian saja bersama ajudan galaknya. Rasanya mau dicekik sama dia saat tangan ini ditarik oleh tangan gemuknya."Apa maksudmu malu-maluin aku kemarin? Kamu nggak tahu aku siapa, ya?" ujarnya penuh kemarahan.
Mendengar suaranya seperti ada angin semilir menerpa tengkukku, "suara Mas terlalu bagus buat marah-marah."
"Kamu nggak tahu takut, ya? Kurang ajar kamu, ya!" gertaknya makin parah.
"Aku cuma nggak mau Mas jadi orang yang galak."
"Kamu bocah tahu apa," bentaknya.
"Aku memang masih anak SMP, tapi aku suka sama Mas Erlan," ucapku begitu saja.
"Amit-amit deh disukai sama anak kayak kamu," ujarnya sombong.
"Memangnya kenapa, aku 'kan normal suka sama cowok. Lagian masa Mas Erlan nggak kenal aku sih. Aku Kania, anaknya Pak Dwi yang ngelatih Mas lari."
"Aku nggak tahu kamu siapa. Yang jelas aku benci sama kamu. Untung kamu cewek, kalau cowok udah kugampar," ujarnya masih penuh kebencian.
"Biarin aja Mas benci sama aku. Yang penting aku udah permalukan Mas di depan umum."
"Apa ... kamu nggak takut aku, ya?" ulangnya lagi.
"Apa yang harus ditakutkan. Makin Mas Erlan marah, justru aku makin gemes. Mas Erlan lucuuu banget," ucapku seraya menyentuh pipinya.
Wajahnya merah, meraaaah sekali. Jelas dia malu. Tuh 'kan, kubilang juga apa. Dia cuma galak di luar saja. Aslinya lucu, 'kan. Makin sukalah aku mengganggunya. Galak-galak imut. Asyiklah semoga bisa ikut bapak ngelatih dia. Biar aku bisa terus mengganggunya. Pasti kejudesannya itu runtuh.
"Mas malu, 'kan, ya ... awas naksir, ya!" ujarku sok percaya diri sambil berlalu saat dia terkesima.
Lalu kudengar teriakannya saat itu, "hei yang suka sama aku lebih cantik daripada kamu. Amit-amit suka sama kamu. Najis!"
Aku hanya tersenyum simpul. Angin semilir menerpa wajahku, ah aku bahagia.
***Bersambung...Airlangga Sakha Handojo POV"...hei yang suka sama aku lebih cantik daripada kamu. Amit-amit suka sama kamu. Najis!"Perkataan itu justru jadi boomerang. Saat ini aku justru sangat menyukainya. Kania oh Kania, bocah perempuan yang kukenal sejak tubuhku masih tak berbentuk hingga sekarang dikagumi perempuan. Ternyata aku mencintai anak pelatihku sendiri.Siapa yang sangka anak yang sekarang duduk di kelas 2 SMA ini jadi penghuni hatiku sejak saat itu. Dia yang selalu kuperhatikan di sela kesibukan menempa pendidikan di lembah Tidar. Dia yang selalu kuingat di sela beratnya aktivitas sebagai seorang taruna Akmil. Dia yang selalu kutemui diam-diam saat libur atau izin bermalam. Dia yang selalu kutelepon dengan sembunyi-sembunyi. Saat yang lain asyik terbuai mimpi, aku justru memikirkannya.Aneh, ya, mungkin lucu. Aku bisa jatuh cinta, pada anak kecil pula. Sebenarnya selisih usia kami cuma 4 tahun, tapi kelihatan j
Kania Langit Amaranata POV"Hari Senin, minggu ketiga bulan ini, aku akan datang ke sekolahmu. Temui aku di ruang BK, ya!"Sepenggal tulisan itu membuatku berdebar. Tulisan Mas Angga yang rapi telah terbaca olehku. Membuat sebuah simpul senyum di bibirku. Ah senangnya dia akan datang. Surat yang penuh kabar bahagia. Memang klasik dan kuno sih. Konon seorang Airlangga menulis surat karena tak mau kalah dari saingannya, Wirya Samudra Dewandana, kakak kelasku.Iya, pada akhirnya setelah adegan pematang sawah itu, Mas Angga jadi rajin menulis surat. Senang deh, bisa membaca tulisannya. Terasa lebih nyata saja dibanding cuma telepon sembunyi-sembunyi. Ingin rasanya aku cepat ke minggu depan, iya senin minggu depan.Kabarnya, Sermatutar Airlangga Sakha Handojo akan datang ke sekolahku. Katanya sih mau reuni dengan guru-guru. Sekalian kasih pesan pada junior-junior. Oh iya, untuk promo Akademi Militer kata dia. Aduh tanpa dipromo juga udah terkenal. Apa
"Hai Dek Kania.""Mau apa Mas Wirya ke sini?""Tentu mengunjungimu.""Jangan pengaruhi pikiran saya lagi tentang Mas Angga. Saya nggak mau salah paham lagi."Mas Wirya terlihat lemas. Senyum berpendarnya lesu setelah percakapan singkat kami. Dia duduk begitu saja di teras rumahku yang sederhana dengan pandangan aneh. Padahal dia terlihat cakap dalam balutan seragam taruna. Mirip seperti Mas Angga."Waktu itu memang salah saya, Dek. Saya tidak kroscek dulu langsung asal bicara. Saya minta maaf, ya?" ucapnya pelan sambil menatapku lekat.Aku hanya diam tak tahu harus berkata apa, "saya masih boleh menemuimu, 'kan?" tanyanya pelan."Apa Bang Airlangga melarang Dek Kania untuk berhubungan dengan saya? Apa hubungan kalian sangat spesial?" imbuhnya lagi karena aku hanya diam tanpa menjawab."Apa seragam yang Mas pakai itu susah dapatnya?" tanyaku yang dijawab dengan anggukannya."Lantas kenapa buat ketemuan dengan orang macam
Airlangga Sakha Handojo POV"Tuh 'kan, kita jadi dilihatin satu mal. Malas ah ...."Kudengar keluhan imut itu berulangkali terucap. Kutahu dia sedang tidak nyaman dengan situasi ini. Dilihatin sebagian besar pengunjung pusat perbelanjaan karena sedang jalan dengan seorang taruna berseragam. Itulah kenapa dia tidak suka jika aku berseragam. Memang sih, siapa yang suka jadi pusat perhatian."Mau gimana lagi, seragam ini nggak boleh dilepas!" ucapku datar."'Kan bisa pakai jaket," keluhnya lagi."Panas, ogah. Biar aja kenapa sih. Angkat dagu dan busungkan dada ajalah. Bangga gitu jalan sama calon perwira, ganteng pula.""Idih narsis. Bangga itu cukup dalam hati Mas. Nggak perlu publikasi. Berlebihan namanya." Gadis kesayanganku ini tetap menggerutu, semakin gemas.Aku menatapnya lurus, "ya udah aku lepas baju aja, shirtless. Biar heboh satu mal. Gimana?"Dia bergidik ngeri sambil mengangkat bahun
Kania Langit Amaranata POVSaat terpisah dengan Mas Angga, aku selalu banyak berpikir. Kebanyakan mengingat masa lalu kami bersama. Bagaimana kami bertemu. Bagaimana kami banyak menghabiskan waktu bersama. Bagaimana perangai galak dan menyebalkannya.Kadang aku jalan ke tempat kenangan kami sambil mengingat momen itu. Ke warung mi ayam favorit sejak SMA. Selalu saja dia dilihat orang banyak karena seragamnya. Tidak selalu seragam sih, kadang wajah gantengnya saja sudah menarik orang.Mas Angga memang bak medan magnet. Bisa menarik kutub yang berlawanan dengannya. Banyak yang terpaku dengannya. Begitu pun denganku. Aku rela menjalani separuh waktu hidupku untuk mencintainya. Walau itu tanpa status, aku rela. Padahal aku sama, wanita yang butuh status.Berjauhan dengannya membuatku banyak berpikir. Bagaimana aku bisa menjalani waktu ini. Saat dulu dia masih daftar tentara, kami selalu bersama. Tentu dengan sembunyi-sembunyi. Aku se
Kania Langit POVKunci berhubungan dengan lelaki berseragam itu adalah sabar. Itu kataku, tentu pada diriku sendiri. Apalagi jika harus menjalani hubungan tersembunyi seperti ini. Harus makin sabar dong. Walau itu terasa menelan pil pahit tanpa air. Kebayang, 'kan, gimana rasanya?Sejak awal, kata sabar adalah kunciku untuk Mas Angga. Dia yang galak, dingin, tak banyak bicara, bahkan kadang sadis. Dia lebih suka mengajakku berjalan jauh demi bicara banyak. Padahal kami bisa ngobrol di kedai es atau bawah pohon ceri. Dia senang bertindak kasar untuk menunjukkan perhatian dan cintanya. Padahal halus pun sangat menyenangkan.Ya itulah Mas Angga dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Cuek selangit adalah sifat paling menyebalkan sedunia. Dia tahu, kami saling rindu. Namun, dia enggan menghubungiku. Iyalah aku nomor kesekian dalam hidupnya, tapi nggak gini juga. Aku kangen, tapi takut menghubunginya.Balas suratku lagilah atau mun
Aku menatap gadis cantik di sebelah yang sedang manyun. Sebenarnya hatiku bak ombak yang naik turun. Tak mudah mengekspresikan rasa rindu ini. Seorang Erlan bisa jadi manusia aneh jika sedang rindu macam begini. Ingin rasanya melakukan hal lain lebih dari pelukan. Namun, aku takut melakukannya. Sebab Kania perempuan pertama yang dekat denganku sejak masa puber.Ya cuma ini caraku menunjukkan betapa rindunya aku pada Kania. Setelah berbulan-bulan tak bertemu, dia makin cantik saja. Calon dokter lagi. Cita-cita yang tak pernah dia katakan padaku. Bahkan, mungkin terbesit saja tak pernah. Kesayanganku akan jadi calon dokter. Bangga punya dia."Ayo dong mulai cerita!" ujarku setelah kami berhenti di jalanan yang sepi.Seperti ada gundukan es yang runtuh, "akhirnya, disuruh cerita juga.""Iya calon Ibu Dokter, gimana sih ceritanya? Bagaimana bisa kamu mau jadi dokter? Yakin kamu bisa? Mau jadi dokter apa memangnya?" cerocosku seperti petasan rawit."Kan
Kedua insan itu bergandengan tangan di sepanjang jalan setapak lapangan Rampal. Tak banyak bicara, hanya diam sambil menikmati dinginnya Kota Malang. Kania menunduk sembari menatap kaki mungilnya. Sesekali dia melihat kaki tegas Erlan. Berbeda dengan Erlan yang sesekali mencuri wajah Kania. Tak henti dikaguminya wajah cantik itu."Kania cemong Mas?" tanya Kania tiba-tiba yang membuat Erlan kaget."Iya, jelek banget!" jawab Erlan spontan yang membuat Kania mendongak.Dia bergegas mengelap mulutnya, "aduh kenapa gak bilang dari tadi sih, Mas?""Biarin, biar kamu jelek dan gak dilirik sama siapa-siapa!" jawab Erlan sekenanya."Gak adil Mas Erlan ih!" protes Kania."Terus apa, kamu mau tebar pesona sama tamtama remaja yang lagi korve itu?" tanya Erlan setengah cemburu."Siapa juga yang tebar pesona? Mas Erlan cemburu, ya? Dari tadi aku nggak lihat kemana-mana. Aku nunduk terus karena mau jaga pandangan. Aku jaga hatinya Mas Erlan. Mas kal